[list_indonesia] [ppiindia] Fwd: IMAN TODAY ...

  • From: "antonhartomo" <antonhartomo@xxxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, koran-sastra@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Sun, 27 Mar 2005 06:26:50 -0000

** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru **


--- In _ITB=20
=20
Gereja Katolik Indonesia Bukan "Alien"=20

Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia=20
Menjadi Gereja Katolik Indonesia
Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap
Penerjemah: R Hardawiryana, SJ
Penerbit: Kanisius, 2005
Tebal Buku: 540 halaman
Ukuran: 16 x 23 cm

Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh=20
Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit=20
merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting=20
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia,=20
Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit=20
nomor satu di dunia.

Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan=20
Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit=20
berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh=20
Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas.=20
Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara=20
pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa=20
(hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia=20
berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja=20
Katolik semesta.=20
Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi=20
tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya=20
ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur=20
yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus "kerasan"=20
di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448).=20
Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja=20
setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun=20
1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya=20
berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat=20
Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam=20
negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat=20
analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut=20
penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi=20
mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana=20
menulis "pentalogi", sebuah refleksi teologis bagi pengembangan=20
reksa pastoral umat Katolik
 Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku=20
bertopik "Cara Baru Menggereja di Indonesia" (2001). Arti reksa=20
pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga=20
pelayanan.

Bukan "Alien"

Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa=20
Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku-
buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia=20
(1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999),=20
buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan=20
Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang=20
keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja=20
dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan=20
sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber,=20
dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin=20
saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah.

Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang=20
sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku=20
tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga=20
tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof=20
adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang=20
dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang=20
penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia=20
Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton=20
teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob=20
Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim=20
PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia=20
Belanda tahun 1934.

Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya=20
nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan=20
historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi.=20
Penegasan "Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia" yang kemudian=20
memunculkan slogan "pro eccelesia et patria" (untuk Gereja dan=20
Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus=20
Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit.

Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto=20
Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya=20
keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga=20
Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik=20
Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad=20
ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para=20
uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun=20
Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai=20
Indonesianisasi.

Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik=20
berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda,=20
termasuk buku Boelaars, ketiganya berangkat dari awal kehadiran=20
Gereja yang dibawa oleh pedagang Portugis. Diuraikan bagaimana VOC=20
maupun Pemerintah Hindia Belanda kurang memberi angin bagi=20
perkembangan Gereja, dan bagaimana keterlibatan awam (bukan=20
rohaniwan/wati) sejak umat Katolik pertama dibaptis tahun 1534=20
sampai sekarang terlibat dalam perputaran roda kehidupan Gereja.=20
Mereka pun tidak menjadi corpus alienum atau "benda asing" (istilah=20
J Boelaars, hal 449) dalam perjalanan jatuh-bangun pembangunan=20
negara bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.

Kronologi, urutan waktu, menjadi pilihan mendekati persoalan.=20
Pengarang berangkat dari awal mula kedatangan agama Katolik ke=20
Indonesia. Patokan tidak diambil catatan Syekh Abu Salih al-Armini=20
bahwa di Sumatera Utara (Barus) pada abad VII sudah ada Katolik=20
Nestorian (hal 60), tetapi ketika pedagang Portugis memburu rempah-
rempah di Maluku tahun 1512. Pada tahun 1534 ada orang Indonesia=20
yang dibaptis Katolik, dan tahun itu pula dijadikan tonggak=20
kehadiran Katolisisme di Indonesia (hal 64).

Kisah awal yang juga sudah ditulis dalam berbagai buku dilanjutkan=20
dengan pentahbisan uskup pertama asli Indonesia, Mgr A=20
Soegijapranata SJ tahun 1940 di Semarang dengan umat sekitar 41.000,=20
sekitar 15.000 di antaranya orang Eropa (hal 112). Lima puluh tahun=20
kemudian, tahun 1990, di seluruh Indonesia terdapat 4,6 juta umat=20
Katolik-pada tahun 1940 termasuk Flores hanya ada sekitar 500.000=20
umat-yang berarti selama 50 tahun ada kelipatan sepuluh kali dengan=20
1.905 pastor (hal 191). Di zaman kolonial Jepang, meskipun ada 74=20
pastor, 47 bruder, 161 suster meninggal di tahanan, tetapi Gereja=20
tetap lestari (hal 119). Sejarah awal kehadiran dan perkembangan=20
Gereja hingga tahun 1050-an bisa juga dibaca dalam buku karya Dr=20
Anhar Gonggong yang terbit tahun 1993 dan buku karya Dr G Budi=20
Subanar SJ yang terbit 2003. Keduanya berkisah tentang sosok Mgr A=20
Soegijapranata.

Menuju Gereja Indonesia

Pengarang memasukkan tahun 1940-1961 sebagai Dari Misi menuju Gereja=20
yang Mandiri (hal 104-139). Pada periode itu setiap Gereja setempat=20
(keuskupan) belum dipersatukan sebagai satu Gereja Indonesia, tetapi=20
masih sebagai Gereja di Indonesia, karena itu berhubungan langsung=20
dengan Takhta Suci di Roma. Dengan dihentikannya status Misi dan=20
didirikannya hierarki Indonesia, berarti kawasan Indonesia=20
ditetapkan sebagai mandiri oleh Roma (hal 139). Ada tantangan besar=20
sebab dari 25 keuskupan, 22 di antaranya dipimpin oleh uskup bukan=20
asli Indonesia, dan dua wilayah masih bersatus prefektur (langsung=20
bertanggung jawab ke Roma), yakni Weetebula dan Sibolga (yang=20
terakhir berstatus keuskupan tahun 1959).

Indonesianisasi dengan konstelasi politik pasca-1965 disemangati,=20
didorong, bahkan "dipaksa" oleh Konsili Vatikan II (1962-65) lewat=20
dokumen-dokumennya yang inklusif. Sidang Majelis Agung Waligereja=20
Indonesia (MAWI) tahun 1966 pun merumuskan bagaimana umat Katolik=20
perlu terlibat dalam program pembangunan nasional. Pernyataan Mgr=20
Soegijapranata yang nyaris menjadi klasik, "100% Indonesia 100%=20
Katolik", ditegaskan kembali oleh Ketua MAWI waktu itu, Justinus=20
Kardinal Darmojuwono.

Indonesianisasi tidak hanya menyangkut perkembangan ordo dan=20
kongregasi yang berkarya, tetapi pertumbuhan jumlah umat sebagai=20
bagian dari negara-bangsa Indonesia. Boelaars memang tidak terlalu=20
menekankan uraian peranan umat dalam politik. Persoalan itu=20
diuraikan panjang dan lengkap dalam buku Muskens, Jan Bank, dan=20
Hasto Rosariyanto. Boelaars terutama memberi penekanan pada cara=20
menggereja dalam arti pewartaan Kabar Gembira (Injil). Pemribumian=20
menjadi kosakata populer, sejalan dengan semangat Konsili Vatikan=20
II. Di antaranya tentang pertumbuhan terbesar jumlah umat Katolik=20
terjadi pada periode tahun 1950-1960 sebesar 7,9 persen, sementara=20
terkecil tahun 1980-1990 sebesar 3,6 persen (hal 192), dengan jumlah=20
antara tahun 1971-1980 ada pertambahan 1,6 juta, sementara Islam 25=20
juta dan Kristen Protestan 2,5 juta.

Kenyataan sekitar 68 persen dari seluruh umat tinggal di daerah=20
pedesaan dan hidup dari bertani (hal 217), menurut Boelaars, menjadi=20
bahan pertimbangan pokok dalam pelayanan. Keputusan Departemen Agama=20
tahun 1978, Nomor 70 dan Nomor 77, dicatat sebagai salah satu fase=20
serius Indonesianisasi. Katolik dan Protestan terhadap keputusan itu=20
menentang dengan alasan melanggar kebebasan beragama (hal 177).=20
Keputusan No 70 berisi peraturan tentang "penyiaran agama kepada=20
rakyat yang beragama lain". Keputusan No 77 tentang bahwa semua=20
bantuan luar negeri kepada golongan agama, baik finansial maupun=20
ketenagaan, hanya dapat disalurkan melalui Departemen Agama. Dua=20
keputusan itu berdampak cukup serius, di antaranya menyangkut=20
kebutuhan tenaga pastor. Meskipun sampai sekarang belum pernah ada=20
pencabutan, ada saja pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk=20
kepentingan politik.

Menantang

Pengarang mencatat pernah terjadi perbedaan pendapat antara Gereja=20
Indonesia dan Pemerintah Indonesia (hal 327), yang memberi kesan=20
seolah-olah kepemimpinan Gereja dapat beralih ke penanganan negara.=20
Masalah muncul ketika pada bulan Mei 1984 pemerintah menyampaikan=20
lima rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR, satu di antaranya RUU=20
tentang Organisasi Kemasyarakatan. Setelah melewati perdebatan=20
panjang, menyangkut soal Gereja Indonesia sebagai bagian dari Gereja=20
Semesta, akhirnya MAWI/KWI pada awal Januari 1987 menerima Pancasila=20
sebagai asas. KWI membutuhkan waktu panjang menafsirkan UU Nomor 8=20
Tahun 1985 itu karena merasa dirinya bukan organisasi masyarakat,=20
tetapi organisasi keagamaan (hal 332).

Inkulturasi seperti disemangati Indonesianisasi, menurut Boelaars,=20
secara umum tidak menimbulkan gejolak. Awalnya memang karena adat=20
berakar dalam pandangan hidup yang melandasinya, perjumpaan Injil=20
(Kabar Gembira) dengan adat, merupakan perjumpaan dua visi religius=20
yang berlainan. Tetapi, setelah keduanya melakukan penyesuaian,=20
perbedaan bisa diatasi, di antaranya terlihat dalam integrasi adat=20
dalam perayaan religius yang mengalami perombakan total. Refleksi=20
teologis yang konsekuen dan serius dilakukan, khususnya menghadapi=20
peraturan-peraturan pemerintah, seperti disebut dua keputusan=20
Departemen Agama dan UU No 8/1985. Refleksi teologis yang=20
kontekstual terus diperkaya lewat pengembangan teologi sosial, di=20
mana titik tolak dasarnya adalah kebutuhan setempat-dalam teologi=20
kemudian, tetapi belum ditelaah Boelaars dalam buku ini-sebagai=20
teologi pembebasan, yakni teologi yang berbasis pada kebutuhan=20
setempat dan aksi nyata perubahan.

Buku ini menantang. Tidak saja untuk dilanjutkan sebagai diskusi=20
besar tentang makna "katolisitas" Indonesia, tetapi setidaknya Dr=20
Boelaars telah mencatat lewat uraian deskriptif-historisnya=20
perjalanan jatuh-bangun Gereja, dari Gereja Katolik di Indonesia=20
menjadi Gereja Katolik Indonesia. Gereja bersama jatuh-bangun negara-
bangsa Indonesia. Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus=20
alienum, bukan sebuah ghetto, tetapi satu kesatuan simbiose-
mutualitis dengan bangsa Indonesia. Buku ini pun menyisakan=20
pekerjaan rumah yang sudah pasti tak kalah menarik, misalnya=20
bagaimana proses Indonesianisasi pascakebangkitan agama-agama,=20
bahkan juga terorisme yang sebenarnya berawal dari persoalan ekonomi-
sosial, tetapi telanjur melekat pada satu sisi hidup keberagamaan.=20
(ST SULARTO)

Minggu, 27 Maret 2005=20

Hidup Itu Singkat=20

Judul: Vita Brevis, Sebuah Gugatan dari Cinta
Pengarang: Jostein Gaarder
Penerjemah : VAM Kaihatu
Penerbit : Jalasutra
Tahun Cetak : Cetakan I, Februari 2005
Tebal : xxvii + 154 halaman

Apa jadinya jika salah seorang peletak dasar teologi sebuah agama=20
menjadi seorang tergugat? Santo Agustinus dalam agama Kristen adalah=20
seperti Alghazali bagi kaum Muslim. Ada satu kesamaan dalam diri=20
masing-masing, yakni sama-sama membuat risalah mengenai perjalanan=20
dirinya, pencarian batinnya, dalam upaya meraih apa yang disebut=20
tujuan final bagi para pemeluk agama. Agustinus menggubah=20
Confessiones (Pengakuan) dan Alghazali mengarang Munqidz Minadholal=20
(Penyelamat dari Kesesatan).

Coba bayangkan, jika seorang sekaliber St Agustinus, yang pengakuan=20
jujur dirinya termuat dalam Confessiones dengan narasi teologis yang=20
indah, tiba-tiba terkuakkan sepenggal kisah yang selama ini tak=20
pernah tercatat dalam sejarah. Pertama orang akan bertanya tentang=20
kebenaran dari penggalan cerita tadi. Reaksi kemudian, tentu saja=20
setiap orang akan mempunyai sudut pandang tersendiri tentang kisah=20
tersebut, mempunyai penafsirannya masing-masing.

Adalah Floria, si penggugat itu, yang mengaku sebagai bekas kekasih=20
sang Santo, dan menggubah surat-surat yang diperuntukkan bagi mantan=20
kekasihnya. Boleh dikatakan ia membuat pengakuan balik atau gugatan=20
balik atas Pengakuan St Agustinus. Ia ingin didengarkan oleh gereja,=20
seperti halnya Pengakuan St Agustinus yang juga dihargai oleh umat=20
Kristiani (hal 30). Jostein Gaarder, si penemu Codex Floriae, surat-
surat mantan kekasih St Agustinus ini, adalah seorang pengarang yang=20
tak asing bagi khalayak pembaca sastra dan filsafat. Dunia Sophie=20
(Sophie's World) merupakan salah satu karya besarnya untuk genre=20
sastra-filsafat, yang diperuntukkan bagi para pemula, terutama=20
remaja.

Di pertengahan musim semi tahun 1995, demikian Gaarder menceritakan=20
asal mula penemuan naskah tua ini, saat pameran buku di Buones=20
Aires, ia mengunjungi pasar loak di San Telmo. Di sebuah toko yang=20
menjual buku-buku dan naskah-naskah kuno, ia menemukan gulungan=20
surat berkertas merah yang bertuliskan aksara Latin: Floria Aemelia=20
Aurelio Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem. Salam dari Floria=20
Aemilia kepada Aurelius Agustinus, Uskup Hippo. Dari benak Gaarder=20
lantas berdatangan aneka pertanyaan yang membuatnya makin penasaran,=20
apakah yang dimaksud si penulis surat adalah Santo Agustinus, Sang=20
Bapak Gereja yang hidup di sekitar abad ke-4 M. Rasa penasarannya=20
tak bisa ditekan dan membuatnya harus bertaruh: ia dengan rela=20
mengeluarkan hampir 12.000 dollar AS demi mendapatkan naskah tua itu.

Setelah menelitinya, Jostein Gaarder berkeyakinan bahwa naskah ini=20
memang asli. Mungkin merupakan salinan dari naskah yang lebih tua=20
dan salinan yang dipegangnya dipastikan berasal dari abad ke-16. Ia=20
kemudian mulai mencoba menerjemahkan surat-surat tersebut. Rasa=20
kagum atas pilihan kata yang indah dari rangkaian tulisan tangan=20
Codex Floriae, dicampur argumentasi teologis dan tuntutan dari=20
seorang perempuan, semakin membuat Gaarder tak bisa menahan diri=20
untuk berbagi dengan khalayak pembaca. Setahun kemudian, Codex=20
Floriae diterbitkan dalam bahasa Norwegia, walaupun untuk judul,=20
Gaarder tetap mengambil kalimat dalam bahasa Latin, yang sering=20
dituliskan berulang kali oleh Floria: Vita Brevis, hidup itu singkat.

Mungkin ada benarnya ungkapan seorang sastrawan Romania, EM=20
Cioran: "Aku lebih menyukai surat-surat Nietzsche daripada membaca=20
karya filsafatnya, ada kejujuran terdapat di sana, daripada buku=20
filsafat yang canggih". Memang dalam penulisan yang serius,=20
penalaran kita yang sistematislah yang lebih berperan. Atau bisa=20
jadi kita memilih kata yang canggih dengan banyak kelokan dan=20
dimaksudkan sebagai daya pikat yang membungkus argumentasi-yang bisa=20
jadi sebenarnya sederhana-dalam sebuah tulisan serius seperti halnya=20
filsafat. Berbeda dengan tulisan filosofis, tulisan dalam bentuk=20
surat menyurat lebih menuturkan perasaan yang berkecamuk: gelisah=20
yang melanda, kemarahan atas sesuatu, perasaan lara, maupun ungkapan=20
cinta, yang semuanya bisa tergambarkan dengan jelas.

Ungkapan perasaan si penulis dalam tulisan bentuk narasi seperti=20
surat menyurat, misalnya, tergambar jelas dalam Confessiones St=20
Agustinus, yang di dalamnya terdapat penuturan tentang hubungan=20
dengan kekasih gelapnya selama 12 tahun. Hubungan gelap tersebut=20
harus berakhir, St Agustinus lebih memilih agama Kristen atau jalan=20
pengendalian diri, yang menuntut pertobatan total atas segala dosa=20
yang telah diperbuatnya di masa lalu.

Perempuan tak bernama, yang oleh St Agustinus disebut Ibu dari=20
Adeodatus, adalah celah kecil yang bisa melebar menjadi sebuah=20
lubang. Penjelasan yang tidak begitu detil ihwal sosok perempuan=20
tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh seseorang yang sangat memahami=20
filsafat Yunani, teologi Kristen, dan sejarah Gereja (bisa jadi=20
orang itu adalah Jostein Gaarder sendiri), entah untuk tujuan apa=20
sehingga bisa menggubah Codex Floriae dengan bahasa dan tema yang=20
benar-benar menyentuh, membuat kita tercenung, merenungkan kembali=20
tentang makna kasih sejati, iman, takdir, tanggung jawab, dan sosok=20
Tuhan itu sendiri.

Itu dugaan yang mungkin, sendainya naskah itu betul-betul tidak=20
dikarang oleh Floria, artinya ada orang lain yang memakai tangan=20
Floria untuk menuliskan sisi yang tak terungkapkan dari kehidupan St=20
Agustinus. Namun, jika naskah ini asli, kita harus mempertimbangkan=20
banyak hal untuk membuktikan autentisitasnya. Pertama, untuk=20
penelusuran naskah adalah hal yang tak mungkin ada mata rantai yang=20
terputus. Si penjual naskah dan buku kuno, di mana Gaarder=20
mendapatkan Codex Floriae, sudah tak ingat lagi dari siapa ia=20
mendapatkannya. Kedua, penelaahan menyangkut isi dari naskah,=20
Gaarder melihatnya dari segi bahasa yang digunakan. Ia berkeyakinan=20
bahwa sintaks dan kosakata yang dipakai betul-betul sudah lama=20
sekali, tidak mungkin berasal dari abad ke-16 dan dikarang di=20
Argentina. Ketiga, dari penelusuran fakta sejarah. Artinya, harus=20
ada kesesuaian antara kisah hidup St Agustinus dan peristiwa-
peristiwa yang digambarkan dalam naskah tersebut. Ini yang dilakukan=20
oleh St Sunardi dalam kata
 pengantar di buku ini. Patut kita ucapkan terima kasih kepada=20
Penerbit Jalasutra, yang telah meminta St Sunardi, yang memang paham=20
betul mengenai sejarah dan pemikiran St Agustinus, untuk menyusun=20
sebuah pengantar yang faktual. Setelah membeberkan fakta-fakta=20
sejarah St Agustinus, sampai akhirnya St Sunardi=20
berkesimpulan: "Jadi tidak mustahil bahwa naskah Floria ini asli".

Terlepas dari bagaimana dan seperti apa naskah ini dibuat atau jika=20
kita melihat secara obyektif terhadap isi teksnya akan kita temukan=20
perspektif yang cukup menggugah tentang bagaimana kita memandang St=20
Agustinus dan juga ajaran Kristen. Dalam sebuah karyanya Fihi Ma=20
Fihi, Maulana Rumi bertutur liris, "=85Jalan Nabi Isa adalah=20
perjuangan menahan diri dalam sunyi dan menjauhi godaan hasrat=20
berahi...." Kisah hidup St Agustinus dalam Confessiones, dan=20
dilengkapi dengan surat Flora, setidaknya memberikan gambaran betapa=20
kerasnya perjuangan batin Sang Santo dalam menempuh jalan=20
pengendalian diri ini.

Sedangkan dari telaah teologis, surat-surat Floria menggambarkan=20
adanya perbedaan yang berlawanan antara dirinya dan St Agustinus=20
dalam memandang Tuhan, agama, kehidupan, dan hubungan lawan jenis.=20
Floria mewakili paganisme di masa itu, yakni tradisi yang diwariskan=20
dari Yunani-Romawi, sedangkan St Agustinus setelah bertobat,=20
mewakili jalan Isa atau jalan pengendalian diri. Perbedaan pertama=20
menyangkut hubungan di antara keduanya. Bagi Floria hubungan cinta=20
antara St Agustinus dan dirinya dilandasi sebuah cinta ilahiah,=20
tidak hanya berdasar hasrat raga semata, sedangkan bagi St Agustinus=20
jelas sekali bahwa kehidupan masa lalu dengan kekasih gelapnya=20
adalah kubangan penuh lumpur dosa yang harus dijauhi.

Kedua, dalam hal memandang Tuhan. Bagi Floria gambaran tentang Tuhan=20
adalah Dia yang tidak menuntut korban-jelas ia menganggap dirinya=20
sebagai korban dari tindakan St Agustinus, sedangkan bagi St=20
Agustinus seperti yang dicontohkan Nabi Isa dan para rasulnya, Tuhan=20
menuntut pengorbanan diri kita secara total. Ketiga adalah dalam=20
cara memandang kehidupan, keduanya menyadari betul akan betapa=20
singkatnya hidup ini. Karena itu, harus dengan yang paling bermakna.=20
Bagi Floria, kebermaknaan hidupnya terjadi manakala ia bisa bersama=20
kekasihnya dalam kehidupan dunia ini. Namun, lain lagi bagi St=20
Agustinus, kehidupan singkat dan fana ini harus ditukar dengan=20
sesuatu yang lebih berharga, yakni kehidupan surga yang kekal kelak=20
di kemudian hari.

Himawijaya, Eksponen Komunitas Textour, Rumah Buku Bandung.

--- End forwarded message ---






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->=20
Give the gift of life to a sick child.=20
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~->=20

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg=
 Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;=20
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
=20
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
=20



** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **

Other related posts:

  • » [list_indonesia] [ppiindia] Fwd: IMAN TODAY ...