[nasional_list] [ppiindia]

  • From: "Carla Annamarie" <Carla.Annamarie@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Wed, 2 Feb 2005 13:06:06 +0700

** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum **



SUARA PEMBARUAN DAILY

WashWatch


Zhao Ziyang dan Hotel Rwanda

Christianto Wibisono

MANTAN  Ketua  Partai  Komunis Tiongkok, Zhao Ziyang meninggal setelah
hampir 16
tahun hidup sebagai tahanan politik di rumah kediaman, sejak dipecat tahun
1989.
Mantan  aktivis demonstran, Wu-er Kaixi menulis di The Asian Wall Street
Journal
bahwa  Zhao  sebetulnya  terlambat  dalam  melakukan  pendekatan ke
mahasiswa di
Tiananmen pada 19 Mei 1989.

Putusan  Politbiro  Partai  Komunis  Tiongkok  telah  diambil  untuk
membubarkan
demonstrasi  mahasiswa  dengan  kekerasan  yang akan terjadi pada 4 Juni.
Karena
itu,   Zhao   sebetulnya   mundur  sia-sia  dan  kunjungan  ke  Tiananmen
tidak
menyelamatkan dirinya maupun mahasiswa.

Tapi  sebenarnya,  walaupun  Zhao  tergusur  dan  mahasiswa terbantai,
reformasi
ekonomi  RRT  berjalan  terus,  dan  pengganti  Zhao, baik Jiang Zemin
maupun Hu
Jintao,  sekarang  sudah  mengizinkan kaum bisnis menjadi anggota Partai
Komunis
Tiongkok.

Dunia  memang  penuh  dengan  cerita  panjang  yang kadang-kadang tidak
berakhir
secara  sederhana.  Mikhail Gorbachev adalah pelopor glasnost dan
perestroika di
Uni Soviet. Ia malah tergusur dari jabatan Presiden Uni Soviet karena
negara itu
bubar akibat gelombang demokratisasi.

Wapres  Bung  Hatta  rela  mundur  dengan  "sukarela" karena tidak tahan
berduet
dengan  Bung  Karno yang egonya terlalu besar. Sejak itu, Bung Hatta sulit
masuk
kembali  dalam  jalur  kekuasaan.  Karena tradisi negara berkembang Dunia
Ketiga
selalu  memperlakukan  lawan  politik  seperti musuh bebuyutan, yang sulit
untuk
melakukan come back setelah tergeser dari pusat kekuasaan.

Di negara demokrasi mapan, lawan politik bisa dikalahkan dalam satu pemilu,
tapi
mereka  bisa terpilih kembali sehingga tidak perlu saling membunuh lawan
politik
secara biadab. Memang telah terjadi "perbaikan" dalam nasib lawan politik,
tidak
lagi  disingkirkan  secara  fisik  seperti  kasus Munir, tapi "dimatikan"
secara
perdata seperti Petisi 50 Ali Sadikin cs di zaman Soeharto.

Kenapa Revolusi selalu memakan anak-anaknya sendiri. Seperti di Prancis,
Danton,
Marat dan Robespierre akhirnya saling terbunuh diguillotine. Reformasi
Indonesia
juga  menelan  anak  anaknya sendiri, saling gusur seperti Poros Tengah
menyetop
hak Megawati untuk jadi presiden, diberikan ke Gus Dur.

Tapi  Gus Dur tidak bisa diperalat Poros Tengah, karena itu Amien Rais
menggusur
Gus  Dur  untuk  mengangkat  Megawati.  Tapi  akhirnya  Amien Rais sendiri
malah
tersisih keluar arus kekuasaan oleh Reformasi yang berjalan
setengah-setengah.

*
PENYAKIT  negara berkembang Dunia Ketiga dan negara bekas totaliter,
seperti RRT
memang  merupakan  pelestarian  sistem  politik  manunggal  yang  tidak
mengenal
suksesi  melalui pemilu melainkan selalu melalui konspirasi elite politik
saling
menjatuhkan dan menikam satu sama lain.

Karena  kekuasaan dimonopoli dan harus disalurkan dari satu pusat tanpa
mengenal
dan menghormati tradisi oposisi. Berbeda pendapat selalu dianggap
pengkhianatan,
dan  hanya  ada  pilihan  mati  secara  beneran  atau mati secara politik,
tidak
mungkin mengambil alih kekuasaan melalui pemilu yang bersih dan jujur.

Menonton  film  "Hotel Rwanda" kita juga menyaksikan betapa para pemimpin
negara
berkembang,  tega  dan  keji  mengorbankan  rakyat yang berbeda suku dalam
suatu
pembantaian yang menelan satu juta jiwa suku Tutsi oleh milisia suku Hutu.

Film  "Hotel  Rwanda" mengungkap kisah nyata seorang manager hotel
berkebangsaan
Hutu,  yang  dengan  nekat  melindungi para pengungsi Tutsi, justru dari
ancaman
pembantaian oleh milisia suku Hutu.

Manager  hotel  bernama Paul Rusesabagina itu sekarang hidup bersama
keluarganya
di  Brussels, Belgia. Memang hanya mampu menampung sekitar 1.000 orang
pengungsi
Tutsi,  yang merupakan jumlah tak berarti dibanding korban total satu juta
orang
Tutsi yang dibantai secara kejam oleh suku Hutu.

Pembantaian  Rwanda  terjadi  10  tahun yang lalu dan peristiwa yang sama
sedang
terjadi  di  Darfur,  Sudan.  Tapi tidak ada kampanye untuk menyelamatkan
Darfur
dari  Dunia Ketiga dan Timur Tengah, karena yang jadi korban adalah orang
Afrika
Hitam non-Muslim.

Sedang  rezim  penindasnya  mirip  Saddam Hussein, dianggap boleh saja
melakukan
pembantaian  karena  seagama  dengan mayoritas diktator Timur Tengah. Di
Bosnia,
pasukan  AS  dan  NATO  turun  tangan  untuk  mencegah  pemusnahan penduduk
yang
beragama Islam, tapi tidak ada rasa terima kasih kepada AS atau NATO.

Sebagian  milisia  Bosnia  malah  terlibat  dalam  jaringan Al Qaeda dan
menjadi
pengagum  Osama bin Laden, hanya karena faktor agama. Penyalahgunaan
solidaritas
suku  seperti Hutu anti-Tutsi dan perang agama yang disulut oleh Osama bin
Laden
memang harus dikoreksi.

Dan  yang  paling  bisa mengoreksi adalah tokoh dari Dunia Islam sendiri.
Karena
itu,  editorial Kompas yang memuji fenomena maverick Kolonel Muamar Khadafi
yang
menganjurkan  Iran  dan  Korea  Utara  menghentikan  program  nuklirnya,
sangat
menarik. Jarang ada orang kaliber Khadafi berani mengatakan sesuatu yang
melawan
arus.

Biasanya pemimpin ingin popularitas dan tidak berani mengoreksi rakyat dan
massa
yang  telanjur  tenggelam  dalam  histeria dan paranoid antimusuh politik
secara
sadis.  Pemimpin  yang  lemah  takut  kehilangan  popularitas,  dan  malah
ikut
menghasut  rakyat  untuk tambah membenci lawan politik. Sebaliknya pemimpin
yang
bisa  melihat visi dan misi yang jauh ke depan berani melawan arus dan
mengambil
risiko.

*
BISA  terjadi  kejatuhan  seperti  Gorbachev dan Zhao Ziyang. Khadafi
barangkali
akan  dicap  antek AS karena mau menjadi "pendukung" AS dalam konfrontasi
dengan
terorisme bernuklir. Barangkali juga Khadafi akan menjadi tidak popular dan
akan
dirongrong  oleh  milisia  dan  teroris  yang  mengidentikkan orang,
bangsa, dan
negara lain sebagai kafir dan layak diteror.

Tapi  terobosan  Khadafi  ini  jarang  diungkapkan,  karena itu editorial
Kompas
tentang  Khadafi merupakan terobosan fungsi pers untuk mendidik massa. Jika
pers
sudah  ketakutan  dan  tidak berani mengoreksi massa, maka akan terjadi
histeria
hate crime yang menjadi awal genocide model Rwanda.
Jika  dunia  di  kelola  secara  manusiawi,  tidak perlu ada pembunuhan
politik,
pembantaian  model  Rwanda,  dan  negara gagal berantakan seperti
Yugoslavia dan
kasus  Bosnia  Kosovo.  Tapi  jika elite masyarakat suka mengadu domba dan
tidak
berani  melakukan  koreksi  secara hukum terhadap tingkah laku kekejaman di
luar
batas  kemanusiaan  hanya  atas  dasar  faktor  SARA,  maka negara tersebut
akan
menjadi failed state, negara yang gagal berantakan.

Karena  itu  perundingan  dengan  GAM  di Helsinki mudah-mudahan bisa
memberikan
terobosan  untuk  penyelesaian  damai  sengketa  Aceh.  Helsinki  adalah
tempat
bersejarah,  karena  di  situlah terjadi kesepakatan untuk membuka arus
emigrasi
keluar dari Uni Soviet dan Eropa Timur, sebagai konsesi untuk arus
investasi dan
bantuan ekonomi dari Barat ke blok Timur.

Menurut  Natan  Sharansky,  seorang  pembangkang  Yahudi  yang  sekarang
menjadi
politisi  Israel,  berkat  tekanan  Helsinki terjadi demokratisasi yang
bermuara
pada glasnost perestroika dan bubarnya Uni Soviet.

Kita  tentu  berharap skenario Helsinki bisa menciptakan perdamaian antara
orang
Indonesia  sendiri.  Kalau  memang  kita  konsisten  dengan  integrasi
nasional,
perdamaian  di  Aceh  niscaya  bukan  suatu  yang  mustahil.  Kecuali  bila
ada
mentalitas  Hutu  di  kalangan  elite Indonesia dengan pelbagai alasan dan
dalih
yang  menutup  pintu  untuk rekonsiliasi, perdamaian dan integrasi yang
adil dan
memuaskan semua pihak.

Penyakit  terberat  bagi negara berkembang adalah membasmi korupsi secara
tuntas
dan  lugas.  Karena dalam sistem politik feodal primitif, penguasa merasa
berhak
untuk kaya dan menikmati harta negara seperti inventaris pribadi dan
keluarga.

Tidak ada definisi dan batasan conflict of interest, semua merasa bisa
melakukan
apa  saja  bila  sedang  berkuasa.  Cara-cara  seperti  itu hanya menanam
dendam
kesumat,  yang  apabila di eksploitasi dengan emosi SARA akan menghidupkan
iklim
tawuran dan pembantaian model Rwanda.

Gelombang  tsunami menuntut mentalitas pascatsunami. Kalau elite Indonesia
masih
tetap  terjebak  dalam mentalitas pra-tsunami, Indonesia tidak akan cepat
mentas
dari segala macam keterpurukan dan keterbelakangan.

Kita  sudah  mengalami  pembantaian  1965  yang menurut Bertrand Russell
memakan
korban  melebihi  Perang Vietnam. Setelah itu mesin penguasa dan milisia
bikinan
penguasa atau yang direstui oknum penguasa, juga melakukan pembantaian di
Maluku
dan Poso.

Situasi  perang  di  Aceh  maupun  kondisi  di  Papua juga mengisyaratkan
bangsa
Indonesia  masih  belum  lulus  dari  naluri ingin berperang antara sesama
dalam
menyelesaikan   konflik   politik.   Karena  mekanisme  politik  beradab
kurang
berfungsi.

Beradab  bukan  cuma  dalam metode dan ritual, tapi dalam substansi,
menghormati
supremasi  hukum, tidak pilih kasih dan diskriminasi atas dasar SARA atau
kelas.
Kalau  Khadafi  dengan  serius melakukan terobosan politik dengan imbauan
kepada
Iran  dan  Korea  Utara,  serta  pengakuan tentang holoxaust dalam
peringatan 60
tahun  Auschwitz,  Indonesia  akan ketinggalan bila terus terjebak pada
dikotomi
manusia model Al Qaeda. *

Last modified: 1/2/05










------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: