[list_indonesia] [ppiindia] Pemerintah "Buta dan Tuli"

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 21 Mar 2005 09:45:02 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/21/opini/1632293.htm


Pemerintah "Buta dan Tuli" 
Oleh Mubyarto

BERBAGAI pihak menolak kenaikan harga BBM bukan semata-mata berkeberatan pada 
dampak negatifnya bagi kehidupan ekonomi rakyat, tetapi lebih pada keraguan 
tentang konsep dana kompensasi dan ketidakpercayaan masyarakat bahwa program- 
program yang pro-poor ini akan benar-benar sampai pada sasaran penduduk miskin.

Kebanyakan orang lupa bahwa pemikiran awal program-program penanggulangan 
kemiskinan yang akan dibiayai dari dana kompensasi ini semuanya berasal dari 
program JPS (jaring pengaman sosial) yang diluncurkan pertama kali tahun 
1998/1999 ketika krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Program JPS ini 
semula tak ada dalam "APBN murni", tetapi hampir semuanya didanai dari hibah 
atau pinjaman lunak Bank Dunia, IMF, atau dari Program Pangan Dunia (WFP).

Ketika pemerintah meluncurkan program JPS, dalam suasana "setengah panik", 
pemerintah merasa perlu (untuk sementara) "melupakan" program-program 
penanggulangan kemiskinan yang sudah/sedang berjalan. Pemerintah berasumsi 
ketika itu terjadi "PHK besar-besaran" karena pabrik-pabrik dan bank- bank 
ditutup atau gulung tikar, dan karena tingkat inflasi mencapai 78 persen selama 
1998, banyak muncul "orang miskin baru". Demikian di kota atau desa- desa, yang 
sebelumnya sudah ada kelompok masyarakat (pokmas) miskin yang menerima dan 
menggulirkan dana IDT, setelah terjadi krismon lalu dibentuk pokmas-pokmas 
"miskin baru" yang anggotanya dengan sengaja tidak memasukkan orang-orang 
"miskin lama". Maka di banyak kampung/desa miskin lalu ada dua kelompok orang 
miskin, yaitu miskin lama (anggota pokmas IDT) dan kelompok miskin baru yang 
memanfaatkan dana JPS ala Pemberdayaan Daerah Menghadapi Dampak Krisis Ekonomi 
(PDM- DKE) dan program-program JPS lain-lain, seperti JPS-P (pendidikan) dan 
 JPS-K (kesehatan).

Meskipun program PDM-DKE hanya berjalan sebentar (tiga tahun), berbagai program 
lain dalam bidang pangan (OPK- Operasi Pasar Beras), kesehatan (kartu sehat), 
dan pendidikan (beasiswa) berjalan terus dengan bendera program JPS. Bahkan, 
presiden membentuk Tim Pengendali Program JPS dengan Keppres Nomor 190 Tahun 
1998, diketuai Mar'ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan. Tim ini mengadakan 
rapat-rapat evaluasi dan kunjungan pemantauan ke daerah-daerah dan menemukan 
banyak kejanggalan (kebocoran-kebocoran) dalam pelaksanaan program JPS dan 
sudah melaporkannya kepada pemerintah.

Salah satu kejanggalan yang berkepanjangan sampai sekarang (1998-2004) adalah 
digunakannya data keluarga miskin dari data keluarga prasejahtera dan Keluarga 
Sejahtera (KS) I yang sejak awal merupakan data untuk melaksanakan program 
Keluarga Berencana (KB), bukan untuk penanggulangan kemiskinan. 
Kelompok-kelompok keluarga prasejahtera tidak pernah semuanya merupakan 
keluarga miskin karena selalu diketuai tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan ciri- 
cirinya jelas berbeda dengan ciri-ciri "orang miskin", seperti "anggota 
keluarga tidak melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut". Namun, agar 
dapat dipakai untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, keluarga- 
keluarga prasejahtera dan KS I ini lalu dibagi dengan alasan ekonomi dan bukan 
alasan ekonomi. Data keluarga miskin ala BKKBN ini pada waktu itu merupakan 
"satu-satunya data" yang dimiliki pemerintah dan dapat dipakai untuk menyusun 
program-program JPS karena data terbitan BPS bersifat makro dan paling mudah 
hanya da
 pat disusun sampai tingkat provinsi. Data BKKBN ini angka absolutnya selalu 
lebih besar dari "kenyataan" di lapangan. Angka- angka ini sekarang rupanya 
sudah "disesuaikan" sedemikian rupa sehingga data jumlah penduduk miskin 
Indonesia versi BPS sebanyak 31,6 juta orang akan "ketemu" dengan data keluarga 
miskin yang 8,6 juta keluarga dikalikan 4,2, yaitu angka rata-rata anggota per 
keluarga.

Data keluarga miskin ala BKKBN yang terlalu tinggi (overestimate) "disambut 
baik" oleh pelaksana program di lapangan karena selalu berarti ada "kelebihan 
jatah". Misalnya, dalam pembagian raskin (beras untuk rakyat miskin), kelebihan 
jumlah beras yang harganya hanya Rp 1.000 per kg pasti disambut gembira. Namun, 
karena dalam kenyataan di lapangan keluarga yang benar-benar miskin "berdasar 
alasan ekonomi", yaitu yang tidak mampu membeli beras, jumlahnya selalu lebih 
sedikit, maka beras murah ini (terpaksa) ditawarkan kepada siapa saja di 
desa/kampung yang bersedia membelinya. Alhasil raskin ini di banyak daerah 
tidak pernah dibagi sesuai pedoman, yaitu 20 kg/bulan/keluarga, tetapi hampir 
selalu diterima setiap keluarga, miskin dan tidak miskin, jauh di bawah 10 
kg/keluarga/bulan. Satu kelurahan di Yogyakarta menurut catatan BKKBN hanya ada 
339 keluarga prasejahtera dan KS I, tetapi ketika raskin akan dibagi ternyata 
jumlahnya naik menjadi 652 kk, berarti hampir dua kali lipat.

Bahwa program JPS-Raskin selalu tidak tepat sasaran sesungguhnya sudah 
dilaporkan Tim Pengendali JPS dan tim peneliti lain-lain sejak 1999- 2001. 
Namun, sampai sekarang ketidaktepatan sasaran ini dianggap bukan masalah serius 
karena "dalam praktik beras selalu habis" dan uang hasil penjualan raskin 
diterima Dolog setempat. Masalahnya sekarang adalah, kalau dana kompensasi 
untuk raskin ini dianggarkan Rp 5,4 triliun yang berarti 30 persen dari total 
dana kompensasi, apakah ini wajar dipakai pemerintah sebagai "program utama" 
yang pro-poor. Dengan meneruskan program raskin, pemerintah dapat dianggap 
"tidak peduli" (I don't care) terhadap "pemborosan" atau 
penyimpangan/penyelewengan yang terjadi. Program penanggulangan kemiskinan yang 
memanfaatkan dana kompensasi untuk JPS kesehatan (kartu sehat atau Askes) 
memang perlu diteruskan meskipun juga dilaporkan "bocor" 73 persen. Data 
Susenas yang dilaporkan BPS menunjukkan bahwa program JPS kesehatan (kartu 
sehat) tercapai 26,5 perse
 n, beasiswa murid miskin 33,3 persen (bocor 67 persen), raskin 25,9 persen 
(bocor 74 persen), dan kredit usaha di bawah Rp 10 juta hanya 10 persen (bocor 
90 persen) (Republika, 14/3, hal 1).

TENTANG program "raskin" ini, yang pada awalnya dikenal sebagai program Operasi 
Pasar Khusus Beras (OPK Beras), kami kutipkan kesimpulan TP- JPS tahun 2001 
berikut ini:
"Berdasarkan pengalaman beberapa tahun pelaksanaan, program OPK beras tidak 
banyak membantu penduduk miskin. Bantuan beras yang hanya 5kg-10 kg per 
keluarga tidak dapat mengubah penghidupan. Pembagian beras OPK hanya 
mempertimbangkan tujuan pemerataan, yang dibuktikan dengan keluarga yang 
sebenarnya tidak membutuhkan beras pun tetap mendapat bantuan beras. Di samping 
jumlah beras yang relatif kecil, kualitas beras pun menjadi keluhan para 
penerima karena rasanya yang kurang enak. Bantuan beras sebenarnya sangat 
bermanfaat, khususnya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Program OPK 
Beras harus dihentikan karena dapat berakibat buruk bagi kegairahan sektor 
pertanian dan petani. Ketahanan pangan dapat dicapai dengan meningkatkan daya 
beli, bukan menghukum petani dengan harga beras murah".
Kalau pemerintah sudah mengetahui terjadinya kebocoran- kebocoran yang demikian 
besar dalam program-program pro-poor yang menggunakan dana kompensasi kenaikan 
BBM, tetapi bersikukuh melanjutkannya, apakah ini tidak berarti "pemerintah 
buta dan tuli"? Yang seharusnya ditempuh pemerintah sekarang tidaklah 
mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang "dititipkan" dalam 
penggunaan dana kompensasi BBM.
Mengapa pemerintah terkesan "miskin pemikiran" dan "miskin prakarsa" dalam 
program-program pro-poor ini meskipun di Bappenas, Depdagri, Depsos, dan Menko 
Kesra dan BKKBN, sebenarnya banyak birokrat yang sudah cukup banyak "makan 
garam" dalam program-program penanggulangan kemiskinan yang dibutuhkan? 
Alangkah tragis pemerintah "SBY-JK" yang berjanji mengadakan 
perubahan-perubahan ternyata sekadar melanjutkan kebijakan dan program- program 
penanggulangan kemiskinan yang sudah diketahui banyak keliru dan kebocorannya.
Mubyarto Guru Besar dan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM
Search :


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Pemerintah "Buta dan Tuli"