** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **MEDIA INDONESIA Rabu, 23 November 2005 Status Quo Penindasan Struktural Ahmad Fuad Fanani, peneliti International Center for Islam and Pluralism, Jakarta SAAT ini kemiskinan betul-betul menjadi problem nyata di depan mata. Terlebih lagi, pascakenaikan harga BBM, masyarakat yang semula tergolong kelas menengah ke bawah, dengan mudah menjadi orang miskin baru. Soalnya, transportasi menjadi mahal, biaya rumah tangga naik berkali lipat, ongkos kesehatan tinggi, dan biaya pendidikan semakin tak terkendali. Belum lagi, dengan kenaikan harga BBM itu, satu juta orang akan terancam PHK akibat perusahaan yang tidak kuat lagi menutup biaya produksi yang kian meninggi. Akibatnya, pengangguran akan semakin bertambah dan pekerjaan menjadi sulit dicari. Nasib rakyat kecil dan orang miskin tampaknya memang belum banyak berubah, meski pemerintah datang silih berganti dan umumnya menjanjikan suatu perubahan. Mereka dibujuk dan diberi santunan agar menyadari bahwa negeri ini sedang krisis dan membutuhkan pengorbanan. Bahkan, guna menyadarkan dan mengetuk hati rakyat terhadap keprihatinan pemerintah dan keharusan mereka mencabut subsidi BBM ini, sampai-sampai beberapa tokoh agama dikerahkan untuk memberikan saran dan bimbingan. Saran itu ditujukan agar kita bersabar menghadapi cobaan dan harus yakin bahwa setelah cobaan pasti akan datang kebahagiaan. Ironisnya, di saat rakyat kecil disuruh bersabar dan menerima kenyataan kemiskinan, para pejabat dan anggota Dewan malah mendapatkan tambahan fasilitas dan tunjangan yang berkali-kali lipat. Akar masalah Jeffrey Sachs dalam buku 'The End of Poverty: How We Can Make It Happen in Our Lifetime' (2005), mengatakan, situasi kemiskinan yang saat ini menjadi problem dunia ditandai oleh tiadanya enam macam modal. Yaitu, human capital, businnes capital, infrastructure, natural capital, public institutional capital, dan knowledge capital. Menurutnya, ada empat hal persoalan yang menunjang kemiskinan itu menjadi semakin masif. Pertama, pemerintah yang dilanda konflik, perang, korupsi, dan rendahnya investasi. Kedua, negara yang terjebak dalam kemiskinan karena rendahnya modal fisik, sumber daya alam, dan sumber daya manusia. Ketiga, kantong-kantong kemiskinan di negara-negara tertentu yang tetap ada karena problem transportasi dan akses yang tidak lekas dibenahi. Keempat, kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah suatu negara tidak tepat sasaran, meski pertumbuhan ekonominya bagus. Selain analisis Sachs di atas, pandangan yang ada dalam melihat akar dan penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, kemiskinan sebagai persoalan kultural. Kemiskinan dipahami sebagai sebuah nasib atau suratan takdir yang harus diterima seseorang dikarenakan sikap hidup orang itu sendiri, seperti, malas bekerja, terlalu menikmati kebersamaan, hilangnya kejujuran, dan tidak adanya motif berprestasi. Kedua, kemiskinan sebagai persoalan sosial. Dalam hal ini, kemiskinan disebabkan oleh kurangnya kepedulian dan solidaritas sosial dari orang-orang berada terhadap yang miskin. Hilangnya solidaritas ini, menyebabkan manusia hilang kepekaan hati nuraninya dan cenderung lebih mengutamakan egoisme dan semangat memperkaya diri sendiri. Ketiga, kemiskinan sebagai persoalan struktural. Sebagaimana diungkap oleh Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1997, akar masalah yang menyebabkan kemiskinan adalah ketiadaan akses dan kontrol orang miskin atas sumber daya yang ada. Maksudnya, karena monopoli oleh kelompok dan negara tertentu dengan sistem ekonomi neoliberalnya, maka yang mempunyai akses terhadap segala macam kekuasaan, baik ekonomi, politik, budaya, maupun sosial adalah mereka-mereka yang kaya dan berpunya. Keadilan untuk semua Dalam buku terbarunya itu, Sachs juga memberikan resep untuk mengakhiri kemiskinan dengan apa yang disebutnya sebagai clinical economics. Dalam model ini, seperti halnya seorang dokter, kita tidak bisa mengatasi kemiskinan cuma dengan satu cara dan satu obat, namun harus berdasarkan diagnosis yang dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Obat yang diberikan harus berdasarkan pertimbangan kepelikan dan kegawatan persoalan yang ada, jadi tidak semua bisa diselesaikan dengan resep masuk perdagangan bebas atau deregulasi. Namun, pendekatan ala Sachs ini masih sangat berbau dan khas neoliberalisme. Soalnya, MDGs (Millennium Development Goals) yang dia pimpin di PBB, telah menyederhanakan persoalan kemiskinan dengan mereduksi penderitaan yang diakibatkannya dalam hitungan uang bantuan. Padahal, solusi pragmatis ini memberi tempat seluas-luasnya pada superioritas si pemberi bantuan pada si penerima bantuan. Sachs menegasikan kenyataan bahwa dalam orde dunia yang pasar adalah segalanya, hukum--makan siang gratis--selalu berlaku dan harga itu ditentukan oleh si pemberi bantuan. Selain itu, dengan konsep kemiskinan dan model pengentasan semacam itu, hanya kemiskinan absolut yang terjaring. Kemiskinan relatif yang jumlahnya jauh lebih besar, tidak mendapat perhatian. Lantas, apa yang mesti dilakukan untuk mengakhiri kemiskinan yang sudah semakin parah itu? Paling tidak, sikap mental untuk tidak mengikuti jalan pikir liberalisme dan neoliberal harus kita jadikan titik awal perjuangan. Menjadi seorang sosialis atau kiri, menunjukkan sebuah entitas dan banyak harapan aktual menjadi nyata, meski hal itu masih berupa permulaan potensi untuk menegakkan kepentingan pekerja, buruh, hak-hak sipil, dan pengangkatan derajat perempuan. Sedangkan liberalisme, menurut Mitchell Cohen, meski ia sendiri mempunyai banyak variasi makna, sejak dalam sejarah Eropa klasik, meski dengan akses yang berbeda-beda, diasosiasikan dengan ide-ide tentang individualisme, pasar, persamaan di depan hukum, dan laissez-faire. Liberalisme di satu sisi, mewujudkan kebebasan melawan politik dan ekonomi yang absolut, tapi di sisi lain biasanya ia melegitimasi kekejaman kapitalisme yang banyak menguntungkan pasar dan pemilik modal (Why I'm Still Left, Spring, 1997). Ide menegakkan keadilan dengan pengertian ketercukupan bagi semuanya (enough for all) dari Gandhi, bisa kita jadikan dasar dalam melawan kemiskinan. Melalui cara konseptual itu, kenyataan bahwa masalah kemiskinan adalah masalah perampasan hak asasi, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ecosoc) seperti yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, harus terus kita perjuangkan. Hak-hak yang mencakup hak atas pekerjaan, hak untuk bebas dari kelaparan, hak atas kesehatan, pendidikan, standar hidup yang layak, serta hak atas kebudayaan dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan itu harus ditegakkan berdasarkan prinsip keadilan. Akhirnya, kita hendaknya memang melihat kemiskinan dengan perspektif yang kiri dan berdasar prinsip keadilan. Sebab, dengan begitu kita bisa berbicara dan berpikir tentang sosialisme individu dan solidaritas sosial sebagai lawan dari individu yang sederhana. Berdasarkan nilai kualitatif sosial itu, upaya untuk mendisiplinkan pasar, membuat kondisi dan menciptakan kesamaan di depan hukum dengan persamaan yang penuh makna untuk orang kaya dan miskin, serta mitos laissez fire akan lebih mudah dilakukan. Keadilan harus ditegakkan dan menjadi kebutuhan untuk tidak hanya berkata pada prestasi individu, tapi juga pada mereka yang kalah dan tidak berkualitas dalam persaingan hidup.*** [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **