** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** SUARA KARYA Kasus Ambalat di Persimpangan Jalan Oleh Ahmad Nurhasim Jumat, (18-03-'05) Desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera memaklumatkan perang atas Malaysia terkait dengan kasus klaim Ambalat sempat mencuat ke permukaan. Pertanyaanya, semudah itukah mengambil keputusan perang? Siapkah Indonesia menanggung risiko dari perang terbuka? Untunglah, pernyataan beberapa anggota DPR itu bukan pernyataan resmi parlemen. Meski demikian, pernyataan di media itu tentu semakin memanaskan konflik yang kini menemui jalan buntu. Tampaknya kasus sengketa Blok Ambalat dan Ambalat Timur makin panas dan kritis. Selain demontrasi marak dengan slogan klasik "Ganyang Malaysia", "provokasi" kapal Malaysia terus terjadi. Setelah beberapa waktu lalu tentara Malaysia menganiaya beberapa pekerja Indonesia yang sedang membangun menara Karang Unarang dan kapal Malasyia beberapa kali masuk kawasan terluar pulau Indonesia di Laut Sulawesi itu, dilaporkan kapal Malaysia memasuki wilayah kedaulatan RI lagi. Kapal Malasyia bahkan mencoba mendekati rambu suar Karang Unarang. Pemerintah belum mengambil tindakan ekstrim untuk menyikapi "provokasi" itu. TNI cukup menyiagakan beberapa kesatuan kompi untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Pasukan kedua belah pihak masih berputar-putar di sekitar kawasan sengketa, sehingga dikhawatirkan ketegangan kedua negara sulit diredakan. Karena, bisa saja pasukan kedua negara saling menunggu kesempatan yang paling tepat untuk "melempar provokasi", dan "secara keras kepala" salah satunya merespon dengan serangan terbuka. Jika ini terjadi, tampaknya "perang terbuka" tinggal menunggu waktu! Tapi, tentu kita tidak ingin menyaksikan negara tetangga, atau bahkan negara kita sendiri porak poranda akibat perang, lantaran kita tidak mampu menyelesaikan persoalan Ambalat dengan jalan nirkekerasan (non-violence). Dukungan rakyat Indonesia terhadap pemerintah untuk "menyelesaikan" kasus Ambalat sangat besar. Terbukti, selain kegiatan demontrasi berkali-kali baik di jalan-jalan maupun di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, beberapa kelompok masyarakat sudah membuka "pos sukarelawan" untuk "mempertahankan" Ambalat dari "caplokan" Malaysia. Yang menarik, puluhan relawan di Solo Jawa Tengah, beberapa hari lalu bahkan sudah berlatih "kesaktian dan olah kanuragan", untuk mempersiapkan diri menghadapi Malaysia. Meski naif, semangat sebagian masyarakat itu layak dihargai. Saya katakan naif, karena sebagian masyarakat kita masih berfikiran bahwa perang modern sekarang dianggap seperti perang tempo dulu yang bersenjatakan otot, parang, godam, dan bambu runcing. Atau, mereka menganggap perang ala sekarang bak perang-perangan seperti yang ditunjukkan dalam film kolosal Angling Darmo. Meski kedua negara, lewat kedua menteri luar negerinya, sepakat menyelesaikan kasus Ambalat dengan jalan damai, sampai sekarang kedua negara belum melangkah lebih jauh lagi. Menurut Pemerintah Indonesia, Malaysia memang sengaja menunda-nunda persoalan Ambalat. Setelah kedua Menlu bertemu pada 10 Maret lalu di Jakarta, dijadualkan tim teknis kedua negara akan bertemu lagi tanggal 22-23 Maret mendatang. Sejarah mengajarkan bahwa perang membutuhkan perhitungan matang dan cermat, dana banyak, kelengkapan persenjataan, dukungan rakyat, dukungan logistik besar, dan yang pasti banyak menelan korban manusia. Dalam kasus Ambalat, bukan mustahil jika perang terbuka dilakukan akan menyeret negara-negara lain. Karena dalam setiap perang, kedua belah pihak akan mencari dan meminta dukungan dari negara lain, baik dalam bentuk dukungan moral, material, tentara, peralatan perang, dan lain sebagainya. Apalagi dalam kasus Ambalat, wilayah yang dipersengketakan mengandung minyak dan gas yang nilainya mencapai miliaran dolar AS. Lebih jauh lagi, kedua negara telah mengundang dua perusahaan multinasional untuk mengekplorasi minyak dan gas. Sejak 16 Pebruari lalu masalah itu makin memanas, karena daerah cadangan Ambalat (demikian Indonesia menyebut) atau blok minyak XYZ (disebut Malaysia) dieksplorasi oleh perusahaan minyak multinasional yang berbeda. Kedua negara telah memberi konsesi eksplorasi kepada perusahaan berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), sementara Petronas Malaysia memberikan izin kepada Shell (Inggris dan Belanda). Indonesia yang lebih dahulu mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya, tentu saja protes atas klaim Malasyia tersebut. Karena di Blok itu Indonesia sudah lebih dahulu melakukan eksplorasi minyak dan gas. Yang mahal dari perang adalah harga kemanusiaan yang harus dibayar. Kekerasan sebelum, saat dan sesudah perang, melahirkan penderitaan mendalam di kedua belah pihak. Meski perang itu dimenangkan Indonesia, misalnya, "api dendam" akan tetap dan terus membara, yang suatu saat pasti akan dilampiaskan, baik dalam bentuk perang terbuka ataupun perang terselubung untuk "menaklukkan" Indonesia, sebagaimana dendamnya rakyat Irak dan Iran terhadap AS, yang dinilai telah melecehkan martabat dan harga diri bangsa berdaulat. Masihkah berlaku, falsafah "jika ingin damai, bersiap-siaplah perang, jika ingin berperang, siap-siaplah berdamai?" Mengambil keputusan perang sangatlah mudah. Yang sulit adalah memutuskan kapan perang berakhir. Rela dan tegakah kita memuntahkan darah para tetangga atau darah anak bangsa sendiri demi secuil pulau? Amerika Serikat saja yang sudah berpuluh kali perang di berbagai penjuru dunia tidak bisa memutuskan kapan waktu yang tepat harus menarik pasukan dari medan perang dilakukan. Meski Kota Baghdad ditaklukkan AS pada 9 April 2003, AS tidak dapat memutuskan kapan saat yang tepat untuk keluar dari Irak. Bahkan perlawanan dari suku-suku Irak makin berani dan tentara AS yang tewas dalam medan perang tersebut makin bertambah setiap hari. Pengalaman AS menunjukkan bahwa perang tidak banyak menyelesaikan masalah, justru sebaliknya melahirkan masalah-masalah baru yang lebih rumit dan menanggung derita yang berkepanjangan. Jika memang perang menjadi pilihan sadar Pemerintah Indonesia, belum tentu kita menang. Karena Malasyia sebenarnya tidak sendirian. Jika perang terbuka menjadi pilihan, akan menghidupkan kembali Five Power Defence Arrangement (Pengaturan Pertahanan Lima Negara) yang melibatkan Malaysia, Singapura, Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Isi pengaturan itu antara lain: apabila ada serangan bersenjata dalam bentuk apa pun terhadap Malaysia dan Singapura, maka kelima negara tersebut akan segera mengadakan konsultasi, dan menentukan tindakan apa yang akan diambil, baik secara bersama-sama maupun secara terpisah. Negara-negara tersebut secara berkala melakukan latihan militer bersama. Latihan militer bersama yang terakhir mereka lakukan pada tanggal 13-16 Maret 1993 di Laut Cina Selatan. (Kompas, 13/3/'05). Tentu saja kita patut menyesalkan kenapa kedua negara tidak segera duduk bersama untuk merundingkan persoalan sensitif tersebut. Kedua negara yang serumpun, sama-sama pendiri dan anggota ASEAN seharusnya melakukan komunikasi yang intensif untuk memimalisir "konflik destruktif" yang akan merugikan hubungan bilateral kedua negara. Pada saat konflik makin panas, mengapa ASEAN, sebagai perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, tidak berkumpul dan duduk satu satu meja serta "mendesak" Indonesia dan Malasyia untuk menyelesaikan persoalannya lewat Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara yang diteken tahun 1976. Sebab dalam Bab IV perjanjian yang ditandatangani perwakilan negara-negara anggotan ASEAN berjudul Pasicif Settlement of Disputes, sangat jelas disebutkan, bahwa negara-negara ASEAN akan senantiasa menyelesaikan segala persengketaan antarmereka melalui perundingan-perundingan bersahabat. Jika tidak ada penyelesaian yang meredakan konflik, negara-negara yang bersengketa dapat menggunakan forum High Council untuk memperoleh bantuan jasa baik mediasi, meminta keterangan, dan konsiliasi. Dengan catatan, kedua negara yang bersengketa menyetujui menggunakan forum High Council sebagai mekanisme penyelesaian. Mereka yang hadir dalam forum tersebut adalah perwakilan dari masing-masing anggota ASEAN. Masing-masing negara mengirim satu orang delegasi dengan kedudukan setingkat menteri. Sayang sekali, hingga kini forum High Council belum berfungsi atau memang sengaja tidak difungsikan (?). Karena pada kenyataannya, Malaysia juga memiliki beberapa masalah dengan anggota ASEAN lainnya, misalnya, terkait dengan peta Malaysia yang disusun tahun 1979, yang memasukkan beberapa pulau terluar negara tetangga sebagai wilayah kedualatannya. Mungkinkah Malaysia dan Indonesia menempuh jalan ketiga, yakni menyerahkan kepada Mahkamah Internasional di Den Haag Belanda, sebagaimana sengketa kasus Pulau Ligitan dan Sipadan? Kita, sampai sekarang kita belum tahu langkah apa yang akan ditempuh kedua negara untuk mengakhiri ketegangan yang sudah hampir satu bulan tersebut. Jalan kekerasan bukanlah jalan terbaik, tapi justru awal munculnya petaka berkepanjangan. *** (Penulis adalah pengamat sosial politik, mantan [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **