[nasional_list] [ppiindia] Bunuh Diri sebagai Jalan Keluar

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 20 Jan 2006 22:11:53 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/20/opi3.htm

Bunuh Diri sebagai Jalan Keluar
Oleh Paulus Mujiran
BUNUH diri yang dewasa ini menggejala amat memprihatinkan. Terakhir seorang ibu 
di Gunung Kidul, Rubiyem (33), mengajak ketiga anaknya bunuh diri dengan cara 
minum racun tikus. Kini, bunuh diri dipandang sebagian masyarakat sebagai salah 
satu jalan keluar mengatasi masalah yang dihadapinya. Bunuh diri dipandang 
potret masyarakat gagal. 

Fungsi sosialisasi, tata nilai, dan relasi-relasi personal tak lagi mendalam. 
Manusia dihargai bukan oleh nilai-nilai kemanusiaan, melainkan oleh kedudukan, 
kekayaan, martabat dan status sosial. Lunturnya penghargan individu menjadi 
pemicu orang tidak lagi berharga di mata orang lain. 

Selain itu, tatanan sosial dalam tingkatan yang lebih global dianggap sangat 
kacau dan malahan cenderung tanpa moralitas, yang mendorong pelaku bunuh diri 
dijadikan sebagai pilihan terbaik. Dalam bahasa yang lain, corak kapitalisme 
global yang semakin memiskinkan mereka yang lemah dan terus memperkaya mereka 
yang berdaya agaknya semakin memojokkan mereka sebagai kelompok sosial yang 
termarjinalisasikan. 

Nilai-nilai kejujuran dan keutamaan etis seolah-olah mengalami peminggiran. 
Bukankah kapitalisme global secara struktural semakin memperkaya mereka yang 
serakah dengan semboyan serakah adalah bagus (greedy is good)? 

Dalam keadaan semacam inilah hidup dirasakan begitu absurd. mustahil, ta masuk 
akal, yang bermakna sebagai sesuatu yang tidak sepantasnya terjadi dan layak 
dijalani, serta sulit untuk dijelaskan dan di-hadapi dengan hati nurani yang 
jernih. 

Bahkan realitas absurd itu pada akhirnya menjadi semacam irasionalitas. 
Sebabnya adalah keputusan yang dianggap terbaik justru tidak mempunyai 
kesesuai-an dengan tuntutan serta situasi yang tersedia. Apa yang dipikirkan 
serta dinilai secara moral sebagai kebaikan justru sama sekali tidak ditemukan 
dalam dunia yang serba chaos semacam ini. 

Emile Durkheim (1858-1917) melalui bukunya yang berjudul Suicide yang terbit 
pada tahun 1897, mendefinisikan bunuh diri sebagai "kematian yang secara 
langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif 
dari sang korban itu sendiri". 

Empat Tipe

Durkheim mencoba untuk melakukan analisis terhadap bunuh diri yang selama ini 
secara eksklusif didasarkan pada sudut pandang psikologis dan individualistik. 
Ini berarti bunuh diri merupakan gejala sosial yang dikerangkai oleh kondisi 
atau struktur kemasyarakatan yang melingkupinya. 

Menurut Durkheim ada empat tipe bunuh diri yang didasarkan pada dua kekuatan 
sosial sekaligus, yakni integrasi sosial (kemampuan individu untuk terikat pada 
tatanan masyarakat) dan regulasi moral (aturan-aturan atau pun norma-norma yang 
mengatur kehidupan individu). 

Tipe pertama adalah bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Inilah corak bunuh 
diri akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang dilakukan individu. 
Maksudnya, individu tidak cukup untuk melakukan pengikatan diri dengan kelompok 
sosial. Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma serta 
tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya.

Kedua, bunuh diri altruistik (altruistic suicide) sebagai hasil dari integrasi 
sosial yang terlalu kuat. Individu sedemikian menyatu dengan kelompok sosial, 
sehingga kehilangan pandangan terhadap keberadaan individualitas mereka 
sendiri. Puncaknya mendorong untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya. 

Contoh, bunuh diri yang dilakukan kalangan anggota militer. Fenomena ini sering 
dilakukan tentara Jepang pada PD II dengan melakukan aksi kamikaze untuk 
menghancurkan kekuatan musuh. 

Ketiga adalah bunuh diri anomik (anomic suicide) yang berarti bunuh diri yang 
dilakukan ketika tatanan, hukum-hukum, serta berbagai aturan moralitas sosial 
mengalami kekosongan. 

Terdapat empat jenis bunuh diri yang disebabkan situasi anomik ini, yakni a) 
anomi ekonomis akut , yang berarti kemerosotan secara sporadis pada kemampuan 
lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial 
pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. 

b)Anomi ekonomis kronis, yang maknanya adalah kemerosotan regulasi moral yang 
berjalan dalam jangka waktu lama. Misalnya saja Revolusi Industri yang 
menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan untuk meraih kekayaan dan 
milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan bahagia. 

Tidak aneh misalnya, jika saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada 
orang yang kaya daripada orang-orang yang miskin. 

c)Anomi domestik akut, yang dapat dipahami sebagai perubahan yang sedemikian 
mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada ketidakmampuan untuk 
melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda merupakan contoh 
terbaik dari kondisi anomi semacam ini. 

d)Anomi domestik kronis yang dapat dirujuk pada kasus pernikahan sebagai 
institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan kebutuhan 
seksual dan perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan. 

Seringkali yang terjadi adalah lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian 
mengekang kehidupan perempuan, sehingga membatasi peluang-peluang dan 
tujuan-tujuan hidup mereka. 

Tipe keempat adalah bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide) yang merupakan 
akibat dari regulasi atau pengaturan yang berjalan secara kontinyu dan 
berlebihan terhadap kehidupan individu. 

Di sini individu merasakan hidupnya tidak berharga karena sedemikian tertindas 
atau dibatasi ruang geraknya.

Fenomena banyak orang yang mengakhiri hidupnya secara tragis tak terlepas dari 
fakta bahwa masyarakat di kota-kota besar mengalami tekanan sosial atau tekanan 
kelompok yang sangat serius. (Triyono Lukmantoro, 2005) 

Tekanan hidup bersumber dari banyaknya beban hidup karena hidup sebagian besar 
orang kian berorientasi pada materi. Celakanya, masyarakat tidak pernah dididik 
emotional intelligence ,karena itu tidak termasuk bagian dari proses pendidikan 
masyarakat Indonesia. Padahal, dari pendidikan kecerdasan emosi itulah 
diharapkan memecahkan masalah hidup yang riil. Karena tak ada materi itu, 
mereka tidak punya life skills, rapuh jiwanya, sehingga mudah terguncang. 

Di sisi lain, masyarakat mestinya mempunyai katup pengaman masalah sosial, 
yakni keluarga. Akan tetapi, konsep ini tidak berjalan maksimal karena keluarga 
sudah tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat yang aman. 

Penderitaan hidup sepertinya ditanggung sendiri. Fungsi sosialisasi dengan 
masyarakat dan tetangga juga mengalami kemacetan. 

Mestinya, jika ada orang dewasa yang yang mengalami problem psikologis, 
tetangga-tetangganyalah yang menolong. Namun, pola inipun macet. Baik di 
perkotaan dengan masyarakat individualis maupun pedesaan yang sama-sama orang 
miskin, solidaritas semacam ini sudah menghilang. 

Pasalnya, meski tetangga tahu ada sebuah keluarga terbelit masalah, yang muncul 
hanya ketidakpedulian. Perasaan tidak peduli ini, bisa terjadi karena beberapa 
hal. 

Misalnya, takut dianggap mencampuri masalah rumah tangga lain, atau mereka 
sendiri bermasalah. Misalnya ada keluarga terbelit utang dan tiap hari ribut. 
Tetangga sebelahnya yang juga punya masalah ekonomi, mana mampu membantu, wong 
mereka juga terjerat problem yang sama. Sedangkan tetangga yang lebih kaya, 
hampir pasti lebih banyak tidak peduli. 

Terbatasnya ruang publik yang dapat menjadi sarana hiburan murah, membuat 
masalah ini makin kronis karena jarang ada keluarga yang dapat 
mengonsolidasikan kehidupan keluarganya.

Dengan demikian, kasus bunuh diri siswa merefleksikan kondisi masyarakat kita 
secara keseluruhan. Manajemen hidup bermasyarakat perlu dikelola lebih baik. 
Pada sisi ini, juga lunturnya sosok keteladanan merupakan salah satu penyebab 
mengapa bunuh diri kian marak. Disamping itu, terjadi kemerosotan lembaga 
keluarga. 

Sebagai unit terkecil sosial, lembaga keluarga tak bisa memberikan rasa aman. 
Masyarakat tak memiliki tempat berlabuh dalam menghadapi himpitan sosial. Pada 
sisi lain, fungsi sosialisasi dalam keluarga tak berjalan efektif. Banyak orang 
kehilangan pegangan tata nilai. Juga terjadi anomali dalam lingkungan sosial. 
Individualisme, korupsi, hedonisme, materialisme, dan merosotnya keteladanan 
hidup. 

Ketika ada sebagian orang menderita kemiskinan, kekurangan, sementara 
sekelompok lain menikmati hidup hidup dengan gelimang kemewahan, meski dengan 
korupsi. Padahal secara formal dan verbal soal-soal kebersamaan, kesahajaan, 
kerja keras, dan kepatuhan masih coba ditanamkan. Masyarakat pun dihadapkan 
pada ambiguitas. Dalam kondisi demikian, sajian televisi makin memperburuk 
keadaan. Saat ini, orangtua lebih sibuk mencari uang akibat deraan krisis 
berkepanjangan, sehingga banyak orang terasing dari pergaulan sosial. 

Pertanyaannya adalah, apakah semua ini adalah fenomena deviasi belaka atau 
sebetulnya kita ini sedang dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi. 
Kita khawatir mereka ini bukan sekadar satu butir kegagalan dari satu tandan 
kelapa.

Kita khawatir mereka adalah puncak dari sebuah gunung es. Sedang terjadi sebuah 
anomali yang tidak kita sadari. Kita bisa terjebak dalam lumpur kesusahan. Kita 
menyaksikan keterpurukan ekonomi tak kunjung usai. 

Pendapatan perkapita kita terus merosot. Sedangkan biaya hidup terus meningkat. 
Kebebasan berekspresi dan informasi telah menjadikan televisi sebagai trend 
setter. Semua itu mempengaruhi gaya hidup secara masif. (11)

- Paulus Mujiran, S.Sos, MSi, alumnus Program Pascasarjana Universitas 
Diponegoro, pengamat sosial. 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Bunuh Diri sebagai Jalan Keluar