[nasional_list] [ppiindia] Dekriminalisasi Pers

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 17 Feb 2005 00:05:24 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Lampung Post

      Rabu, 16 Februari 2005 
     
      OPINI 
     
     
     
Dekriminalisasi Pers 

      * Samsuri, Bekerja di The South East Asian Press Alliance (SEAPA) Jakarta


      Sepanjang dua tahun terakhir, tercatat tidak kurang enam jurnalis divonis 
penjara karena karya jurnalistik mereka. Saat bersamaan, kekerasan terhadap 
pers dalam bentuk lain seperti penganiayaan, ancaman, sensor, pelecehan, dan 
pengusiran masih terus terjadi.

      Kasus kekerasan terbaru adalah vonis sembilan bulan penjara yang 
diputuskan Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, 22 Desember lalu. Jurnalis 
Radar Jogja, Risang Bima Wijaya, menjadi korbannya. Sebelumnya beberapa 
jurnalis lain mengalami nasib serupa. Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka, Karim 
Paputungan (2003), diganjar lima bulan penjara dengan 10 bulan percobaan. 
Redaktur Rakyat Merdeka, Soepratman (2003), divonis enam bulan dengan masa 
percobaan satu tahun. Kemudian Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Bambang 
Harymurti (2004), dihukum satu tahun penjara (tanpa hukuman percobaan). Selain 
digiring ke bui, beberapa perusahaan media juga dihukum membayar ganti rugi. 
Koran Tempo dihukum membayar 1 juta dolar AS (2004), Majalah Trust Rp1 miliar 
(2004), dan Radar Jogja 600.000 dolar AS (2004).

      Kekerasan-kekerasan ini ibarat virus ganas yang menggerogoti sendi-sendi 
kekritisan dan profesionalisme pers. Banyak jurnalis merasa bekerja tidak 
leluasa karena dibayang-bayangi kekerasan, denda, dan penjara.

      Publik pada akhirnya yang paling dirugikan karena tidak mendapat 
informasi yang baik dan berkualitas. Demokrasi juga berjalan pincang. Sebab, 
pers sebagai salah satu sendi demokrasi, tidak mengalirkan daya bagi proses 
demokrasi sebagaimana mestinya.

      Kalangan pers sendiri tidak tinggal diam menghadapi kekerasan. Perlawanan 
dengan berbagai cara ditempuh; kampanye, demonstrasi, lobi, protes, sampai 
introspeksi diri. Beberapa hasil dipetik, meskipun belum seberapa dibandingkan 
banyaknya kasus kekerasan yang menurut catatan SEAPA-Jakarta mencapai angka 97 
pada 2003 dan 40 pada 2004.

      Tren Kekerasan

      Tren kekerasan dalam dua tahun terakhir mengarah pada "kriminalisasi 
pers". Istilah ini kurang lebih mengandung arti terjadi proses di mana 
jurnalis---disebabkan karya jurnalistik---dianggap layaknya seorang pelaku 
kriminal yang harus dibui. Pengadilan, polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan 
masyarakat masih banyak yang berpikir kesalahan wartawan sama seperti pencuri 
sehingga jika tertangkap harus ditahan, diadili, dan kemudian dipenjara.

      Seperti yang menimpa wartawan Tabloid Borgol, Lukman Pagala, yang 
dimasukkan sel Kejaksaan Negeri Unaaha, Kendari, Sulawesi Tenggara, 2003 lalu. 
Tulisan Lukman yang menyoroti lemahnya kinerja Kejari Unaaha, terutama dalam 
menangani kasus-kasus korupsi, dianggap sebagai tindakan tidak menyenangkan dan 
mencemarkan nama baik kepala Kejari Unaaha. Perlakuan sama juga dialami 
wartawan Tabloid Busur, Gorontalo, Simson M. Diko, awal 2004.

      Cara berpikir buruk dalam menilai kerja dan karya jurnalistik wartawan 
menjadi penyebab terjadi kriminalisasi pers. Kekolotan memandang perubahan, 
kegagalan memahami semangat reformasi, dan banyaknya penegak hukum bermental 
korup menjadi penyebab lain yang tidak bisa diabaikan.

      Berbagai negara kini meninggalkan kebiasaan menjebloskan wartawan ke 
penjara karena karya jurnalistik. Penghargaan yang tinggi terhadap kemerdekaan 
pers dan tanggung jawab jurnalis pada publik menyadarkan bahwa memenjarakan 
jurnalis sama dengan menggiring negara ke rezim otoriterisme dan ketertutupan. 
Tahun 2002, Sri Lanka menghapus tuntutan pidana karena pencemaran nama baik 
(criminal defamation) dalam undang-undang mereka, tidak hanya untuk wartawan, 
tetapi juga masyarakat. Keputusan sejenis dikeluarkan Pemerintah Kosta Rika, 
Filipina, Jepang, El Salvador, Ukraina, Timor Leste---sekadar menyebut beberapa 
contoh. Amerika Serikat bahkan sudah mulai coba-coba menerapkannya sejak abad 
ke-18 dan kemudian membakukannya awal abad ke-20.

      "Kereta dunia berlari kencang meninggalkan stasiun kriminalisasi karya 
jurnalistik," kata Bambang Harymurti dalam pleidooinya di depan Majelis Hakim 
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebenarnya 
menganut prinsip dekriminalisasi pers. Menurut UU tersebut, hukuman yang bisa 
dikenakan kepada jurnalis (media) hanya berupa denda sebanyak-banyaknya Rp500 
juta.

      Persoalannya, kini banyak sekali perkara pemberitaan pers diselesaikan 
dengan tidak menggunakan UU Pers melainkan KUH Pidana/Perdata. Alasannya--ini 
yang sering dikemukakan polisi, jaksa, maupun hakim--UU Pers dipandang tidak 
memadai dijadikan lex specialis. UU Pers, misalnya, tidak mengatur persoalan 
pencemaran nama baik dan kabar bohong.

      Padahal, dua perkara ini paling sering muncul. UU Pers hanya mengatur 
kewajiban pers menghormati norma agama, kesusilaan, dan praduga tak bersalah 
(Pasal 5). Alasan tersebut banyak ditentang. Tidak disebutnya persoalan 
pencemaran nama baik dan kabar bohong secara eksplisit tidak berarti UU Pers 
bisa diabaikan begitu saja. Apalagi jika dibaca secara menyeluruh, UU Pers 
sebenarnya memberi petunjuk memadai untuk menyelesaikan sengketa akibat 
pemberitaan pers, termasuk pencemaran nama baik. Di antara argumentasinya dapat 
ditemukan dalam buku 1001 Alasan Undang-Undang Pers Lex Specialis yang ditulis 
Hinca I.P. Panjaitan dan Amir Effendi Siregar dan diterbitkan Serikat Penerbit 
Surat Kabar.

      Dalam ulasan singkat tentang buku ini, Amir Effendi Siregar menyatakan UU 
Pers Pasal 7 Ayat (2) yang menyebut, "Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik 
Jurnalisitik" menjadi terobosan bahwa persoalan seperti pencemaran nama baik 
bisa diselesaikan dengan UU Pers. Kode Etik Jurnalistik (KEWI) dengan jelas 
menganut persoalan pencemaran nama baik, seperti disebut dalam butir keempat, 
yaitu melarang jurnalis menyiarkan informasi yang bersifat dusta dan fitnah. 
Dengan demikian, UU Pers dan KEWI merupakan satu paket. KEWI sendiri lebih 
bersifat self regulatory bagi pers.

      Masyarakat yang merasa dicemarkan nama baiknya lewat media--yang berarti 
media bersangkutan melanggar KEWI--dapat mengunakan hak jawab dan hak koreksi. 
Jika media bersangkutan mengabaikan hak jawab, ia bisa dikenai pidana denda 
(Kompas, 23 September 2004).

      Jika yang dituntut mereka yang dicemarkan melalui pemberitaan pers adalah 
keadilan, rasanya tuntutan perdata telah cukup; media meminta maaf, meralat, 
dan membayar denda. Namun, musibah gugatan hukum yang menimpa Tempo dan 
beberapa jurnalis belakangan, tampak lebih dimaksudkan balas dendam ketimbang 
menuntut keadilan. Balas dendam itu terpuaskan dengan dimasukkannya si jurnalis 
ke penjara; kebiasaan buruk yang mulai ditinggalkan banyak negara demokrasi. 
Niat menjebloskan jurnalis ke penjara bertambah kuat mengingat penegak hukum 
kita sangat suka menggunakan KUH Pindana, hukum peninggalan kolonial Belanda, 
yang dengan mudah menjerat jurnalis.

      Pengalaman Sri Lanka, keberhasilan penggiat kemerdekaan pers di sana 
melakukan dekriminalisasi pers tak terpisah dari dukungan kekuatan politik. 
Menurut Asangka Welikala, peneliti di Associate in the Legal & Constitutional 
Uni of the Center for Policy Alternatif, Colombo, ketika Pemilu 2002 di Sri 
Lanka berlangsung, koalisi kuat yang beranggotakan organisasi pers, perusahaan 
media, dan jurnalis berkonsensus dengan kelompok oposisi. Mereka bersama 
menggulirkan menghapuskan criminal defamation dalam kampanye. Hasilnya, oposisi 
menang dan janji pun ditepati.

      Pemilu 2004 lalu, koalisi serupa terbentuk di Indonesia. Lobi-lobi ke 
calon presiden dan partai politik dilakukan untuk dekriminalisasi pers. Namun, 
hasil yang didapat tampaknya tidak terlalu memuaskan. Pemerintah kini belum 
sadar--atau pura-pura tidak sadar--mereka adalah pemilik kunci persoalan ini 
(setidaknya untuk jangka pendek sebelum UU Pers dan KUHP direvisi parlemen). 
Kunci yang dimaksud adalah berupa desakan pemerintah kepada jaksa dan polisi 
menggunakan UU Pers atau tidak lagi memenjarakan wartawan ketika mengusut dan 
menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Sebab, hakim kita di pengadilan sangat 
suka mengikuti apa yang diajukan polisi dan jaksa; dua institusi yang berada di 
bawah kendali presiden.
     

 Cetak Berita Email Berita

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Dekriminalisasi Pers