** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** MEDIA INDONESIA Sabtu, 26 Maret 2005 OPINI Kewajiban sebagai Hak Putu Wijaya; Budayawan SEORANG dokter yang bekerja di perairan lepas pantai bercerita tentang pengalamannya di daerah terpencil. Ada pengalaman istimewa yang membelajarkannya tentang apa arti tugas. Etos kerja dalam mekanisme kehidupan kota yang dibawanya, ternyata berbeda dengan tata kerja masyarakat terpencil yang tidak diukur oleh 'prestasi'. Hasilnya ketegangan emosional yang nyaris merusak seluruh tugasnya. Dokter itu telah terdidik untuk melihat kerja sebagai tugas yang kemudian membuahkan hak, sehingga ia terbiasa memaknakan kewajiban adalah hak. Dengan konsep itu, ia menghitung hari kerja sebagai proyek yang harus digarap. Makin berhasil ia menggarap, akan semakin penuh haknya. Sementara penduduk setempat yang menjadi karyawan pembantunya, mengukur kerja dari kebutuhan emosionalnya. Kalau ada minat, mereka bekerja. Kalau merasa ada yang lebih penting, misalnya urusan keluarga, upacara, bahkan tidur dan ngobrol, mereka tak berpikir dua kali untuk tidak masuk kerja. Perbedaan cara memandang kewajiban yang kemudian juga berakhir pada perbedaan memaknai hak tersebut, mengandung potensi konflik. Apabila ingin membenarkan etos kerja sendiri, dokter itu mau tak mau harus memvonis penduduk sebagai orang-orang malas. Karena itu harus dipecat. Sebagai kelanjutannya, ia memikul tugas suci, untuk membelajarkan penduduk tata pikir baru, yang memaknai kerja sebagai hak. Dan, itu berarti akan membongkar tak hanya perilaku, juga konsep hidup. Dan, akhirnya akan berhubungan dengan masalah keyakinan. Tidak mungkin tidak, pasti akan sampai ke pertengkaran. Baik konflik dalam pengertian yang positif, yakni dinamika maupun sebaliknya konflik yang diakhiri permusuhan. Etos kerja yang berbeda menyebabkan ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak. Dokter mendapat beberapa pengalaman lapangan yang pahit. Ia sempat kaget lalu marah, kenapa karyawan yang harusnya masuk setiap hari kerja itu tidak datang setiap hari. Bagi dokter pelanggaran komitmen itu sudah sabotase. Apalagi alasan yang diberikan oleh para pekerjanya sangat tidak relevan. Mereka mengatakan, lagi tidak ada selera bekerja, sedang ada urusan lain, mengurus keperluan keluarga, upacara, atau sama sekali tanpa alasan. Hanya sekadar kepingin tak masuk kerja saja. Buat mereka aneh kenapa tidak hadir mesti harus ada alasan? Dokter tersinggung dan gemas. Ketika ia marah, karyawan itu lebih marah dan siap hendak melakukan pembelaan fisik. Di situ dokter sadar, bukan hanya dalam etos kerja, dalam konsep 'bertengkar' pun mereka berbeda. Dialog yang bagi dokter adalah adu argumentasi mencari mana yang lebih benar, bagi para pembantunya hanya pendahuluannya memerlukan kata-kata, selanjutnya diselesaikan secara fisik. Dengan acuan yang tak sama itu, dialog hanya akan berarti perkelahian. Akhirnya dokter memutuskan hubungan kerja. Ternyata itu tidak menjadi masalah. Para pembantunya bersedia dipecat, hanya saja begitu diberhentikan mereka langsung memboyong tempat tidur inventaris kantor, sebab balai-balai yang pernah mereka tiduri itu sudah dianggap sebagai miliknya. Dokter tak berani mencegah, karena akan berarti perkelahian. Akhirnya dokter memaknai peristiwa itu sebagai pembelajaran buat dirinya. Seluruh konsep kerjanya ternyata sudah mengganggu harmoni penduduk yang sudah berjalan bertahun-tahun. Dokter melakukan introspeksi. Ia mendaur ulang pendapat dan kemudian sikapnya. Pemahamannya tentang etos kerja yang memandang kewajiban adalah hak dibuang. Ia mengembalikan kewajiban hanya sebagai beban yang setiap saat harus disiasati agar bisa dikurangi. Lalu ia mencoba menikmati itu sebagai kebahagiaan baru. Bukan prestasi yang harus diburu, karena itu hanya akan membuat frustrasi, tetapi harmoni. Hidup santai saja, menggelinding mengikuti suasana hati, sehingga tidak perlu ada kontraksi saraf. Setelah mengganti sudut pandang, dokter itu tidak mengalami tegangan emosional lagi. Ia mulai lebih akrab dengan penduduk. Mereka pun mendekat dengan sukarela, karena tidak merasakan lagi ada ancaman bahaya dari kehadiran dokter. Hubungan mulai mesra. Dialog pun terjadi tanpa dipaksa. Dokter menemukan bonus, ketika "kacamatanya" diganti. Apa yang dulu dianggapnya sebagai kemalasan, sebenarnya adalah sebuah protes. Penduduk bukan tak mau memosisikan kewajiban adalah hak. Itu bukan sesuatu yang baru buat mereka. Setiap hari, penduduk sudah melakukannya dalam kebersamaan kelompok di dalam segala hal. Mereka hanya tak ingin memberikannya nama yang keren. Dengan memberikan nama, berarti memberikan batasan. Dengan adanya batasan, kemudian jelas apa yang ya dan apa yang tidak. Hitam dan putih terpisah dalam lempengan yang berbeda. Padahal dalam kenyataan, hidup itu tumpang-tindih. Masyarakat modern menyebut orang yang tidak suka bekerja sebagai pemalas. Kebalikannya, yang suka bekerja adalah orang yang rajin. Predikat itu kemudian menciptakan status sosial atau kasta, karena orang yang rajinlah yang berhak atas pujian. Padahal kerajinan tidak pernah tidak didorong emosi. Tidak pernah tanpa pamrih. Sudah banyak contoh, keuntungan yang diharapkanlah yang sudah membuat orang menjadi rajin. Walhasil orang sebenarnya tidak benar-benar rajin, tetapi hanya ingin untung. Sebaliknya orang malas, tidak otomatis bisa divonis sebagai orang yang tak becus kerja. Ia hanya tidak memburu-buru prestasi. Ia bekerja secukupnya untuk keperluan hidupnya. Bila sedang berburu, ia cukup membunuh satu ekor rusa yang memberi makan sekeluarga selama satu bulan. Lalu selama satu bulan ke depan, ia tak mau berburu lagi. Biar orang lain yang memerlukan rusa yang berburu. Sebab kalau ia berburu, rusa akan cepat punah dan orang lain yang lebih kurang keterampilannya bisa tidak mendapatkan apa-apa. Kalau orang tak mendapatkan apa-apa, ia akan lapar, lalu mungkin akan marah, selanjutnya mencuri dan merecoki ketenangan kehidupan bersama. Di sini apa yang tampak sebagai kemalasan sebenarnya upaya menjaga lingkungan. Dokter teringat kepada tetangganya tukang gado-gado di Pal Meriam, Kebon Kosong. Tukang gado-gado itu memiliki banyak pelanggan, termasuk si dokter sendiri. Tapi sayangnya, tukang gado-gado itu bekerja seenak perutnya. Kalau sedang tidak punya duit ia rajin, tapi begitu beruang, ia langsung pulang ke kampung, sampai satu bulan. Sebagai pelanggan dokter sangat kecewa, akhirnya berhenti sebagai protes. Sepuluh tahun kemudian, dokter melayat seorang koleganya, seorang dokter sukses yang jadi konglomerat pemilik beberapa rumah sakit dan apotek. Karena terlibat politik, skandal perempuan dan KKN, koleganya itu bangkrut, lalu kena serangan jantung dan meninggal. Rumahnya tidak jauh dari tukang gado-gado langganan dokter dulu. Iseng dokter singgah dan membeli gado-gado. Ternyata masih enak. Langganannya tetap banyak. Tapi rumahnya masih yang dulu, kendaraannya masih sepeda lama dan televisi di kamar tamunya juga televisi yang dulu. Bang Samiun tukang gado-gado itu menyapa, untung dokter datang hari itu, karena esoknya, ia akan mudik ke kampung untuk satu bulan. Kangen pada cucu-cucunya, katanya. Dokter termenung. Yang sukses itu sebenarnya siapa? Almarhum dokter yang konglomerat itukah, atau Bang Samiun? Dokter seperti mendapat pencerahan. Ia merasa malu. Orang kota dengan segala kesombongannya, memang selalu turun ke desa dengan maksud untuk memberikan pembelajaran. Tetapi sesungguhnya ia sendirilah yang pantas dihajar dan dibelajarkan, bagaimana melihat inti kebenaran, sehingga tidak tersesat hanya mengelus-elus kulit permukaannya. Dapatkah cerita dokter itu kita jadikan analogi dalam menghadapi masalah kenaikan harga BBM yang lagi memanas sekarang? Tapi pihak mana yang akan mau diibaratkan sebagai dokter dan pihak mana yang menjadi penduduk pedalamannya? *** Dari: "putu wijaya" wijayaputu@xxxxxxxxxxx [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **