[nasional_list] [ppiindia] Bubble Politics" Presiden Yudhoyono

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 16 Feb 2005 01:42:32 +0100

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

Rabu, 16 Februari 2005

"Bubble Politics" Presiden Yudhoyono
Oleh Dedy N Hidayat

PEMILIHAN Umum 2004 telah menciptakan mode of power production yang kian 
mengandalkan "gelembung politik" (bubble politics). Melalui kampanye dan 
manajemen persepsi, realitas Susilo Bambang Yudhoyono telah "digelembungkan" 
menjadi citra unggulan, yang dipertarungkan merebut investasi dukungan suara 
di bursa politik.

Proses rasional pemilihan presiden memang seolah telah direduksi menjadi 
sekadar masalah periklanan dan kehumasan. Dengan dana kampanye yang kian 
membengkak, realitas para kandidat direkayasa menjadi citra-citra unggulan. 
Alhasil, muncul diskrepansi, atau gap, antara citra kandidat yang tertanam 
dalam persepsi pemilih dan realitas potensi kinerja yang dimilikinya. 
Masalahnya akan muncul bila pemenang pemilu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 
gagal menciptakan ekuilibrium "gelembung" atau gap antara citra yang 
dimiliki dan realitas kinerjanya.

Memang selalu ada mekanisme koreksi diri yang menjaga supaya gap antara 
citra SBY (beserta ekspektasi yang melekat pada citranya) dan realitas 
kinerja pemerintahannya tetap berada dalam kondisi berimbang (atau 
near-equilibrium condition). Antara lain, mengutip Soros, publik mengamati 
kinerja pemenang pemilu tidak seperti yang dicitrakan atau diharapkan, 
tetapi tetap memberi toleransi, dengan cara menyesuaikan harapannya (George 
Soros, The Bubble of American Supremacy, 2004). Dalam konteks Indonesia, 
toleransi semacam itu juga didasari kesetiaan primordial, khususnya untuk 
segmen tertentu di partai-partai "tradisional", seperti pendukung Megawati 
dalam PDI-P (yang bersemboyan "pejah gesang nderek Bu Mega", atau "mati 
hidup ikut Bu Mega"). Namun, segmen fanatik serupa tampak belum tumbuh cukup 
kuat di antara pendukung SBY.

Bila ekuilibrium terlampaui, "gelembung" SBY akan "mengempis" atau justru 
"meletup". Probabilitas terjadinya political crash (yang memaksa presiden 
mundur sebelum waktunya) akibat guncangnya ekuilibrium citra-realitas SBY, 
saat ini memang masih bisa dikesampingkan. Tetapi akibat lain, seperti 
turunnya dukungan publik terhadap kebijakan-kebijakan SBY, melemahnya 
bantuan kalangan pro-SBY dalam menghadapi sikap kritis kelompok oposan, 
ataupun ditariknya investasi suara pada pemilu mendatang, semuanya patut 
diperhitungkan serius.

"Boom" dan "bust"
Berbeda dengan Megawati, SBY memasuki bursa Pemilu 2004 saat mengalami boom, 
yang antara lain ditunjukkan oleh besarnya dukungan dalam perolehan berbagai 
jajak pendapat. Nyaris semuanya berkat citra SBY sebagai sosok yang dinilai 
berjiwa pemimpin, mandiri, santun, moderat, dan punya emotional quotient 
tinggi dalam menghadapi konflik. Lebih penting lagi, SBY ditampilkan dalam 
citra tokoh perubahan.

Di lain pihak, Megawati dan PDI-P ketika itu telah melampaui masa boom, dan 
memasuki periode bust; antara lain akibat runtuhnya ekuilibrium antara citra 
sebagai tokoh partainya wong cilik yang berorientasi kerakyatan, dan 
realitas Megawati yang elitis serta kebijakan-kebijakan yang dinilai para 
pakar lebih didasarkan paham ekonomi neo-liberalisme (lihat al, Revrisond 
Baswir, "Paham Ekonomi Partai Dalam Konteks Bisnis dan Politik", Jurnal 
Reformasi Ekonomi, Vol 5/1; 2004).

Namun hanya sesaat setelah dilantik, ekuilibrium antara citra dan realitas 
SBY sebagai tokoh perubahan mulai terganggu. Tepatnya dalam proses 
penyusunan kabinet, ketika SBY ditampilkan media seolah just another 
politician, sama seperti umumnya politikus lain, yang tunduk pada realitas 
politik "dagang sapi". Apalagi kabinet yang akhirnya tersusun dinilai bukan 
sebuah dream team untuk melakukan perubahan.

Citra SBY tentu juga terkait dengan citra dan kinerja para pembantunya. 
Kasus seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla yang merangkap jabatan Ketua Umum 
Partai Golkar memang bukan hal baru. Namun, bagi citra SBY sebagai tokoh 
perubahan, pengulangan praktik lama semacam itu bisa melunturkan ekspektasi 
publik akan perubahan. Meskipun langkah Wakil Presiden akan memperkuat 
dukungan parlemen, namun dukungan publik-yang notabene juga sumber 
legitimasi politik bagi parlemen-mungkin justru melemah.

Masalah serupa juga muncul ketika pemerintahan SBY bersikeras, bahkan 
memperlihatkan arogansi kekuasaan, untuk melanjutkan ujian akhir nasional 
(UAN) dalam bentuk ujian nasional (UN). Padahal, berbagai kalangan publik 
dan pakar mengamati hal itu sebagai pertanda tidak akan ada pembaruan atau 
perubahan dalam bidang pendidikan. Keduanya dinilai sebagai upaya pintas 
yang salah jalur dalam meningkatkan mutu pendidikan dan hanya akan 
menghamburkan biaya.

Ekuilibrium citra-kinerja SBY sebagai tokoh perubahan juga akan semakin 
terganggu bila memunculkan tendensi bangkitnya paradigma Orde Baru. 
Contohnya bila SBY menyetujui serangkaian Rancangan Peraturan Pemerintah 
(RPP) yang memuat kewenangan pemerintah untuk menguasai proses perizinan 
penyiaran dan untuk memberi sanksi pada lembaga penyiaran. Kewenangan itu 
semua melecehkan produk hukum paradigma reformasi (Undang-Undang Nomor 32 
Tahun 2002) yang menetapkan bahwa izin penyiaran diberikan oleh negara 
(bukan executive branch of government) melalui Komisi Penyiaran Indonesia, 
dan yang sama sekali tidak menetapkan wewenang bagi pemerintah untuk memberi 
sanksi kepada lembaga penyiaran.

SBY juga telah terjebak ritual "seratus hari pertama". Dampaknya, ia 
dipojokkan dalam citra bagai Presiden Roosevelt, yang dalam seratus hari 
mampu mengembalikan kepercayaan publik melalui kebijakan-kebijakan terobosan 
(New Deal-Keynesian economy) untuk mengatasi depresi ekonomi negaranya 
akibat kegagalan ekonomi pasar liberal. Padahal, kabinet SBY, yang banyak 
diisi pengusaha itu, belum mampu membuat terobosan "ideologi" pembangunan, 
masih terbelenggu kaidah ekonomi pasar neo-liberal, seperti tercermin 
melalui sikap pemerintah seputar swastanisasi, liberalisasi, dan pengurangan 
berbagai subsidi. Itu pun diperparah oleh "ideologi ekonomi" para menteri 
dan pembantu SBY, seperti yang mencuat melalui ucapan agar "... nasionalisme 
dikantongi saja", atau "Kalau tak mampu beli ya jangan pakai Elpiji..."

Fundamental politik
Hal-hal di atas hanyalah sebagian dari persoalan yang berpotensi menurunkan 
citra SBY sebagai tokoh perubahan. Namun, itu mungkin ikut memengaruhi 
totalitas penilaian terhadap SBY. Jajak pendapat harian ini, contohnya, 
menemukan indikasi tingkat kepuasan terhadap kinerja dan juga tingkat 
keyakinan terhadap kemampuan SBY dalam menangani berbagai persoalan bangsa 
mengalami penurunan cukup signifikan selama 100 hari pertama pemerintahannya 
(lihat Kompas, 28/1).

Dengan liberalisasi politik, khususnya penerapan sistem pemilihan langsung, 
suara pemilih sebagai the currency of politics telah mengalami apresiasi 
nilai. Karenanya, yang "fundamental" bagi suatu rezim politik bukan lagi 
hanya pencapaian-pencapaian politik seperti dukungan Dewan Perwakilan 
Rakyat, ataupun kinerja perbaikan ekonomi, tetapi juga pemantapan citra 
Presiden dalam persepsi publik yang akan melakukan investasi dukungan suara 
mereka, baik melalui pemilu, jajak pendapat, ataupun unjuk rasa.

Dengan sistem pemilihan Presiden langsung, indikasi meningkatnya mobilitas 
investasi suara juga semakin terlihat, antara lain dari beralihnya pendukung 
Megawati ke SBY, dan juga menurunnya, perolehan suara partai-partai 
"tradisional" yang semata-mata mengandalkan loyalitas primordial tanpa 
mengolahnya menjadi sebuah citra baru. Mobilitas itu pun bukan semata 
disebabkan perubahan citra atau perubahan kinerja, tetapi juga runtuhnya 
ekuilibrium antara citra dan kinerja.

Siklus boom and bust juga akan berlaku untuk bubble politics SBY. Setelah 
boom Pemilu 2004, SBY mungkin akan memasuki periode bust bila dia gagal 
menjaga ekuilibrium antara citra dan kinerja. Pertama, bila kinerja SBY 
kurang baik, namun di lain pihak terus "memompa" citra tokoh perubahan 
dengan janji-janji yang memperbesar ekspektasi publik. Kedua, bila kinerja 
SBY mengha- silkan perubahan nyata, tetapi menemui masalah komunikasi, atau 
terganggu citra para pembantunya, dalam memasyarakatkan prestasi tersebut 
untuk merawat citranya sebagai tokoh perubahan di mata publik.

Tentu SBY boleh mengatakan "I don't care" dengan semua hal di atas bila tak 
berniat mencalonkan diri sebagai presiden untuk kedua kalinya, dan ingin 
sejarah menulis dirinya sebagai just another president.

Dedy N Hidayat Dosen Pascasarjana Komunikasi UI
Search :







Berita Lainnya :
·TAJUK RENCANA
·REDAKSI YTH
·Merekonstruksi Tata Ruang Aceh
·"Bubble Politics" Presiden Yudhoyono
·Ketika Ujian Nasional Sebuah Keharusan
·POJOK










Design By KCM
Copyright © 2002 Harian KOMPAS

 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Bubble Politics" Presiden Yudhoyono