** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.da.ru ** --- In _ITB=20 =20 Gereja Katolik Indonesia Bukan "Alien"=20 Judul buku: Indonesianisasi. Dari Gereja Katolik di Indonesia=20 Menjadi Gereja Katolik Indonesia Penulis: Dr Huub JWM Boelaars, OFM Cap Penerjemah: R Hardawiryana, SJ Penerbit: Kanisius, 2005 Tebal Buku: 540 halaman Ukuran: 16 x 23 cm Kisah sukses kelapa sawit, menurut Dr Huub J Boelaars, adalah contoh=20 Indonesianisasi yang berhasil. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit=20 merupakan komoditas ekspor yang sekarang menjadi soko guru penting=20 bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum direbut oleh Malaysia,=20 Indonesia pernah tercatat sebagai penghasil minyak kelapa sawit=20 nomor satu di dunia. Keberhasilan itu, tulis Boelaars, seorang pastor Ordo Fransiskan=20 Kapusin, berawal dari yang sederhana. Pohon-pohon kelapa sawit=20 berasal dari sebuah pohon kelapa sawit yang ditanam tahun 1848 oleh=20 Dr Johannes Elias Teijsman di Kebun Raya Bogor. Analoginya jelas.=20 Kekristenan yang tidak berasal dari Indonesia ditanam di Nusantara=20 pada awal-awal abad yang silam, kemudian mengakar menjadi dewasa=20 (hal 21). Melalui proses inkulturasi, Gereja Katolik Indonesia=20 berkembang dan buah proses itu memberi sumbangan besar bagi Gereja=20 Katolik semesta.=20 Indonesianisasi dalam konteks buku ini berarti proses integrasi=20 tidak menuju mentalitas ghetto. Gereja Katolik (Roma)-selanjutnya=20 ditulis Gereja Katolik atau Gereja-dalam proses tidak menjadi unsur=20 yang terasing dalam masyarakat (Indonesia). Gereja harus "kerasan"=20 di Indonesia dan dipandang sebagai gejala yang biasa (hal 448).=20 Indonesianisasi tiada lain ialah pemribumian atau pembangunan Gereja=20 setempat di Indonesia (hal 56). Pernyataan yang dirumuskan tahun=20 1972 itu menjadi titik berangkat buku J Boelaars yang aslinya=20 berbahasa Belanda. Premis Boelaars, benarkah di kalangan umat=20 Katolik ada mental ghetto? Benarkah Gereja belum terintegrasi dalam=20 negara-bangsa Indonesia? Jawaban atas premis diuraikan lewat=20 analisis historis-deskriptif, sebuah pendekatan yang unik menurut=20 penerjemahnya, Pater Hardawiryana, teolog yang merasa terinspirasi=20 mengembangkannya. Berkat buku itu Pater Hardawiryana=20 menulis "pentalogi", sebuah refleksi teologis bagi pengembangan=20 reksa pastoral umat Katolik Indonesia (hal 9-10) yang terdiri atas lima judul buku=20 bertopik "Cara Baru Menggereja di Indonesia" (2001). Arti reksa=20 pastoral selain menekankan pembinaan dan pengembangan, juga=20 pelayanan. Bukan "Alien" Ditempatkan dalam sederet buku sejarah perjalanan Gereja berbahasa=20 Indonesia, buku ini komplementer. Di antaranya ia melengkapi buku- buku Dr MPM Muskens (editor) Sejarah Gereja Katolik Indonesia=20 (1974), buku Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (1999),=20 buku Dr F Hasto Rosariyanto SJ (ed) Bercermin pada Wajah Keuskupan=20 Gereja Katolik Indonesia (2001), dan buku-buku deskriptif tentang=20 keuskupan-keuskupan setempat maupun analisis tentang hubungan Gereja=20 dan negara, Gereja dan masyarakat Indonesia. Data yang dikumpulkan=20 sangat lengkap, rinci dan diperbandingkan dengan berbagai