[UntirtaNet] Geger talangsari - Bag-20

  • From: "untirtanet@xxxxxxxxxxxxxx" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Tue, 3 Sep 2002 22:41:54 -0400

SELUIR KATA AKHIR


DEMOKRASI mensyahkan adanya hak hidup yang setara di depan umum atas
keanekaragaman pandang dalam aneka dimensi, betapapun besar kadar
perbedaannya. Akan tetapi, realitasnya selalu mengandung berbagai aspek
dasar yang memungkinkan lahirnya konflik pandang. Sejauh disertai kesadaran,
"berbeda itu rahmat" maka perbedaan itu bisa saja berarti "kenikmatan".
Walaupun ternyata menghargai perbedaan bukanlah perkara gampang. Inilah yang
sering mengakibatkan, timbulnya berbagai tindakan keras sporadis. Kasus
Lampung, boleh jadi merupakan klimak dari berbagai masalah-masalah di atas.
Selama Orde Baru, memang tidak sedikit sudah kita jumpai kekerasan sporadis
yang muncul dari tengah-tengah umat. Yang memprihatinkan ialah kekerasan
sporadis itu sering menjadi acuan yang tidak mendasar atas nama idealisme
Islam.

Ada dua unsur dasar yang sering kali terlupakan. Padahal unsur-unsur
tersebut, tak jarang memberi peluang munculnya berbagai tragedi bangsa di
negeri ini. Pertama ialah egosentrisme manusia dan yang kedua ialah
menyangkut fanatisme ideologi. Kedua unsur tersebut bisa jadi sangat
berbahaya di tengah-tengah wacana yang mendikotomikan antara umat Islam dan
negara. Unsur itulah yang senantiasa hadir dalam berbagai kasus kekerasan
politik di Indonesia.

Egosentrisme Manusia
Egosentrisme merupakan kekayaan yang melekat pada diri manusia. la mempunyai
fungsi, antara lain menjadi pembeda manusia dari makhluk lainnya sesama
manusia ciptaan Tuhan. Padahal selain ego keakuan, manusia juga butuh
orientasi kemasyarakatan. Artinya pada saat keakuan manusia itu berperan,
sesungguhnya di saat yang sama kebutuhan sosialisai manusia juga ikut
berperan.

Manusia memiliki kedua-duanya. Masalahnya ialah kadar dominasi, manakah yang
lebih kuat, keakuannya atau kemasyarakatannya, hidup untuk dirinya atau
untuk selain dari itu. Walaupun manusia diberi kebebasan bahkan untuk
menentukan dirinya itu siapa dan menjadi apa, namun sebaik-baik manusia
ialah yang tahu dirinya dan segera menentukan sikap untuk menjadi apa. Sebab
batas antara egosentrisme dengan sosialisme teramat tipis yang rentan
kendali dan tak aman dari pujian sehari-hari.

Hitam putih manusia, memang tak mudah dikenali. Akan tetapi tindakan dan
sikapnya tak bisa ditutupi, apalagi diingkari. Cepat atau lambat, ia akan
menunjukkan jati dirinya, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kelompok
Warsidi dari dusun kecil Talangsari III, sering terdengar bahwa segala yang
ada di bumi milik Allah. Oleh karena itu di antara anggota Warsidi ada yang
merasa syah, bila mengambil tanaman di sekitar komplek Cihideung, karena
tanaman juga milikAllah. Juga dari sana sering terdengar, siapa yang tidak
mengikuti dirinya batal Islamnya dan kafir hukumnya. Termasuk pemerintah
atau orang-orang yang tidak mendukung diri dan kelompoknya.

Sesungguhnya tindakan dan perilaku seperti itu tergolong suatu sikap
individualistik, egois dan petunjuk besarnya sifat keakuannya. Malah Warsidi
menolak ketika camat Way Jepara, meminta dirinya segera datang ke kantor
kecamatan. "Sebaik-baiknya umaro yang mendatangi ulama dan seburuk-buruknya
ulama datang ke tempat umaro", jawabnya ketika camat meminta Warsidi datang
ke kantor kecamatan.


Fanatisme Ideologi
Ideologi tidak pernah mati. Konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan
politik selalu dilatarbelakangi oleh mencuatnya perbedaan ideologi.
Indonesia ternyata lahan subur bagi pertarungan ideologi besar: Nasionalis,
Komunis dan Islam. Sebagai bangsa, kita punya pengalaman kolektif tentang
kekerasan atas nama ideologi. Belum habis kekerasan zaman penjajahan, perang
kemudian terjadi, dan terus berlangsung hingga Jepang habis. Orang-orang tua
kita bicara tentang merdeka atas dasar apa. Bendera merah putih menjadi
satu-satunya pemersatu di atas berbagai perbedaan ideologi ditingkat
perumusan dasar negara.

Tetapi, disaat bangsa ini tengah menegakkan bendera merah putih, pasukan
Belanda masuk kembali. Kekerasan terjadi lagi, yang ditembak mati, digranat,
dilempar dari kendaraan dalam keadaan tangan terikat dan berbagai bentuk
kekerasan lainnya. Sehingga kita mengenal kekerasan bagai mengenal keluarga
sendiri. Tak terkecuali orang-orang yang hidupnya jauh dari kota. Desa
adalah ketenteraman. Tetapi, banyak yang bisa menceritakan dengan suara
ketakutan bagaimana rasanya hidup di desa yang terkepung gerilya DI/TII atau
ketika desa-desa di Madiun disatroni oleh orang-orang PKI. "Kita merdeka
tetapi bermusuhan dengan sesama bangsa sendiri", rumah rakyat dibakar,
anak-anak menjerit ketakutan, dan orang-orang tembak-menembak dari jarak
yang amat dekat. Sama-sama nekat dan itu semua berlangsung atas nama
ideologi yang dipahami secara fanatik.

Tahun 1955, bangsa ini untuk pertama kalinya melakukan eksperimen menuju
demokrasi. Jangan lagi perbedaan ideologi diselesaian dengan senjata tetapi
dengan pemilihan umum. Senjata diganti dengan suara. Hasilnya tak ada yang
benar-benar menang sehingga DPR hasil pemilu paling demokratis pun tak mampu
menghasilkan apa-apa kecuali pertengkaran elite dan akhirnya diselesaikan
oleh palu godam kekuasaan.

Ideologi-ideologi ternyata terlalu kaku menghadapi kenyataan. Marhaenisme
Soekarno tak bisa mengikuti realitas baru pertumbuhan kelas menengah dan
kelas atas, memisahkan semakin jauh nilai persatuan dan kesatuan. Komunisme
tidak bisa menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando dan sistem politik
otoriter. Dan Islam, sungguh sangat naif dibawa oleh orang-orang yang
kesulitan dengan kemajemukan bangsa dan kemajemukan umatnya sendiri. Tetapi
fanatisme ideologi tidak pernah berhenti. Pemerintah Orde Baru tampil dan
lagi-lagi terjebak ingin melibas semua ideologi atas nama ideologi juga,
yaitu ideologi negara yang seharusnya tetap menjadi milik negara. Umat Islam
yang sudah telanjur tercekoki oleh pandangan ideologis yang kurang
menghargai kemajemukan akhimya terjebak dalam pengkotakan antara Islam dan
Pancasila. Memilih Islam disangka tidak berpancasila. Dan sebaliknya
berpancasila seolah seperti meninggalkan ideologi Islam.

Pada kasus Talangsari dan kasus-kasus Islam lainnya, kita menemukan aura
keterjebakan itu. Mereka menolak Pancasila seperti menolak kekafiran. Dalam
situasi demikian, fanatisme ideologi Islam pun menemukan lahan yang subur.
Tingkah pemaksaan ideologis oleh negara menjadi pemicu lahirnya banyak
kelompok sempalan yang mengabsahkan eksistensinya juga dengan jalan
kekerasan. Maka di masa Orde Baru lahirlah sejumlah pahlawan-pahlawan
romantik keislaman. Mereka membangun fanatisme ideologi keislaman ke
kalangan pengikutnya dengan minimnya pemahaman tentang Islam secara
menyeluruh. Doktrin kembali kepada kemurnian Islam seperti yang akhirnya
ditemukan oleh aparat keamanan ketika menggerebek jamaah Mujahidin
Fisabilillah Cihideung, misalnya ternyata penjabaran dari kemurnian tersebut
melahirkan darah dan kematian. Dokumen tentang doktrin kemurnian itu seperti
diungkap oleh Majalah Tempo berbunyi :

"Ternyata Islam tidak seperti yang kita alami. Kita diisi oleh versi NU,
versi Muhammadiyah, Darul Hadist. Mereka tak mencerminkan Islam yang
sebenarnya, bukan Islami".

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sekte-sekte ideologi Islam dengan garis
keras yang sering dijuluki sebagai sempalan, cukup banyak. Disebut sempalan
karena dianggap menyempal dari arus utama umat yang pada umumnya diwakili
oleh NU atau Muhammadiyah. Lalu konotasi sempalan diberikan terhadap sikap
yang keras, penentang, revolusioner dan fundamentalis. Stigma demikian,
sebetulnya bernadakan vonis seolah-olah kelompok kecil yang menyempal dari
arus utama umat, juga secara otomatis tidak toleran dan tidak moderat. Malah
terdakwa sebagai telah melakukan penyimpangan dari ajaran dan keyakinan
keagamaan yang baku. Tidak semua salah, juga tidak seluruhnya benar.

Tetapi satu kenyataan bahwa ideologi apapun memang kaku bila dihadapkan pada
realitas yang berkembang. Kekakuan ideologi menciptakan dikotomi dan
keretakan sosial. Umat dan bangsa terbelah antara tradisionalis dan
modernis, antara nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler, kooperatif dan
non-kooperatif dan lain sebagainya. Sebabnya mudah dikenali bahwa dalam
ideologi orang mengira hanya ada satu kebenaran yang boleh diyakini, yang
selain itu dianggap lawan. Maka keanekaragaman harus dibasmi. Pluralisme
dianggap tidak perlu, menjengkelkan dan banyak cingcong. Kebenaran seolah
tinggal pakai, tanpa diketahui persis prosesnya. Padahal dengan cara itu,
kebenaran hanya produk dari luar yang dipaksakan tanpa pencarian dari dalam.

Mencari Solusi
Ideologi memang tak mati-mati. Tetapi Islam tidak semata-mata mengandung
ajaran ideologis. Justru Islam ingin membuka cara berfikir yang tertutup dan
fanatis. Dengan ideologi tertutup umat sudah banyak menyingkirkan orang yang
kita sapa sebagai "sekuler", "abangan", "tidak istikhomah" dan lain
sebagainya. Memang sudah lama Islam berada di pinggir panggung politik
nasional. Tetapi pertumbuhan pendidikan telah membuka peluang untuk berada
di tengah-tengah pentas. Dan pada saat itu dituntut pola pikir yang
objektif, tidak boleh lagi berfikir subjektif, orang "kita" dan "mereka"
tanpa alasan yang cermat.

Islam sudah ada di mana-mana dalam berbagai tugas dan karir. Mereka ada di
birokrasi dan tentara. Bukan hanya di desa sebagai pedagang atau petani.
Oleh karena itu, para politisi dan pejuang Islam harus.mengakhiri pendekatan
ideologis yang melihat politik sebagai pertarungan Islam dan non Islam
apalagi Islam dan negara. Para pemimpin Islam harus memahamkan kepada
umatnya untuk meningkatkan tensi kreatif dan etos keilmuan dalam rangka
memanfaatkan ruang idealisme dan realitas. Karena itu definisi dan sasaran
politik umat tidak lagi hanya berorientasi pada simbol-simbol. Misalnya
menempatkan Islam berhadapan dengan negara atau mengislamkan negara menjadi
Islam. Yang substantif ialah memaksimalkan peran kekhalifahan setiap orang
Islam untuk memberi manfaat kepada orang lain sebagai sama-sama umat manusia
yang mendambakan keadilan dan kemakmuran. Harus ada konsesus di
tengah-tengah umat untuk tidak lagi memakai kekerasan dalam menyelesaikan
persoalan. Indonesia kita saat ini menantikan solusi yang punya kandungan
kebajikan bagi semua warganya.

Kesalehan dan kezaliman tetap bisa berlangsung pada pribadi yang sama,
karena itu toleransi kesetiaan kepada sumpah bersatu sebagai bangsa,
meningkatkan ilmu dan teknologi, serta mengembangkan semangat berkompromi
adalah solusi terbaik untuk menghindarkan bangsa kita dari perpecahan dan
penderitaan yang tiada berujung.

Itulah Islah.

* * *



===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, 
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke  
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet 
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts: