SELUIR KATA AKHIR DEMOKRASI mensyahkan adanya hak hidup yang setara di depan umum atas keanekaragaman pandang dalam aneka dimensi, betapapun besar kadar perbedaannya. Akan tetapi, realitasnya selalu mengandung berbagai aspek dasar yang memungkinkan lahirnya konflik pandang. Sejauh disertai kesadaran, "berbeda itu rahmat" maka perbedaan itu bisa saja berarti "kenikmatan". Walaupun ternyata menghargai perbedaan bukanlah perkara gampang. Inilah yang sering mengakibatkan, timbulnya berbagai tindakan keras sporadis. Kasus Lampung, boleh jadi merupakan klimak dari berbagai masalah-masalah di atas. Selama Orde Baru, memang tidak sedikit sudah kita jumpai kekerasan sporadis yang muncul dari tengah-tengah umat. Yang memprihatinkan ialah kekerasan sporadis itu sering menjadi acuan yang tidak mendasar atas nama idealisme Islam. Ada dua unsur dasar yang sering kali terlupakan. Padahal unsur-unsur tersebut, tak jarang memberi peluang munculnya berbagai tragedi bangsa di negeri ini. Pertama ialah egosentrisme manusia dan yang kedua ialah menyangkut fanatisme ideologi. Kedua unsur tersebut bisa jadi sangat berbahaya di tengah-tengah wacana yang mendikotomikan antara umat Islam dan negara. Unsur itulah yang senantiasa hadir dalam berbagai kasus kekerasan politik di Indonesia. Egosentrisme Manusia Egosentrisme merupakan kekayaan yang melekat pada diri manusia. la mempunyai fungsi, antara lain menjadi pembeda manusia dari makhluk lainnya sesama manusia ciptaan Tuhan. Padahal selain ego keakuan, manusia juga butuh orientasi kemasyarakatan. Artinya pada saat keakuan manusia itu berperan, sesungguhnya di saat yang sama kebutuhan sosialisai manusia juga ikut berperan. Manusia memiliki kedua-duanya. Masalahnya ialah kadar dominasi, manakah yang lebih kuat, keakuannya atau kemasyarakatannya, hidup untuk dirinya atau untuk selain dari itu. Walaupun manusia diberi kebebasan bahkan untuk menentukan dirinya itu siapa dan menjadi apa, namun sebaik-baik manusia ialah yang tahu dirinya dan segera menentukan sikap untuk menjadi apa. Sebab batas antara egosentrisme dengan sosialisme teramat tipis yang rentan kendali dan tak aman dari pujian sehari-hari. Hitam putih manusia, memang tak mudah dikenali. Akan tetapi tindakan dan sikapnya tak bisa ditutupi, apalagi diingkari. Cepat atau lambat, ia akan menunjukkan jati dirinya, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Kelompok Warsidi dari dusun kecil Talangsari III, sering terdengar bahwa segala yang ada di bumi milik Allah. Oleh karena itu di antara anggota Warsidi ada yang merasa syah, bila mengambil tanaman di sekitar komplek Cihideung, karena tanaman juga milikAllah. Juga dari sana sering terdengar, siapa yang tidak mengikuti dirinya batal Islamnya dan kafir hukumnya. Termasuk pemerintah atau orang-orang yang tidak mendukung diri dan kelompoknya. Sesungguhnya tindakan dan perilaku seperti itu tergolong suatu sikap individualistik, egois dan petunjuk besarnya sifat keakuannya. Malah Warsidi menolak ketika camat Way Jepara, meminta dirinya segera datang ke kantor kecamatan. "Sebaik-baiknya umaro yang mendatangi ulama dan seburuk-buruknya ulama datang ke tempat umaro", jawabnya ketika camat meminta Warsidi datang ke kantor kecamatan. Fanatisme Ideologi Ideologi tidak pernah mati. Konflik-konflik yang terjadi dalam kehidupan politik selalu dilatarbelakangi oleh mencuatnya perbedaan ideologi. Indonesia ternyata lahan subur bagi pertarungan ideologi besar: Nasionalis, Komunis dan Islam. Sebagai bangsa, kita punya pengalaman kolektif tentang kekerasan atas nama ideologi. Belum habis kekerasan zaman penjajahan, perang kemudian terjadi, dan terus berlangsung hingga Jepang habis. Orang-orang tua kita bicara tentang merdeka atas dasar apa. Bendera merah putih menjadi satu-satunya pemersatu di atas berbagai perbedaan ideologi ditingkat perumusan dasar negara. Tetapi, disaat bangsa ini tengah menegakkan bendera merah putih, pasukan Belanda masuk kembali. Kekerasan terjadi lagi, yang ditembak mati, digranat, dilempar dari kendaraan dalam keadaan tangan terikat dan berbagai bentuk kekerasan lainnya. Sehingga kita mengenal kekerasan bagai mengenal keluarga sendiri. Tak terkecuali orang-orang yang hidupnya jauh dari kota. Desa adalah ketenteraman. Tetapi, banyak yang bisa menceritakan dengan suara ketakutan bagaimana rasanya hidup di desa yang terkepung gerilya DI/TII atau ketika desa-desa di Madiun disatroni oleh orang-orang PKI. "Kita merdeka tetapi bermusuhan dengan sesama bangsa sendiri", rumah rakyat dibakar, anak-anak menjerit ketakutan, dan orang-orang tembak-menembak dari jarak yang amat dekat. Sama-sama nekat dan itu semua berlangsung atas nama ideologi yang dipahami secara fanatik. Tahun 1955, bangsa ini untuk pertama kalinya melakukan eksperimen menuju demokrasi. Jangan lagi perbedaan ideologi diselesaian dengan senjata tetapi dengan pemilihan umum. Senjata diganti dengan suara. Hasilnya tak ada yang benar-benar menang sehingga DPR hasil pemilu paling demokratis pun tak mampu menghasilkan apa-apa kecuali pertengkaran elite dan akhirnya diselesaikan oleh palu godam kekuasaan. Ideologi-ideologi ternyata terlalu kaku menghadapi kenyataan. Marhaenisme Soekarno tak bisa mengikuti realitas baru pertumbuhan kelas menengah dan kelas atas, memisahkan semakin jauh nilai persatuan dan kesatuan. Komunisme tidak bisa menanggulangi ambruknya sistem ekonomi komando dan sistem politik otoriter. Dan Islam, sungguh sangat naif dibawa oleh orang-orang yang kesulitan dengan kemajemukan bangsa dan kemajemukan umatnya sendiri. Tetapi fanatisme ideologi tidak pernah berhenti. Pemerintah Orde Baru tampil dan lagi-lagi terjebak ingin melibas semua ideologi atas nama ideologi juga, yaitu ideologi negara yang seharusnya tetap menjadi milik negara. Umat Islam yang sudah telanjur tercekoki oleh pandangan ideologis yang kurang menghargai kemajemukan akhimya terjebak dalam pengkotakan antara Islam dan Pancasila. Memilih Islam disangka tidak berpancasila. Dan sebaliknya berpancasila seolah seperti meninggalkan ideologi Islam. Pada kasus Talangsari dan kasus-kasus Islam lainnya, kita menemukan aura keterjebakan itu. Mereka menolak Pancasila seperti menolak kekafiran. Dalam situasi demikian, fanatisme ideologi Islam pun menemukan lahan yang subur. Tingkah pemaksaan ideologis oleh negara menjadi pemicu lahirnya banyak kelompok sempalan yang mengabsahkan eksistensinya juga dengan jalan kekerasan. Maka di masa Orde Baru lahirlah sejumlah pahlawan-pahlawan romantik keislaman. Mereka membangun fanatisme ideologi keislaman ke kalangan pengikutnya dengan minimnya pemahaman tentang Islam secara menyeluruh. Doktrin kembali kepada kemurnian Islam seperti yang akhirnya ditemukan oleh aparat keamanan ketika menggerebek jamaah Mujahidin Fisabilillah Cihideung, misalnya ternyata penjabaran dari kemurnian tersebut melahirkan darah dan kematian. Dokumen tentang doktrin kemurnian itu seperti diungkap oleh Majalah Tempo berbunyi : "Ternyata Islam tidak seperti yang kita alami. Kita diisi oleh versi NU, versi Muhammadiyah, Darul Hadist. Mereka tak mencerminkan Islam yang sebenarnya, bukan Islami". Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sekte-sekte ideologi Islam dengan garis keras yang sering dijuluki sebagai sempalan, cukup banyak. Disebut sempalan karena dianggap menyempal dari arus utama umat yang pada umumnya diwakili oleh NU atau Muhammadiyah. Lalu konotasi sempalan diberikan terhadap sikap yang keras, penentang, revolusioner dan fundamentalis. Stigma demikian, sebetulnya bernadakan vonis seolah-olah kelompok kecil yang menyempal dari arus utama umat, juga secara otomatis tidak toleran dan tidak moderat. Malah terdakwa sebagai telah melakukan penyimpangan dari ajaran dan keyakinan keagamaan yang baku. Tidak semua salah, juga tidak seluruhnya benar. Tetapi satu kenyataan bahwa ideologi apapun memang kaku bila dihadapkan pada realitas yang berkembang. Kekakuan ideologi menciptakan dikotomi dan keretakan sosial. Umat dan bangsa terbelah antara tradisionalis dan modernis, antara nasionalisme Islam dan nasionalisme sekuler, kooperatif dan non-kooperatif dan lain sebagainya. Sebabnya mudah dikenali bahwa dalam ideologi orang mengira hanya ada satu kebenaran yang boleh diyakini, yang selain itu dianggap lawan. Maka keanekaragaman harus dibasmi. Pluralisme dianggap tidak perlu, menjengkelkan dan banyak cingcong. Kebenaran seolah tinggal pakai, tanpa diketahui persis prosesnya. Padahal dengan cara itu, kebenaran hanya produk dari luar yang dipaksakan tanpa pencarian dari dalam. Mencari Solusi Ideologi memang tak mati-mati. Tetapi Islam tidak semata-mata mengandung ajaran ideologis. Justru Islam ingin membuka cara berfikir yang tertutup dan fanatis. Dengan ideologi tertutup umat sudah banyak menyingkirkan orang yang kita sapa sebagai "sekuler", "abangan", "tidak istikhomah" dan lain sebagainya. Memang sudah lama Islam berada di pinggir panggung politik nasional. Tetapi pertumbuhan pendidikan telah membuka peluang untuk berada di tengah-tengah pentas. Dan pada saat itu dituntut pola pikir yang objektif, tidak boleh lagi berfikir subjektif, orang "kita" dan "mereka" tanpa alasan yang cermat. Islam sudah ada di mana-mana dalam berbagai tugas dan karir. Mereka ada di birokrasi dan tentara. Bukan hanya di desa sebagai pedagang atau petani. Oleh karena itu, para politisi dan pejuang Islam harus.mengakhiri pendekatan ideologis yang melihat politik sebagai pertarungan Islam dan non Islam apalagi Islam dan negara. Para pemimpin Islam harus memahamkan kepada umatnya untuk meningkatkan tensi kreatif dan etos keilmuan dalam rangka memanfaatkan ruang idealisme dan realitas. Karena itu definisi dan sasaran politik umat tidak lagi hanya berorientasi pada simbol-simbol. Misalnya menempatkan Islam berhadapan dengan negara atau mengislamkan negara menjadi Islam. Yang substantif ialah memaksimalkan peran kekhalifahan setiap orang Islam untuk memberi manfaat kepada orang lain sebagai sama-sama umat manusia yang mendambakan keadilan dan kemakmuran. Harus ada konsesus di tengah-tengah umat untuk tidak lagi memakai kekerasan dalam menyelesaikan persoalan. Indonesia kita saat ini menantikan solusi yang punya kandungan kebajikan bagi semua warganya. Kesalehan dan kezaliman tetap bisa berlangsung pada pribadi yang sama, karena itu toleransi kesetiaan kepada sumpah bersatu sebagai bangsa, meningkatkan ilmu dan teknologi, serta mengembangkan semangat berkompromi adalah solusi terbaik untuk menghindarkan bangsa kita dari perpecahan dan penderitaan yang tiada berujung. Itulah Islah. * * * =============================================================== (C)opyright 1999-2002 UntirtaNet Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke //www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org