sumber,=20 dianalisis secara deskriptif mendalam sehingga tidak kering. Mungkin=20 saja itu pun berkat sentuhan tangan penerjemah. Buku ini tidak menguraikan munculnya nasionalisme Indonesia yang=20 sudah ditulis Dr Muskens dan Dr Bank, di mana dalam kedua buku=20 tersebut pihak Indonesia memperoleh banyak penguraian. Boelaars juga=20 tidak menguraikan kasus konflik Jacob Groof-J Rochussen. Jacob Groof=20 adalah Vikaris Apostolik (perwakilan Paus di suatu Gereja) yang=20 dikirim ke Hindia Belanda tahun 1845 oleh Vatikan. Sebagai seorang=20 penganut garis konservatif, ia menganjurkan umat Katolik di Hindia=20 Belanda menjauhi kenikmatan duniawi, seperti pesta dan menonton=20 teater. Gubernur Hindia Belanda JJ Rochussen tidak berkenan. Jacob=20 Groof diminta dikembalikan ke Belanda, dan sebagai pengganti dikirim=20 PJ Willekens yang kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Hindia=20 Belanda tahun 1934. Buku ini juga tidak menguraikan secara rinci berkembangnya=20 nasionalisme di kalangan tokoh-tokoh Katolik, walaupun kenyataan=20 historis ini menjadi faktor penting dalam nuansa Indonesianisasi.=20 Penegasan "Saya 100% Katolik dan 100% Indonesia" yang kemudian=20 memunculkan slogan "pro eccelesia et patria" (untuk Gereja dan=20 Negara) dari uskup asli pertama Indonesia, Mgr Albertus=20 Soegijapranata SJ, hanya disinggung sedikit. Titik temu mungkin banyak terjadi dengan buku Pater Hasto=20 Rosariyanto (editor), yang merupakan refleksi atas berdirinya=20 keuskupan-keuskupan, mulai dari Provinsi Gerejani Ende hingga=20 Provinsi Gerejani Makassar. Lewat pembagian tiga fase Gereja Katolik=20 Indonesia (fase I tahun 1534-sampai akhir abad ke-18, fase II abad=20 ke-19, fase III abad ke-20), buku yang terkumpul dari tulisan para=20 uskup itu mengajak pembaca bercermin pada perjalanan jatuh-bangun=20 Gereja Katolik Indonesia, atau menurut istilah Boelaars sebagai=20 Indonesianisasi. Dari antara buku Jan Bank, Muskens, dan Hasto ditemukan tiga titik=20 berangkat yang sama. Dengan redaksi dan penekanan yang berbeda,=20 termasuk buku Boelaars, ketiganya berangkat dari awal kehadiran=20 Gereja yang dibawa oleh pedagang Portugis. Diuraikan bagaimana VOC=20 maupun Pemerintah Hindia Belanda kurang memberi angin bagi=20 perkembangan Gereja, dan bagaimana keterlibatan awam (bukan=20 rohaniwan/wati) sejak umat Katolik pertama dibaptis tahun 1534=20 sampai sekarang terlibat dalam perputaran roda kehidupan Gereja.=20 Mereka pun tidak menjadi corpus alienum atau "benda asing" (istilah=20 J Boelaars, hal 449) dalam perjalanan jatuh-bangun pembangunan=20 negara bangsa Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang. Kronologi, urutan waktu, menjadi pilihan mendekati persoalan.=20 Pengarang berangkat dari awal mula kedatangan agama Katolik ke=20 Indonesia. Patokan tidak diambil catatan Syekh Abu Salih al-Armini=20 bahwa di Sumatera Utara (Barus) pada abad VII sudah ada Katolik=20 Nestorian (hal 60), tetapi ketika pedagang Portugis memburu rempah- rempah di Maluku tahun 1512. Pada tahun 1534 ada orang Indonesia=20 yang dibaptis Katolik, dan tahun itu pula dijadikan tonggak=20 kehadiran Katolisisme di Indonesia (hal 64). Kisah awal yang juga sudah ditulis dalam berbagai buku dilanjutkan=20 dengan pentahbisan uskup pertama asli Indonesia, Mgr A=20 Soegijapranata SJ tahun 1940 di Semarang dengan umat sekitar 41.000,=20 sekitar 15.000 di antaranya orang Eropa (hal 112). Lima puluh tahun=20 kemudian, tahun 1990, di seluruh Indonesia terdapat 4,6 juta umat=20 Katolik-pada tahun 1940 termasuk Flores hanya ada sekitar 500.000=20 umat-yang berarti selama 50 tahun ada kelipatan sepuluh kali dengan=20 1.905 pastor (hal 191). Di zaman kolonial Jepang, meskipun ada 74=20 pastor, 47 bruder, 161 suster meninggal di tahanan, tetapi Gereja=20 tetap lestari (hal 119). Sejarah awal kehadiran dan perkembangan=20 Gereja hingga tahun 1050-an bisa juga dibaca dalam buku karya Dr=20 Anhar Gonggong yang terbit tahun 1993 dan buku karya Dr G Budi=20 Subanar SJ yang terbit 2003. Keduanya berkisah tentang sosok Mgr A=20 Soegijapranata. Menuju Gereja Indonesia Pengarang memasukkan tahun 1940-1961 sebagai Dari Misi menuju Gereja=20 yang Mandiri (hal 104-139). Pada periode itu setiap Gereja setempat=20 (keuskupan) belum dipersatukan sebagai satu Gereja Indonesia, tetapi=20 masih sebagai Gereja di Indonesia, karena itu berhubungan langsung=20 dengan Takhta Suci di Roma. Dengan dihentikannya status Misi dan=20 didirikannya hierarki Indonesia, berarti kawasan Indonesia=20 ditetapkan sebagai mandiri oleh Roma (hal 139). Ada tantangan besar=20 sebab dari 25 keuskupan, 22 di antaranya dipimpin oleh uskup bukan=20 asli Indonesia, dan dua wilayah masih bersatus prefektur (langsung=20 bertanggung jawab ke Roma), yakni Weetebula dan Sibolga (yang=20 terakhir berstatus keuskupan tahun 1959). Indonesianisasi dengan konstelasi politik pasca-1965 disemangati,=20 didorong, bahkan "dipaksa" oleh Konsili Vatikan II (1962-65) lewat=20 dokumen-dokumennya yang inklusif. Sidang Majelis Agung Waligereja=20 Indonesia (MAWI) tahun 1966 pun merumuskan bagaimana umat Katolik=20 perlu terlibat dalam program pembangunan nasional. Pernyataan Mgr=20 Soegijapranata yang nyaris menjadi klasik, "100% Indonesia 100%=20 Katolik", ditegaskan kembali oleh Ketua MAWI waktu itu, Justinus=20 Kardinal Darmojuwono. Indonesianisasi tidak hanya menyangkut perkembangan ordo dan=20 kongregasi yang berkarya, tetapi pertumbuhan jumlah umat sebagai=20 bagian dari negara-bangsa Indonesia. Boelaars memang tidak terlalu=20 menekankan uraian peranan umat dalam politik. Persoalan itu=20 diuraikan panjang dan lengkap dalam buku Muskens, Jan Bank, dan=20 Hasto Rosariyanto. Boelaars terutama memberi penekanan pada cara=20 menggereja dalam arti pewartaan Kabar Gembira (Injil). Pemribumian=20 menjadi kosakata populer, sejalan dengan semangat Konsili Vatikan=20 II. Di antaranya tentang pertumbuhan terbesar jumlah umat Katolik=20 terjadi pada periode tahun 1950-1960 sebesar 7,9 persen, sementara=20 terkecil tahun 1980-1990 sebesar 3,6 persen (hal 192), dengan jumlah=20 antara tahun 1971-1980 ada pertambahan 1,6 juta, sementara Islam 25=20 juta dan Kristen Protestan 2,5 juta. Kenyataan sekitar 68 persen dari seluruh umat tinggal di daerah=20 pedesaan dan hidup dari bertani (hal 217), menurut Boelaars, menjadi=20 bahan pertimbangan pokok dalam pelayanan. Keputusan Departemen Agama=20 tahun 1978, Nomor 70 dan Nomor 77, dicatat sebagai salah satu fase=20 serius Indonesianisasi. Katolik dan Protestan terhadap keputusan itu=20 menentang dengan alasan melanggar kebebasan beragama (hal 177).=20 Keputusan No 70 berisi peraturan tentang "penyiaran agama kepada=20 rakyat yang beragama lain". Keputusan No 77 tentang bahwa semua=20 bantuan luar negeri kepada golongan agama, baik finansial maupun=20 ketenagaan, hanya dapat disalurkan melalui Departemen Agama. Dua=20 keputusan itu berdampak cukup serius, di antaranya menyangkut=20 kebutuhan tenaga pastor. Meskipun sampai sekarang belum pernah ada=20 pencabutan, ada saja pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk=20 kepentingan politik. Menantang Pengarang mencatat pernah terjadi perbedaan pendapat antara Gereja=20 Indonesia dan Pemerintah Indonesia (hal 327), yang memberi kesan=20 seolah-olah kepemimpinan Gereja dapat beralih ke penanganan negara.=20 Masalah muncul ketika pada bulan Mei 1984 pemerintah menyampaikan=20 lima rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR, satu di antaranya RUU=20 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Setelah melewati perdebatan=20 panjang, menyangkut soal Gereja Indonesia sebagai bagian dari Gereja=20 Semesta, akhirnya MAWI/KWI pada awal Januari 1987 menerima Pancasila=20 sebagai asas. KWI membutuhkan waktu panjang menafsirkan UU Nomor 8=20 Tahun 1985 itu karena merasa dirinya bukan organisasi masyarakat,=20 tetapi organisasi keagamaan (hal 332). Inkulturasi seperti disemangati Indonesianisasi, menurut Boelaars,=20 secara umum tidak menimbulkan gejolak. Awalnya memang karena adat=20 berakar dalam pandangan hidup yang melandasinya, perjumpaan Injil=20 (Kabar Gembira) dengan adat, merupakan perjumpaan dua visi religius=20 yang berlainan. Tetapi, setelah keduanya melakukan penyesuaian,=20 perbedaan bisa diatasi, di antaranya terlihat dalam integrasi adat=20 dalam perayaan religius yang mengalami perombakan total. Refleksi=20 teologis yang konsekuen dan serius dilakukan, khususnya menghadapi=20 peraturan-peraturan pemerintah, seperti disebut dua keputusan=20 Departemen Agama dan UU No 8/1985. Refleksi teologis yang=20 kontekstual terus diperkaya lewat pengembangan teologi sosial, di=20 mana titik tolak dasarnya adalah kebutuhan setempat-dalam teologi=20 kemudian, tetapi belum ditelaah Boelaars dalam buku ini-sebagai=20 teologi pembebasan, yakni teologi yang berbasis pada kebutuhan=20 setempat dan aksi nyata perubahan. Buku ini menantang. Tidak saja untuk dilanjutkan sebagai diskusi=20 besar tentang makna "katolisitas" Indonesia, tetapi setidaknya Dr=20 Boelaars telah mencatat lewat uraian deskriptif-historisnya=20 perjalanan jatuh-bangun Gereja, dari Gereja Katolik di Indonesia=20 menjadi Gereja Katolik Indonesia. Gereja bersama jatuh-bangun negara- bangsa Indonesia. Gereja bukan suatu makhluk asing, suatu corpus=20 alienum, bukan sebuah ghetto, tetapi satu kesatuan simbiose- mutualitis dengan bangsa Indonesia. Buku ini pun menyisakan=20 pekerjaan rumah yang sudah pasti tak kalah menarik, misalnya=20 bagaimana proses Indonesianisasi pascakebangkitan agama-agama,=20 bahkan juga terorisme yang sebenarnya berawal dari persoalan ekonomi- sosial, tetapi telanjur melekat pada satu sisi hidup keberagamaan.=20 (ST SULARTO) Minggu, 27 Maret 2005=20 Hidup Itu Singkat=20 Judul: Vita Brevis, Sebuah Gugatan dari Cinta Pengarang: Jostein Gaarder Penerjemah : VAM Kaihatu Penerbit : Jalasutra Tahun Cetak : Cetakan I, Februari 2005 Tebal : xxvii + 154 halaman Apa jadinya jika salah seorang peletak dasar teologi sebuah agama=20 menjadi seorang tergugat? Santo Agustinus dalam agama Kristen adalah=20 seperti Alghazali bagi kaum Muslim. Ada satu kesamaan dalam diri=20 masing-masing, yakni sama-sama membuat risalah mengenai perjalanan=20 dirinya, pencarian batinnya, dalam upaya meraih apa yang disebut=20 tujuan final bagi para pemeluk agama. Agustinus menggubah=20 Confessiones (Pengakuan) dan Alghazali mengarang Munqidz Minadholal=20 (Penyelamat dari Kesesatan). Coba bayangkan, jika seorang sekaliber St Agustinus, yang pengakuan=20 jujur dirinya termuat dalam Confessiones dengan narasi teologis yang=20 indah, tiba-tiba terkuakkan sepenggal kisah yang selama ini tak=20 pernah tercatat dalam sejarah. Pertama orang akan bertanya tentang=20 kebenaran dari penggalan cerita tadi. Reaksi kemudian, tentu saja=20 setiap orang akan mempunyai sudut pandang tersendiri tentang kisah=20 tersebut, mempunyai penafsirannya masing-masing. Adalah Floria, si penggugat itu, yang mengaku sebagai bekas kekasih=20 sang Santo, dan menggubah surat-surat yang diperuntukkan bagi mantan=20 kekasihnya. Boleh dikatakan ia membuat pengakuan balik atau gugatan=20 balik atas Pengakuan St Agustinus. Ia ingin didengarkan oleh gereja,=20 seperti halnya Pengakuan St Agustinus yang juga dihargai oleh umat=20 Kristiani (hal 30). Jostein Gaarder, si penemu Codex Floriae, surat- surat mantan kekasih St Agustinus ini, adalah seorang pengarang yang=20 tak asing bagi khalayak pembaca sastra dan filsafat. Dunia Sophie=20 (Sophie's World) merupakan salah satu karya besarnya untuk genre=20 sastra-filsafat, yang diperuntukkan bagi para pemula, terutama=20 remaja. Di pertengahan musim semi tahun 1995, demikian Gaarder menceritakan=20 asal mula penemuan naskah tua ini, saat pameran buku di Buones=20 Aires, ia mengunjungi pasar loak di San Telmo. Di sebuah toko yang=20 menjual buku-buku dan naskah-naskah kuno, ia menemukan gulungan=20 surat berkertas merah yang bertuliskan aksara Latin: Floria Aemelia=20 Aurelio Augustino Episcopo Hipponiensi Salutem. Salam dari Floria=20 Aemilia kepada Aurelius Agustinus, Uskup Hippo. Dari benak Gaarder=20 lantas berdatangan aneka pertanyaan yang membuatnya makin penasaran,=20 apakah yang dimaksud si penulis surat adalah Santo Agustinus, Sang=20 Bapak Gereja yang hidup di sekitar abad ke-4 M. Rasa penasarannya=20 tak bisa ditekan dan membuatnya harus bertaruh: ia dengan rela=20 mengeluarkan hampir 12.000 dollar AS demi mendapatkan naskah tua itu. Setelah menelitinya, Jostein Gaarder berkeyakinan bahwa naskah ini=20 memang asli. Mungkin merupakan salinan dari naskah yang lebih tua=20 dan salinan yang dipegangnya dipastikan berasal dari abad ke-16. Ia=20 kemudian mulai mencoba menerjemahkan surat-surat tersebut. Rasa=20 kagum atas pilihan kata yang indah dari rangkaian tulisan tangan=20 Codex Floriae, dicampur argumentasi teologis dan tuntutan dari=20 seorang perempuan, semakin membuat Gaarder tak bisa menahan diri=20 untuk berbagi dengan khalayak pembaca. Setahun kemudian, Codex=20 Floriae diterbitkan dalam bahasa Norwegia, walaupun untuk judul,=20 Gaarder tetap mengambil kalimat dalam bahasa Latin, yang sering=20 dituliskan berulang kali oleh Floria: Vita Brevis, hidup itu singkat. Mungkin ada benarnya ungkapan seorang sastrawan Romania, EM=20 Cioran: "Aku lebih menyukai surat-surat Nietzsche daripada membaca=20 karya filsafatnya, ada kejujuran terdapat di sana, daripada buku=20 filsafat yang canggih". Memang dalam penulisan yang serius,=20 penalaran kita yang sistematislah yang lebih berperan. Atau bisa=20 jadi kita memilih kata yang canggih dengan banyak kelokan dan=20 dimaksudkan sebagai daya pikat yang membungkus argumentasi-yang bisa=20 jadi sebenarnya sederhana-dalam sebuah tulisan serius seperti halnya=20 filsafat. Berbeda dengan tulisan filosofis, tulisan dalam bentuk=20 surat menyurat lebih menuturkan perasaan yang berkecamuk: gelisah=20 yang melanda, kemarahan atas sesuatu, perasaan lara, maupun ungkapan=20 cinta, yang semuanya bisa tergambarkan dengan jelas. Ungkapan perasaan si penulis dalam tulisan bentuk narasi seperti=20 surat menyurat, misalnya, tergambar jelas dalam Confessiones St=20 Agustinus, yang di dalamnya terdapat penuturan tentang hubungan=20 dengan kekasih gelapnya selama 12 tahun. Hubungan gelap tersebut=20 harus berakhir, St Agustinus lebih memilih agama Kristen atau jalan=20 pengendalian diri, yang menuntut pertobatan total atas segala dosa=20 yang telah diperbuatnya di masa lalu. Perempuan tak bernama, yang oleh St Agustinus disebut Ibu dari=20 Adeodatus, adalah celah kecil yang bisa melebar menjadi sebuah=20 lubang. Penjelasan yang tidak begitu detil ihwal sosok perempuan=20 tersebut bisa jadi dimanfaatkan oleh seseorang yang sangat memahami=20 filsafat Yunani, teologi Kristen, dan sejarah Gereja (bisa jadi=20 orang itu adalah Jostein Gaarder sendiri), entah untuk tujuan apa=20 sehingga bisa menggubah Codex Floriae dengan bahasa dan tema yang=20 benar-benar menyentuh, membuat kita tercenung, merenungkan kembali=20 tentang makna kasih sejati, iman, takdir, tanggung jawab, dan sosok=20 Tuhan itu sendiri. Itu dugaan yang mungkin, sendainya naskah itu betul-betul tidak=20 dikarang oleh Floria, artinya ada orang lain yang memakai tangan=20 Floria untuk menuliskan sisi yang tak terungkapkan dari kehidupan St=20 Agustinus. Namun, jika naskah ini asli, kita harus mempertimbangkan=20 banyak hal untuk membuktikan autentisitasnya. Pertama, untuk=20 penelusuran naskah adalah hal yang tak mungkin ada mata rantai yang=20 terputus. Si penjual naskah dan buku kuno, di mana Gaarder=20 mendapatkan Codex Floriae, sudah tak ingat lagi dari siapa ia=20 mendapatkannya. Kedua, penelaahan menyangkut isi dari naskah,=20 Gaarder melihatnya dari segi bahasa yang digunakan. Ia berkeyakinan=20 bahwa sintaks dan kosakata yang dipakai betul-betul sudah lama=20 sekali, tidak mungkin berasal dari abad ke-16 dan dikarang di=20 Argentina. Ketiga, dari penelusuran fakta sejarah. Artinya, harus=20 ada kesesuaian antara kisah hidup St Agustinus dan peristiwa- peristiwa yang digambarkan dalam naskah tersebut. Ini yang dilakukan=20 oleh St Sunardi dalam kata pengantar di buku ini. Patut kita ucapkan terima kasih kepada=20 Penerbit Jalasutra, yang telah meminta St Sunardi, yang memang paham=20 betul mengenai sejarah dan pemikiran St Agustinus, untuk menyusun=20 sebuah pengantar yang faktual. Setelah membeberkan fakta-fakta=20 sejarah St Agustinus, sampai akhirnya St Sunardi=20 berkesimpulan: "Jadi tidak mustahil bahwa naskah Floria ini asli". Terlepas dari bagaimana dan seperti apa naskah ini dibuat atau jika=20 kita melihat secara obyektif terhadap isi teksnya akan kita temukan=20 perspektif yang cukup menggugah tentang bagaimana kita memandang St=20 Agustinus dan juga ajaran Kristen. Dalam sebuah karyanya Fihi Ma=20 Fihi, Maulana Rumi bertutur liris, "=85Jalan Nabi Isa adalah=20 perjuangan menahan diri dalam sunyi dan menjauhi godaan hasrat=20 berahi...." Kisah hidup St Agustinus dalam Confessiones, dan=20 dilengkapi dengan surat Flora, setidaknya memberikan gambaran betapa=20 kerasnya perjuangan batin Sang Santo dalam menempuh jalan=20 pengendalian diri ini. Sedangkan dari telaah teologis, surat-surat Floria menggambarkan=20 adanya perbedaan yang berlawanan antara dirinya dan St Agustinus=20 dalam memandang Tuhan, agama, kehidupan, dan hubungan lawan jenis.=20 Floria mewakili paganisme di masa itu, yakni tradisi yang diwariskan=20 dari Yunani-Romawi, sedangkan St Agustinus setelah bertobat,=20 mewakili jalan Isa atau jalan pengendalian diri. Perbedaan pertama=20 menyangkut hubungan di antara keduanya. Bagi Floria hubungan cinta=20 antara St Agustinus dan dirinya dilandasi sebuah cinta ilahiah,=20 tidak hanya berdasar hasrat raga semata, sedangkan bagi St Agustinus=20 jelas sekali bahwa kehidupan masa lalu dengan kekasih gelapnya=20 adalah kubangan penuh lumpur dosa yang harus dijauhi. Kedua, dalam hal memandang Tuhan. Bagi Floria gambaran tentang Tuhan=20 adalah Dia yang tidak menuntut korban-jelas ia menganggap dirinya=20 sebagai korban dari tindakan St Agustinus, sedangkan bagi St=20 Agustinus seperti yang dicontohkan Nabi Isa dan para rasulnya, Tuhan=20 menuntut pengorbanan diri kita secara total. Ketiga adalah dalam=20 cara memandang kehidupan, keduanya menyadari betul akan betapa=20 singkatnya hidup ini. Karena itu, harus dengan yang paling bermakna.=20 Bagi Floria, kebermaknaan hidupnya terjadi manakala ia bisa bersama=20 kekasihnya dalam kehidupan dunia ini. Namun, lain lagi bagi St=20 Agustinus, kehidupan singkat dan fana ini harus ditukar dengan=20 sesuatu yang lebih berharga, yakni kehidupan surga yang kekal kelak=20 di kemudian hari. Himawijaya, Eksponen Komunitas Textour, Rumah Buku Bandung. --- End forwarded message --- ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~-->=20 Give the gift of life to a sick child.=20 Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~->=20 *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg= Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru;=20 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx =20 Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ =20 ** Mailing-List Indonesia Nasional Milis PPI-India www.ppi-india.uni.cc **