[nasional_list] [ppiindia] Menyesatkan dari Jalan Allah - Re: *Perda2 Diskriminatif, Tulisan 2* (sebarluaskan)

  • From: A Nizami <nizaminz@xxxxxxxxx>
  • To: LISI@xxxxxxxxxxxxxxx, ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, media dakwah <media-dakwah@xxxxxxxxxxxxxxx>, sabili <sabili@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 14 Aug 2006 18:07:05 -0700 (PDT)

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Saya menyayangkan jika ada orang yang 
berusaha
menghalang-halangi kebenaran dan mendukung kesesatan,
kemaksiatan, atau kejahatan seperti
pelacuran/perzinahan.

"Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, Allah menyesatkan perbuatan-perbuatan
mereka.
Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah
yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan
mereka.
Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang
kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya
orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan
mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia
perbandingan-perbandingan bagi mereka." [Muhammad:1-3]


Jika ada aturan yang kurang sempurna misalnya
pelarangan pelacuran hanya menunjuk pada pelaku wanita
saja, seharusnya diperbaiki dengan melarang pelacuran
dilakukan oleh siapa pun baik pria atau wanita. Bukan
justru mendukung pelacuran itu sendiri. Dalam Islam
pelacuran baik oleh wanita mau pun pria itu dilarang.

Realita juga menunjukkan pelacuran itu merupakan satu
bentuk perselingkuhan, penyebaran penyakit kelamin
seperti herpes, AIDS, rajasinga, dsb serta menimbulkan
lahirnya anak di luar nikah yang sering diikuti dengan
pengguguran atau aborsi.

Oleh karena itu gerakan mendukung pelacuran atau
menentang pelaksanaan syariah Islam di mana mayoritas
wakil rakyat telah menyetujui adalah satu bentuk
tirani minoritas yang tidak demokratis.

--- "Amir S. Dewana" <Amir.Dewana@xxxxxxxxxxxxxxxx>
wrote:

> 
> ----- Original Message ----- 
> From: R. Husna Mulya 
> To: hrwg@xxxxxxxxxxxxxxx 
> Sent: Monday, August 14, 2006 10:02 PM
> Subject: [hrwg] *Perda2 Diskriminatif, Tulisan 2*
> (sebarluaskan)
> 
> 
> Kebijakan Daerah Diskriminatif
> (Suatu Langkah Mundur dalam Upaya Perlindungan
> Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia)
>  
>  
> Pengantar
>  
> Fenomena maraknya penerapan berbagai kebijakan
> daerah yang meresahkan masyarakat karena mengandung
> rumusan yang diskriminatif dan berpotensi pada
> munculnya ketidak pastian hukum, setidaknya dapat
> menjadi gambaran akan adanya ancaman serius terhadap
> integritas hukum nasional. Pasca penerapan otonomi
> daerah, otoritas derah mengalami euphoria untuk
> dapat mengelola pemerintahan daerahnya sesuai dengan
> ciri khas kedaerahan dan kondisi wilayahnya
> masing-masing, setelah sekian puluh tahun terikat
> pada sistem pemerintahan yang terpusat
> (sentralistik). Sayangnya, semangat yang
> sesungguhnya positif menjadi berbeda dalam tataran
> pelaksanaannya karena adanya kepentingan-kepentingan
> politik kelompok tertentu ataupun individual yang
> memanfaatkan momentum ini demi kepentingan diri
> ataupun kelompoknya.
