[list_indonesia] [ppiindia] Kasus Ambalat di Persimpangan Jalan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Thu, 17 Mar 2005 23:25:09 +0100

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **

SUARA KARYA

Kasus Ambalat di Persimpangan Jalan
Oleh Ahmad Nurhasim 


Jumat, (18-03-'05)
Desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk segera 
memaklumatkan perang atas Malaysia terkait dengan kasus klaim Ambalat sempat 
mencuat ke permukaan. Pertanyaanya, semudah itukah mengambil keputusan perang? 
Siapkah Indonesia menanggung risiko dari perang terbuka? Untunglah, pernyataan 
beberapa anggota DPR itu bukan pernyataan resmi parlemen. Meski demikian, 
pernyataan di media itu tentu semakin memanaskan konflik yang kini menemui 
jalan buntu. 

Tampaknya kasus sengketa Blok Ambalat dan Ambalat Timur makin panas dan kritis. 
Selain demontrasi marak dengan slogan klasik "Ganyang Malaysia", "provokasi" 
kapal Malaysia terus terjadi. Setelah beberapa waktu lalu tentara Malaysia 
menganiaya beberapa pekerja Indonesia yang sedang membangun menara Karang 
Unarang dan kapal Malasyia beberapa kali masuk kawasan terluar pulau Indonesia 
di Laut Sulawesi itu, dilaporkan kapal Malaysia memasuki wilayah kedaulatan RI 
lagi. Kapal Malasyia bahkan mencoba mendekati rambu suar Karang Unarang. 

Pemerintah belum mengambil tindakan ekstrim untuk menyikapi "provokasi" itu. 
TNI cukup menyiagakan beberapa kesatuan kompi untuk bersiap-siap menghadapi 
segala kemungkinan. Pasukan kedua belah pihak masih berputar-putar di sekitar 
kawasan sengketa, sehingga dikhawatirkan ketegangan kedua negara sulit 
diredakan. Karena, bisa saja pasukan kedua negara saling menunggu kesempatan 
yang paling tepat untuk "melempar provokasi", dan "secara keras kepala" salah 
satunya merespon dengan serangan terbuka. Jika ini terjadi, tampaknya "perang 
terbuka" tinggal menunggu waktu! Tapi, tentu kita tidak ingin menyaksikan 
negara tetangga, atau bahkan negara kita sendiri porak poranda akibat perang, 
lantaran kita tidak mampu menyelesaikan persoalan Ambalat dengan jalan 
nirkekerasan (non-violence). 

Dukungan rakyat Indonesia terhadap pemerintah untuk "menyelesaikan" kasus 
Ambalat sangat besar. Terbukti, selain kegiatan demontrasi berkali-kali baik di 
jalan-jalan maupun di depan kantor Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, beberapa 
kelompok masyarakat sudah membuka "pos sukarelawan" untuk "mempertahankan" 
Ambalat dari "caplokan" Malaysia. 

Yang menarik, puluhan relawan di Solo Jawa Tengah, beberapa hari lalu bahkan 
sudah berlatih "kesaktian dan olah kanuragan", untuk mempersiapkan diri 
menghadapi Malaysia. Meski naif, semangat sebagian masyarakat itu layak 
dihargai. Saya katakan naif, karena sebagian masyarakat kita masih berfikiran 
bahwa perang modern sekarang dianggap seperti perang tempo dulu yang 
bersenjatakan otot, parang, godam, dan bambu runcing. Atau, mereka menganggap 
perang ala sekarang bak perang-perangan seperti yang ditunjukkan dalam film 
kolosal Angling Darmo. 

Meski kedua negara, lewat kedua menteri luar negerinya, sepakat menyelesaikan 
kasus Ambalat dengan jalan damai, sampai sekarang kedua negara belum melangkah 
lebih jauh lagi. Menurut Pemerintah Indonesia, Malaysia memang sengaja 
menunda-nunda persoalan Ambalat. Setelah kedua Menlu bertemu pada 10 Maret lalu 
di Jakarta, dijadualkan tim teknis kedua negara akan bertemu lagi tanggal 22-23 
Maret mendatang. 

Sejarah mengajarkan bahwa perang membutuhkan perhitungan matang dan cermat, 
dana banyak, kelengkapan persenjataan, dukungan rakyat, dukungan logistik 
besar, dan yang pasti banyak menelan korban manusia. Dalam kasus Ambalat, bukan 
mustahil jika perang terbuka dilakukan akan menyeret negara-negara lain. Karena 
dalam setiap perang, kedua belah pihak akan mencari dan meminta dukungan dari 
negara lain, baik dalam bentuk dukungan moral, material, tentara, peralatan 
perang, dan lain sebagainya. Apalagi dalam kasus Ambalat, wilayah yang 
dipersengketakan mengandung minyak dan gas yang nilainya mencapai miliaran 
dolar AS. 

Lebih jauh lagi, kedua negara telah mengundang dua perusahaan multinasional 
untuk mengekplorasi minyak dan gas. Sejak 16 Pebruari lalu masalah itu makin 
memanas, karena daerah cadangan Ambalat (demikian Indonesia menyebut) atau blok 
minyak XYZ (disebut Malaysia) dieksplorasi oleh perusahaan minyak multinasional 
yang berbeda. Kedua negara telah memberi konsesi eksplorasi kepada perusahaan 
berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal (AS), 
sementara Petronas Malaysia memberikan izin kepada Shell (Inggris dan Belanda). 
Indonesia yang lebih dahulu mengklaim wilayah itu sebagai kedaulatannya, tentu 
saja protes atas klaim Malasyia tersebut. Karena di Blok itu Indonesia sudah 
lebih dahulu melakukan eksplorasi minyak dan gas. 

Yang mahal dari perang adalah harga kemanusiaan yang harus dibayar. Kekerasan 
sebelum, saat dan sesudah perang, melahirkan penderitaan mendalam di kedua 
belah pihak. Meski perang itu dimenangkan Indonesia, misalnya, "api dendam" 
akan tetap dan terus membara, yang suatu saat pasti akan dilampiaskan, baik 
dalam bentuk perang terbuka ataupun perang terselubung untuk "menaklukkan" 
Indonesia, sebagaimana dendamnya rakyat Irak dan Iran terhadap AS, yang dinilai 
telah melecehkan martabat dan harga diri bangsa berdaulat. 

Masihkah berlaku, falsafah "jika ingin damai, bersiap-siaplah perang, jika 
ingin berperang, siap-siaplah berdamai?" 

Mengambil keputusan perang sangatlah mudah. Yang sulit adalah memutuskan kapan 
perang berakhir. Rela dan tegakah kita memuntahkan darah para tetangga atau 
darah anak bangsa sendiri demi secuil pulau? 

Amerika Serikat saja yang sudah berpuluh kali perang di berbagai penjuru dunia 
tidak bisa memutuskan kapan waktu yang tepat harus menarik pasukan dari medan 
perang dilakukan. Meski Kota Baghdad ditaklukkan AS pada 9 April 2003, AS tidak 
dapat memutuskan kapan saat yang tepat untuk keluar dari Irak. Bahkan 
perlawanan dari suku-suku Irak makin berani dan tentara AS yang tewas dalam 
medan perang tersebut makin bertambah setiap hari. Pengalaman AS menunjukkan 
bahwa perang tidak banyak menyelesaikan masalah, justru sebaliknya melahirkan 
masalah-masalah baru yang lebih rumit dan menanggung derita yang 
berkepanjangan. 

Jika memang perang menjadi pilihan sadar Pemerintah Indonesia, belum tentu kita 
menang. Karena Malasyia sebenarnya tidak sendirian. Jika perang terbuka menjadi 
pilihan, akan menghidupkan kembali Five Power Defence Arrangement (Pengaturan 
Pertahanan Lima Negara) yang melibatkan Malaysia, Singapura, Inggris, 
Australia, dan Selandia Baru. Isi pengaturan itu antara lain: apabila ada 
serangan bersenjata dalam bentuk apa pun terhadap Malaysia dan Singapura, maka 
kelima negara tersebut akan segera mengadakan konsultasi, dan menentukan 
tindakan apa yang akan diambil, baik secara bersama-sama maupun secara 
terpisah. Negara-negara tersebut secara berkala melakukan latihan militer 
bersama. Latihan militer bersama yang terakhir mereka lakukan pada tanggal 
13-16 Maret 1993 di Laut Cina Selatan. (Kompas, 13/3/'05). 

Tentu saja kita patut menyesalkan kenapa kedua negara tidak segera duduk 
bersama untuk merundingkan persoalan sensitif tersebut. Kedua negara yang 
serumpun, sama-sama pendiri dan anggota ASEAN seharusnya melakukan komunikasi 
yang intensif untuk memimalisir "konflik destruktif" yang akan merugikan 
hubungan bilateral kedua negara. 

Pada saat konflik makin panas, mengapa ASEAN, sebagai perhimpunan negara-negara 
Asia Tenggara, tidak berkumpul dan duduk satu satu meja serta "mendesak" 
Indonesia dan Malasyia untuk menyelesaikan persoalannya lewat Perjanjian 
Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara yang diteken tahun 1976. Sebab 
dalam Bab IV perjanjian yang ditandatangani perwakilan negara-negara anggotan 
ASEAN berjudul Pasicif Settlement of Disputes, sangat jelas disebutkan, bahwa 
negara-negara ASEAN akan senantiasa menyelesaikan segala persengketaan 
antarmereka melalui perundingan-perundingan bersahabat. 

Jika tidak ada penyelesaian yang meredakan konflik, negara-negara yang 
bersengketa dapat menggunakan forum High Council untuk memperoleh bantuan jasa 
baik mediasi, meminta keterangan, dan konsiliasi. Dengan catatan, kedua negara 
yang bersengketa menyetujui menggunakan forum High Council sebagai mekanisme 
penyelesaian. Mereka yang hadir dalam forum tersebut adalah perwakilan dari 
masing-masing anggota ASEAN. Masing-masing negara mengirim satu orang delegasi 
dengan kedudukan setingkat menteri. 

Sayang sekali, hingga kini forum High Council belum berfungsi atau memang 
sengaja tidak difungsikan (?). Karena pada kenyataannya, Malaysia juga memiliki 
beberapa masalah dengan anggota ASEAN lainnya, misalnya, terkait dengan peta 
Malaysia yang disusun tahun 1979, yang memasukkan beberapa pulau terluar negara 
tetangga sebagai wilayah kedualatannya. Mungkinkah Malaysia dan Indonesia 
menempuh jalan ketiga, yakni menyerahkan kepada Mahkamah Internasional di Den 
Haag Belanda, sebagaimana sengketa kasus Pulau Ligitan dan Sipadan? 

Kita, sampai sekarang kita belum tahu langkah apa yang akan ditempuh kedua 
negara untuk mengakhiri ketegangan yang sudah hampir satu bulan tersebut. Jalan 
kekerasan bukanlah jalan terbaik, tapi justru awal munculnya petaka 
berkepanjangan. *** 

(Penulis adalah pengamat sosial politik, mantan


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Kasus Ambalat di Persimpangan Jalan