[nasional_list] [ppiindia] Status Quo Penindasan Struktural

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 23 Nov 2005 00:04:56 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **MEDIA INDONESIA
Rabu, 23 November 2005


Status Quo Penindasan Struktural
Ahmad Fuad Fanani, peneliti International Center for Islam and Pluralism, 
Jakarta



SAAT ini kemiskinan betul-betul menjadi problem nyata di depan mata. Terlebih 
lagi, pascakenaikan harga BBM, masyarakat yang semula tergolong kelas menengah 
ke bawah, dengan mudah menjadi orang miskin baru.

Soalnya, transportasi menjadi mahal, biaya rumah tangga naik berkali lipat, 
ongkos kesehatan tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terkendali. Belum 
lagi, dengan kenaikan harga BBM itu, satu juta orang akan terancam PHK akibat 
perusahaan yang tidak kuat lagi menutup biaya produksi yang kian meninggi.

Akibatnya, pengangguran akan semakin bertambah dan pekerjaan menjadi sulit 
dicari.

Nasib rakyat kecil dan orang miskin tampaknya memang belum banyak berubah, 
meski pemerintah datang silih berganti dan umumnya menjanjikan suatu perubahan.

Mereka dibujuk dan diberi santunan agar menyadari bahwa negeri ini sedang 
krisis dan membutuhkan pengorbanan. Bahkan, guna menyadarkan dan mengetuk hati 
rakyat terhadap keprihatinan pemerintah dan keharusan mereka mencabut subsidi 
BBM ini, sampai-sampai beberapa tokoh agama dikerahkan untuk memberikan saran 
dan bimbingan.

Saran itu ditujukan agar kita bersabar menghadapi cobaan dan harus yakin bahwa 
setelah cobaan pasti akan datang kebahagiaan. Ironisnya, di saat rakyat kecil 
disuruh bersabar dan menerima kenyataan kemiskinan, para pejabat dan anggota 
Dewan malah mendapatkan tambahan fasilitas dan tunjangan yang berkali-kali 
lipat.

Akar masalah
Jeffrey Sachs dalam buku 'The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our 
Lifetime' (2005), mengatakan, situasi kemiskinan yang saat ini menjadi problem 
dunia ditandai oleh tiadanya enam macam modal.

Yaitu, human capital, businnes capital, infrastructure, natural capital, public 
institutional capital, dan knowledge capital. Menurutnya, ada empat hal 
persoalan yang menunjang kemiskinan itu menjadi semakin masif.

Pertama, pemerintah yang dilanda konflik, perang, korupsi, dan rendahnya 
investasi. Kedua, negara yang terjebak dalam kemiskinan karena rendahnya modal 
fisik, sumber daya alam, dan sumber daya manusia.

Ketiga, kantong-kantong kemiskinan di negara-negara tertentu yang tetap ada 
karena problem transportasi dan akses yang tidak lekas dibenahi. Keempat, 
kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah suatu negara tidak tepat sasaran, 
meski pertumbuhan ekonominya bagus.

Selain analisis Sachs di atas, pandangan yang ada dalam melihat akar dan 
penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, kemiskinan sebagai 
persoalan kultural. Kemiskinan dipahami sebagai sebuah nasib atau suratan 
takdir yang harus diterima seseorang dikarenakan sikap hidup orang itu sendiri, 
seperti, malas bekerja, terlalu menikmati kebersamaan, hilangnya kejujuran, dan 
tidak adanya motif berprestasi.

Kedua, kemiskinan sebagai persoalan sosial. Dalam hal ini, kemiskinan 
disebabkan oleh kurangnya kepedulian dan solidaritas sosial dari orang-orang 
berada terhadap yang miskin. Hilangnya solidaritas ini, menyebabkan manusia 
hilang kepekaan hati nuraninya dan cenderung lebih mengutamakan egoisme dan 
semangat memperkaya diri sendiri.

Ketiga, kemiskinan sebagai persoalan struktural. Sebagaimana diungkap oleh 
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1997, akar masalah yang menyebabkan 
kemiskinan adalah ketiadaan akses dan kontrol orang miskin atas sumber daya 
yang ada. Maksudnya, karena monopoli oleh kelompok dan negara tertentu dengan 
sistem ekonomi neoliberalnya, maka yang mempunyai akses terhadap segala macam 
kekuasaan, baik ekonomi, politik, budaya, maupun sosial adalah mereka-mereka 
yang kaya dan berpunya.

Keadilan untuk semua
Dalam buku terbarunya itu, Sachs juga memberikan resep untuk mengakhiri 
kemiskinan dengan apa yang disebutnya sebagai clinical economics. Dalam model 
ini, seperti halnya seorang dokter, kita tidak bisa mengatasi kemiskinan cuma 
dengan satu cara dan satu obat, namun harus berdasarkan diagnosis yang 
dilakukan dengan hati-hati dan teliti.

Obat yang diberikan harus berdasarkan pertimbangan kepelikan dan kegawatan 
persoalan yang ada, jadi tidak semua bisa diselesaikan dengan resep masuk 
perdagangan bebas atau deregulasi.

Namun, pendekatan ala Sachs ini masih sangat berbau dan khas neoliberalisme. 
Soalnya, MDGs (Millennium Development Goals) yang dia pimpin di PBB, telah 
menyederhanakan persoalan kemiskinan dengan mereduksi penderitaan yang 
diakibatkannya dalam hitungan uang bantuan.

Padahal, solusi pragmatis ini memberi tempat seluas-luasnya pada superioritas 
si pemberi bantuan pada si penerima bantuan. Sachs menegasikan kenyataan bahwa 
dalam orde dunia yang pasar adalah segalanya, hukum--makan siang gratis--selalu 
berlaku dan harga itu ditentukan oleh si pemberi bantuan.

Selain itu, dengan konsep kemiskinan dan model pengentasan semacam itu, hanya 
kemiskinan absolut yang terjaring. Kemiskinan relatif yang jumlahnya jauh lebih 
besar, tidak mendapat perhatian.

Lantas, apa yang mesti dilakukan untuk mengakhiri kemiskinan yang sudah semakin 
parah itu? Paling tidak, sikap mental untuk tidak mengikuti jalan pikir 
liberalisme dan neoliberal harus kita jadikan titik awal perjuangan. Menjadi 
seorang sosialis atau kiri, menunjukkan sebuah entitas dan banyak harapan 
aktual menjadi nyata, meski hal itu masih berupa permulaan potensi untuk 
menegakkan kepentingan pekerja, buruh, hak-hak sipil, dan pengangkatan derajat 
perempuan.

Sedangkan liberalisme, menurut Mitchell Cohen, meski ia sendiri mempunyai 
banyak variasi makna, sejak dalam sejarah Eropa klasik, meski dengan akses yang 
berbeda-beda, diasosiasikan dengan ide-ide tentang individualisme, pasar, 
persamaan di depan hukum, dan laissez-faire.

Liberalisme di satu sisi, mewujudkan kebebasan melawan politik dan ekonomi yang 
absolut, tapi di sisi lain biasanya ia melegitimasi kekejaman kapitalisme yang 
banyak menguntungkan pasar dan pemilik modal (Why I'm Still Left, Spring, 1997).

Ide menegakkan keadilan dengan pengertian ketercukupan bagi semuanya (enough 
for all) dari Gandhi, bisa kita jadikan dasar dalam melawan kemiskinan.

Melalui cara konseptual itu, kenyataan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah 
perampasan hak asasi, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ecosoc) 
seperti yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan 
Budaya, harus terus kita perjuangkan. Hak-hak yang mencakup hak atas pekerjaan, 
hak untuk bebas dari kelaparan, hak atas kesehatan, pendidikan, standar hidup 
yang layak, serta hak atas kebudayaan dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan itu 
harus ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan.

Akhirnya, kita hendaknya memang melihat kemiskinan dengan perspektif yang kiri 
dan berdasar prinsip keadilan. Sebab, dengan begitu kita bisa berbicara dan 
berpikir tentang sosialisme individu dan solidaritas sosial sebagai lawan dari 
individu yang sederhana. Berdasarkan nilai kualitatif sosial itu, upaya untuk 
mendisiplinkan pasar, membuat kondisi dan menciptakan kesamaan di depan hukum 
dengan persamaan yang penuh makna untuk orang kaya dan miskin, serta mitos 
laissez fire akan lebih mudah dilakukan. Keadilan harus ditegakkan dan menjadi 
kebutuhan untuk tidak hanya berkata pada prestasi individu, tapi juga pada 
mereka yang kalah dan tidak berkualitas dalam persaingan hidup.***

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Status Quo Penindasan Struktural