** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/21/opini/1632293.htm Pemerintah "Buta dan Tuli" Oleh Mubyarto BERBAGAI pihak menolak kenaikan harga BBM bukan semata-mata berkeberatan pada dampak negatifnya bagi kehidupan ekonomi rakyat, tetapi lebih pada keraguan tentang konsep dana kompensasi dan ketidakpercayaan masyarakat bahwa program- program yang pro-poor ini akan benar-benar sampai pada sasaran penduduk miskin. Kebanyakan orang lupa bahwa pemikiran awal program-program penanggulangan kemiskinan yang akan dibiayai dari dana kompensasi ini semuanya berasal dari program JPS (jaring pengaman sosial) yang diluncurkan pertama kali tahun 1998/1999 ketika krisis moneter (krismon) melanda Indonesia. Program JPS ini semula tak ada dalam "APBN murni", tetapi hampir semuanya didanai dari hibah atau pinjaman lunak Bank Dunia, IMF, atau dari Program Pangan Dunia (WFP). Ketika pemerintah meluncurkan program JPS, dalam suasana "setengah panik", pemerintah merasa perlu (untuk sementara) "melupakan" program-program penanggulangan kemiskinan yang sudah/sedang berjalan. Pemerintah berasumsi ketika itu terjadi "PHK besar-besaran" karena pabrik-pabrik dan bank- bank ditutup atau gulung tikar, dan karena tingkat inflasi mencapai 78 persen selama 1998, banyak muncul "orang miskin baru". Demikian di kota atau desa- desa, yang sebelumnya sudah ada kelompok masyarakat (pokmas) miskin yang menerima dan menggulirkan dana IDT, setelah terjadi krismon lalu dibentuk pokmas-pokmas "miskin baru" yang anggotanya dengan sengaja tidak memasukkan orang-orang "miskin lama". Maka di banyak kampung/desa miskin lalu ada dua kelompok orang miskin, yaitu miskin lama (anggota pokmas IDT) dan kelompok miskin baru yang memanfaatkan dana JPS ala Pemberdayaan Daerah Menghadapi Dampak Krisis Ekonomi (PDM- DKE) dan program-program JPS lain-lain, seperti JPS-P (pendidikan) dan JPS-K (kesehatan). Meskipun program PDM-DKE hanya berjalan sebentar (tiga tahun), berbagai program lain dalam bidang pangan (OPK- Operasi Pasar Beras), kesehatan (kartu sehat), dan pendidikan (beasiswa) berjalan terus dengan bendera program JPS. Bahkan, presiden membentuk Tim Pengendali Program JPS dengan Keppres Nomor 190 Tahun 1998, diketuai Mar'ie Muhammad, mantan Menteri Keuangan. Tim ini mengadakan rapat-rapat evaluasi dan kunjungan pemantauan ke daerah-daerah dan menemukan banyak kejanggalan (kebocoran-kebocoran) dalam pelaksanaan program JPS dan sudah melaporkannya kepada pemerintah. Salah satu kejanggalan yang berkepanjangan sampai sekarang (1998-2004) adalah digunakannya data keluarga miskin dari data keluarga prasejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) I yang sejak awal merupakan data untuk melaksanakan program Keluarga Berencana (KB), bukan untuk penanggulangan kemiskinan. Kelompok-kelompok keluarga prasejahtera tidak pernah semuanya merupakan keluarga miskin karena selalu diketuai tokoh-tokoh masyarakat, sedangkan ciri- cirinya jelas berbeda dengan ciri-ciri "orang miskin", seperti "anggota keluarga tidak melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut". Namun, agar dapat dipakai untuk melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, keluarga- keluarga prasejahtera dan KS I ini lalu dibagi dengan alasan ekonomi dan bukan alasan ekonomi. Data keluarga miskin ala BKKBN ini pada waktu itu merupakan "satu-satunya data" yang dimiliki pemerintah dan dapat dipakai untuk menyusun program-program JPS karena data terbitan BPS bersifat makro dan paling mudah hanya da pat disusun sampai tingkat provinsi. Data BKKBN ini angka absolutnya selalu lebih besar dari "kenyataan" di lapangan. Angka- angka ini sekarang rupanya sudah "disesuaikan" sedemikian rupa sehingga data jumlah penduduk miskin Indonesia versi BPS sebanyak 31,6 juta orang akan "ketemu" dengan data keluarga miskin yang 8,6 juta keluarga dikalikan 4,2, yaitu angka rata-rata anggota per keluarga. Data keluarga miskin ala BKKBN yang terlalu tinggi (overestimate) "disambut baik" oleh pelaksana program di lapangan karena selalu berarti ada "kelebihan jatah". Misalnya, dalam pembagian raskin (beras untuk rakyat miskin), kelebihan jumlah beras yang harganya hanya Rp 1.000 per kg pasti disambut gembira. Namun, karena dalam kenyataan di lapangan keluarga yang benar-benar miskin "berdasar alasan ekonomi", yaitu yang tidak mampu membeli beras, jumlahnya selalu lebih sedikit, maka beras murah ini (terpaksa) ditawarkan kepada siapa saja di desa/kampung yang bersedia membelinya. Alhasil raskin ini di banyak daerah tidak pernah dibagi sesuai pedoman, yaitu 20 kg/bulan/keluarga, tetapi hampir selalu diterima setiap keluarga, miskin dan tidak miskin, jauh di bawah 10 kg/keluarga/bulan. Satu kelurahan di Yogyakarta menurut catatan BKKBN hanya ada 339 keluarga prasejahtera dan KS I, tetapi ketika raskin akan dibagi ternyata jumlahnya naik menjadi 652 kk, berarti hampir dua kali lipat. Bahwa program JPS-Raskin selalu tidak tepat sasaran sesungguhnya sudah dilaporkan Tim Pengendali JPS dan tim peneliti lain-lain sejak 1999- 2001. Namun, sampai sekarang ketidaktepatan sasaran ini dianggap bukan masalah serius karena "dalam praktik beras selalu habis" dan uang hasil penjualan raskin diterima Dolog setempat. Masalahnya sekarang adalah, kalau dana kompensasi untuk raskin ini dianggarkan Rp 5,4 triliun yang berarti 30 persen dari total dana kompensasi, apakah ini wajar dipakai pemerintah sebagai "program utama" yang pro-poor. Dengan meneruskan program raskin, pemerintah dapat dianggap "tidak peduli" (I don't care) terhadap "pemborosan" atau penyimpangan/penyelewengan yang terjadi. Program penanggulangan kemiskinan yang memanfaatkan dana kompensasi untuk JPS kesehatan (kartu sehat atau Askes) memang perlu diteruskan meskipun juga dilaporkan "bocor" 73 persen. Data Susenas yang dilaporkan BPS menunjukkan bahwa program JPS kesehatan (kartu sehat) tercapai 26,5 perse n, beasiswa murid miskin 33,3 persen (bocor 67 persen), raskin 25,9 persen (bocor 74 persen), dan kredit usaha di bawah Rp 10 juta hanya 10 persen (bocor 90 persen) (Republika, 14/3, hal 1). TENTANG program "raskin" ini, yang pada awalnya dikenal sebagai program Operasi Pasar Khusus Beras (OPK Beras), kami kutipkan kesimpulan TP- JPS tahun 2001 berikut ini: "Berdasarkan pengalaman beberapa tahun pelaksanaan, program OPK beras tidak banyak membantu penduduk miskin. Bantuan beras yang hanya 5kg-10 kg per keluarga tidak dapat mengubah penghidupan. Pembagian beras OPK hanya mempertimbangkan tujuan pemerataan, yang dibuktikan dengan keluarga yang sebenarnya tidak membutuhkan beras pun tetap mendapat bantuan beras. Di samping jumlah beras yang relatif kecil, kualitas beras pun menjadi keluhan para penerima karena rasanya yang kurang enak. Bantuan beras sebenarnya sangat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Program OPK Beras harus dihentikan karena dapat berakibat buruk bagi kegairahan sektor pertanian dan petani. Ketahanan pangan dapat dicapai dengan meningkatkan daya beli, bukan menghukum petani dengan harga beras murah". Kalau pemerintah sudah mengetahui terjadinya kebocoran- kebocoran yang demikian besar dalam program-program pro-poor yang menggunakan dana kompensasi kenaikan BBM, tetapi bersikukuh melanjutkannya, apakah ini tidak berarti "pemerintah buta dan tuli"? Yang seharusnya ditempuh pemerintah sekarang tidaklah mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan yang "dititipkan" dalam penggunaan dana kompensasi BBM. Mengapa pemerintah terkesan "miskin pemikiran" dan "miskin prakarsa" dalam program-program pro-poor ini meskipun di Bappenas, Depdagri, Depsos, dan Menko Kesra dan BKKBN, sebenarnya banyak birokrat yang sudah cukup banyak "makan garam" dalam program-program penanggulangan kemiskinan yang dibutuhkan? Alangkah tragis pemerintah "SBY-JK" yang berjanji mengadakan perubahan-perubahan ternyata sekadar melanjutkan kebijakan dan program- program penanggulangan kemiskinan yang sudah diketahui banyak keliru dan kebocorannya. Mubyarto Guru Besar dan Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (Pustep) UGM Search : [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **