** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suaramerdeka.com/harian/0601/20/opi3.htm Bunuh Diri sebagai Jalan Keluar Oleh Paulus Mujiran BUNUH diri yang dewasa ini menggejala amat memprihatinkan. Terakhir seorang ibu di Gunung Kidul, Rubiyem (33), mengajak ketiga anaknya bunuh diri dengan cara minum racun tikus. Kini, bunuh diri dipandang sebagian masyarakat sebagai salah satu jalan keluar mengatasi masalah yang dihadapinya. Bunuh diri dipandang potret masyarakat gagal. Fungsi sosialisasi, tata nilai, dan relasi-relasi personal tak lagi mendalam. Manusia dihargai bukan oleh nilai-nilai kemanusiaan, melainkan oleh kedudukan, kekayaan, martabat dan status sosial. Lunturnya penghargan individu menjadi pemicu orang tidak lagi berharga di mata orang lain. Selain itu, tatanan sosial dalam tingkatan yang lebih global dianggap sangat kacau dan malahan cenderung tanpa moralitas, yang mendorong pelaku bunuh diri dijadikan sebagai pilihan terbaik. Dalam bahasa yang lain, corak kapitalisme global yang semakin memiskinkan mereka yang lemah dan terus memperkaya mereka yang berdaya agaknya semakin memojokkan mereka sebagai kelompok sosial yang termarjinalisasikan. Nilai-nilai kejujuran dan keutamaan etis seolah-olah mengalami peminggiran. Bukankah kapitalisme global secara struktural semakin memperkaya mereka yang serakah dengan semboyan serakah adalah bagus (greedy is good)? Dalam keadaan semacam inilah hidup dirasakan begitu absurd. mustahil, ta masuk akal, yang bermakna sebagai sesuatu yang tidak sepantasnya terjadi dan layak dijalani, serta sulit untuk dijelaskan dan di-hadapi dengan hati nurani yang jernih. Bahkan realitas absurd itu pada akhirnya menjadi semacam irasionalitas. Sebabnya adalah keputusan yang dianggap terbaik justru tidak mempunyai kesesuai-an dengan tuntutan serta situasi yang tersedia. Apa yang dipikirkan serta dinilai secara moral sebagai kebaikan justru sama sekali tidak ditemukan dalam dunia yang serba chaos semacam ini. Emile Durkheim (1858-1917) melalui bukunya yang berjudul Suicide yang terbit pada tahun 1897, mendefinisikan bunuh diri sebagai "kematian yang secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari tindakan positif atau negatif dari sang korban itu sendiri". Empat Tipe Durkheim mencoba untuk melakukan analisis terhadap bunuh diri yang selama ini secara eksklusif didasarkan pada sudut pandang psikologis dan individualistik. Ini berarti bunuh diri merupakan gejala sosial yang dikerangkai oleh kondisi atau struktur kemasyarakatan yang melingkupinya. Menurut Durkheim ada empat tipe bunuh diri yang didasarkan pada dua kekuatan sosial sekaligus, yakni integrasi sosial (kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat) dan regulasi moral (aturan-aturan atau pun norma-norma yang mengatur kehidupan individu). Tipe pertama adalah bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Inilah corak bunuh diri akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang dilakukan individu. Maksudnya, individu tidak cukup untuk melakukan pengikatan diri dengan kelompok sosial. Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma serta tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya. Kedua, bunuh diri altruistik (altruistic suicide) sebagai hasil dari integrasi sosial yang terlalu kuat. Individu sedemikian menyatu dengan kelompok sosial, sehingga kehilangan pandangan terhadap keberadaan individualitas mereka sendiri. Puncaknya mendorong untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya. Contoh, bunuh diri yang dilakukan kalangan anggota militer. Fenomena ini sering dilakukan tentara Jepang pada PD II dengan melakukan aksi kamikaze untuk menghancurkan kekuatan musuh. Ketiga adalah bunuh diri anomik (anomic suicide) yang berarti bunuh diri yang dilakukan ketika tatanan, hukum-hukum, serta berbagai aturan moralitas sosial mengalami kekosongan. Terdapat empat jenis bunuh diri yang disebabkan situasi anomik ini, yakni a) anomi ekonomis akut , yang berarti kemerosotan secara sporadis pada kemampuan lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. b)Anomi ekonomis kronis, yang maknanya adalah kemerosotan regulasi moral yang berjalan dalam jangka waktu lama. Misalnya saja Revolusi Industri yang menggerogoti aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan untuk meraih kekayaan dan milik pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan bahagia. Tidak aneh misalnya, jika saat itu angka bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya daripada orang-orang yang miskin. c)Anomi domestik akut, yang dapat dipahami sebagai perubahan yang sedemikian mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada ketidakmampuan untuk melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda merupakan contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini. d)Anomi domestik kronis yang dapat dirujuk pada kasus pernikahan sebagai institusi atau lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan kebutuhan seksual dan perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan. Seringkali yang terjadi adalah lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian mengekang kehidupan perempuan, sehingga membatasi peluang-peluang dan tujuan-tujuan hidup mereka. Tipe keempat adalah bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide) yang merupakan akibat dari regulasi atau pengaturan yang berjalan secara kontinyu dan berlebihan terhadap kehidupan individu. Di sini individu merasakan hidupnya tidak berharga karena sedemikian tertindas atau dibatasi ruang geraknya. Fenomena banyak orang yang mengakhiri hidupnya secara tragis tak terlepas dari fakta bahwa masyarakat di kota-kota besar mengalami tekanan sosial atau tekanan kelompok yang sangat serius. (Triyono Lukmantoro, 2005) Tekanan hidup bersumber dari banyaknya beban hidup karena hidup sebagian besar orang kian berorientasi pada materi. Celakanya, masyarakat tidak pernah dididik emotional intelligence ,karena itu tidak termasuk bagian dari proses pendidikan masyarakat Indonesia. Padahal, dari pendidikan kecerdasan emosi itulah diharapkan memecahkan masalah hidup yang riil. Karena tak ada materi itu, mereka tidak punya life skills, rapuh jiwanya, sehingga mudah terguncang. Di sisi lain, masyarakat mestinya mempunyai katup pengaman masalah sosial, yakni keluarga. Akan tetapi, konsep ini tidak berjalan maksimal karena keluarga sudah tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat yang aman. Penderitaan hidup sepertinya ditanggung sendiri. Fungsi sosialisasi dengan masyarakat dan tetangga juga mengalami kemacetan. Mestinya, jika ada orang dewasa yang yang mengalami problem psikologis, tetangga-tetangganyalah yang menolong. Namun, pola inipun macet. Baik di perkotaan dengan masyarakat individualis maupun pedesaan yang sama-sama orang miskin, solidaritas semacam ini sudah menghilang. Pasalnya, meski tetangga tahu ada sebuah keluarga terbelit masalah, yang muncul hanya ketidakpedulian. Perasaan tidak peduli ini, bisa terjadi karena beberapa hal. Misalnya, takut dianggap mencampuri masalah rumah tangga lain, atau mereka sendiri bermasalah. Misalnya ada keluarga terbelit utang dan tiap hari ribut. Tetangga sebelahnya yang juga punya masalah ekonomi, mana mampu membantu, wong mereka juga terjerat problem yang sama. Sedangkan tetangga yang lebih kaya, hampir pasti lebih banyak tidak peduli. Terbatasnya ruang publik yang dapat menjadi sarana hiburan murah, membuat masalah ini makin kronis karena jarang ada keluarga yang dapat mengonsolidasikan kehidupan keluarganya. Dengan demikian, kasus bunuh diri siswa merefleksikan kondisi masyarakat kita secara keseluruhan. Manajemen hidup bermasyarakat perlu dikelola lebih baik. Pada sisi ini, juga lunturnya sosok keteladanan merupakan salah satu penyebab mengapa bunuh diri kian marak. Disamping itu, terjadi kemerosotan lembaga keluarga. Sebagai unit terkecil sosial, lembaga keluarga tak bisa memberikan rasa aman. Masyarakat tak memiliki tempat berlabuh dalam menghadapi himpitan sosial. Pada sisi lain, fungsi sosialisasi dalam keluarga tak berjalan efektif. Banyak orang kehilangan pegangan tata nilai. Juga terjadi anomali dalam lingkungan sosial. Individualisme, korupsi, hedonisme, materialisme, dan merosotnya keteladanan hidup. Ketika ada sebagian orang menderita kemiskinan, kekurangan, sementara sekelompok lain menikmati hidup hidup dengan gelimang kemewahan, meski dengan korupsi. Padahal secara formal dan verbal soal-soal kebersamaan, kesahajaan, kerja keras, dan kepatuhan masih coba ditanamkan. Masyarakat pun dihadapkan pada ambiguitas. Dalam kondisi demikian, sajian televisi makin memperburuk keadaan. Saat ini, orangtua lebih sibuk mencari uang akibat deraan krisis berkepanjangan, sehingga banyak orang terasing dari pergaulan sosial. Pertanyaannya adalah, apakah semua ini adalah fenomena deviasi belaka atau sebetulnya kita ini sedang dihadapkan pada persoalan yang lebih besar lagi. Kita khawatir mereka ini bukan sekadar satu butir kegagalan dari satu tandan kelapa. Kita khawatir mereka adalah puncak dari sebuah gunung es. Sedang terjadi sebuah anomali yang tidak kita sadari. Kita bisa terjebak dalam lumpur kesusahan. Kita menyaksikan keterpurukan ekonomi tak kunjung usai. Pendapatan perkapita kita terus merosot. Sedangkan biaya hidup terus meningkat. Kebebasan berekspresi dan informasi telah menjadikan televisi sebagai trend setter. Semua itu mempengaruhi gaya hidup secara masif. (11) - Paulus Mujiran, S.Sos, MSi, alumnus Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, pengamat sosial. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **