[UntirtaNet] KITA DAN AL QUR'AN

  • From: "yayantea" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
  • Date: Wed, 18 Sep 2002 17:22:05 -0400

KITA DAN AL QUR'AN 

Dalam berinteraksi dengan Al qur'an, umat Islam saat ini berada di antara 4 
situasi: 

Pertama, tersebutlah dalam sebuah cerita bahwa sepasang suami isteri dari 
sebuah desa berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka tahu, 
bahwa mutu emas di tanah Arab itu sangat tinggi serta harganya pun relatif 
lebih murah. Untuk itu, mereka pun sepakat untuk membeli kalung dan seperangkat 
perhiasan lainnya. Sekembali ke kampungnya, mereka menyimpang emas-emas 
tersebut dalam sebuah laci yang indah dan dikunci rapat-rapat. Mereka 
melakukannya karena menganggap bahwa emas tersebut adalah sesuatu yang 
berharga, memiliki nilai besar (value) sehingga perlu dijaga dengan disimpan 
di tempat yang aman. Akhirnya, emas tersebut tidak pernah dipakai atau 
dinikmati sebagai perhiasan yang berharga karena kekhawatiran akan menurunkan 
nilai atau value dari emas yang dilikinya. 

Kedua, sepasang suami isteri dari kampung lain melancong ke kota New York, kota 
metropolitan, kotanya dunia. Setiba di New York, mereka mencari tempat untuk 
menyewa mobil. Setelah deal selesai, sang penyewa meminta sebuah "map" (peta) 
kota New York. Mereka sadar, sebagai musafir yang asing (stranger traveler) 
mereka memerlukan peta agar tidak tersesat dalam perjalanan di kota yang baru 
bagi mereka. Sayangnya, selama perjalanan peta (map) tersebut hanya dipegang, 
minimal dilihat tapi tidak difahami secara serius petunjuk-petunjuknya. 
Akhirnya, mereka berjalan dan berjalan, namun tujuan yang ingin dicapainya 
tidak pernah dicapainya. Bahkan mereka berjalan ke arah yang sesat, 
terperangkap dalam sebuah rimba yang penuh binatan buas. 

Ketiga, seorang pemuda kampung datang ke kota. Setiba di kota, sang pemuda 
diajak ke pantai oleh seorang temannya yang kebetulan penyelam. Sesampai di 
pantai tersebut, sang pemuda pertama kali menemukan kotoran-kotoran, 
sampah-sampah dan hanya pasir-pasir dan batu-batuan. Terbetiklah dalam benak 
pemuda kampung, betapa bodohnya pemuda kota yang selalu menyelam di lautan yang 
hanya penuh kotoran dan sampah tersebut. Sang pemuda kampung tidak sadar, 
betapa dalam lautan tersembunyi mutiara dan berbagai benda berharga lainnya. 
Sayangnya, sang pemuda hanya mampu melihat pinggiran lautan yang tidak 
terpelihara secara baik sehingga penuh dengan kotoran dan sampah dan tidak 
mampu menangkap berbagai rahasia keindahandi dalamnya. 

Keempat, Seorang pensiunan hansip dari sebuah kampung terpencil pergi melancong 
ke kota London. Selama menjadi hansip, dia selalu taat dengan aturan-aturan 
yang selama ini dihafalnya, termasuk menghafal lafaz pancasila dan pembukaan 
uud 45-nya. Sebagai law obedient person, dia sudah bertekad untuk tidak 
melakukan lagi hal-hal lain yang di luar hafalannya. Setiba di London, sang 
hansip diperhadapkan kepada aturan-aturan baru yang selama ini belum ada di 
pemikirannya. Maka, ia menolak untuk mentaati kota London karena menurutnya, 
aturan-aturan tersebut tidak sesuai dengannya yang selama ini difahaminya.


Ikhwati, 

Kira-kira begitulah sekarang ini. Kita dalam berinteraksi dengan Al Qur'an 
berada pada posisi di atas, atau minimal berada pada salah satu kelompok 
manusia as sebagaimana digambarkan di atas: 


Pertama, kita sadar bahwa Al Qur'an itu sangat berharga, memiliki nilai yang 
sangat tinggi. Al Qur'an itu kita hargai dan cintai. Namun pernghargaan dan 
kecintaan kita terhadap Al Qur'an, ibarat kecintaan dan penghargaan seorang 
haji terhadap emasnya. Kita membeli Al Qur'an yang paling fancy, yang paling 
mahal dan paling indah. Sayangnya, Al Qur'an hanya dijadikan perhiasan yang 
tersimpan di dalam laci, dikunci karena dianggap suci. Al Qur'an justeru karena 
keyakinan kesuciannya, jarang tersentuh. Paling tidak, hanya disentuh disaat 
akan membaca Yaasiin, karena mungkin seseorang di antara anggota keluarga ada 
yang sakit keras (sakarat) atau mungkin karena seseorang meninggal dunia. 


