** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** http://endonesa.net/news.php?cod=90 19/06/2004 23:46 - Sapihan Memori, Narasi Menuju Humanisme Dikirim oleh the_klompen ?Biarkan seribu bunga berkembang, tumbuh dan mekar bersama?[1] sebuah pengantar dari pameran klinik seni Taxu Pengantar Kami membayangkan kutipan di atas mewakili utopia tentang kebebasan dan kesamarataan untuk memperoleh hak hidup, hak untuk tumbuh bersama. Konteks pernyataan itu untuk mengekspresikan suara-suara, momen, gerakan, ingatan dan pengakuan terhadap yang hilang, terbungkam dan tersisih. Sepanjang perjalanan sejarah peradaban manusia di atas sebuah idea bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, segudang catatan bisa diajukan untuk meyakinkan pendapat bahwa terdapat banyak suara yang dibungkam, manusia yang dikalahkan, ingatan yang dipendam dan dokumen yang tidak diungkap. Salah satunya adalah massacre besar-besaran ? secara sistematis dan efisien ? terhadap orang yang dituduh anggota dan simpatisan PK (Partai Komunis) Indonesia yang terjadi dari November '65 s/d April '66. Pada setiap jengkal tanah pertiwi ini tersimbah darah "anak bangsa yang tidak diperkenankan tumbuh?. Peristiwa itu sangat pantas untuk dikenang dan dijadikan sebuah pelajaran tentang betapa kelamnya sejarah kemanusiaan di tanah air ini. Berbagai cerita dan ingatan hadir menjadi sapihan-sapihan yang tersebar dalam relung-relung memori tentang kebengisan terhadap korban. Cerita tentang mereka tersumbat oleh versi resmi dari penguasa, rezim otoriter yang kemudian mencap mereka sebagai ?pemberontak?, ?tidak bersih lingkungan? dan menjadi warga negara kelas dua. Cerita tentang nasib para ?pemberontak? itu sendiri justru kemudian jarang kita dengar[2]. Ingatan kita dijejali film sadis genre Mc Carthyism ala Hollywood untuk terus memompa fobia kita pada komunisme (communisto phobia), gambaran bias tentang kekejaman perempuan Gerwani dalam menyiksa para jendral serta mengutuk dan menyumpahi ekstrem komunis untuk mengaburkan tindakan balas dendam berupa tragedi pembantaian -yang justru lebih brutal dan massal- terhadap mereka yang dituduh sebagai "pemberontak" itu. Bali yang selalu dikesankan sebagai daerah yang unik dengan budaya berbeda atau bahkan peruntungan yang berbeda dari kawasan lain di Indonesia, rupanya tidak bisa menghindar dari tragedi yang sama. Bali, The Last Paradise, harus kehilangan seratus ribu nyawa atau kira-kira delapan persen dari penduduknya. Itu berarti satu diantara setiap dua belas orang Bali direnggut hidupnya, atau rata-rata satu orang Bali dalam setiap lima belas detik menemui ajalnya selagi kekerasan itu berlangsung[3]. Arcadia dengan aliran sungai darah Ketika membahas rencana event ini, terpampang jelas bagaimana dilema yang akan hadapi Klinik Seni Taxu kalau tetap bersikeras mengangkat tema itu[4]. Saat itu terjadi perdebatan internal seputar konsekuensi etis yang akan diterima dalam pengungkapan sejarah kelam yang dikemas dalam bentuk event pameran seni visual. Sudah pasti akan muncul kesan eksploitatif terhadap ?korban?. Bagaimana kira-kira perasaan sanak-keluarga korban yang hilang atau dibunuh? Apakah nanti tidak akan menyinggung perasaan para "alumni" kamp konsentrasi Pulau Buru -Gulagnya Indonesia? Apakah secara politic benar-benar correct? Untuk itulah event ini mencoba memakai perspektif humanisme, nilai dasar kemanusiaan. Dan sebisa mungkin mengurangi gambaran kekerasan yang vulgar, jargon politik yang dangkal dan "teks" yang terlampau gamblang agar tidak terjebak menjadi sangat Ngarifin C. Noer. Esensi dari event ini adalah mengungkap kesadaran manusia akan sejarahnya yang kelam, pengorbanan, tangis dan darah sanak saudara yang kehilangan orang-orang yang dicintai. Event ini didedikasikan untuk para korban dan keluarganya. Event Memasak dan Sejarah dari Klinik Seni Taxu yang dipamerkan di Cemeti Art House dari 9 Juni s/d 4 Juli '04 ini berangkat dari perdebatan panjang tentang tragedi kemanusiaan itu. Dari riset lapangan, diskusi dengan korban yang masih selamat, ke lokasi kuburan massal di Bali, tercipta sebuah gagasan mengeksplorasi tema ini dengan perspektif humanisme. Begitu kompleksnya, sehingga dalam penulisan pengantar kuratorial ini harus kami garap bertiga. Memasak dan Sejarah Di sebuah desa terpencil di Kabupaten Jembrana, Desa Tegalbadeng. Disebuah bilik rumah sederhana yang digunakan untuk tempat pemujaan. Dari dalam rumah pemujaan itu, keluar seorang lelaki renta, dia tidak lain adalah Mangku Tila. Pak Mangku, begitu Ia biasa dipanggil ternyata seorang balian (dukun tradisional di Bali) dan juga menjadi pemangku (pendeta dalam Hindu Bali) di Pura Dalem Tegalbadeng. Kami kemudian mulai berbincang. Tanpa sadar mengarah pada Gestok, Gerakan 1 Oktober 1965. Pak Mangku pun mulai bercerita. ?Tiang akeh nulungin nak dadi tameng dumun. Tiang uning ragane sane merintah tiang dumun ngered bangke. Mangkin hidupne megaburan. Penyakit buduh, gegodan niskala ngelinder di keluargane. Matine sane uning tiang dados tameng dumun kegele-gele. Wenten masih sane mangkin sane jaya ulian serakah kesugian suud Gestok, dadi pejabat di desa,? (Saya banyak membantu orang yang dulu menjadi tameng. Saya tahu dia yang merintah saya dulu menyeret mayat. Sekarang hidupnya hancur. Sakit gila, godaan alam gaib berputar dikeluarganya. Matinya yang saya tahu jadi tameng dulu tersiksa. Ada juga yang sekarang berjaya, serakah dengan kekayaan setelah Gestok (G30S), jadi pejabat di desa)[5]. Mulailah Mangku Tila bercerita. Tegalbadeng sempat tenang beberapa minggu dari Agustus 1965 sampai ada berita di Tegalbadeng Timur pada awal Oktober 1965 ada surat yang berisi daftar 220 KK yang masuk ?kena garis? dan harus dibantai. 220 KK, 300 orang dibantai Tameng (satgas, pemuda desa yang dilatih tentara untuk membantai), tentara (RPK) di Tegalbadeng Timur dan Desa Baluk. Pembantaian pada Oktober 1965 itu langsung dibawah komando militer, RPK, yang dilakukan di tanah seluas 10 are yang sudah dipasangi patok-patok dari bambu. Kini di tempat pembantaian itu berdiri megah Balai Desa Baluk, Kantor Kepala Desa Baluk. Di depannya terpampang megah bangunan beton dengan lambang Garuda Pancasila dan Bali menuju Sapta Pesona dan Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah). ?Mereka yang kena garis dibawa dari seluruh desa di Tegalbadeng jam 8 malam. Jam 9 sampai 10 malam, tali yang mengikat tangan mereka dan kain yang menutup mata dilepas. Mulailah dilakukan pembantaian sampai jam 5 pagi oleh tameng yang memakai topi hitam, celana panjang hitam bersenjatakan ?klewang? (pedang), cerita Mangku Tila datar dalam bahasa Bali. ?Tiang dulu ingat dan menyaksikan sendiri saat menyeret mayat-mayat yang harus dikubur. Kepala orang disandarkan dan dipegang dan kemudian dipenggal oleh klewang,? ujar Mangku Tila. Narasi dan memori itulah yang terekam dalam ingatan Mangku Tila, para korban dan juga saksi sejarah pembantaian PK. Soe Hok Gie bahkan menyebutkan penyembelihan dalam pembantaian massal di Bali . ??Akan tetapi, diakhir tahun 1965 dan sekitar permulaan tahun 1966, di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka yang mengerikan, suatu penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini baik dari waktu yang begitu singkat, maupun dari jumlah mereka yang disembelih. Peperangan???[6] Narasi itu juga yang kemudian menjadi bahan penting dalam karya kolektif video dan performance art dalam pameran ini. Video berdurasi 17 menit ini terbagai dalam dua narasi yang berbeda, namun ditampilkan dalam waktu yang bersamaan. Setting yang pertama menampilkan wawancara dengan Mangku Tila yang bercerita tentang bagaimana situasi saat Gestok dan pembantaian PK di Desa Tegalbadeng, Kabupaten Negara Bali. Sedangkan film yang kedua menampilkan lokasi kuburan massal pada suatu daerah di Bali, dilanjutkan dengan aktivitas memasak makanan tradisional Bali dari bahan Ketela Pohon. Dimana di dalam tanah itu terkubur puluhan bahkan ratusan mayat, tulang belulang manusia yang dibantai saat malam-malam mencekam tahun 1965-1966 di Bali. Dalam beberapa dekade setelah peristiwa pembantaian itu lahan tersebut masyarakat sekitarnya, kemudian difungsikan menjadi lahan perkebunan/pertanian. Yang menarik dari sana adalah, hasil pangan (Ketela Pohon) dari perkebunan yang dulunya lokasi kuburan massal ini, ternyata menghasilkan Umbi yang subur dan kemudian dipasarkan kepada masyarakat luas. Namun masyarakat yang berada di sekitar lokasi dan yang menanamnya sendiri tidak mau memakan hasil pangan tersebut. Secara singkat poin penting karya video ini adalah mencoba mengetengahkan dan mencari keterkaitan antara sejarah kelam bangsa Indonesia, berupa serpihan narasi-narasi kecil seperti diceritakan oleh Mangku Tila, yang dengan sengaja dibungkam demi ?kepentingan?. Sehingga masyarakatpun menjadi enggan untuk menceritakannya, walau menyadari narasi besar tersebut sarat dengan distorsi yang diakibatkan oleh kepentingan para penguasa. Dan narasi yang tersimpan pada bahan makanan dari lokasi kuburan massal yang kemudian dimasak menjadi makanan dihadapan kita. Namun kita tidak pernah menyadari ternyata menyimpan narasi yang berkaitan dengan narasi sejarah. Karya video ini menjadi latar dalam performance memasak umbi ketela pohon yang pada saat pembukaan pameran. Kedua karya ini memang sangat berkaitan yaitu bagaimana kemudian realitas dalam video hadir dalam suasana yang real time pada performance memasak umbi ketela pohon, yang selanjutnya dihidangkan untuk para audien. Sembari menyantap hidangan para audien diharapkan kemudian menyadari darimana dan bagaimana proses makanan yang telah disantapnya. Dan melihat bagimana kemudian reaksi mereka setelah tahu makanan yang dimakannya, ternyata tumbuh dengan subur di dengan pupuk-pupuk kesuburan mayat manusia korban pembantaian. Unsur shock, keterkejutan, ketegangan, bahkan kengerian, kemualan, atau kejijikan dari audienlah yang ingin dicapai dalam permainan drama semalam saat pembukaan pameran ini. Audien diharapkan membayangkan bagaimana rasanya menyantap makanan (ketela pohon) yang terhidang di counter-counter supermarket, makanan kafe-kafe gaul anak muda yang ternyata tumbuh awalnya di atas pupuk tulang belulang manusia. Selain itu, karya video ini ingin menunjukkan tentang pengungkapan kebenaran, saksi dan juga lokasi pembantaian tersebut sebagai sebuah pengungkapan sejarah, penuturan/sejarah lisan (oral history). Catatan ini semakin menemukan arti pentingnya ditengah gencarnya pengungkapan kebenaran oleh para korban peristiwa 1965. Paling tidak hadirnya video art ini membawa spirit untuk terus-menerus mengungkap sejarah yang kelam, tahun-tahun tak terlupakan. Penggunaan medium video bisa menjadi catatan yang menarik dalam event ini. Paling tidak keberanian kawan-kawan Klinik Seni Taxu untuk menampilkan medium video?relatif baru bagi mereka. Di tengah-tengah kelatahan menggunakan medium video dalam komunitas seni new mediart di Indonesia, baik yang sekadar tren/passion, gaul ataupun dengan serius mencoba mengangkat Seni Video dalam kontelasi perkembangan seni rupa di Indonesia khususnya. Pemilihan medium video dalam event ini adalah cara/strategi saja untuk menyampaikan pesan kepada audien, karena kekuatan komunikatifnya dalam penampilkan dan meyampaikan realitas. Karya video ini dibuat dalam setting semi dokumenter dengan tampilan yang simbolik, menuju penggungkapan yang lebih subtil. Penggunaaan simbolik ?memasak?, ?umbi ketela pohon?, jauh dari sarkastik, kekerasan, dan berdarah-darah walaupun mengungkap pembunuhan adalah bukti dari sensibilitas tersebut, yang diramu dengan sentuhan tradisi Bali, untuk mendekatkan konteks dimana peristiwa tersebut terjadi. Selain karya video dan performance art yang bisa dikatakan menjadi karya utama dalam pameran ini, beberapa anggota Taxu juga menampilkan beberapa karya garapan pribadi, berupa instalasi, lukisan, wood cut, potocofi/print, dan objek, yang lebih bersifat mendungkung tema besar pameran ini. Meskipun terkesan agak tumpang tindih, hadirnya karya-karya pribadi ini dimaksudkan dapat menjadi stimulan, semacam prakondisi atau bahkan mungkin sebaliknya, yang nantinya dapat membuka kesadaran audien pada satu setting besar dari pameran ini yaitu tragedi 65. Lewat keberagaman ini Taxu ingin menegaskan bahwa medium (ideom) diletaknya cenderung sebagai cara untuk mengungkapkan gagasan, yang posisinya sama. Meskipun ada yang ditempatkan sebagai karya utama, secara kebetulan saja medium ini cenderung lebih representatif untuk mengetengahkan gagasan dari pameran ini. Serpihan-Serpihan Narasi Di Desa Keramas Kabupaten Gianyar terdapat sebuah pantai yang bernama Pantai Masceti. Di pantai itu terdapat Pura Masceti (pura pantai untuk menyembah Dewa Baruna/Dewa Laut). Bersebelahan dengan Pura Masceti itulah, tersemai lahan bergunduk dan tumbuh subur tanaman pantai. Rumput dan tanaman tajam menyengat kaki ketika kami menerobos lahan kosong itu. Sampai kemudian kami berdiri di depan gundukan tanah, dimana tanaman tumbuh subur di atasnya. Menurut cerita dari orang-orang tua, konon ?disamping Pura Masceti, itulah orang-orang PK dulu dibunuh.? Kami tidak percaya dan masih ragu. Akhirnya kami bertemu dengan seorang kakek penggarap tanah di daerah tersebut. Di depan ladang dan hamparan sawah yang menghijau, ada pohon kelapa besar dengan jurang yang lumayan dalam di depannya. Di sebelahnya tersemai rerumputan yang tumbuh subur seluas kurang lebih 15 meter. ?Dulu Tiang menyaksikan di sini bangkai-bangkai dibuang dan kemudian ditanam,?[7] tutur seorang Kakek penggarap tanah tersebut dengan pelan menunjuk jurang dan hamparan tanah yang hanya ditumbuhi rumput. Sore hari sebelum pembantaian itu, katanya, krama (warga) desa tedun ngayah (keluar bekerja). Kulkul (kentongan) dibunyikan dan krama keluar dengan pakaian adat membawa cangkul dan sabit. Semuanya berjalan biasa-biasa saja, padahal malam sampai pagi, bangbang (lubang besar) itu akan ditimbun mayat-mayat anggota krama yang dituduh terlibat PK. Kini situasi di tempat kuburan massal itu memang biasa saja bagi orang yang tidak mengetahuinya. Tapi tidak demikian dengan yang mempunyai masa lalu, memori ataupun pengalaman menyedihkan terhadap hamparan tanah di pinggir Pantai Masceti tersebut. Merekam ingatan dengan menghadirkan berbagai benda sebagai kenangan, memorabilia, memento atau souvenir sudah umum dilakukan orang. Dalam karyanya Muliana Bayak mencoba menangkap tabiat fethis para turis itu dengan mengais-ngais sampah, mengorek-ngorek tanah, ranting-ranting atau buah kelapa tua dan segala macam benda remeh-temeh yang didapatnya di Pantai Masceti. kemudian ia jalin, untai dan tata sedemikian rupa sebagai sebuah instalasi. Bayak kemudian merespon bahan-bahan tersebut menjadi sebuah karya instalasi merespon sumur yang ada di Cemeti Art House. Sumur menjadi obyek yang diresponnya mengingatkan pada cerita dari Mangku Tila, saat menyeret-nyeret mayat untuk dibuang ke sumur-sumur di rumah-rumah penduduk di Tegalbadeng. ?Dengan menggunakan ikon-ikon/simbol-simbol Bali yang telah ada dan telah lebih dahulu dieksploitasi oleh seniman-seniman Bali, namun sekarang saya mencoba dalam posisi/sudut pandang lebih sedikit kritis menggunakan dan mempertanyakannya kembali simbol-simbol tersebut, seperti dalam karya yang menggunakan Damar kurung (lampu kurung, digunakan pada upacara ngaben) atau dengan menggunakan batok/buah kelapa, tanaman ketela pohon yang sangat erat berkaitan dengan memori tempat terjadinya pembunuhan/kuburan.? Ungkapnya sembari menegaskan alasannya mengambil ideom tradisi yang ditampilkan dengan sangat ?eklektik?. Dengan menggunakan barang-barang/benda-benda yang diambil dari ladang/lokasi tersebut, dimaksudkan untuk lebih menggungkap dan menekankan efek psikologis dari karya ini. Seolah-olah Bayak sedang merangkai sesajen dari hasil bumi yang berpupukkan tulang dan darah. Jauh dari kesan kekerasan dan menampilkan ?kehidupan? dalam ruang pameran, itulah yang coba dilakukan oleh Sri Yoga Parta yang bekerjasama dengan Ketut Moniarta. Dengan merespon halaman yang ada di depan ruang masuk pameran di Cemeti Art House, menghadirkan ruang ?hidup? tanaman ketela pohon dan sebuah umbi ketela yang diblowup dari ukuran sebenarnya. Tujuannya adalah untuk mendekatkan audien dengan suasana lahan perkebunan yang notabene di bawahnya adalah kuburan massal sehingga sehingga menghasilkan umbi-umbi yang besar. ************ Pada awal Desember 2003, di Banjar Mekar Sari Perancak, Kabupaten Jembrana. Desa di tepi pantai itu yang sebagian besar penduduknya adalah nelayan. Di bibir Pantai Muara Perancak,[8] seorang nelayan melihat tonjolan tulang di tepi pantai. Tanpa curiga, beberapa nelayan kemudian membantu menggalinya dengan bambu dan cangkul. Karena tanahnya yang gembur di pesisir pantai, mereka cepat menemukan tulang-tulang yang lain yang ke dalamnya hanya 10 cm. Mereka kemudian menemukan sepasang potongan tulang paha yang panjangnya sekitar 37 cm dan 30 cm. Dalam lubang 10 cm itu juga ditemukan serpihan tulang jari, pinggul, dan tulang belakang. Sayangnya warga tidak menemukan tulang tengkorak. Saat penemuan, kondisi tulang-tulang tersebut masih terbentuk. Namun karena penggalian, posisi tulang jadi berantakan. Warga Perancak pun ribut, berbagai spekulasi dan dugaan asal tulang itu bermunculan. Satu dugaan kuat adalah tentang sejarah Pantai Muara Perancak. Zaman Gestok dulu, pantai pelabuhan nelayan di Kabupaten Negara ini terkenal sebagai ladang pembantaian PK yang paling sadis. Dengan lubang seadanya, mereka kemudian dikubur bertumpuk-tumpuk. Kini, ketika tulang-tulang ditemukan tanpa kepala, tidak menutup kemungkinan lambat laun tidak penggalian kuburan massal yang terjadi di Bali, tapi?karena sangat dangkalnya lubang kuburan--, tulang-tulang akan muncul kepermukaan dengan sendirinya. Lalu, siapa yang membantai siapa? Siapa yang menjadi korban siapa? Bagaimana ingatan mereka tentang peristiwa itu? Tentu saja para tameng itu kini diam seribu bahasa, sungguh sulit untuk mengorek keterangan dari mereka. Bagaimana keadaan mereka sekarang?Melongok ke tahun 60-an kita harus memahami situasi global saat itu, perang dingin antara blok Barat dengan komunis. Ada grand strategy oleh tangan-tangan tidak kelihatan. Ada krisis Cuba yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Teluk Babi, kemenangan Paman Ho atas Paman Sam di Vietnam, Efek Domino dll. Situasi lokal saat itu merupakan replika bentrok global itu. Sedangkan pelaku-korban di sini juga cuma pion-pion ynag tak paham situasi. Perspektif yang tidak hitam-putih inilah yang coba diangkat Dewa NGK Ardana. Ia menghadirkan karya potret seorang pembantai yang juga sanak familinya. Dengan menghadirkan karya potret seorang pembantai (Tameng), ini Dewa ingin menceritakan narasi yang berbeda dari seorang Tameng yang berusaha menyelamatkan desanya dari penbantaian oleh Tameng dari desa lain. Di sini terbesit dualismenya posisi seorang tameng antara tugas dan rasa kemanusiaan, namun toh akhirnya ia harus menetapkan pilihannya. Jadi tidak menutup kemungkinan Tameng waktu itu juga merupakan ?korban?, ada sebuah ungkapan lumrah saat tragedi mencekam itu, ?ngematiang atau matiange? (membunuh atau dibunuh). Hal ini menarik karena dalam usaha rekonsiliasi selama ini, narasi cenderung menjadi timpang ketika hanya merujuk pada pihak korban semata, tanpa pernah berusaha mendengar juga narasi dari para pelaku. Yang ternyata juga punya rahasia sendiri, dan mungkin juga hanya menjadi korban dari setting besar oleh pihak berkepentingan pada peristiwa tersebut. Ardana yang baru saja memamerkan karya-karya terbarunya dalam sebuah pameran berjudul Ruang Antara kembali mencoba memainkan jarak intim dari "ruang psikologis" antara pelaku yang masih sanak familinya dengan dia sebagai seniman. Perspektif yang hampir sama juga hadir dalam karya Gd. Puja dalam karya lukisnya yang terdiri dari lima panel, Puja menghadirkan paradoksnya posisi korban dan pelaku saat ini. Puja yang selama ini berusaha konsisten mengembangkan pendekatan grafis pada karya-karyanya, kali kembali hadir dengan pendekatan yang sama dengan warna-warna yang agak ngepop (cerah). Dalam gencarnya perjuangan atas nama rekonsliasi oleh para ?elit? korban yang tampil dalam acara-acara besar seperti seminar, mereka kemudian hadir bak bintang dengan suara lantang menyerukan rekonsiliasi dan penyusunan ulang sejarah. Point inilah yang berusaha dihadirkan Puja dalam karyanya, dengan mengambarkan sesosok wajah siluet pada bidang kanvas seukuran 100X150 cm, di samping kiri dan kanannya terdapat empat kanvas kecil yang berukuran 20X25 cm, berisikan potret korban yang sekarang menghimpun diri dalam wadah LPKP Bali. Hal ini semakin ditegaskan dengan teks ?STAR? yang tertulis pada sisi atas bidang lukisannya, dan penggunaan warna cerah yang sebenarnya kontradiksi dengan suasana pembunuhan masal di masa G 30 S PK. Mungkin inilah realitasnya yang terjadi saat ini para ?elit? korban saat ini telah hadir bak bintang, akan tetapi bagaimana ditingkat yang paling bawah (grass root). Sejauhmana pemahaman mereka dengan wacana rekonsliasi, atau jangan-jangan selama ini rekonsliasi tersebut telah terjadi secara alamiah ?, atau malah sebaliknya ? Sementara Dodit Artawan hadir dengan karyanya yang menggunakan bahan beras. Sembari mengingat pelajaran waktu masa SD dulu dengan penuh ketelitian Dodit menyusun butiran beras untuk selanjutnya digambari sesosok tangan yang sedang menyabit padi. Karya ini langsung mengingatkan kita pada gaya karya-karya seniman Lekra, karena memang mengambil pendekatan realiame sosialis. Hal ini telihat kuat dengan pilihan subject matternya. Dalam karyanya yang lain Dodit mengambarkan sebuah botol pecah, dimana dia terngiang-ngiang dengan cerita dari para Tameng yang terlebih dulu meminum ?arak? (minuman keras) sebelum membunuh, begitu juga setelah usai pembunuhan para Tameng ini kemudian berpesta kembali. ?Jadi kembali dalam setiap yang namanya kekesaran memang tidaklah jauh dari yang namanya minuman keras?, ujarnya. Pandekatan yang sama dapat dilihat dalam karyanya Moniarta dengan memakai teknik cetak cukil kayu yang menggambarkan umbi dan daun ketela pohon. Teknik cukil kayu ini adalah salah satu teknik yang digunakan para seniman Lekra untuk membuat poster, pamlet-pamlet mendukung kebijakan Soekarno.[9] Dengan warna mencolok seperti merah, karya-karya cukil kayu ini memang mampu memberikan nilai provokatif dengan gambar umbi dan daun ketela pohon (mengidentikan dengan makanan kaum proletar). Dari rangkaian pembunuhan sadis, efektif dan biaya murah itulah muncul statistik jumlah-jumlah korban yang mencengkan. 40.000-80.000 sampai 100.000 manusia mati sia-sia dalam pembantaian besar-besaran selama enam bulan di Bali. Bahkan The New York Time, satu media di Amerika, tanggal 13 Januari 1966 dengan mengutip seorang ahli Inggris menyebutkan manusia yang tewas dalam tragedi 1965 itu 150.000. Sedangkan para pemimpin Bali menyebutkan 100.000 tewas. [10] Dalam upayanya mengenang para korban, Wayan Suja mengumpulkan statistik nama-nama korban PK di Bali yang diprint dalam kertas stiker. Kemudian ditempelkan pada dinding ruang pameran dengan latar belakang hitam. Karya ini bisa menjadi semacam monumen untuk orang-orang yang mati dalam pembantaian PK di Bali. ********** Upacara agama adalah senjata sakti untuk kembali menata harmoni, keseimbangan kosmologis di Bali. Khususnya untuk pembantaian PK, bagi msayarakat Bali adalah ?Politik? yang diasosiasikan adalah chaos, kebrutalan dan perusak tatanan harmoni masyarakat Bali. Pertarungan politik 1965 menjadi poin sendiri bagaimana masyarakat Bali menutup semua cerita pedih kerabat korban yang kehilangan anak, cucu, suami, keponakan dengan upacara nyapuh (pembersihan) yang dilakukan serentak di seluruh Bali awal tahun 1979. Dengan melakukan ngaben nyapuh, bukan hanya suasana duka yang membayanginya, tetapi juga menyentuh kembali ingatan khalayak akan luka sosial yang menimpa mereka (para korban yang hilang dalam G30S). Prosesi kremasi tanpa jenazah sepertinya melegitimasi politik negara bahwa roh para komunis sudah wajar disapu bersih karena mereka membuat cemar bumi pertiwi.[11] Untuk menunjukkan ini, menarik melihat contoh politik upacara yang dilakukan di Bali tahun 1979. Saat itu, perhelatan ritual besar Hindu Bali, Eka Dasa Rudra dan Panca Bali Krama dilangsungkan sangat politis dan menjadi awal penataan harmoni dan pembersihan noda-noda sejarah di Bali. Saat itulah dilakukan upacara nyapuh jagad, upacara pembersihan dunia, dari musibah, bencana alam yang disebabkan oleh kala (Dewa Kejahatan). Termasuk dalam upacara nyapuh jagad ini adalah pembersihan para korban pembantaian PK yang mayatnya sudah ataupun belum ditemukan. Sama dengan ngaben tanpa mayat Satpam Sari Club dalam Bom Bali Oktober 2002. Upacara ini serentak dilakukan diseluruh Bali dengan negera, pemerintah daerah Bali bersama lembaga Hindu, PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai pengerak dan pelaksana upacara. Politik upacara dengan peranan agama, negara dalam ?pembersihan? terhadap komunis menjadi titik picu bagi karya objek Putu Sumiantara. Dalam karyanya, Ia memajang dua sanggah surya (tempat pemujaan sederhana terbuat dari rangkaian bambu) yang juga dipakai dalam ritual pembakaran mayat (ngaben), lengkap dengan banten (sesaji) namun dalam hal ini bukan dimaksudkan untuk persembahyangan. Tetapi kembali menampilkan nilai simbolik dari serpihan ideom-ideom yang dipakai dalam prosesi upacara pe-ngaben-an tersebut. Dengan memakai objek sebenarnya dari tradisi ritual Bali, diharapkan dapat merepresentasikan narasi, tentang peranan agama dengan ritualnya dalam melakukan ?pembersihan? secara agama bagi mereka yang dituduh orang ?kiri?. Penutup Karena dari awal, tragedi kekerasan dan pembantaian ini tidak diungkap dari perspektif politik, violence, maka itupun tercermin dalam karya-karya yang dipamerkan, karena pada intinya memang tidak mengekspose kekerasan dari tragedi tersebut. Tapi lebih bermain dalam wilayah simbolik, hal ini bisa dilihat gambar-gambar video maupun dalam karya instalasi para peserta pameran ini. Cara yang dipakai dalam mensubtilkan maksud, esensi dengan menggunakan simbol-simbol kekerasan memang sedikit kontradiktif dengan tujuan yang diharapkan: keterkejutan, ketegangan bahkan kejijikan. Inilah tatangannya bagaimana menimbulkan shock dengan cara yang lebih subtil, apakah berhasil ? saya kira semuanya tergantung pada kesadaran para audien. Akhirnya event ini tidak akan berarti apa-apa jika dalam lubuk hati terdalam kita masih menyisakan dendam sesama kita. Dan tradisi dendam akan melahirkan anak yang juga bernama dendam. Selayaknya kita berjiwa besar untuk dan menundukkan kepala bagi tragedi kemanusiaan di negara ini. Tidak hanya pembantaian PK, tapi juga segudang kekerasan, penindasan yang terjadi di negeri ini.Event ini adalah secuil dari rangkaian cerita dan gerakan untuk menggugat kesadaran kita akan kemanusiaan. Semoga berguna? Kurator I Ngurah Suryawan Seriyoga Parta Hendra [1] Kutipan pendapat dari Martin Aleida, Eks dan sastrawan dalam diskusi bulanpurnama (Dbp) Jaringan Kerja Budaya (JKB) pada 18 Januari 2002 tentang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kembali diucapakan oleh Hilmar Farid untuk menutup diskusi. [2] Saya banyak terbantu dengan dua buku ?sejarah empati? dari Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia dan Soeharto, Sisi Gelap Sejarah Indonesia, Ombak, Maret 2004 dan artikel Maria Hartinignsih, Membaca Sejarah yang Membebaskan, Kompas, Senin 27 Oktober 2003. [3] Degung Santikarma, Kehilangan Rekonsiliasi, Kompas 28 September 2003 [4] Hal itu terungkap dalam rapat pembahasan/penajaman tema pameran dengan bahasa visual yang dihasilkan dimana saya ikut hadir di Klinik Seni Taxu 8 Januari 2004. [5] Wawancara Klinik Seni Taxu dengan Mangku Tila di Desa Tegalbadeng, Kabupaten Jembrana, pada 18 dan 28 Februari 2004. Mangku Tila kini tinggal bersama istri, anak , menantu dan cucunya di tiga bilik rumah sederhana. Ia mengaku juga dijadikan penasehat spiritual pengusaha dan bos-bos yang punya usaha didesanya. Menariknya, bagunan-bangunan tempat usaha itu, menurut pengakuan Mangku Tila, berdiri diatas tempat korban pembantain PKI di Desa Tegalbadeng. Wawancara itulah kemudian menjadi bahan untuk pembuatan video art. [6] Lebih lengkap lihat Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Bentang 1995. Lihat artikel Disekitar Pembantaian Besar-Besaran di Bali dalam buku tersebut.. [7] Tiga kali saya dan kawan-kawan Taxu mengunjungi pantai ini saat ada upacara agama ditempat tersebut, 10,13 dan 23 Februari 2004. Dua kunjungan terakhir disertai dengan pengambilan gambar saat berlangsungnya upacara hingga malam. Tangal 23 Februari 2004, kami memandangi dengan sepuasnya lokasi pembantaian, gundukan tanah yang tinggi. Disinilah puluhan korban dikubur setelah ditembak dan ditebas dengan klewang oleh tameng dan tentara. [8] Saya dan kawan-kawan Taxu sempat mengunjungi Pantai tersebut pada 28 Februari 2004 sebelum mengunjungi Mangku Tila di Desa Tegalbadeng. Dari hasil ngobrol dengan para nelayan di tempat tersebut, sangat kuat dugaan mereka bahwa tulang-belulang manusia yang ditemukan itu adalah korban Gestok, pembantaian di setra (kuburan) Perancak didekat pantai. [9] Hal ini terungkap dalam serangkaian wawancara dengan Bapak Raka Suasta, seniman Lekra-Bali pada 15 Maret, 26 April dan 25 Mei 2004. [10] Lebih lengkap Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Gramedia 2000:Halaman 44-46, juga dokumen Arnold C.Brackman, Corrnel Papar, Di Balik Kolapsnya PKI, 2000. Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Bentang 1995 halaman 164-165. [11] Lebih jauh lihat Degung Santikarma, ?Sweeping? Bali, ?Sekala? dan ?Niskala?, Bentara Kompas 7 April 2004 __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Mail - Find what you need with new enhanced search. http://info.mail.yahoo.com/mail_250 ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **