[list_indonesia] [ppiindia] Re: Tanggapan dari Freedom Institute soal Iklan Dukungan BBM

  • From: "meg4pro" <bright3y3s@xxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Thu, 03 Mar 2005 08:25:21 -0000

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **


Pertanyaan saya gak muluk2:
1. dari mana dana pemasangan iklan itu di dapat..?
Dari pemerintah..?. Atau iuran dari para selebriti, eh intelektual 
tsb atau kocek freedom institute..?
2. Kalau dari Freedom institute, apakah ada dana dari aburizal bakrie 
yg juga merupakan stake holder FI..?
3. kalau dapat dana dari Aburizal Bakrie (pemerintah), apakah pantas 
iklan tersebut dikategorikan bebas dari campur tangan pemerintah dan 
benar2 murni dari hati nurani yang paling dalam dari para bintang 
iklannya..?
4.Apa urgensinya iklan tersebut dibuat. karena tanpa iklan ini pun 
pemerintah bakal tetap menaikkan BBM. Adakah pesanan khusus dari 
pemerintah krn banyaknya pihak yg menolak..?
5.kalau memang peduli dan prihatin (baca : murni, tanpa pamrih) 
dengan besaran subsidi yg harus ditanggung pemerintah, kenapa juga 
iklan ini baru pada saat ini  dibuatnya. Kenapa tidak dari dulu..?. 
FI khan sdh lama berdiri.

Salam,
mega.




--- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, Mario Gagho <gagho@xxxx> wrote:
> forward dari milis kmnu2000
> 
> Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute
> * Tanggapan atas Tanggapan
> 
> Oleh Rizal Mallarangeng
> 
> TAK terduga, iklan yang dipasang Freedom Instutite
> (Kompas, 26/2)
> ditanggapi berbagai pihak dengan antusias, setuju
> maupun tidak. Bahkan
> berbagai komentar yang ada, baik di Kompas maupun
> dalam talkshow
> televisi dan milis internet, mungkin sama serunya
> dengan diskusi
> tentang penghapusan subsidi BBM itu sendiri.
> 
> Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah
> breakthrough ("Maaf, Tak
> Mampu Beriklan", Kompas, 2/3). Dalam sejarah
> Indonesia, belum pernah
> terjadi sejumlah intelektual, pengusaha, profesional,
> dan aktivis
> bersatu mendukung sebuah kebijakan dan mengiklankannya
> sehalaman
> penuh. Sesuatu yang baru, apalagi dengan isu yang
> hangat dan aktual,
> tentu mengundang pro dan kontra. Hal ini dapat
> dipahami dan harus
> disambut dengan tangan terbuka.
> 
> Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga
> hal: substansi
> argumen penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM),
> bentuk, dan
> tokoh yang menyampaikan (iklan dan peran intelektual).
> Saya akan
> menanggapinya satu per satu, namun sebelumnya saya
> ingin mengatakan
> satu hal.
> 
> Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum
> sebagai
> pendukung iklan itu tidak dikendalikan pemerintah.
> Selain membujuk
> masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong
> pemerintah
> untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang
> tepat demi masa
> depan bersama yang lebih baik.
> 
> Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang
> dilematis.
> Kebijakan yang harus dilakukan perlu dan baik, namun
> tidak populer.
> Dalam situasi semacam ini kami memilih peran sebagai
> push factor,
> betapapun terbatasnya, demi meyakinkan dan secara
> tidak langsung
> membesarkan hati pemerintah untuk segera mengambil
> keputusan dan
> menghadapi konsekuensinya.
> 
> To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini
> pemerintah sudah
> mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas
> keberanian semacam
> ini.
> 
> Argumen moral-ekonomi
> 
> Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada
> dasarnya bersifat
> konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek
> moralnya telah
> ditulis dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno ("Jangan
> Tunda Pencabutan
> Subsidi BBM", Kompas, 14/1) dan penjelasan
> teknis-ekonomisnya dibahas
> berkali-kali oleh M Chatib Basri dan Anggito Abimanyu
> di harian ini.
> 
> Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta:
> sebagai
> konsekuensi dari harga minyak dunia yang terus
> melambung, subsidi
> terus membengkak, jauh melebihi rencana semula yang
> "hanya" Rp 19
> triliun. Tanpa pengurangan, subsidi bisa melewati
> angka Rp 70 triliun
> tahun ini (atau hampir setara dengan Rp 200 miliar per
> hari). Dengan
> pengurangan rata-rata 29 persen sekalipun, sebagaimana
> sudah
> diputuskan pemerintah, negara masih mengeluarkan Rp
> 100 miliar lebih
> per hari, atau Rp 39,8 triliun setahun, untuk
> menyangga harga BBM.
> 
> Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu,
> terutama
> terhadap mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun,
> apakah dana
> subsidi BBM yang demikian besar benar-benar tepat dan
> perlu? Apakah
> negara sanggup terus menanggungnya? Apakah subsidi
> mendorong perilaku
> ekonomi yang hemat dan rasional?
> 
> Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang
> mengkritik angka
> dan hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan
> itu. Ini masalah
> serius. Salah satu argumen kami bersandar pada hasil
> penelitian
> empiris yang menunjukkan, subsidi BBM lebih
> menguntungkan mereka yang
> relatif lebih mampu dan kaum yang paling miskin justru
> kurang
> menikmatinya.
> 
> Jika para pengkritik bisa memperlihatkan kekeliruan
> penelitian ini,
> sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai
> tanggapan yang ada
> hanya berkisar pada tingkat abstraksi dan dugaan bahwa
> penelitian itu
> menyesatkan. Jika memang keliru, mana buktinya? Apakah
> ada penelitian
> alternatif yang menunjukkan bahwa faktanya justru
> berbeda dan
> berlawanan?
> 
> Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan,
> persoalan di negeri
> ini begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi,
> inkompetensi, dan
> pemborosan lainnya. Bahkan dana kompensasi yang
> diusulkan pemerintah
> sebesar Rp 17,8 triliun mungkin tidak akan luput dari
> penyalahgunaan
> dan prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Menurut
> mereka, kami
> seharusnya juga peduli dan memerhatikan hal-hal
> seperti itu.
> 
> Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian.
> Namun, Prof
> Widjojo Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun
> lalu bahwa di
> Indonesia hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one
> step at a time.
> Semua persoalan negeri kita harus dihadapi dan
> diselesaikan. Namun,
> yang kini bisa dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu,
> kita dorong lagi
> pemerintah untuk melakukan hal-hal baik lainnya.
> 
> Kaum intelektual
> 
> Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan
> kebijakan tertentu
> yang kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini
> memang menjadi
> tema klasik yang kadang membingungkan di kalangan
> intelektual.
> 
> Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua
> tergantung substansi
> pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk
> pengungkapan. Gagasan
> atau kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah.
> Demikian pula
> gagasan seorang ilmuwan, aktivis, atau mereka yang
> mengklaim diri
> sebagai pejuang kaum tertindas. Tidak ada satu pihak
> pun yang berhak
> mengklaim bahwa merekalah pemegang kebenaran terakhir.
> Hal inilah yang
> harus diperhatikan Abd Rohim Ghazali (Menyoal "Iklan
> Layanan
> Pemerintah", 2/3) dan Agus Surono ("BBM dan Iklan
> Freedom Institute",
> 1/3).
> 
> Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi
> ekonomi Indonesia,
> mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran
> kaum
> intelektual? Mengapa untuk menjadi intelektual harus
> dalam posisi yang
> senantiasa berseberangan dengan pihak yang memegang
> kekuasaan?
> 
> Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian
> dari kaum
> intelektual dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa,
> bahkan menyatu
> dengan kekuasaan sendiri. Kita tentu boleh menentang
> ide atau
> kebijakan mereka. Namun, agak aneh jika kita
> mempersoalkan bahwa
> mereka adalah cendekiawan yang berselingkuh. Mereka
> yakin pada ide-ide
> tertentu, dan berusaha menggunakan apa yang ada di
> sekitarnya,
> termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.
> 
> Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan
> hal yang sama.
> Bahkan Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang
> "berselingkuh"
> dengan kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir.
> Mereka percaya
> pada ide-ide tertentu tentang sebuah negeri yang ideal
> dan mengabdikan
> hidup mereka untuk mewujudkannya, jika perlu dengan
> menjadi presiden
> dan perdana menteri.
> 
> Iklan
> 
> Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut
> dia, iklan
> Freedom Institute adalah "bentuk komunikasi politik
> yang tidak
> strategik bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya".
> Selain itu,
> "iklan itu juga menunjukkan 'compang- camping'-nya
> ruang publik kita".
> 
> Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak
> memiliki kapasitas
> profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika
> begitu banyak yang
> menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya
> menggunakan judul
> yang cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at
> all. Bukankah
> tujuan iklan, salah satunya, memang untuk mencari, dan
> mencuri
> perhatian?
> 
> Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi
> sendiri terpaksa atau
> harus membaca dan memercayai iklan itu? Apakah pada
> dirinya format
> penyampaian pendapat dalam bentuk iklan mengandung
> unsur ketidakadilan
> dan pemaksaan, dan karena itu membuat ruang publik
> kita compang-
> camping? Kalau betul, apa argumennya?
> 
> Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan
> redaksi yang hanya
> memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun
> pendukung kebijakan
> subsidi BBM mendapat tempat sama. Yang penting,
> prinsip bahwa semua
> mendapat perlakuan sama, termasuk mengiklankan
> pendapat tentang satu
> atau beberapa isu publik.
> 
> Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum
> penentang
> pengurangan subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri,
> menggalang dana,
> dan benar- benar meyakini kebenaran gagasannya, harian
> Kompas pasti
> tidak akan keberatan jika mereka ingin memasang iklan,
> dua halaman
> penuh sekalipun.
> 
> Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian
> lazim terjadi. The
> Washington Post dan The New York Times, dua koran
> paling berpengaruh
> di AS, sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam
> bentuk iklan yang
> dipasang oleh tokoh maupun organisasi dari segala
> kalangan, seperti
> pengusaha, pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.
> 
> Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan
> tidak dalam
> warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik.
> Namun, seperti
> iklan sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri
> perhatian, dan
> mengajak orang untuk percaya pada pesan yang
> disampaikan.
> 
> Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka
> harus berpikir
> sendiri dan menimbang-nimbang. Take it or leave it.
> Dalam hal inilah,
> iklan yang mengandung isu kebijakan dan gagasan yang
> kuat dapat
> menjadi instrumen demokrasi dan pendidikan politik
> yang sehat.
> 
> Rizal Mallarangeng Direktur Eksekutif Freedom
> Institute, Jakarta
> 
> 
> 
> 
> =====
> Mario Gagho
> Political Science,
> Agra University, India
> ---------
> A WINNER works harder than a loser and has more time. 
> A LOSER is always "too busy" to do what is necessary.
> 
> 
>       
>               
> __________________________________ 
> Celebrate Yahoo!'s 10th Birthday! 
> Yahoo! Netrospective: 100 Moments of the Web 
> http://birthday.yahoo.com/netrospective/





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child.  Support St. Jude Children's Research Hospital's
'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/mGEjbB/5WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts: