[list_indonesia] [ppiindia] Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 17 Mar 2005 22:52:45 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/18/opini/1626742.htm
Jumat, 18 Maret 2005 


Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan 
Ari A Perdana

"SEDIAKAN pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua 
warga," kata peraih Nobel Ekonomi, Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta, 
seperti dikutip harian ini (15/12). Pernyataan ini dilontarkan Stiglitz ketika 
menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang diperlukan 
Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu 
blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.

PERANAN pendidikan-bahasa teknisnya modal manusia (human capital)-dalam 
pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori 
pertumbuhan ekonomi. Adalah Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) 
yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.

Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya 
mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi 
tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita 
antarnegara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam 
perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.


Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara 
berkembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. 
Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar 
meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah 
dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 
persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 
persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.

Nyatanya, kenaikan drastis dari tingkat pendidikan di negara-negara berkembang 
tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara 
tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat 
lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya 
tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada "keajaiban ekonomi" di Afrika, 
yaitu Botswana dan Lesotho.


Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode 
tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka 
sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang 
negatif.

Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan 
ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi 
sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan 
dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan 
ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.

Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga 
tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan 
per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat 
pendidikan antarnegara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi standar dalam 
tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, di saat yang sama, 
deviasi standar untuk pendapatan per kapita antarnegara meningkat dari 0,93 
menjadi 1,13.
Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi 
dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkatkan produktivitas 
pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan 
meningkat.

Di sisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu 
diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih 
besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, 
penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya 
ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat 
dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya 
berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat 
pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan dan pemerataan. 
Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok 
termiskin.


Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan 
terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit 
gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) 
sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, 
termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.

Dalam studi itu petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih 
produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan 
signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, sering kali 
produktivitas lebih ditentukan oleh pengalaman, bukan pendidikan. Bagi petani 
di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, 
juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.


Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas 
sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa 
mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain 
mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu 
hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti 
Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai 
bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.

Intervensi yang spesifik
Tulisan ini tidak bermaksud menyimpulkan bahwa pendidikan dan kebijakan 
pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Sama sekali tidak. 
Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan 
kontribusi positif pendidikan tidak terlalu besar dalam mendorong pertumbuhan 
ekonomi dan pemerataan. Dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. 
Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan 
secara hati-hati.

Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjebak untuk mengukur peranan pemerintah 
dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi 
bukan pada seberapa besar, melainkan untuk apa.
Filmer dan Pritchett (1997) menemukan bahwa di beberapa negara, meski 
kebanyakan guru dibayar terlalu murah, tambahan anggaran untuk peralatan dan 
gedung memberikan hasil lebih besar.


Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) 
menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an, subsidi pemerintah yang terlalu 
besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan koefisien Gini yang meningkat. 
Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom 
selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi 
masalah lain di luar pendanaan. Di sini dibutuhkan intervensi pemerintah yang 
spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan 
bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kurangnya nutrisi 
murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian obat cacing bagi murid 
SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diterapkan secara 
universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap 
kebijakan neoliberal. Hal yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan 
populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan 
dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.

Ari A Perdana Mahasiswa Kennedy School of Government, Harvard University, 
Cambridge, AS

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan