[nasional_list] [ppiindia] "Agama Publik" dan Bom Palu

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 14 Jan 2006 02:54:15 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/13/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
"Agama Publik" dan Bom Palu
Oleh Benyamin F Intan 
DI penghujung tahun 2005 bom berdaya ledak tinggi mengguncang pasar tradisional 
daging babi di Palu, menewaskan 7 orang dan mencederai 54 orang lainnya. Walau 
motif dan pelaku peledakan masih terus diselidiki aparat keamanan (Suara 
Pembaruan, 6/1/2006), sasaran bom di pasar babi dan target korban 
mengindikasikan ada motif agama di balik insiden itu. 

Entah siapa pelakunya, memanfaatkan simbol-simbol agama adalah cara yang paling 
mudah untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi. Agama memang sangat 
mudah diprovokasi mengingat salah satu daya pikat utamanya terletak pada ikatan 
emosional: Friedrich Schleiermacher menyebutnya feeling, HN Wiemann devotion, 
Rudolf Otto experience. Sentimen agama adalah alat yang paling ampuh untuk 
membuat orang emosional. 

Ia bisa memotivasi orang rela mati dan rela membunuh, seperti yang terjadi di 
Ambon dan di Poso. Itu sebabnya mengapa agama rawan konflik, ibarat bom yang 
sewaktu-waktu bisa meledak. 

Pelaku bom Palu yang membawa bendera agama, punya banyak kepentingan. Apa pun 
itu, salah satu target mereka yakni memicu ketegangan antaragama. Umat beragama 
harus tidak mudah terpancing. 

Kita jangan sampai terjebak dalam skenario permainan itu. Salah satu cara yang 
paling ampuh melawan teror adalah berupaya semaksimal mungkin agar tujuan teror 
tidak tercapai. Itu sebabnya tidak bijak mengaitkan bom Palu dengan agama 
tertentu. Kita harus membedakan oknum pelaku, motivasi, dan kepentingannya, 
dengan agama yang dianutnya. 


"Agama Publik" 

Kekerasan bernuansa agama seperti bom Palu membuat orang was-was terhadap 
bahaya laten "kiprah agama di ruang publik" ("agama publik"). "Agama publik" 
(public religion) menekankan peran sosial agama dalam domain publik di tingkat 
nasional maupun global. Menghindarkan agama dari wacana publik sama artinya 
dengan pengerdilan agama (the trivialization of religion) yang menggeser agama 
ke wilayah privat, menjadikannya masalah personal semata melalui proses 
privatisasi dan marginalisasi. 

Keberadaan "agama publik" dijamin konstitusi kita. Sila pertama Ketuhanan Yang 
Maha Esa bukan hanya tentang kebebasan dan toleransi beragama. Tetapi, lebih 
dari itu, ia memberikan kesempatan dan mendorong agama-agama menjalankan peran 
sosial di wilayah publik. 

Di sisi lain, "agama publik" memang berisiko. Ia tidak dapat melepaskan diri 
dari sikap ambivalensi: di satu pihak mendorong terciptanya rekonsiliasi, di 
lain pihak memiliki potensi kekerasan (R Scott Appleby, The Ambivalence of the 
Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation). Tapi sosiolog agama seperti 
Robert Bellah, Peter Berger, Robert Wuthnow, José Casanova, dan R Scott Appleby 
cukup optimistis terhadap "agama publik". Bagi mereka, revitalisasi agama di 
wilayah publik cenderung berdampak positif dibandingkan dengan efek negatif 
yang ditimbulkannya. 

Menarik, dalam bukunya Public Religions in the Modern World, Casanova 
menyebutkan revitalisasi agama tidak hanya terjadi di negara-negara non-Barat 
di mana agama dan tradisi masih sangat kuat, tapi juga di negara-negara Barat 
dengan tradisi demokrasi yang sudah sangat berakar. Dari studinya, Casanova 
menyimpulkan, revitalisasi agama tidak hanya sejalan tapi malah menjadi 
pendorong utama proses demokratisasi. 

Persoalannya sekarang, bagaimana caranya agar agama mampu menampilkan sisi 
rekonsiliasi dan bukannya sisi kekerasan, sebagai pendorong demokratisasi dan 
bukannya sebagai penghambat? Profil agama amat bergantung pada peran politik 
macam apa yang akan dimainkannya. 

Tugas dan tanggung jawab agama, menurut GBHN: "meletakkan landasan moral, etik 
dan spiritual yang kokoh" bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan 
bernegara. Harold Lasswell membedakan politik kekuasaan (who gets what, when 
and how) dari politik moral (who should get what, when and how-and why). 

Politik kekuasaan berbicara tentang power an sich, politik moral tentang 
justice. Kontribusi agama yang mencakup entitas moral, etik dan spiritual, 
masuk melalui politik moral. 

Peran agama adalah peran politik moral. Agama meletakkan landasan moral, etik 
dan spiritual artinya agama harus menjalankan fungsi kritis dan tugas profetis 
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi Casanova, selama 
berjalan di atas rel politik moral, agama akan mampu menampilkan wajah 
rekonsiliasi dan menjadi pendorong demokratisasi. 

Jadi "agama publik" per se tidaklah bersalah. Ia tidak bertanggung jawab dan 
tidak boleh dijadikan kambing hitam terhadap munculnya berbagai teror bernuansa 
agama. 


Politik Moral 

Mampu-tidaknya agama menjalankan politik moral amat bergantung pada hubungannya 
dengan politik kekuasaan. Telah disinggung, di dalam mengemban tugas moralnya, 
agama harus bersifat kritis dan profetis terhadap politik kekuasaan. Namun hal 
itu sulit dilakukan jika agama dan politik kekuasaan terisolasi satu sama lain. 
Keduanya tidak saling menyapa, yang satu tidak mau tahu urusan yang lain. Peran 
moral agama juga akan menemui banyak kesulitan apabila hubungan antara keduanya 
ditandai oleh rivalitas, yang satu ingin meniadakan yang lain. Tapi bentuk 
relasi yang paling destruktif dan opresif antara agama dan politik kekuasaan 
adalah apabila terjadi kolusi (persekongkolan) antara keduanya. Kolusi 
benar-benar akan mematikan fungsi moral agama. 

Agama boleh dekat dengan politik kekuasaan tapi tidak boleh lengket 
(berkolusi). Apabila lengket, muncul godaan: politik kekuasaan memanfaatkan 
agama, atau agama memanfaatkan politik kekuasaan. 

Sekali agama diperalat oleh politik kekuasaan, ia akan kehilangan daya 
transendentalnya. Tanpa identitas transenden, agama menjadi mandul, tidak lagi 
kritis dan profetis. Akibatnya menjadi komoditas politik belaka, sekadar alat 
pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. 

Itu sebabnya mengapa tokoh Reformator Martin Luther bersikeras melepaskan 
gereja dari politik kekuasaan. Bagi Luther, gereja harus memisahkan diri dari 
politik kekuasaan. Setiap lamaran politik kekuasaan agar gereja bersanding 
dengannya, harus ditolak. 


Tidak Mungkin 

Anggota gereja boleh terlibat politik kekuasaan, tapi jangan membawa atribut 
politik ke gereja. Apa pun alasannya, gereja tidak boleh jadi ajang kampanye 
politik. Tanpa imun dari intervensi politik kekuasaan, agama tidak mungkin 
dapat melakukan tugas moralnya. 

Di sisi lain, politik kekuasaan tidak dapat berfungsi apabila diperalat oleh 
agama. Mustahil ia dapat mengayomi dan melindungi rakyat secara adil. 

Pengikut agama lain akan dibedakan hak dan kewajibannya dari pengikut "agama 
yang memperalat politik kekuasaan". Akibatnya muncul warga negara kelas dua. 
Politik kekuasaan yang seharusnya inklusif dan non-sektarian kini menjadi 
otoriter dan diskriminatif. Itu sebabnya mengapa Niccolo Machiavelli memisahkan 
politik kekuasaan dari gereja. 

Bagi Machiavelli, politik kekuasaan harus melepaskan diri dari gereja. Setiap 
undangan gereja agar politik kekuasaan bersanding dengannya, harus ditolak. 
Agama yang memperalat politik kekuasaan adalah agama yang mengebiri dirinya 
sendiri. 

Dengan menguasai politik kekuasaan, agama akan kehilangan daya 
transendentalnya. Sifat kritis dan profetis akan absen dari padanya. Akibatnya, 
ia tidak lagi mampu mengemban misinya dalam koridor politik moral. 

Peran positif "agama publik" seharusnya menjadi pembelajaran bagi agama-agama 
di Indonesia. Bersama pemerintah, agama-agama turut memikirkan penanganan 
terhadap kekerasan yang bernuansa agama. 

Hanya agama yang berkiprah di domain publik, berpolitik moral dan tidak lengket 
dengan politik kekuasaan, yang dapat memberikan kontribusi signifikan bagi 
solusi teror bernuansa agama seperti bom Palu. * 


Penulis adalah pemerhati masalah sosial-keagamaan, S3 dari Boston College dalam 
bidang etika sosial 


Last modified: 13/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] "Agama Publik" dan Bom Palu