>  
> Munculnya berbagai kebijakan daerah yang mengatur
> cara berpakaian sesuai dengan aturan kelompok
> tertentu misalnya; merupakan suatu bentuk
> pelanggaran atas hak seseorang untuk mempunyai
> pemikiran berdasarkan nilai-nilai yang mereka anut,
> dan mengekpresikannya lewat cara berpakaian. Dalam
> hal ini, kebijakan tentang cara berpakaian tidak
> menghargai keaneka aragaman budaya dan nilai-nilai
> yang dianut masyarakat Indonesia. Tidak sedikit pula
> kebijakan daerah yang masih diskriminatif terhadap
> perempuan, misalnya kebijakan yang melarang
> perempuan untuk keluar malam (pada jam-jam tertentu)
> (Perda Gorontalo No. 10/2003 tentang Pencegahan
> Maksiat) , atau yang melekatkan perempuan pada
> status tertentu sebagai pelanggar suatu bentuk
> pidana. Misalnya pelacur adalah berjenis kelamin
> perempuan, sebagaimana yang tertera dalam Perda
> Indramayu No. 7 /1999 tentang Prostitusi " Pelacuran
> adalah suatu perbuatan dimana seorang perempuan
> menyerahkan dirinya untuk berhubungan kelamin dengan
> lawan jenisnya dan menerima pembayaran baik berupa
> uang maupun bentuk lain". 
>  
> Rumusan Kebijakan Daerah yang Bertentangan dengan
> Prinsip-Prinsip Hukum Umum
>  
> Berdasarkan analisis terhadap 17 (tujuh belas)
> kebijakan daerah, berikut ini adalah bentuk-bentuk
> pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum umum yang
> dilanggar dalam beberapa Kebijakan  Daerah :
>  
> 1.       Azas Praduga Tak Bersalah (Presumption of
> Innocence)/ Obyektifitas Hukum;
> Azas ini merupakan azas universal dalam proses
> penegakan hukum. Bahwa tidak ada seorang pun dapat
> dinyatakan bersalah (melanggar suatu aturan hukum)
> sebelum dibuktikan di hadapan pengadilan yang
> berwenang. Azas ini juga menjadi dasar dalam
> perumusan suatu delik, bahwa dalam merumuskan suatu
> perbuatan yang akan dikualifikasi sebagai suatu
> tindak pelanggaran hukum (pidana), rumusan tersebut
> harus jelas dapat menunjukkan antara lain adanya;
> (i) kesengajaan/opzet;  atau (ii)dengan
> maksud/oogmerk; atau (iii) kelalaian/culpa dan atau
> menunjukkan adanya sifat (i)melawan hukum; (ii)
> tanpa memiliki kewenangan untuk itu; (iii) tanpa
> ijin; dan (iv) dengan melampauai batas
> kewenangan.[1] 
>  
> Pelanggaran atas prinsip tersebut baik dalam rumusan
> peraturan maupun dalam penegakan hukum acaranya
> berpotensi menimbulkan ketidak pastian hukum, karena
> ketiadaan acuan obyektif dalam penegakannya. Pada
> beberapa kebijakan daerah, telah teridentifikasi
> adanya pelanggaran terhadap prinsip ini baik dalam
> rumusan maupun dalam tataran penegakannya sebagai
> contoh adalah rumusan delik berikut :
>  
> "  Setiap orang yang sikap atau perilakunya
> mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan
> bahwa ia/mereka  pelacur dilarang berada di
> jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah
> penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah
> penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat
> hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut
> jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat
> lain di daerah "
>                         (Ps. 4, Perda Tangerang No.
> 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran)
>             
>              Pertanyaan yang patut diajukan dalam
> rumusan ini adalah : Sikap, atau perilaku yang
> seperti apa yang dapat, atau sepatutnya dapat
> menimbulkan suatu anggapan bahwa seseorang itu
> pelacur, dalam rumusan delik ini ?. Jawabannya tidak
> jelas, karena rumusan tersebut tidak menguraikan
> sikap tindak yang dapat dianggap sebagai perbuatan
> pelacur dimaksud. 
>  
> Dengan demikian, peraturan ini tidak memberikan
> acuan yang jelas tentang perbuatan apa yang dapat
> dikualifikasi sebagai perbuatan pelacur. Dalam
> penegakannya, ketiadaan acuan akan memicu sikap
> subyektif dari aparat penegak hukum yang pada
> akhirnya dapat berakibat kesalahan dalam proses
> penegakan. Contoh yang paling mutakhir adalah kasus
> salah tangkap yang terjadi pada beberapa orang
> perempuan di Kabupaten Tangerang, pada saat aparat
> melakukan razia dalam rangka pelaksanaan Perda
> Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan
> Pelacuran. Dalam hal ini fakta telah menunjukkan
> potensi pelanggaran atas asas praduga tak bersalah
> yang diakibatkan rumusan perda yang tidak memenuhi
> prinsip-prinsip hukum umum.
>  
> Rumusan serupa dengan Perda Tangerang No. 8 Tahun
> 2005 tentang Pelarangan Pelacuran, terdapat pada
> beberapa perda berikut :
>  
> Ù      "Siapapun yang kelakuannya/tingkah lakunya
> dapat menimbulkan dugaan bahwa ia pelacur dilarang
> ada di jalan-jalan umum, lapangan-lapangan, dirumah
> penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk,
> kontrakan, warung-warung minum, tempat hiburan,
> digedung tempat tontonan, disudut-sudut jalan atau
> lorong-lorong, berhenti, atau berjalan kaki
> berkendaraan bergerakkian kemari "(Ps. 6 Peraturan
> Daerah Kabupaten Indramayu No. 4 Tahun 2001 tentang
> Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah
> Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 tentang
> Prostitusi)
>  
> Ù      "Siapapun yang karena tingkah lakunya
> menimbulkan anggapan bahwa ia itu pelacur, tidak
> diperbolehkan berhenti atau mondar-mandir, baik
> mempergunakan kendaraan umum maupun tidak, dimuka
> atau didekat rumah penginapan, pesanggrahan, rumah
> makan, asrama...dan tempat-tempat umum lainnya"
> (Rancangan Peraturan Daerah Kota Mataram
> Nomor.Tahun. tentang Pencegahan Maksiat)
>  
> Ù      "Setiap orang ..dilarang:
> a.                  melakukan segala sesuatu yang
> mengarah para perbuatan maksiat.
> b.                  Melakukan perbuatan yang dapat
> merangsang orang lain ikut serta dalam perbuatan
> maksiat " (Peraturan daerah Propinsi Sumatra Selatan
> Nomor 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di
> Propinsi Sumatra Selatan).
>  
> 2.       Suatu aturan hukum haruslah mengemban
> amanat "kedudukan yang sama dalam hukum" (equality
> before the law) hal ini tidak hanya sekedar berlaku
> pada saat proses penegakan hukum melainkan juga
> dalam setiap rumusan peraturan, sehingga dapat
> dihindarkan timbulnya perilaku yang diskriminatif 
> dalam bentuk pembedaan apapun seperti warna kulit,
> jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau
> pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial,
> kepemilikan, keturunan atau status
> lainnya[2].Apabila prinsip ini dilanggar, hukum
> tidak akan dapat mencapai cita-citanya untuk
> menegakkan keadilan. 
>  
> Pada beberapa perda terdapat rumusan yang secara
> nyata diskriminatif khususnya terhadap perempuan
> yang dapat terlihat dalam rumusan beberapa perda
> sebagai berikut:
>  
> Ù             "Pelacuran adalah suatu perbuatan
> dimana seorang perempuan menyerahkan dirinya  untuk
> berhubungan kelamin dengan lawan jenisnya dan
> menerima bayaran baik berupa uang maupun bentuk lain
> " (Ps. 6 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 4
> Tahun 2001 tentang Perubahan Pertama Peraturan
> Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7
> Tahun 1999 tentang Prostitusi)
>  
> Ù             "Setiap perempuan dilarang berjalan
> sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani
> muhrimnya pada selang waktu pukul 24.00 sampai
> dengan pukul 04.00, kecuali  dengan alasan yang
> dapat dipertanggung jawabkan"(Perda Gorontalo Nomor
> 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat)
>  
> Ù             "Setiap orang .dilarang :
> h. bagi wanita berpakaian minim terbuka pada bagian
> tubuh mulai dari dada sampai lutut dan berpakaian
> transparan sehingga terlihat jelas bagian-bagian
> tubuh dari luar pakaian itu ditempat umum (Peraturan
> daerah Propinsi Sumatra Selatan Nomor 13 Tahun 2002
> tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatra
> Selatan)
>  
> Perempuan, dalam contoh perda pertama, perempuan
> ditempatkan dalam asumsi negatif sosial budaya
> berkaitan dengan seksualitasnya yang selama ini
> dipandang sebagai obyek. Sehingga dengan mudahnya
> perda ini melekatkan identitas pelacur dengan jenis
> kelamin perempuan. Dalam contoh perda yang kedua,
> perempuan berada dalam suatu bentuk diskriminasi
> berupa pembatasan yang berhubungan dengan hak dan
> kebebasan perempuan, yang selama ini mewujud dalam
> berbagai tindakan seperti pembatasan jam kerja,
> pembatasan mobilitas, pembatasan cara berpakaian dan
> penampilan penempatan kerja atau pemindahan kerja
> yang dikaitkan dengan ijin suami atau wali[3], dll.
>  
> Pembiaran atas keberadaan kebijakan-kebijakan daerah
> yang diskriminatif terhadap perempuan ini,
> berpotensi melanggengkan diskriminasi terhadap
> perempuan yang selama ini terjadi dan tengah
> diperjuangkan untuk dihapuskan keberadaannya.
> Kondisi ini berarti juga suatu pelanggaran terhadap
> keberlakuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang
> Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
> Perempuan (CEDAW).
>  
> Selain diskriminasi terhadap perempuan, beberapa
> perda juga menunjukkan sikap diskriminatif terhadap
> kelompok preferensi seksual (homoseksual, lesbian,
> gay) dengan menempatkan kelompok tersebut sebagai
> suatu bentuk pelanggaran hukum, tanpa dasar
> kualifikasi pemidanaan. Dengan kata lain preferensi
> seksual tersebut sudah dianggap sebagai suatu
> pelanggaran hukum tanpa adanya perbuatan nyata
> sebagai pelanggaran hukum yang mendasarinya, dengan
> contoh berikut :
>  
> Ù                 "Termasuk dalam perbuatan
> pelacuran adalah :
> a.       homoseks
> b.       lesbian..."
>                          (Perda Kota Palembang No. 2
> Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran)
>  
> Ù                 "Setiap orang atau badan dilarang
> membentuk dan atau mengadakan perkumpulan yang
> mengarah kepada perbuatan asusial dan secara
> normatif tidak bisa diterima oleh budaya masyarakat.
> Penjelasan : Perkumpulan dimaksud dalam ayat ini
> misalnya perkumpulan atau organisasi kaum lesbian,
> homoseks (gay) dan sejenisnya"
> (Perda kota Batam no. 6 Tahun 2002 tentang
> Ketertiban Sosial di Kota Batam)
>  
> Ù                 "Termasuk perbuatan maksiat,
> segala perbuatan yang dapat merusak sendi-sendi
> kehidupan bermasyarakat... Seperti :
> c.                 homoseks
> d.                 lesbian....
> (Perda Propinsi Sumatra Selatan No. 13 Tahun 2002
> tentang Pemberantasan Maksiat di Propinsi Sumatara
> Selatan)
>             
> Persoalan di seputar keberadaan kelompok homoseks
> dan sejenisnya ini memang masih menjadi masalah yang
> kontroversial tidak hanya di Indonesia namun juga di
> berbagai banyak negara lain. Namun dalam memandang
> preferensi seksual kaitannya dengan penegakan
> keamanan dan ketertiban, harus dipertimbangkan
> secara sungguh-sungguh apakah pilihan seksualitas
> seseorang cukup membuatnya dikatakan sebagai
> pelanggar aturan (pembuat onar, pembuat suasana
> tidak tertib) ataukan sebenarnya perbuatan-perbuatan
> yang mewujud sebagai perbuatan homoseksual yang
> dilakukan secara melawan hukumlah (dengan kekerasan,
> dengan orang dibawah umur, di hadapan umum, sebagai
> mata pencaharian/prostitusi) yang pantas dihukum.
>  
> Mengingat tujuan hukum bukan hanya sekedar keamanan
> dan ketertiban melainkan juga keadilan, ada baiknya
> menyimak pendapat seorang ahli hukum Jeshneck "
> tidak semua yang dilakukan dengan maksud-tujuan
> jelas, pasti memenuhi rasa keadilan" [4]. Jangan
> sampai kita berada dalam kondisi "more laws but less
> justice". Semakin banyak hukum tetapi semakin
> berkurang keadilan.
>  
> Bila mencermati rumusan pasal-pasal dalam beberapa
> perda sebagai contoh di atas, perda tersebut dibuat
> dengan maksud sebagai norma atau kaidah perintah dan
> larangan yang disertai sanksi. Dengan demikian dapat
> disimpulkan berdasarkan teori imperatif dalam
> dogmatika hukum pidana, perda tersebut berlaku
> sebagai hukum pidana yang berlaku secara lokal. 
>  
> Namun demikian, dalam pembentukan suatu hukum
> pidana, selain pemenuhan prinsip-prinsip hukum umum,
> ada begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan
> oleh penguasa sebagai pembentuk hukum, apa yang
> harus dipertimbangkan dalam penerapan suatu kaidah
> hukum pidana. Antara lain pernyataan Merkel, seorang
> yuris Jerman (abad ke 19), mengatakan bahwa "tempat
> hukum pidana adalah selalu subsider terhadap upaya
> hukum lain. Pidana adalah dan akan tetap harus
> dipandang sebagai ultimum remedium. 
>  
> Pidana berlaku bagi ketidakadilan yang terjadi yang
> tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh
> sarana-sarana (hukum) lain. Penguasa harus sadar dan
> waspada bahwa hukum pidana hanya dapat didayagunakan
> apabila sarana yang ada tidak lebih buruk
> dibandingkan dengan penyimpangan perilaku yang
> hendak ditanggulanginya[5]. Apalah artinya upaya
> untuk menghalangi suatu pelanggaran hukum bila upaya
> itu sendiri adalah suatu bentuk pelanggaran hukum.
> Hal ini mengingat, bahwa perbuatan yang
> dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana)
> diberi reaksi pengenaan secara sengaja tindakan
> (balasan) yang dimaksudkan sebagai penjatuhan derita
> (terhadap pelaku) sekalipun (hal itu merupakan
> konsekuensi dari apa yang disebut sebelumnya)[6].
> Tindakan balasan oleh penguasa daerah dalam
> perda-perda mewujud dalam sanksi yaitu hukuman
> kurungan maksimal enam bulan hingga denda maksimal
> 15 juta rupiah.
>  
> Berkaitan dengan pemberlakuan suatu kaedah hukum,
> secara filosofis harus berlandasakan kepada 3 (tiga)
> hal sebagai berikut[7]:
>  
> 1.       Hal berlakunya secara yuridis, yaitu:
> a)      Kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
> apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang
> lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen);
> b)      Kaedah hukum mempunyai kekuatan yuridis,
> jikalau kaedah tersebut terbentuk menurut cara yang
> telah ditetapkan (W. Zevenbergen)
> c)       Kaedah hukum mengikat secara yuridis,
> apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
> kondisi dengan akibatnya (J.H.A. Logemann)
> 2.       Hal berlakunya secara sosiologis yang
> intinya adalah efektivitas hukum dalam masyarakat,
> yang dasarnya adalah kekuasaan dan pengakuan.
> 3.       Hal berlakunya secara filosofis; artinya,
> kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum
> sebagai nilai positif tertinggi.
>  
> Ketiga landasan tersebut dapat digunakan sebagai
> alat acuan untuk melihat apakah kebijakan daerah
> tersebut dapat berlaku secara hukum atau tidak, maka
> berdasarkan paparan di atas, secara mudah kita dapat
> menyimpulkan bahwa kebijkan-kebijakan yang diangkat
> sebagai contoh kasus dari hasil analisi di atas
> tidak memenuhi syarat keberlakuan sebagai kaidah
> hukum baik secara yuridis, sosiologis maupun
> filosofis.
>  
>  
> Kebijkan Daerah Non-Yuridis
>  
> Tidak semua kebijakan daerah yang dianalisis
> berbentuk norma hukum khususnya pidana, beberapa
> kebijakan yang dianalisis, berbentuk pedoman,
> himbauan dan anjuran, namun ada pula kebijakan yang
> berupa aturan perintah, namun tidak disertai sanksi,
> biasanya berbentuk surat keputusan bupati atau
> sejenisnya. Secara yuridis, sudah pasti kebijakan
> ini tidak memiliki kekuatan mengikat namun, secara
> antropologis, situasi pergaulan sosial daerah
> tersebut yang akrab dengan nilai-nilai yang dimuat
> dalam kebijakan, akan mengikat masyarakat secara
> positif dengan bentuk kepatuhan  murni tetapi bisa
> juga muncul secara negatif  dalam bentuk kepatuhan
> yang terpaksa. Sebagai contoh, pegawai pemda memakai
> busana muslim/muslimat karena khawatir mengalami
> diskriminasi dalam kepegawaian, meski anjuran
> pemakaian busana muslim tersebut tidak disertai
> sanksi. Sayangnya, atas kebijakan seperti ini, tidak
> dapat dilakukan pengujian secara yuridis karena
> bukan berbenruk peraturan. Sehingga tidak mudah
> untuk melakukan tindakan hukum terhadap
> kebijakan-kebijakan seperti ini.
>  
> Selain daripada pelanggaran atas prinsip-prinsip
> hukum umum, rumusan yang terdapat dalam beberapa
> kebijakan daerah akan berdampak kepada munculnya
> kesewenang-wenangan, meluasnya diskriminasi dan
> penyalahgunaan kekuasaan, premanisme dll. Situasi
> ini bukan sekedar hanya sekedar angan-angan, tetapi
> sudah terjadi di beberapa daerah yang menerapkan
> perda sebagaimana tersebut di atas. "Polisi-polisi
> moral" bermunculan yang secara sewenang-wenang
> melakukan tindakan razia, penggerebekan, perusakan,
> pengancaman, pemerasan dengan dalih penegakan
> perda/kebijakan daerah lainnya sebagaimana contoh
> berikut:
>  
> Ä     Kasus salah tangkap kepada beberapa orang
> perempuan di Tangerang setelah pemberlakuan Perda
> No. 8 / 2005 tentang Pelarangan Pelacuran;
> Ä     Kasus seorang gadis non muslim yang dipaksa
> memakai jilbab ketika sedang berjalan-jalan di
> sebuah desa di daerah Bulukumba, sejak
> diberlakukannya Perda No. 5/2003 tentang berpakaian
> Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba; dll
>  
> Tidak hanya "polisi moral" yang tidak memiliki
> kewenangan, aparatur penegak hukum sendiri, dengan
> hanya berlandaskan kepada perda yang "cacat hukum"
> telah dan berpotensi melakukan pelanggaran hukum
> pada anggota masyarakat yang tidak bersalah yang
> menjadi korban tindakan yang didasarkan alas hak
> yang tidak sah.
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
>  
> 
> 
>
--------------------------------------------------------------------------------
> 
> [1] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas
> Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
> Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP
> Indonesia. Hal 95-96
> [2] Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun
> 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
> Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
> tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ps. 2
> [3] Partnership for Law in Development United
> Nations Development Fund for Women, CEDAW Restoring
> Rights to Women. Hal 28
> [4] Jan Remmellink, Hukum Pidana Komentar atas
> Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang
> Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam KUHP
> Indonesia. Hal 29.
> [5] Ibid hal 28
> [6] Ibid hal 30
> [7] Prof. Dr. Soerjono Soekanto & Prof. Dr. Purnadi
> Purbacaraka, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata
> Hukum,hal 11
> 
> 
>
--------------------------------------------------------------------------------
> 
>  
> 
> [Non-text portions of this message have been
> removed]
> 
> 


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: media-dakwah-subscribe@xxxxxxxxxxxxxxx
http://www.media-islam.or.id

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: