[list_indonesia] [ppiindia] Uang

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 26 Mar 2005 10:15:51 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

Harian Komentar
26/3/2005

Uang
Oleh: denni pinontoan 

Manusia akhirnya harus mempunyai uang untuk hidup. Entah diperoleh dengan cara 
menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal atau haram. Malam 
itu, sebuah institusi keagamaan sedang melakukan persidangan. Suasana gedung 
yang dihadiri ribuan perutusan dari berbagai penjuru, gaduh, ribut. Teriakan 
interupsi, membahana dari berbagai sudut gedung. Pimpinan sidang kelihatan 
terdesak.Berulang-ulang kali pimpinan sidang memohon agar peserta tenang. Tapi 
itu tak digubris. Agaknya ada yang mendesak untuk segera disikapi pimpinan 
sidang. Suasana tetap kacau, mirip sidang paripurna para anggota legislatif di 
era reformasi. 

Suasana masih gaduh, sam-pai pimpinan sidang berhasil dengan sekuat tenaga 
mem-persilakan seseorang untuk bicara. Pimpinan sidang ber-hasil membuat para 
peserta sidang yang gaduh dengan interupsi-interupsinya, menjadi tenang, 
terpusat pada seseorang yang akan bicara itu. Kira-kira ada yang perlu 
diketahui dari si orang itu. Benar. Apa yang dia akan kata-kan itu penting. 
Penting un-tuk mereka. Orang yang di-maksud itu ternyata ketua pa-nitia 
pembangunan sebuah proyek mercusuar institusi itu. Orang itu dengan santai dan 
gaya berkelakar mengumum-kan bahwa pemerintah daerah di mana institusi itu ada, 
telah menganggarkan dalam anggaran belanja daerah, uang se-banyak satu miliar 
untuk proyek mercusuar tersebut. Bu-kan cuma itu, untuk sukses-nya acara 
persidangan, peme-rintah juga telah memberikan dana ratusan juta. Itu uang 
legal, karena telah ada kese-pakatan antara pihak ekseku-tif dan legislatif 
sebelumnya. 


Apa yang terjadi kemudian? Para peserta sidang yang sebelumnya ribut dan 
berlom-ba-lomba untuk menginte-rupsi pimpinan sidang, kini bertepuk tangan. 
Mereka tersenyum puas. Interupsi ti-dak ada lagi. Suasana ber-ubah dalam 
beberapa menit. Suasana menjadi sukacita dengan uang miliaran rupiah! Syukur 
malam itu ada sin-terklas. Kado dalam bentuk uang mengubah segala-gala-nya. 
Uang seolah-olah mengu-asai emosi mereka yang me-ledak-ledak, menjadi emosi 
gembira. Puas. Malam itu mereka pun bisa tidur cepat, terlelap karena lelah 
duduk seharian. Bunga tidur, mimpi pun masih bisa dinikmati. Mudah-mudahan 
bukan mimpi buruk yang hanya mengganggu tidur mereka. 

Ini cerita tentang uang, ma-nusia dan idealisme. Cerita tentang kehidupan yang 
ril dan hadir di setiap tarikan napas para petualang di rimba yang dipenuhi 
binatang buas, pohon lebat dan susah men-cari jalan keluarnya kalau su-dah 
terdampar di dalamnya. Ini cerita tentang manusia yang menciptakan uang 
seba-gai alat tukar. Ini cerita ten-tang uang sebagai hasil cip-taan, yang 
kemudian mengu-asai jiwa dan tubuh si pencip-tanya. Uang hanyalah alat tukar. 
Barang di tukar dengan uang, maka terjadilah jual be-li. Itu dulu. Cita-cita 
untuk meng-ganti sistem barter dengan alat tukar uang, awalnya hanyalah untuk 
barang, komoditi, jasa. Itu dulu. 

Tapi kini, manusia jiwa dan tubuhnya juga ter-jerembab dalam perdagangan itu.
Ini yang dipikirkan oleh Karl Marx dulu. Ia sebenarnya te-lah me-warning 
manusia. Ta-pi, peringatan ini tak digubris. Jadilah manusia tak ubahnya 
seperti barang, komoditi, yang sebenarnya adalah objek da-lam sebuah sistem 
perdaga-ngan itu. Manusia akhirnya harus mempunyai uang un-tuk hidup. Entah 
diperoleh dengan cara menjual barang, jasa, diri sendiri atau orang lain. Halal 
atau haram. Bah-kan, uang yang dalam bahasa sana disebut money, kalau didengar 
oleh orang yang tak mengerti bahasa sana itu, bisa berubah artinya. Kata 
'money', dalam pendengaran orang kita yang tak mengerti bahasa asal kata itu, 
bisa berarti benih kehidupan. 

Goenawan Mohamad ("Se-buah Pengantar" dalam I. Bam-bang Sugiharto, 
Postmodernisme: Tantangan Filsafat, Kanisius, 1997) si penyair itu memandang 
uang sama dengan Karl Marx. Uang, baginya, ".mengubah setiap objek, juga 
manusia, menjadi sama dengan apa yang lain." Benar. Di zaman sekarang, apa lagi 
yang tak berurusan dengan uang. Ketika kita berada di terminal, mau pipis dan 
berak saja, harus pakai uang. Di kampung, hubungan kekerabatan 
tetangga-berte-tangga, saudara-bersaudara, juga mulai diukur dengan uang. Dulu, 
orang bisa menumpang begitu saja kendaraan bermo-tor roda dua yang dikemudi-kan 
tetangga atau teman. Ta-pi, sekarang, ojek/ompreng, telah mengubah hubungan 
kekerabatan itu menjadi hu-bungan dagang. Antara pelang-gan dan tukang ojek. 
Senyum si tukang ojek, tak lagi ber-makna hormat, tapi uang. 


Tak hanya itu. Uang juga bisa membuat orang kehila-ngan nyawa. Berita tentang 
seorang pemuda yang tewas terbunuh hanya karena tidak memberi uang seribu 
rupiah untuk satu sloki cap tikus bagi segerombolan preman, adalah juga bukti 
kekuatan uang. Di tingkat lain, seorang pejabat pemerintahan yang menjadi 
terdakwa karena kasus korupsi, bisa bebas, juga karena uang. Uang bisa membuat 
diri terpenjara dalam kebobrokan hidup. Bisa juga membuat diri merdeka dalam 
ketidakmerde-kaan orang lain atau bahkan batin diri sendiri. Dewi Lestari, atau 
Dee, menggambarkan kehebatan uang merasuk hidup manusia dalam novel-nya yang 
hebat itu, Superno-va. Dee, memakai karakter Diva, si tokoh dalam novelnya itu 
untuk menunjukkan betapa nafsu-nafsu, termasuk nafsu seks, telah menjadi ba-han 
komoditi untuk ditukar dengan uang. Dialog-dialog Diva, si tokoh pelacur, 
cantik tapi profesional itu dengan para pelanggannya, meng-hidupkan realitas 
kehebatan uang membunuh jiwa ma-nusia dalam kata-kata yang sara
 t makna. "Coba bayang-kan, Pak. Pendapatan satu bulan pekerja pabrik otomotif 
di Malaysia sama besarnya dengan pekerja di Illinois satu hari. Satu pekerja 
Prancis sama dengan 47 pekerja Viet-nam. Satu montir Amerika seharga 60 montir 
Cina. Itulah perbandingan paling baru dari harga manusia." begitu salah satu 
potongan dialog antara Diva dan Dahlan pelanggannya yang kaya raya. 

Putut Wijaya juga mengilus-trasikan kekuatan gaib uang menarik setiap manusia 
ke da-lam satu titik cita-cita semu lewat cerpennya, Binatang. Agus, tokoh 
dalam cerpennya itu, karena terpesona dengan iming-iming kesejahteraan dari 
pembangunan ekonomi, kemu-dian menjadikan semua anak-nya 'binatang ekonomi'. 
Sejak kecil, semua anaknya dididik bagaimana menjadi pelaku ekonomi yang hebat. 
Arti uang, menjadi mata pelajaran utama. Alhasilnya, ketika anak-anak-nya telah 
benar-benar menjadi pelaku ekonomi dengan uang sebagai benda suci, ia dan 
istrinya, sebagai orangtua mulai merasakan kesejahteraannya. Ia mendapat bagian 
dari keuntu-ngan-keuntungan yang diper-oleh anak-anaknya dalam ber-ekonomi. 
Tapi sayang cerita pendek itu berakhir sedih. Agus dan istrinya, kemudian harus 
menghabiskan masa tuanya di rumah jompo. "Tetapi kemudi-an terjadi perubahan. 
Pada sua-tu hari, anak-anak Agus meng-adakan rapat. Agus diminta hadir. Di 
dalam rapat dihitung secara teliti, berapa bulan Agus sudah m
 erawat masing-masing anak itu. Berapa jumlah yang sudah dikeluarkannya. 
Kemu-dian dikompensasikan berapa rupiah yang sudah dikembali-kan oleh anak-anak 
itu. Ter-nyata hasilnya klop," begitu tulis Putu Wijaya dalam cerpennya itu. 
Jasa orangtua dibanding-kan dengan jumlah uang. Ketika lunas, maka semuanya 
beres. Jasa orangtua, tinggal kena-ngan. Kini uang yang berbicara. Gila benda 
apa uang ini?! Tapi, saya pikir, persoalan sebenar-nya bukan pada uangnya 
se-bagai alat tukar yang adalah benda mati, barang. Uang hanya kertas 
berkualitas antirobek (kalau tidak sengaja, tapi kalau disengaja, pasti robek 
juga dia) dan koin dari logam pilihan. Uang tak bedanya dengan ge-dung tempat 
berlangsungnya persidangan itu. 

