** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** http://www.indomedia.com/bpost/022005/24/opini/opini1.htm Thursday, 24 February 2005 04:12 Bagaimana Hubungan Sikap Manusia Dan DBD? Oleh : Juanda A Zuraini Dalam beberapa bulan ini kita selalu disuguhkan berita baik di media elektronik maupun cetak tentang terjadinya kasus demam berdarah dengue (DBD) di beberapa wilayah di Indonesia (DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Kalimantan dan sebagainya). Tulisan ini bermaksud untuk merenungkan kembali, sejauhmana peran manusia dalam upaya mencegah dan menanggulangi kasus DBD tersebut. Kita ketahui bersama, sebagai biang kerok permasalahan selalu hanya ditimpakan pada vektor sejenis nyamuk yang bernama Aedes aegypti sehingga semua mata dan perhatian dalam penanggulangan dan pencegahan DBD terfokus padanya. Nyamuk tersebut mempunyai ciri hidup, antara lain salah satu yang khas adalah larvanya hidup di air bersih yang tidak tersentuh tanah. Di sini kita harus dapat mengambil pelajaran dari ciri khas hidupnya larva tersebut dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Larva tersebut hanya bisa hidup di kaleng bekas yang terisi air jernih, kontainer (bak, tempayan, tajau, tempat minum burung), pelepah daun yang dapat menampung air dan sebagainya. Pemutusan rantai kehidupan nyamuk tersebut menjadi penting, karena tanpa vektor itu insyaallah DBD tidak akan ada. Telah banyak kita ketahui upaya yang dilaksanakan, tapi mengapa kasus selalu terjadi bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan dengan berujung pada kematian. Program PSN yang populer disebut 3M plus (Menguras kontainer air secara berkala minimal dua kali seminggu, Mengubur kaleng bekas/atau bahan lainnya yang dapat menampung air hujan, Menutup kontainer air secara rapat dan plusnya adalah memberikan bubuk abate pada kontainer, mengganti air minum burung peliharaan secara periodik, membersihkan dahan/pelepah yang dapat menampung air hujan dan sebagainya). Program tersebut dicanangkan secara nasional dan ditindaklanjuti oleh masing-masing pemerintah daerah. Tapi sekali lagi, selalu muncul pertanyaan di benak kita mengapa kasus DBD selalu menjadi berita utama (headline news) dan ada kecenderungan meningkat? Mari kita merenung, mengkaji sampai sejauhmana peran kita sebagai manusia (umat manusia/human being, masyarakat/citizen) dalam memberikan konstribusi penanggulangan dan pencegahan kasus DBD tersebut. Secara umum, penyebab gangguan kesehatan dapat digolongkan menjadi dua yaitu perilaku manusia (behavior) dan bukan perilaku manusia (non behavior). Khusus untuk kasus DBD, perilaku manusia mempunyai peranan cukup penting. Jika kita mau sedikit berfikir (sebagai sebuah renungan saja) dan dihubungkan nikmat Tuhan yang diberikan kepada manusia, seandainya larva Aedes aegypti dapat hidup di air jernih yang tersentuh tanah (tanpa kecuali), maka kasus DBD akan terjadi sepanjang tahun di daerah rawa, atau ada genangan air bersih pada telaga, danau, sumur gali dan sebagainya seperti daerah kita Barito Kuala, Hulu Sungai Utara, Tanah laut dan lainnya. Bersyukurlah kita, Tuhan Maha Adil, larva vektor tersebut hanya bisa hidup di air jernih yang tidak tersentuh tanah. Fenomena yang berkembang di masyarakat menyikapi kasus DBD, dari penglihatan penulis (termasuk juga kasus gangguan kesehatan lainnya) dengan tanpa mengesampingkan konstribusi non behavior yang juga tidak kalah pentingnya. Maka ada beberapa asumsi antara lain: 1. Sebagian orang beranggapan, penularan DBD hanya dapat terjadi di daerah kumuh (sub standard). Akibatnya, dengan anggapan (asumsi) ini, jika rumah kita sudah bersih (katanya) maka dia dan anggota keluarganya sudah terlindungi dari risiko terkena penularan DBD. Di sini terlihat ketidakpedulian sebagian orang tentang karakteristik hidup larva tersebut. Bukankah larva tersebut dapat hidup di tempat lain dan juga sebuah keegoisan tentang perlindungan terhadap dia dan keluarganya dari penularan DBD. Bukankah mobilitas seseorang tidak dapat dibatasi, termasuk dalam hal ini mobilitas nyamuk itu sendiri. Upaya PSN secara terpadu dan menyeluruh (cooperative/sinergic/simultan/integrated) adalah menjadi sangat penting sebagai bentuk terbalik dari anggapan di atas. 2. Anggapan bahwa program PSN dalam rangka menurunkan populasi vektor nyamuk Aedes aegypti tidak tampak jelas hasilnya, dibandingkan dengan pengasapan/penyemprotan (fogging). Memang tidak kita pungkiri dalam PSN, sebaiknya dilakukan secara terpadu baik menghilangkan larva maupun nyamuk dewasa, tetapi pengasapan (fogging) bukanlah cara terbaik. Nyamuk dewasa akan mati dengan pengasapan, tetapi jika tidak dilakukan pemusnahan larva maka beberapa hari kemudian larva (jentik) akan menetas menjadi nyamuk dewasa. Tidak jarang setelah pengasapan, 1 - 3 hari populasi nyamuk dewasa meningkat kembali. Jika dikaitkan dengan teknis pengasapan itu sendiri, menjadi persoalan yang cukup pelik juga. Misalnya bagaimana dosis malathion yang digunakan apakah sudah sesuai, karena apabila tidak sesuai dapat berakibat fatal. Terjadi resistensi (kekebalan) pada nyamuk tersebut dan hewan nontarget akan mati, tetapi jika dosisnya kurang tepat tentunya tidak efektif untuk membunuh nyamuk, bau yang ditimbulkan dan melekat pada ruang dan sebagainya. Di sini kita bisa melihat faktor konstribusi manusia. Seandainya setiap orang bertanggung jawab agar rumah dan lingkungannya bebas jentik Aedes aegypti, tentunya pengasapan tidak diperlukan lagi. 3. Upaya penyadaran pentingnya PSN akan lebih efektif pada keluarga pasien yang terserang kasus DBD, dibandingkan dengan bukan keluarga pasien DBD. Di sini terlihat lagi egoisme. Ada anggapan, yang penting bukan anggota keluarga kita yang terkena. Padahal kita tahu, nyamuk tidak mengenal status sosial dan atribut lainnya. Seyogyanya setiap orang sadar, dia dan anggota keluarganya mempunyai risiko yang sama untuk terserang DBD dan merasakan kepedihan bagi keluarga penderita (empati). Jika anggapan ini tertanam pada setiap individu, maka sikap dan tindakan yang diambil akan berbeda dalam merespon kasus DBD. Pijakan yang dapat kita jadikan referensi yaitu adanya tiga postulat hubungan antara sikap dengan tindakan yaitu: pertama, postulat variasi independen (bebas). Artinya, hubungan antara sikap seseorang dengan tindakannya tidak konsisten. Mengetahui sikap dan tindakan, merupakan dua dimensi dalam diri individu yang berdiri sendiri, terpisah dan berbeda. Mengetahui sikap, tidak berarti dapat memprediksi tindakan yang dilakukan. Ketika sikap seseorang tersebut positif, tindakan yang diambilnya negatif. Begitu juga sebaliknya. Dalam konteks DBD misalnya, ketika kita tanyakan sikapnya tentang PSN sangat positif (mendukung), tetapi dilihat tindakannya yang dilakukan tidak sesuai dengan sikapnya. Kedua, postulat konsistensi tergantung. Postulat ini menyatakan, hubungan sikap dengan tindakan sangat ditentukan oleh faktor situasional tertentu. Jika kita hubungkan dengan penyadaran pentingnya PSN, hanya efektif pada keluarga pasien DBD. Inilah salah satu contoh postulat tersebut. Menurut sebagian ahli (Allen, Guy & Edgley, 1980), tampaknya postulat ini yang paling masuk akal dan berguna dalam menjelaskan hubungan sikap dengan tindakan. Ketiga, postulat yang terakhir ini yang ideal yakni postulat konsistensi, yaitu sikap verbal merupakan petunjuk akurat untuk memprediksikan apa yang akan dilakukan seseorang bila dihadapkan pada suatu objek sikap. Diasumsikan, adanya hubungan langsung antara sikap dengan tindakan. Bukti mendukung postulat ini adalah pola perilaku individu yang memiliki sikap ekstrim cenderung berperilaku (bertindak) didominasi keekstriman sikapnya, sedangkan mereka yang sikapnya moderat akan berperilaku/bertindak lebih didominasi oleh faktor lain. Upaya penyadaran sikap adalah upaya penyadaran keyakinan sebagai aspek yang mendasarinya, sehingga penyadaran bahwa siapa pun mempunyai risiko yang sama untuk terserang DBD menjadi penting. Ketika rumah dan lingkungannya sudah bersih, tetapi anggota keluarga kita bisa digigit nyamuk ketika sekolah dan seterusnya. 4. Anggapan bahwa program PSN hanya dapat dilakukan di perdesaan dengan budaya masyarakat bergotong royong. Ada dikotomi pada pernyataan di atas, seolah-olah budaya gotong royong tidak dimiliki masyarakat perkotaan. Apa yang selama ini kita anggap sebagai sebuah kota, jangan-jangan hanya sebuah desa yang besar (big village). Artinya, orang yang tinggal pada suatu tempat 'ramai' tetapi 'pola hidupnya' masyarakat perdesaan. Dari data yang ada, kasus DBD prevalensi tertinggi pada masyarakat perkotaan. Maka, budaya gotong royong sangat diperlukan dalam penanganan/pencegahannya. Sudahkah setiap warga kota membuang sampah yang berpotensi sebagai tempat perindukan nyamuk secara benar? Adakah upaya yang dilakukan integrated? Sudahkah kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan? Jangan salah, ketika DBD muncul, dituding hanya menjadi tanggung jawab departemen kesehatan. Bagaimana sektor lain berkonstribusi dalam mengambil kebijakan dan keputusan yang bermuara pada peningkatan derajat kesehatan, contohnya fokus penanggulangan/pencegahan DBD? Banyak lagi pertanyaan di balik itu. Akhirnya sampailah kita pada satu kesimpulan, bagaimana peran manusia dalam konteks kasus DBD adalah sangat erat; bukankah pembangunan untuk kesejahteraan manusia; bukankah pengambil kebijakan dan keputusan itu sebuah perilaku manusia; bukankah sikap yang dimiliki setiap individu mempunyai kontribusi dalam pencegahan dan penanggulangan DBD tersebut. Mari kita merenung sejenak, sampai sejauhmana setiap pribadi berkonstribsusi positif secara tulus dan ikhlas bukan dalam konteks kepentingan lain, tetapi dalam rangka kemaslahatan orang banyak dan yang terpenting dalam kerangka pengabdian kepada Nya. Bukanlah sebuah kemustahilan kasus DBD tidak terjadi lagi di masa yang akan datang atau minimal prevalensinya menurun, manusia adalah objek (sasaran) sekaligus subjek (pelaku) pembangunan itu sendiri, maka sepantasnya kita melakukan pembangunan yang berwawasan kesehatan. Seorang ahli kesehatan masyarakat Indonesia Adhyatma mengatakan, health is not everything, but without health everything is nothing (kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya tidak bisa dilakukan. Walaupun tidak sepenuhnya benar, tetapi pernyataan itu patut dijadikan bahan renungan. Pengajar Politeknik Kesehatan Banjarmasin, tinggal di Banjarbaru e-mail: jurusan_kesling@xxxxxxxxxx ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give underprivileged students the materials they need to learn. Bring education to life by funding a specific classroom project. http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **