** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** Sabtu, 12 Maret 2005 OPINI Utang para Intelektual Toeti Adhitama; Ketua Dewan Redaksi Media Indonesia SEPERTI kata Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute, iklan yang dipasangnya di Kompas (26/2), yang menyatakan persetujuan akan pengurangan subsidi BBM, dan alasan-alasan yang mendasarinya, telah menarik perhatian banyak pihak. Banyak opini pro dan kontra menyusulinya. Kedua pihak berniat baik dan umumnya memiliki argumen yang valid. Yang pro tentunya memuji. Bahkan menganggapnya suatu terobosan karena baru pertama kali (di Indonesia) pendapat semacam itu diwadahkan dalam iklan, tetapi yang anti memberikan argumen-argumen sebaliknya. Sampai ada yang menyatakan, iklan itu merugikan pihak yang berkepentingan--dalam hal ini penguasa--dan tidak efektif untuk masyarakat. Atau iklan itu menunjukkan para pendukungnya--yang namanya tercantum pada iklan--berpihak pada kekuasaan. Sebagai wartawan yang ingin bersikap netral, saya pribadi kemudian menjadi agak bias setelah melihat nama-nama Frans Magnis-Suseno dan Goenawan Mohamad ada dalam daftar. Tidak mungkin orang-orang seper ti itu, yang dikenal sebagai penentang penindasan terhadap rakyat kecil, mengorbankan apa yang mereka yakini demi keberpihakan pada kekuasaan. Maka, saya pikir, tergantung dari mana kita melihat persoalan ini. Ini kan negara demokrasi, kata Rizal. Ada teman Rizal yang berpendapat, semakin banyak pendapat yang ditawarkan ke publik, semakin baik. Sayangnya, publik yang disebutnya sangat sempit. Mayoritas publik yang sementara ini merasa sangat dirugikan, rasanya tidak membaca tulisan-tulisan itu, apalagi yang bernada setuju akan pengurangan subsidi BBM. Mereka sedang tercekik, tidak mungkin mengangguk setuju. Maka demonstrasi terus marak, tak kunjung reda. Para mahasiswa, yang peka terhadap apa yang dirasakan orang-orang kecil, seakan mengadakan lomba demonstrasi. Empati kami untuk pemerintahan SBY: maju kena mundur kena. Mungkin para intelektual pada tahap ini sudah waktunya berpindah strategi. Bukan mengadu intelek soal benar-tidaknya kebijakan itu, tetapi menawarkan langkah-langkah untuk mengatasi keadaan "darurat" sekarang ini. Itu sebenarnya yang menjadi tantangan bagi para intelektual. Itulah utang para intelektual pada masyarakat. Misalnya janji-janji pemberian kompensasi kepada mereka yang tidak mampu, kapan dilaksanakan? Idealnya, yang perlu diberikan bukan janji-janji. Idealnya, pengumuman tentang pengurangan subsidi itu langsung dibarengi dengan pemberian kompensasi. Kalau bukan yang kelas berat, usahakan cara-cara yang sederhana yang sifatnya darurat untuk sekarang. Tidak menunggu lebih lama, sementara harga bahan-bahan kebutuhan sehari-hari makin meninggi. Itu yang mungkin perlu mereka tagihkan dan desakkan pada pemerintah. Bukan "benar atau salah saya mendukung pemerintah". Dalam hubungannya dengan kepentingan masyarakat, menjadi intelektual minimal memerlukan kemampuan intelektual dan kemauan untuk bekerja keras dan berperilaku yang baik. Juga dana untuk pendidikan yang diperolehnya dari orang tua atau publik, sebelum mereka sanggup menghidupi diri sendiri. Maka kaum intelektual memiliki kewajiban moral kepada publik untuk memberikan pelayanan sosial yang bermanfaat bagi masyarakat. Sebutlah sebagai balas jasa. Mereka memiliki kewajiban moral untuk kemanusiaan. Para intelektual seperti Socrates dan Plato, atau bahkan Marx dan Lenin, misalnya, telah berhasil mengubah jalannya sejarah karena gagasan-gagasan mereka. Tentunya berdasarkan keyakinan masing-masing akan kebenaran. Merujuk pada pengalaman tokoh-tokoh sejarah yang disebut tadi, ada segolongan masyarakat yang tidak setuju kalau intelektual memiliki perhatian untuk isu-isu sosial-politik yang sedang terjadi. Ada kekhawatiran, para intelektual bisa kehilangan kemurnian berpikir dan integritas bila mereka terlibat dalam persoalan-persoalan politik. Saya rasa, itulah yang melatarbelakangi polemik tentang iklan Freedom Institute sekarang ini. Tetapi mungkinkah kaum intelektual modern mengucilkan diri dari kehidupan masyarakat? Bersemedi menyendiri seperti pemikir-pemikir masa lalu? Seorang teman saya, salah satu yang merasa tidak nyaman dengan pengembangan perilaku kaum intelektual sekarang, dan tidak setuju dengan keterlibatan intelektual dalam politik, mengatakan memang beda intelektual di zaman revolusi dan di masa sekarang. Dulu mereka mengutamakan kebersamaan dan kepentingan nasional. Sekarang mereka cenderung menyibukkan diri dalam bidang bisnis dan ekonomi. Kebanyakan untuk kepentingan sendiri. Kepentingan rakyat terabaikan. Pendidikan rakyat banyak pun terbengkalai. Ini jelas merugikan masa depan bangsa kita. Memang kita sering lupa, intelektual pun manusia biasa yang, kata Chairil Anwar, bisa rindu rupa dan rindu rasa. Artinya, intelektual bukan malaikat. Intelektual juga dibentuk oleh situasi yang dihadapinya. Intelektual masa lalu memiliki gambar masa depan yang beda dari gambar masa depan intelektual sekarang. Ketika mereka berkiprah dulu, dunia sedang bergolak karena perjuangan bangsa-bangsa yang akan melepaskan diri dari penjajahan. Sekarang, yang mereka hadapi adalah gejolak globalisasi yang menuntut setiap masyarakat bekerja keras untuk bisa bertahan atau mencapai keunggulan dalam penghidupan internasional. Memang tidak mungkin menjadi intelektual tanpa menjadi anggota masyarakat manusia terlebih dulu. Dan manusia adalah binatang sosial. Maka, bagaimana jalan keluarnya? Kaum intelektual jugalah yang wajib berpikir keras mencarinya. *** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **