[nasional_list] [ppiindia] ?Biarkan seribu bunga berkembang, tumbuh dan mekar bersama?

  • From: Mira Wijaya Kusuma <la_luta@xxxxxxxxx>
  • To: sastra pembebasan <sastra-pembebasan@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Wed, 2 Feb 2005 11:07:59 -0800 (PST)

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **

http://endonesa.net/news.php?cod=90

19/06/2004 23:46 - Sapihan Memori, Narasi Menuju
Humanisme

Dikirim oleh the_klompen        
        ?Biarkan seribu bunga berkembang, tumbuh dan mekar
bersama?[1]

sebuah pengantar dari pameran klinik seni Taxu
 
Pengantar

Kami membayangkan kutipan di atas mewakili utopia
tentang kebebasan dan kesamarataan untuk memperoleh
hak hidup, hak untuk tumbuh bersama. Konteks
pernyataan itu untuk mengekspresikan suara-suara,
momen, gerakan, ingatan dan pengakuan terhadap yang
hilang, terbungkam dan tersisih. Sepanjang perjalanan
sejarah peradaban manusia di atas sebuah idea bernama
Negara Kesatuan Republik Indonesia, segudang catatan
bisa diajukan untuk meyakinkan pendapat bahwa terdapat
banyak suara yang dibungkam, manusia yang dikalahkan,
ingatan yang dipendam dan dokumen yang tidak diungkap.
Salah satunya adalah massacre besar-besaran ? secara
sistematis dan efisien ? terhadap orang yang dituduh
anggota dan simpatisan PK (Partai Komunis) Indonesia
yang terjadi dari November '65 s/d April '66. Pada
setiap jengkal tanah pertiwi ini tersimbah darah "anak
bangsa yang tidak diperkenankan tumbuh?.

Peristiwa itu sangat pantas untuk dikenang dan
dijadikan sebuah pelajaran tentang betapa kelamnya
sejarah kemanusiaan di tanah air ini. Berbagai cerita
dan ingatan hadir menjadi sapihan-sapihan yang
tersebar dalam relung-relung memori tentang kebengisan
terhadap korban. Cerita tentang mereka tersumbat oleh
versi resmi dari penguasa, rezim otoriter yang
kemudian mencap mereka sebagai ?pemberontak?, ?tidak
bersih lingkungan? dan menjadi warga negara kelas dua.
Cerita tentang nasib para ?pemberontak? itu sendiri
justru kemudian jarang kita dengar[2]. Ingatan kita
dijejali film sadis genre Mc Carthyism ala Hollywood
untuk terus memompa fobia kita pada komunisme
(communisto phobia), gambaran bias tentang kekejaman
perempuan Gerwani dalam menyiksa para jendral serta
mengutuk dan menyumpahi ekstrem komunis untuk
mengaburkan tindakan balas dendam berupa tragedi
pembantaian -yang justru lebih brutal dan massal-
terhadap mereka yang dituduh sebagai "pemberontak"
itu.

Bali yang selalu dikesankan sebagai daerah yang unik
dengan budaya berbeda atau bahkan peruntungan yang
berbeda dari kawasan lain di Indonesia, rupanya tidak
bisa menghindar dari tragedi yang sama. Bali, The Last
Paradise, harus kehilangan seratus ribu nyawa atau
kira-kira delapan persen dari penduduknya. Itu berarti
satu diantara setiap dua belas orang Bali direnggut
hidupnya, atau rata-rata satu orang Bali dalam setiap
lima belas detik menemui ajalnya selagi kekerasan itu
berlangsung[3]. Arcadia dengan aliran sungai darah

Ketika membahas rencana event ini, terpampang jelas
bagaimana dilema yang akan hadapi Klinik Seni Taxu
kalau tetap bersikeras mengangkat tema itu[4]. Saat
itu terjadi perdebatan internal seputar konsekuensi
etis yang akan diterima dalam pengungkapan sejarah
kelam yang dikemas dalam bentuk event pameran seni
visual. Sudah pasti akan muncul kesan eksploitatif
terhadap ?korban?. Bagaimana kira-kira perasaan
sanak-keluarga korban yang hilang atau dibunuh? Apakah
nanti tidak akan menyinggung perasaan para "alumni"
kamp konsentrasi Pulau Buru -Gulagnya Indonesia?
Apakah secara politic benar-benar correct?

Untuk itulah event ini mencoba memakai perspektif
humanisme, nilai dasar kemanusiaan. Dan sebisa mungkin
mengurangi gambaran kekerasan yang vulgar, jargon
politik yang dangkal dan "teks" yang terlampau
gamblang agar tidak terjebak menjadi sangat Ngarifin
C. Noer. Esensi dari event ini adalah mengungkap
kesadaran manusia akan sejarahnya yang kelam,
pengorbanan, tangis dan darah sanak saudara yang
kehilangan orang-orang yang dicintai. Event ini
didedikasikan untuk para korban dan keluarganya.

Event Memasak dan Sejarah dari Klinik Seni Taxu yang
dipamerkan di Cemeti Art House dari 9 Juni s/d 4 Juli
'04 ini berangkat dari perdebatan panjang tentang
tragedi kemanusiaan itu. Dari riset lapangan, diskusi
dengan korban yang masih selamat, ke lokasi kuburan
massal di Bali, tercipta sebuah gagasan mengeksplorasi
tema ini dengan perspektif humanisme. Begitu
kompleksnya, sehingga dalam penulisan pengantar
kuratorial ini harus kami garap bertiga.

Memasak dan Sejarah

Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Jembrana, Desa
Tegalbadeng. Disebuah bilik rumah sederhana yang
digunakan untuk tempat pemujaan. Dari dalam rumah
pemujaan itu, keluar seorang lelaki renta, dia tidak
lain adalah Mangku Tila. Pak Mangku, begitu Ia biasa
dipanggil ternyata seorang balian (dukun tradisional
di Bali) dan juga menjadi pemangku (pendeta dalam
Hindu Bali) di Pura Dalem Tegalbadeng.

Kami kemudian mulai berbincang. Tanpa sadar mengarah
pada Gestok, Gerakan 1 Oktober 1965. Pak Mangku pun
mulai bercerita. ?Tiang akeh nulungin nak dadi tameng
dumun. Tiang uning ragane sane merintah tiang dumun
ngered bangke. Mangkin hidupne megaburan. Penyakit
buduh, gegodan niskala ngelinder di keluargane. Matine
sane uning tiang dados tameng dumun kegele-gele.
Wenten masih sane mangkin sane jaya ulian serakah
kesugian suud Gestok, dadi pejabat di desa,? (Saya
banyak membantu orang yang dulu menjadi tameng. Saya
tahu dia yang merintah saya dulu menyeret mayat.
Sekarang hidupnya hancur. Sakit gila, godaan alam gaib
berputar dikeluarganya. Matinya yang saya tahu jadi
tameng dulu tersiksa. Ada juga yang sekarang berjaya,
serakah dengan kekayaan setelah Gestok (G30S), jadi
pejabat di desa)[5].

Mulailah Mangku Tila bercerita. Tegalbadeng sempat
tenang beberapa minggu dari Agustus 1965 sampai ada
berita di Tegalbadeng Timur pada awal Oktober 1965 ada
surat yang berisi daftar 220 KK yang masuk ?kena
garis? dan harus dibantai. 220 KK, 300 orang dibantai
Tameng (satgas, pemuda desa yang dilatih tentara untuk
membantai), tentara (RPK) di Tegalbadeng Timur dan
Desa Baluk. Pembantaian pada Oktober 1965 itu langsung
dibawah komando militer, RPK, yang dilakukan di tanah
seluas 10 are yang sudah dipasangi patok-patok dari
bambu. Kini di tempat pembantaian itu berdiri megah
Balai Desa Baluk, Kantor Kepala Desa Baluk. Di
depannya terpampang megah bangunan beton dengan
lambang Garuda Pancasila dan Bali menuju Sapta Pesona
dan Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah).
?Mereka yang kena garis dibawa dari seluruh desa di
Tegalbadeng jam 8 malam. Jam 9 sampai 10 malam, tali
yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata
dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai jam 5
pagi oleh tameng yang memakai topi hitam, celana
panjang hitam bersenjatakan ?klewang? (pedang), cerita
Mangku Tila datar dalam bahasa Bali. ?Tiang dulu ingat
dan menyaksikan sendiri saat menyeret mayat-mayat yang
harus dikubur. Kepala orang disandarkan dan dipegang
dan kemudian dipenggal oleh klewang,? ujar Mangku
Tila.

Narasi dan memori itulah yang terekam dalam ingatan
Mangku Tila, para korban dan juga saksi sejarah
pembantaian PK. Soe Hok Gie bahkan menyebutkan
penyembelihan dalam pembantaian massal di Bali .
??Akan tetapi, diakhir tahun 1965 dan sekitar
permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah
terjadi suatu malapetaka yang mengerikan, suatu
penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya
dalam zaman modern ini baik dari waktu yang begitu
singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih.
Peperangan???[6]

Narasi itu juga yang kemudian menjadi bahan penting
dalam karya kolektif video dan performance art dalam
pameran ini. Video berdurasi 17 menit ini terbagai
dalam dua narasi yang berbeda, namun ditampilkan dalam
waktu yang bersamaan. Setting yang pertama menampilkan
wawancara dengan Mangku Tila yang bercerita tentang
bagaimana situasi saat Gestok dan pembantaian PK di
Desa Tegalbadeng, Kabupaten Negara Bali. Sedangkan
film yang kedua menampilkan lokasi kuburan massal pada
suatu daerah di Bali, dilanjutkan dengan aktivitas
memasak makanan tradisional Bali dari bahan Ketela
Pohon. Dimana di dalam tanah itu terkubur puluhan
bahkan ratusan mayat, tulang belulang manusia yang
dibantai saat malam-malam mencekam tahun 1965-1966 di
Bali. Dalam beberapa dekade setelah peristiwa
pembantaian itu lahan tersebut masyarakat sekitarnya,
kemudian difungsikan menjadi lahan
perkebunan/pertanian. Yang menarik dari sana adalah,
hasil pangan (Ketela Pohon) dari perkebunan yang
dulunya lokasi kuburan massal ini, ternyata
menghasilkan Umbi yang subur dan kemudian dipasarkan
kepada masyarakat luas. Namun masyarakat yang berada
di sekitar lokasi dan yang menanamnya sendiri tidak
mau memakan hasil pangan tersebut.

Secara singkat poin penting karya video ini adalah
mencoba mengetengahkan dan mencari keterkaitan antara
sejarah kelam bangsa Indonesia, berupa serpihan
narasi-narasi kecil seperti diceritakan oleh Mangku
Tila, yang dengan sengaja dibungkam demi
?kepentingan?. Sehingga masyarakatpun menjadi enggan
untuk menceritakannya, walau menyadari narasi besar
tersebut sarat dengan distorsi yang diakibatkan oleh
kepentingan para penguasa. Dan narasi yang tersimpan
pada bahan makanan dari lokasi kuburan massal yang
kemudian dimasak menjadi makanan dihadapan kita. Namun
kita tidak pernah menyadari ternyata menyimpan narasi
yang berkaitan dengan narasi sejarah.

Karya video ini menjadi latar dalam performance
memasak umbi ketela pohon yang pada saat pembukaan
pameran. Kedua karya ini memang sangat berkaitan yaitu
bagaimana kemudian realitas dalam video hadir dalam
suasana yang real time pada performance memasak umbi
ketela pohon, yang selanjutnya dihidangkan untuk para
audien. Sembari menyantap hidangan para audien
diharapkan kemudian menyadari darimana dan bagaimana
proses makanan yang telah disantapnya. Dan melihat
bagimana kemudian reaksi mereka setelah tahu makanan
yang dimakannya, ternyata tumbuh dengan subur di
dengan pupuk-pupuk kesuburan mayat manusia korban
pembantaian. Unsur shock, keterkejutan, ketegangan,
bahkan kengerian, kemualan, atau kejijikan dari
audienlah yang ingin dicapai dalam permainan drama
semalam saat pembukaan pameran ini.

Audien diharapkan membayangkan bagaimana rasanya
menyantap makanan (ketela pohon) yang terhidang di
counter-counter supermarket, makanan kafe-kafe gaul
anak muda yang ternyata tumbuh awalnya di atas pupuk
tulang belulang manusia. Selain itu, karya video ini
ingin menunjukkan tentang pengungkapan kebenaran,
saksi dan juga lokasi pembantaian tersebut sebagai
sebuah pengungkapan sejarah, penuturan/sejarah lisan
(oral history). Catatan ini semakin menemukan arti
pentingnya ditengah gencarnya pengungkapan kebenaran
oleh para korban peristiwa 1965. Paling tidak hadirnya
video art ini membawa spirit untuk terus-menerus
mengungkap sejarah yang kelam, tahun-tahun tak
terlupakan.

Penggunaan medium video bisa menjadi catatan yang
menarik dalam event ini. Paling tidak keberanian
kawan-kawan Klinik Seni Taxu untuk menampilkan medium
video?relatif baru bagi mereka. Di tengah-tengah
kelatahan menggunakan medium video dalam komunitas
seni new mediart di Indonesia, baik yang sekadar
tren/passion, gaul ataupun dengan serius mencoba
mengangkat Seni Video dalam kontelasi perkembangan
seni rupa di Indonesia khususnya. Pemilihan medium
video dalam event ini adalah cara/strategi saja untuk
menyampaikan pesan kepada audien, karena kekuatan
komunikatifnya dalam penampilkan dan meyampaikan
realitas.

Karya video ini dibuat dalam setting semi dokumenter
dengan tampilan yang simbolik, menuju penggungkapan
yang lebih subtil. Penggunaaan simbolik ?memasak?,
?umbi ketela pohon?, jauh dari sarkastik, kekerasan,
dan berdarah-darah walaupun mengungkap pembunuhan
adalah bukti dari sensibilitas tersebut, yang diramu
dengan sentuhan tradisi Bali, untuk mendekatkan
konteks dimana peristiwa tersebut terjadi.

Selain karya video dan performance art yang bisa
dikatakan menjadi karya utama dalam pameran ini,
beberapa anggota Taxu juga menampilkan beberapa karya
garapan pribadi, berupa instalasi, lukisan, wood cut,
potocofi/print, dan objek, yang lebih bersifat
mendungkung tema besar pameran ini. Meskipun terkesan
agak tumpang tindih, hadirnya karya-karya pribadi ini
dimaksudkan dapat menjadi stimulan, semacam prakondisi
atau bahkan mungkin sebaliknya, yang nantinya dapat
membuka kesadaran audien pada satu setting besar dari
pameran ini yaitu tragedi 65. Lewat keberagaman ini
Taxu ingin menegaskan bahwa medium (ideom) diletaknya
cenderung sebagai cara untuk mengungkapkan gagasan,
yang posisinya sama. Meskipun ada yang ditempatkan
sebagai karya utama, secara kebetulan saja medium ini
cenderung lebih representatif untuk mengetengahkan
gagasan dari pameran ini.

Serpihan-Serpihan Narasi

Di Desa Keramas Kabupaten Gianyar terdapat sebuah
pantai yang bernama Pantai Masceti. Di pantai itu
terdapat Pura Masceti (pura pantai untuk menyembah
Dewa Baruna/Dewa Laut). Bersebelahan dengan Pura
Masceti itulah, tersemai lahan bergunduk dan tumbuh
subur tanaman pantai. Rumput dan tanaman tajam
menyengat kaki ketika kami menerobos lahan kosong itu.
Sampai kemudian kami berdiri di depan gundukan tanah,
dimana tanaman tumbuh subur di atasnya. Menurut cerita
dari orang-orang tua, konon ?disamping Pura Masceti,
itulah orang-orang PK dulu dibunuh.? Kami tidak
percaya dan masih ragu.

Akhirnya kami bertemu dengan seorang kakek penggarap
tanah di daerah tersebut. Di depan ladang dan hamparan
sawah yang menghijau, ada pohon kelapa besar dengan
jurang yang lumayan dalam di depannya. Di sebelahnya
tersemai rerumputan yang tumbuh subur seluas kurang
lebih 15 meter. ?Dulu Tiang menyaksikan di sini
bangkai-bangkai dibuang dan kemudian ditanam,?[7]
tutur seorang Kakek penggarap tanah tersebut dengan
pelan menunjuk jurang dan hamparan tanah yang hanya
ditumbuhi rumput. Sore hari sebelum pembantaian itu,
katanya, krama (warga) desa tedun ngayah (keluar
bekerja). Kulkul (kentongan) dibunyikan dan krama
keluar dengan pakaian adat membawa cangkul dan sabit.
Semuanya berjalan biasa-biasa saja, padahal malam
sampai pagi, bangbang (lubang besar) itu akan ditimbun
mayat-mayat anggota krama yang dituduh terlibat PK.

Kini situasi di tempat kuburan massal itu memang biasa
saja bagi orang yang tidak mengetahuinya. Tapi tidak
demikian dengan yang mempunyai masa lalu, memori
ataupun pengalaman menyedihkan terhadap hamparan tanah
di pinggir Pantai Masceti tersebut.

Merekam ingatan dengan menghadirkan berbagai benda
sebagai kenangan, memorabilia, memento atau souvenir
sudah umum dilakukan orang. Dalam karyanya Muliana
Bayak mencoba menangkap tabiat fethis para turis itu
dengan mengais-ngais sampah, mengorek-ngorek tanah,
ranting-ranting atau buah kelapa tua dan segala macam
benda remeh-temeh yang didapatnya di Pantai Masceti.
kemudian ia jalin, untai dan tata sedemikian rupa
sebagai sebuah instalasi. Bayak kemudian merespon
bahan-bahan tersebut menjadi sebuah karya instalasi
merespon sumur yang ada di Cemeti Art House. Sumur
menjadi obyek yang diresponnya mengingatkan pada
cerita dari Mangku Tila, saat menyeret-nyeret mayat
untuk dibuang ke sumur-sumur di rumah-rumah penduduk
di Tegalbadeng.

?Dengan menggunakan ikon-ikon/simbol-simbol Bali yang
telah ada dan telah lebih dahulu dieksploitasi oleh
seniman-seniman Bali, namun sekarang saya mencoba
dalam posisi/sudut pandang lebih sedikit kritis
menggunakan dan mempertanyakannya kembali
simbol-simbol tersebut, seperti dalam karya yang
menggunakan Damar kurung (lampu kurung, digunakan pada
upacara ngaben) atau dengan menggunakan batok/buah
kelapa, tanaman ketela pohon yang sangat erat
berkaitan dengan memori tempat terjadinya
pembunuhan/kuburan.? Ungkapnya sembari menegaskan
alasannya mengambil ideom tradisi yang ditampilkan
dengan sangat ?eklektik?. Dengan menggunakan
barang-barang/benda-benda yang diambil dari
ladang/lokasi tersebut, dimaksudkan untuk lebih
menggungkap dan menekankan efek psikologis dari karya
ini. Seolah-olah Bayak sedang merangkai sesajen dari
hasil bumi yang berpupukkan tulang dan darah.

Jauh dari kesan kekerasan dan menampilkan ?kehidupan?
dalam ruang pameran, itulah yang coba dilakukan oleh
Sri Yoga Parta yang bekerjasama dengan Ketut Moniarta.
Dengan merespon halaman yang ada di depan ruang masuk
pameran di Cemeti Art House, menghadirkan ruang
?hidup? tanaman ketela pohon dan sebuah umbi ketela
yang diblowup dari ukuran sebenarnya. Tujuannya adalah
untuk mendekatkan audien dengan suasana lahan
perkebunan yang notabene di bawahnya adalah kuburan
massal sehingga sehingga menghasilkan umbi-umbi yang
besar.

************

Pada awal Desember 2003, di Banjar Mekar Sari
Perancak, Kabupaten Jembrana. Desa di tepi pantai itu
yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Di
bibir Pantai Muara Perancak,[8] seorang nelayan
melihat tonjolan tulang di tepi pantai. Tanpa curiga,
beberapa nelayan kemudian membantu menggalinya dengan
bambu dan cangkul. Karena tanahnya yang gembur di
pesisir pantai, mereka cepat menemukan tulang-tulang
yang lain yang ke dalamnya hanya 10 cm. Mereka
kemudian menemukan sepasang potongan tulang paha yang
panjangnya sekitar 37 cm dan 30 cm. Dalam lubang 10 cm
itu juga ditemukan serpihan tulang jari, pinggul, dan
tulang belakang. Sayangnya warga tidak menemukan
tulang tengkorak. Saat penemuan, kondisi tulang-tulang
tersebut masih terbentuk. Namun karena penggalian,
posisi tulang jadi berantakan.

Warga Perancak pun ribut, berbagai spekulasi dan
dugaan asal tulang itu bermunculan. Satu dugaan kuat
adalah tentang sejarah Pantai Muara Perancak. Zaman
Gestok dulu, pantai pelabuhan nelayan di Kabupaten
Negara ini terkenal sebagai ladang pembantaian PK yang
paling sadis. Dengan lubang seadanya, mereka kemudian
dikubur bertumpuk-tumpuk. Kini, ketika tulang-tulang
ditemukan tanpa kepala, tidak menutup kemungkinan
lambat laun tidak penggalian kuburan massal yang
terjadi di Bali, tapi?karena sangat dangkalnya lubang
kuburan--, tulang-tulang akan muncul kepermukaan
dengan sendirinya.

Lalu, siapa yang membantai siapa? Siapa yang menjadi
korban siapa? Bagaimana ingatan mereka tentang
peristiwa itu? Tentu saja para tameng itu kini diam
seribu bahasa, sungguh sulit untuk mengorek keterangan
dari mereka. Bagaimana keadaan mereka
sekarang?Melongok ke tahun 60-an kita harus memahami
situasi global saat itu, perang dingin antara blok
Barat dengan komunis. Ada grand strategy oleh
tangan-tangan tidak kelihatan. Ada krisis Cuba yang
lebih dikenal sebagai Peristiwa Teluk Babi, kemenangan
Paman Ho atas Paman Sam di Vietnam, Efek Domino dll.
Situasi lokal saat itu merupakan replika bentrok
global itu. Sedangkan pelaku-korban di sini juga cuma
pion-pion ynag tak paham situasi.

Perspektif yang tidak hitam-putih inilah yang coba
diangkat Dewa NGK Ardana. Ia menghadirkan karya potret
seorang pembantai yang juga sanak familinya. Dengan
menghadirkan karya potret seorang pembantai (Tameng),
ini Dewa ingin menceritakan narasi yang berbeda dari
seorang Tameng yang berusaha menyelamatkan desanya
dari penbantaian oleh Tameng dari desa lain. Di sini
terbesit dualismenya posisi seorang tameng antara
tugas dan rasa kemanusiaan, namun toh akhirnya ia
harus menetapkan pilihannya. Jadi tidak menutup
kemungkinan Tameng waktu itu juga merupakan ?korban?,
ada sebuah ungkapan lumrah saat tragedi mencekam itu,
?ngematiang atau matiange? (membunuh atau dibunuh).

Hal ini menarik karena dalam usaha rekonsiliasi selama
ini, narasi cenderung menjadi timpang ketika hanya
merujuk pada pihak korban semata, tanpa pernah
berusaha mendengar juga narasi dari para pelaku. Yang
ternyata juga punya rahasia sendiri, dan mungkin juga
hanya menjadi korban dari setting besar oleh pihak
berkepentingan pada peristiwa tersebut. Ardana yang
baru saja memamerkan karya-karya terbarunya dalam
sebuah pameran berjudul Ruang Antara kembali mencoba
memainkan jarak intim dari "ruang psikologis" antara
pelaku yang masih sanak familinya dengan dia sebagai
seniman.

Perspektif yang hampir sama juga hadir dalam karya Gd.
Puja dalam karya lukisnya yang terdiri dari lima
panel, Puja menghadirkan paradoksnya posisi korban dan
pelaku saat ini. Puja yang selama ini berusaha
konsisten mengembangkan pendekatan grafis pada
karya-karyanya, kali kembali hadir dengan pendekatan
yang sama dengan warna-warna yang agak ngepop (cerah).
Dalam gencarnya perjuangan atas nama rekonsliasi oleh
para ?elit? korban yang tampil dalam acara-acara besar
seperti seminar, mereka kemudian hadir bak bintang
dengan suara lantang menyerukan rekonsiliasi dan
penyusunan ulang sejarah.

Point inilah yang berusaha dihadirkan Puja dalam
karyanya, dengan mengambarkan sesosok wajah siluet
pada bidang kanvas seukuran 100X150 cm, di samping
kiri dan kanannya terdapat empat kanvas kecil yang
berukuran 20X25 cm, berisikan potret korban yang
sekarang menghimpun diri dalam wadah LPKP Bali. Hal
ini semakin ditegaskan dengan teks ?STAR? yang
tertulis pada sisi atas bidang lukisannya, dan
penggunaan warna cerah yang sebenarnya kontradiksi
dengan suasana pembunuhan masal di masa G 30 S PK.
Mungkin inilah realitasnya yang terjadi saat ini para
?elit? korban saat ini telah hadir bak bintang, akan
tetapi bagaimana ditingkat yang paling bawah (grass
root). Sejauhmana pemahaman mereka dengan wacana
rekonsliasi, atau jangan-jangan selama ini rekonsliasi
tersebut telah terjadi secara alamiah ?, atau malah
sebaliknya ?

Sementara Dodit Artawan hadir dengan karyanya yang
menggunakan bahan beras. Sembari mengingat pelajaran
waktu masa SD dulu dengan penuh ketelitian Dodit
menyusun butiran beras untuk selanjutnya digambari
sesosok tangan yang sedang menyabit padi. Karya ini
langsung mengingatkan kita pada gaya karya-karya
seniman Lekra, karena memang mengambil pendekatan
realiame sosialis. Hal ini telihat kuat dengan pilihan
subject matternya. Dalam karyanya yang lain Dodit
mengambarkan sebuah botol pecah, dimana dia
terngiang-ngiang dengan cerita dari para Tameng yang
terlebih dulu meminum ?arak? (minuman keras) sebelum
membunuh, begitu juga setelah usai pembunuhan para
Tameng ini kemudian berpesta kembali. ?Jadi kembali
dalam setiap yang namanya kekesaran memang tidaklah
jauh dari yang namanya minuman keras?, ujarnya.

Pandekatan yang sama dapat dilihat dalam karyanya
Moniarta dengan memakai teknik cetak cukil kayu yang
menggambarkan umbi dan daun ketela pohon. Teknik cukil
kayu ini adalah salah satu teknik yang digunakan para
seniman Lekra untuk membuat poster, pamlet-pamlet
mendukung kebijakan Soekarno.[9] Dengan warna mencolok
seperti merah, karya-karya cukil kayu ini memang mampu
memberikan nilai provokatif dengan gambar umbi dan
daun ketela pohon (mengidentikan dengan makanan kaum
proletar).

Dari rangkaian pembunuhan sadis, efektif dan biaya
murah itulah muncul statistik jumlah-jumlah korban
yang mencengkan. 40.000-80.000 sampai 100.000 manusia
mati sia-sia dalam pembantaian besar-besaran selama
enam bulan di Bali. Bahkan The New York Time, satu
media di Amerika, tanggal 13 Januari 1966 dengan
mengutip seorang ahli Inggris menyebutkan manusia yang
tewas dalam tragedi 1965 itu 150.000. Sedangkan para
pemimpin Bali menyebutkan 100.000 tewas. [10]

Dalam upayanya mengenang para korban, Wayan Suja
mengumpulkan statistik nama-nama korban PK di Bali
yang diprint dalam kertas stiker. Kemudian ditempelkan
pada dinding ruang pameran dengan latar belakang
hitam. Karya ini bisa menjadi semacam monumen untuk
orang-orang yang mati dalam pembantaian PK di Bali.

**********

Upacara agama adalah senjata sakti untuk kembali
menata harmoni, keseimbangan kosmologis di Bali.
Khususnya untuk pembantaian PK, bagi msayarakat Bali
adalah ?Politik? yang diasosiasikan adalah chaos,
kebrutalan dan perusak tatanan harmoni masyarakat
Bali. Pertarungan politik 1965 menjadi poin sendiri
bagaimana masyarakat Bali menutup semua cerita pedih
kerabat korban yang kehilangan anak, cucu, suami,
keponakan dengan upacara nyapuh (pembersihan) yang
dilakukan serentak di seluruh Bali awal tahun 1979.
Dengan melakukan ngaben nyapuh, bukan hanya suasana
duka yang membayanginya, tetapi juga menyentuh kembali
ingatan khalayak akan luka sosial yang menimpa mereka
(para korban yang hilang dalam G30S). Prosesi kremasi
tanpa jenazah sepertinya melegitimasi politik negara
bahwa roh para komunis sudah wajar disapu bersih
karena mereka membuat cemar bumi pertiwi.[11]

Untuk menunjukkan ini, menarik melihat contoh politik
upacara yang dilakukan di Bali tahun 1979. Saat itu,
perhelatan ritual besar Hindu Bali, Eka Dasa Rudra dan
Panca Bali Krama dilangsungkan sangat politis dan
menjadi awal penataan harmoni dan pembersihan
noda-noda sejarah di Bali. Saat itulah dilakukan
upacara nyapuh jagad, upacara pembersihan dunia, dari
musibah, bencana alam yang disebabkan oleh kala (Dewa
Kejahatan). Termasuk dalam upacara nyapuh jagad ini
adalah pembersihan para korban pembantaian PK yang
mayatnya sudah ataupun belum ditemukan. Sama dengan
ngaben tanpa mayat Satpam Sari Club dalam Bom Bali
Oktober 2002. Upacara ini serentak dilakukan diseluruh
Bali dengan negera, pemerintah daerah Bali bersama
lembaga Hindu, PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia)
sebagai pengerak dan pelaksana upacara.

Politik upacara dengan peranan agama, negara dalam
?pembersihan? terhadap komunis menjadi titik picu bagi
karya objek Putu Sumiantara. Dalam karyanya, Ia
memajang dua sanggah surya (tempat pemujaan sederhana
terbuat dari rangkaian bambu) yang juga dipakai dalam
ritual pembakaran mayat (ngaben), lengkap dengan
banten (sesaji) namun dalam hal ini bukan dimaksudkan
untuk persembahyangan. Tetapi kembali menampilkan
nilai simbolik dari serpihan ideom-ideom yang dipakai
dalam prosesi upacara pe-ngaben-an tersebut. Dengan
memakai objek sebenarnya dari tradisi ritual Bali,
diharapkan dapat merepresentasikan narasi, tentang
peranan agama dengan ritualnya dalam melakukan
?pembersihan? secara agama bagi mereka yang dituduh
orang ?kiri?.

Penutup

Karena dari awal, tragedi kekerasan dan pembantaian
ini tidak diungkap dari perspektif politik, violence,
maka itupun tercermin dalam karya-karya yang
dipamerkan, karena pada intinya memang tidak
mengekspose kekerasan dari tragedi tersebut. Tapi
lebih bermain dalam wilayah simbolik, hal ini bisa
dilihat gambar-gambar video maupun dalam karya
instalasi para peserta pameran ini. Cara yang dipakai
dalam mensubtilkan maksud, esensi dengan menggunakan
simbol-simbol kekerasan memang sedikit kontradiktif
dengan tujuan yang diharapkan: keterkejutan,
ketegangan bahkan kejijikan. Inilah tatangannya
bagaimana menimbulkan shock dengan cara yang lebih
subtil, apakah berhasil ? saya kira semuanya
tergantung pada kesadaran para audien.

Akhirnya event ini tidak akan berarti apa-apa jika
dalam lubuk hati terdalam kita masih menyisakan dendam
sesama kita. Dan tradisi dendam akan melahirkan anak
yang juga bernama dendam. Selayaknya kita berjiwa
besar untuk dan menundukkan kepala bagi tragedi
kemanusiaan di negara ini. Tidak hanya pembantaian PK,
tapi juga segudang kekerasan, penindasan yang terjadi
di negeri ini.Event ini adalah secuil dari rangkaian
cerita dan gerakan untuk menggugat kesadaran kita akan
kemanusiaan. Semoga berguna?

Kurator
I Ngurah Suryawan
Seriyoga Parta
Hendra

[1] Kutipan pendapat dari Martin Aleida, Eks dan
sastrawan dalam diskusi bulanpurnama (Dbp) Jaringan
Kerja Budaya (JKB) pada 18 Januari 2002 tentang
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kembali diucapakan
oleh Hilmar Farid untuk menutup diskusi.

[2] Saya banyak terbantu dengan dua buku ?sejarah
empati? dari Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah
Indonesia dan Soeharto, Sisi Gelap Sejarah Indonesia,
Ombak, Maret 2004 dan artikel Maria Hartinignsih,
Membaca Sejarah yang Membebaskan, Kompas, Senin 27
Oktober 2003.

[3] Degung Santikarma, Kehilangan Rekonsiliasi, Kompas
28 September 2003

[4] Hal itu terungkap dalam rapat pembahasan/penajaman
tema pameran dengan bahasa visual yang dihasilkan
dimana saya ikut hadir di Klinik Seni Taxu 8 Januari
2004.

[5] Wawancara Klinik Seni Taxu dengan Mangku Tila di
Desa Tegalbadeng, Kabupaten Jembrana, pada 18 dan 28
Februari 2004. Mangku Tila kini tinggal bersama istri,
anak , menantu dan cucunya di tiga bilik rumah
sederhana. Ia mengaku juga dijadikan penasehat
spiritual pengusaha dan bos-bos yang punya usaha
didesanya. Menariknya, bagunan-bangunan tempat usaha
itu, menurut pengakuan Mangku Tila, berdiri diatas
tempat korban pembantain PKI di Desa Tegalbadeng.
Wawancara itulah kemudian menjadi bahan untuk
pembuatan video art.

[6] Lebih lengkap lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan,
Bentang 1995. Lihat artikel Disekitar Pembantaian
Besar-Besaran di Bali dalam buku tersebut..

[7] Tiga kali saya dan kawan-kawan Taxu mengunjungi
pantai ini saat ada upacara agama ditempat tersebut,
10,13 dan 23 Februari 2004. Dua kunjungan terakhir
disertai dengan pengambilan gambar saat berlangsungnya
upacara hingga malam. Tangal 23 Februari 2004, kami
memandangi dengan sepuasnya lokasi pembantaian,
gundukan tanah yang tinggi. Disinilah puluhan korban
dikubur setelah ditembak dan ditebas dengan klewang
oleh tameng dan tentara.

[8] Saya dan kawan-kawan Taxu sempat mengunjungi
Pantai tersebut pada 28 Februari 2004 sebelum
mengunjungi Mangku Tila di Desa Tegalbadeng. Dari
hasil ngobrol dengan para nelayan di tempat tersebut,
sangat kuat dugaan mereka bahwa tulang-belulang
manusia yang ditemukan itu adalah korban Gestok,
pembantaian di setra (kuburan) Perancak didekat
pantai.

[9] Hal ini terungkap dalam serangkaian wawancara
dengan Bapak Raka Suasta, seniman Lekra-Bali pada 15
Maret, 26 April dan 25 Mei 2004.

[10] Lebih lengkap Hermawan Sulistyo, Palu Arit di
Ladang Tebu, Gramedia 2000:Halaman 44-46, juga dokumen
Arnold C.Brackman, Corrnel Papar, Di Balik Kolapsnya
PKI, 2000. Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Bentang 1995
halaman 164-165.

[11] Lebih jauh lihat Degung Santikarma, ?Sweeping?
Bali, ?Sekala? dan ?Niskala?, Bentara Kompas 7 April
2004




                
__________________________________ 
Do you Yahoo!? 
Yahoo! Mail - Find what you need with new enhanced search.
http://info.mail.yahoo.com/mail_250


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] ?Biarkan seribu bunga berkembang, tumbuh dan mekar bersama?