[list_indonesia] [ppiindia] Pekerja Budaya dalam RUU Guru

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 17 Mar 2005 22:57:57 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/18/opini/1626743.htm
Jumat, 18 Maret 2005 

Pekerja Budaya dalam RUU Guru 
Anita Lie 

KEMEROSOTAN mutu pendidikan nasional di Indonesia seperti ditunjukkan dalam 
berbagai data survei tingkat internasional, seperti TIMSS dan Indeks 
Pembangunan Manusia, tidak bisa dilepaskan dari rendahnya mutu guru karena guru 
mempunyai peran sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pendidikan. 
Sudah cukup banyak artikel ditulis mengenai rendahnya mutu guru. Ditengarai 
kekurangan minat di antara orang muda berkualitas untuk menjadi guru disebabkan 
salah satunya oleh minimnya jaminan kesejahteraan guru seiring dengan revolusi 
material dalam era globalisasi (Priyono, 2004).

DI tengah-tengah keprihatinan terhadap kemerosotan mutu dan status guru, 
Rancangan Undang-Undang Guru (RUU Guru) diluncurkan dengan suatu itikad baik 
untuk mengatur dan memberikan jaminan terhadap perlindungan, kesejahteraan, dan 
profesionalisme guru. Berbagai dialog publik memang perlu diselenggarakan dan 
dilanjutkan agar RUU Guru bisa terus berkembang menjadi suatu undang-undang 
yang memungkinkan para guru untuk meningkatkan profesionalisme dalam rangka 
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Berbagai tanggapan atas RUU Guru dan 
Kode Etik Guru sudah muncul. Hal ini merupakan indikasi positif mengenai 
kepedulian masyarakat atas berbagai persoalan yang terkait dengan profesi guru 
dan pendidikan.

Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permasalahan fundamental dalam sistem 
pendidikan nasional adalah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya, pendidikan 
menghormati dan menghargai martabat manusia beserta segala hak asasinya. 
Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui 
proses pendidikan.

Akan tetapi yang sedang terjadi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak contoh 
dalam praktik-praktik di sekolah yang menunjukkan betapa peserta didik sudah 
diperlakukan sebagai obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan 
bisnis. Guru sebagai pendidik tidak mampu mengembangkan kesadaran untuk 
menghentikan gejala dehumanisasi ini karena para guru sendiri merasa terjebak 
sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional. Persoalan di bawah ini hanya 
sebagian kecil dari realitas dehumanisasi yang dihadapi guru dan sudah sangat 
lama disorot masyarakat:

. Dengan gaji dan tunjangan yang sangat tidak memadai, guru menjadi terlalu 
sibuk dengan upaya mencari penghasilan tambahan sehingga tugas dan tanggung 
jawab sebagai pendidik diabaikan atau tidak dilakukan dengan sepenuh hati.

. Terseret dalam upaya mencari penghasilan tambahan ini, sebagian guru malah 
melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi 
peserta didik dan bahkan membocorkan soal-soal ulangannya sendiri, ikut 
menjualkan buku-buku ajar dari penerbit yang memberikan komisi paling 
memuaskan, atau ikut terlibat sebagai saksi yang menutup mulut atas beberapa 
tindakan manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola 
sekolah.

. Dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang membebani, guru 
sudah tidak punya waktu untuk membaca dan mengembangkan diri. Pengetahuan, 
wawasan, dan kreativitas guru sulit berkembang. Akibatnya, peserta didik mau 
bertahan duduk di hadapan guru di dalam kelas hanya karena mereka harus 
bertahan sebelum bel berbunyi dan menyelesaikan satu jenjang untuk mendapatkan 
ijazah.

. Dengan berbagai kepahitan dan kegetiran hidup sebagai obyek dalam sistem 
pendidikan nasional, sebagian guru belum mampu mengembangkan mekanisme untuk 
mengelola emosi negatif mereka sehingga harus mengumpat di kelas, mengasihani 
diri sendiri, atau memperlakukan peserta didik dengan kasar.

Tentu saja di berbagai tempat masih ada banyak guru yang cerdas, cemerlang, dan 
berhati nurani. Guru-guru ini senantiasa bersinar di tengah-tengah gambaran 
suram para guru seperti di atas.

Dikotomi pekerjaan dan panggilan
RUU Guru mungkin disusun dengan suatu itikad baik untuk memberikan perlindungan 
hukum bagi guru dan profesi keguruan. Ada yang memosisikan guru sebagai pekerja 
budaya (cultural worker) yang harus mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak 
personal dan profesionalnya. Memang selama ini guru sering kali diperlakukan 
secara sewenang-wenang oleh pemerintah maupun sebagian pengelola sekolah 
swasta. Sebagai pekerja, guru berhak mendapatkan kebebasan akademis dan 
berserikat, rasa aman dan jaminan keselamatan, cuti, tunjangan kesehatan, dan 
gaji yang layak seperti diatur dalam RUU Pasal 8 sampai dengan Pasal 12. Guru 
juga berhak mendapatkan prosedur pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian 
yang layak (Pasal 13 sampai dengan Pasal 16), serta Pembinaan dan Pengembangan 
(Pasal 20 dan 21).

Karena Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dianggap tidak memuat 
ketentuan yang mengatur guru, UU Guru diharapkan bisa memberikan perlindungan 
hukum agar guru tidak lagi di-PHK secara sepihak, dieksploitasi waktu dan 
tenaganya dengan upah yang sangat tidak memadai, serta tidak diberikan 
kesempatan untuk berkembang sebagai seorang profesional.

Namun, pada sisi lain, guru bukan buruh. Menjadi guru (sejati) merupakan 
panggilan hati. Bagi seorang guru sejati, tugas utamanya adalah membantu anak 
didik berkembang menjadi manusia yang lebih utuh (Driyarkara, 1980). Apa pun 
situasinya, guru pertama-tama tidak berpikir untuk dirinya sendiri, melainkan 
untuk anak didiknya. Bagi seorang guru yang digerakkan oleh panggilan hati, 
layanan konseling bagi anak didik yang sedang depresi dan mau bunuh diri di 
hari libur resmi pemerintah akan tetap dilakukan walaupun dia tahu sekolah 
tidak membayarnya uang lembur seperti ditetapkan dalam Pasal 27 (2).

Betapapun pergumulan untuk memperjuangkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi 
guru sebagai pekerja, yang membedakan guru yang sejati dengan yang tidak adalah 
bagaimana mereka masing-masing memaknai profesi keguruannya. Yang satu 
menjalaninya sebagai suatu panggilan hidup, sedangkan yang lain melakukan 
pekerjaan untuk mencari nafkah. Di antara kedua model ini tentunya ada gradasi 
dan dinamika pertumbuhan atau kemerosotan.

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menafikan hak atas kesejahteraan bagi para 
guru atas nama panggilan hati (agar pemerintah dan sebagian pengelola sekolah 
bisa terus bertindak sewenang-wenang terhadap guru).

Pada ujung yang lain dari itikad baik para penyusun RUU Guru untuk memberikan 
perlindungan hukum bagi guru adalah kemungkinan penyalahgunaan pasal-pasal 
dalam undang-undang tersebut oleh sebagian guru untuk menutupi kekurangan 
kompetensi dan dedikasi.

Berbagai kebebasan dalam hak profesional guru seperti yang diatur dalam Pasal 
8, misalnya, akan sangat mudah dimanfaatkan oleh guru yang tidak bertanggung 
jawab jika pelaksanaan undang-undang ini di tingkat sekolah tidak disertai 
dengan mekanisme yang jelas.

Intinya, jangan sampai undang-undang guru ini bukannya melindungi guru-guru 
yang layak mendapatkan penghargaan malah menjadi alat bagi beberapa guru yang 
pandai memanfaatkan suatu produk hukum untuk kepentingan pribadinya. Jika hal 
ini terjadi, suatu itikad baik malah akan menodai dunia pendidikan dan membawa 
dampak serius bagi proses pendidikan anak karena bagaimanapun guru seharusnya 
masih menjadi figur yang digugu lan ditiru.

Bahwa guru punya peran sangat penting dan harus dihargai tidak saya gugat. Agar 
pendidikan bisa memanusiakan manusia dan memperlakukan peserta didik sebagai 
subyek, guru sebagai pendidik terlebih dahulu harus diperlakukan sebagai 
subyek. RUU Guru sudah berusaha memberikan perlindungan dan penghargaan yang 
lebih pantas kepada guru sebagai pekerja.

Namun, segala upaya untuk menempatkan guru sebagai subyek sebaiknya tidak 
dilepaskan dari tujuan akhir untuk kepentingan anak didik. Jangan sampai 
pelaksanaan undang-undang guru-dengan segala itikad baiknya-menempatkan guru 
yang berhadapan dengan pemerintah atau pengelola sekolah dalam relasi 
buruh-majikan tanpa ada perhatian memadai terhadap tujuan akhir, yakni 
memanusiakan anak didik.

Anita Lie Dosen FKIP Unika Widya Mandala, Surabaya;Sekjen Dewan Pendidikan Jawa 
Timur

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Take a look at donorschoose.org, an excellent charitable web site for
anyone who cares about public education!
http://us.click.yahoo.com/O.5XsA/8WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Pekerja Budaya dalam RUU Guru