Uang sama dengan kamar hotel berbintang atau tak berbintang. Uang, gedung, 
kamar hotel hanyalah ruang dan waktu. Benda-benda ini, adalah netral. Mereka 
tidak hidup, sehingga tidak berdosa, tidak menjijikkan. Juga tidak suci, karena 
tidak hidup.

Malam itu, gedung itu bisa menjadi tempat persidangan. Tapi tahun lalu, di 
gedung itu, ada kampanye politik. Di sana ada money politics, pelangga-ran 
terhadap aturan, dll. Se-buah kamar hotel, malam Se-nin, bisa menjadi tampat 
yang nyaman bagi seorang pelacur berselingkuh dengan seorang lelaki hidung 
belang beranak tiga. Tapi di malam Selasa, di kamar yang sama, ada se-orang 
pendeta, haji, evangelis dan para alim ulama lainnya menginap di sana untuk 
sua-tu tugas. Atau khusus untuk uang. Derma di sebuah gereja pada ibadah minggu 
pagi, adalah sejumlah uang untuk membantu pelayanan kata mereka! Uang, di 
minggu pagi itu, adalah juga tanda ung-kapan syukur kepada Sang Khalik. Tapi 
siapa yang per-nah tahu, kalau ada di antara uang-uang itu yang berasal dari 
tangan si pelacur di ka-mar hotel itu. Kalau begitu, mana yang berdosa dan 
men-jijikkan, benda-benda mati itu atau orang-orang yang meng-gunakan dan 
memaknai ben-da-benda mati itu? Jawab sen-diri, sudah besar! Tapi, kalau Herakl
 eitos yang menjawab pertanyaan ini, barangkali dia akan berkata, "ini masih 
awal dari sebuah proses yang panjang." 

Uang yang sebenarnya ha-nyalah alat tukar, kini men-jadi tujuan. Atau paling 
tidak uang adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan hidup pribadi: 
Kekuasaan, seks dan popularitas! Uang diperkosa oleh manusia. Anehnya, ma-nusia 
sering berdalih, uang-lah yang telah memperbudak mereka. Bodoh sekali, masa-kan 
uang yang adalah benda mati yang memperbudak manusia. 

Semua tindakan manusia yang sangat memutlakkan uang, kekuasaan, popularitas dan 
lain sebagainya itu, sadar atau tidak, sebenarnya akan bermuara pada pembunuhan 
Tuhan barangkali ini yang di-maksud Nietzsche. Olaf Schumann, si pakar ilmu 
agama-agama itu, juga berpikir begitu. Kata Schumaan dalam tulisan-nya, 
Milenium Ketiga dan Tan-tangan agama-agama, (dalam Martin L Sinaga, (ed.) 
Agama-agama Memasuki Milenium Ke-tiga, Jakarta: Grasindo, 2000), "Ideologi yang 
menyatakan ketiadaan, atau kematian Allah memang tidak hanya terdapat di 
kalangan komunis, tetapi juga tampak dalam tenaga yang ser-ba kuat para pemuja 
modal, monopoli ekonomi, penentu tafsiran (atau manipulasi) hukum yang 
diberlakukan dan seterusnya, turut juga menyata-kan ketiadaan Tuhan di alam ini 
ketika cita-cita yang hadir dari hawa nafsu mereka menjadi da-ya yang mereka 
pertuhankan." 

Hati-hati!
Penulis Adalah Jurnalis
Bukit Inspirasi, 16 Maret 2005. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Uang