[breaktime-corner] Supersemar, Kudeta Khas Indonesia

  • From: "gunawan prakoso" <gunawan.prakoso@xxxxxxxxx>
  • To: <tea-corner@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 12 Mar 2012 15:14:52 +0700

 

 


Supersemar, Kudeta Khas Indonesia


Baru-baru ini Ketum Partai Hanura, Wiranto, mengatakan, makar atau kudeta
hampir tidak dikenal di Indonesia, apalagi kudeta militer. Di Indonesia tak
pernah terjadi kudeta militer. [1]

Benarkah itu? Sepertinya, orang Amerika tidak berpendapat begitu.

Hari ini tepat tanggal 11 Maret, hari diperingatinya Supersemar (Surat
Perintah 11 Maret 1966) yang historikal itu. Di buku-buku pelajaran Sejarah
Indonesia saya sejak SD tak pernah ada kata 'kudeta' untuk menyebut
Supersemar.

Tapi sesaat setelah kejadian, orang Amerika telah mengenalinya sebagai
kudeta. Berikut isi telegram dari Kedubes Amerika (Jakarta) untuk Dept. Luar
Negeri (Washington), 12 Maret 1966 [2]:

"Indonesia baru saja melancarkan sebuah kudeta militer [military coup] yang
khas negeri tersebut. Setelah lama ditunggu-tunggu kini Sukarno telah
mempertaruhkan nasibnya terlalu jauh. Rencana dia untuk menyingkirkan
jajaran kepemimpinan militer dan memasukkan seseorang yang dikenal sebagai
Pro-Komunis sebagai Meneri Pertahanan telah mendorong militer untuk memotong
kekuasaannya."

Mengapa disebut kudeta 'khas Indonesia'? saya tak paham dengan pasti. Tapi
barangkali itu karena proses pengambilan kekuasaan (dari Sukarno ke Soeharto
(AD)) berjalan lambat -setidaknya dalam pandangan pemerintah AS. Mereka
sudah sejak berbulan-bulan sebelumnya menonton dan menyimak setiap langkah
yang dibuat tokoh-tokoh penting di Indonesia. Terutama setelah peristiwa
G30S yang disusul pembantaian massal terkejam yang pernah terjadi negeri
kita ini. Tahun 1965, setidaknya lima ratus ribu orang dibunuh pada bulan
Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan bulan Desember di
Bali.

Description: Description: 133144179681410362

Pemerintah AS terkesan tak sabar dan geregetan menunggu saat-saat Sukarno
disingkirkan. Hal ini dengan apik dijabarkan oleh Baskara T. Wardaya, SJ
dalam bukunya yang memuat telegram-telegram Kedubes AS di Jakarta, Dept.
Luar Negeri AS, dan dokumen-dokumen rahasia CIA yang berisi laporan-laporan
perkembangan terakhir Indonesia [3].

Sampai akhirnya pada 11 Maret 1966, terjadi juga hal yang mereka harapkan.
Majalah Time edisi 15 Juli 1966 bahkan menyebut apa yang terjadi di
Indonesia pada periode ini sebagai "The West's best news for years in Asia."

Pada pertemuan selanjutnya antara Soeharto dan Dubes AS, Marshall Green,
nama Sukarno tak satu kali pun disebut. Soeharto menekankan bahwa pemersatu
Indonesia itu adalah Pancasila. Artinya, bukan Sukarnolah yang seharusnya
menjadi kekuatan pemersatu di Indonesia. [4] Padahal saat itu, Sukarno masih
menjabat sebagai Presiden. Jelas bahwa pengaruh dan kekuasaan Bung Karno
sudah jauh merosot.

Kembali ke sebutan 'khas Indonesia' itu, tentu tak lepas dari peran
mistisisme Jawa dalam politik yang rupanya tak pernah bisa dipahami oleh
orang Amerika. Satu hal yang mereka pahami adalah bahwa Soeharto itu orang
Jawa. Oleh karena itu ia bisa memahami Sukarno, sedangkan Nasution tidak.
[5] Barangkali itulah salah satu unsur keberhasilan 'kudeta khas Indonesia'
berlabel Supersemar ini.

Seperti halnya Nasution, rupanya Mochtar Lubis yang sama-sama orang Sumatra,
juga tak bisa memahami pentingnya mistisisme Jawa dalam politik Indonesia.
Mochtar Lubis, wartawan senior yang dalam catatan hariannya semasa di
penjara tanpa pengadilan oleh rezim Sukarno, menulis sebagai berikut:

"Jika Jenderal Soeharto dan kawan-kawan sungguh-sungguh dapat bekerja secara
rasional, maka Indonesia masih dapat diselamatkan dari keruntuhan. Tapi
mistik Jawa kelihatan mulai lagi -sudah ada yang membandingkan Soeharto
dengan Rama, istrinya adalah Shinta, dan anak-anak KAMI, KAPPI, adalah
tetara Hanuman. Ini namanya main-main!

.

Jika diperlukan mistik Jawa menyamakan Soeharto dengan Rama, dan KAMI DAN
KAPPI adlah pasukan-pasukan beruk Hanuman yang akhirnya mengalahkan Rahwana
(Soekarno) diteruskan, maka seluruh pemikiran akan jatuh lagi ke dalam alam
tak rasional. Dan Indonesia akan kacau terus.

Moga-moga tenaga-tenaga rasional di luar akan cukup kuat menolak
mistik-mistik serupa ini." [6]

Berlawanan dengan pendapat Mochtar Lubis, Dubes AS, Marshall Green, rupanya
justru menganggap penting peran mistisisme Jawa ini. Ia paham betapa peka
dan erat terkaitnya politisi dan politik Indonesia dengan pertunjukan
wayang. Ia bahkan memasukkan perihal ini dalam laporannya kepada Dept. Luar
Negeri AS.

Isi laporan Green menceritakan ini [7]:

Sempat ada lakon petunjukan wayang di Indonesia yang dibatalkan karena tidak
mendapat izin dari kepolisian. Lakon itu adalah "Kresna Duta" yang
menceritakan tentang usaha diplomatik terakhir Pandawa dalam rangka mencapai
penyelesaian secara damai dalam pembagian Kerajaan Ngastina dengan Raja
Sujudana dari pihak Kurawa. Tapi berakhir dengan percobaan pembunuhan
terhadap Kresna atas hasutan Perdana Menteri Sengkuni dan Menteri Luar
Negeri Durna. Akhirnya terjadilah perang Baratayudha di mana semua Kurawa
terbunuh.

Lakon ini tidak diizinkan untuk dipertunjukkan karena dapat mengundang
berbagai macam kritikan terhadap perjalanan Adam Malik ke Bangkok untuk
menyelesaikan perselisihan dengan Malaysia. Akhirnya lakonnya diganti dengan
"Lahirnya Wisanggeni" yang secara politis identik dengan 'kelahiran '
gerakan pelajar dan mahasiswa KAMI dan KAPPI.

 

JPEG image

Other related posts:

  • » [breaktime-corner] Supersemar, Kudeta Khas Indonesia - gunawan prakoso