Kedua, kita sadar bahwa kita semua adalah musafir menuju peristirahatan akhir. 
Kita berjalan menuju alam kekal. Dan di dalam perjalanan ini, kita membutuhkan 
peta (map), petunjuk jalan agar kita tidak tersesat. Dengan peta, kita minimal 
akan mudah menemukan jalan yang terefektif dan aman. Jika tidak, maka mungkin 
saja, kita tersesat ke dalam hutan rimba yang penuh srigala dan binatan buas 
lainnya. Dunia ini adalah ganas. Dunia ini penuh dengan 
perangkap dan tipu muslihat. Kalaulah dalam perjalanan ini, kita tidak cermat 
mencari jalan aman, sesuai dengan petunjuk jalan yang baku, maka kita dapat 
terjatuh dalam perangkap dan tipu muslihat duniawi. Sayangnya, peta atau 
petunjuk jalan tersebut, hanya dipegang dan tidak dipelajari, atau minimal 
dibaca tapi tidak difahami. Sehingga rasanya, perjalanan kita serba semrawut 
tidak terarah, karena peta yang kita miliki hanya justeru menjadi beban dalam 
perjalanan. 


Ketiga, kurangnya keimanan dan keilmuan kita, menjadikan kita kadang 
tergesa-gesa mengambil sebuah kesimpulan keliru terhadap Al Qur'an. Arogansi 
manusia tidak jarang berkata, Al Qur;an itu hanya penuh dengan beban-beban 
ajaran yang menghambat kemajuan hidup atau kehidupan yang dinamis. Al Qur'an 
menghambat kemajuan dunia. Al Qur'an telah usang. Al Qur'an hanya akan semakin 
menghambat kehidupan yang modern. Ibarat pemuda kampungan yang diajakn jalan ke 
pinggir pantai pertama kali. Padahal, Al Qur'an adalah lautan yang tak akan 
pernah habis terselami. Di dalamnya tersimpan segala sesuatu yang berharga. Di 
dalamnya ada emas, mutiara dan berbagai barang mulia dengan valuenya yang 
sangat tinggi. Sayang otak kampungan menganggapnya justeru hanya “hambatan” 
kemajuan kehidupan yang dianggap modern. 


Keempat, pada semua negeri ada aturan. Aturan adalah sebuah keniscayaan. 
Negeri tanpa aturan tak lebih dari sebuah negeri dari kumpulan hewan-hewan. 
Manusia yang hidup dalam sebuah negeri, tanpa ingin diatur oleh sebuah aturan, 
mereka tak lebih dari hewan-hewan yang berbentuk manusia. Kita hidup di 
negerinya Allah. Kita menumpang mencari makan, sedang melancong (musafir) dalam 
negeriNya. Maka, akankah diterima sebagai sebuah kewajaran, di saat kita 
mengatakan bahwa aturan Al Qur'an tak bisa diterima karena "aku" sendiri sudah 
punya aturan? Jika tetap berpendirian demikian, silahkan cari negeri, silahkan 
cari dunia, di mana anda dapat mengklaim sebagai dunia yang Tuhan tidak perlu 
campur tangan. Ciptakanlah dunia baru anda, yang di dalamnya Tuhan memang tidak 
perlu campur tangan. Selama anda masih ada di planet sekarang, planet yang anda 
merasa belum pernah menciptakannya sendiri, jangan coba-coba berprilaku 
“kuno” menganggap punya aturan-aturan sendiri. Karena di mana pun anda 
pergi, setiap pemilik negeri akan membuat aturannya sendiri. Dan dunia 
seluruhnya (al’aalamiin) adalah negeriNya Allah. Untuk itu, adalah sangat 
tidak masuk akal dan tidak realisits, jika anda menolak aturan Allah SWT.

Ikhwati,

Lalu di manakah saya, anda dan kita semua? Masih masih-masing kita melakukan 
introspeksi. Buka akal dan hati, hancurkan keegoan yang selalu angkuh dan 
bersikap “fir’aunis” ala Ramsis II.

Wassalam,
Syamsi Ali
New York

Yayan tea
==============================================================(C)opyright 
1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx,
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] KITA DAN AL QUR'AN