[nasional_list] [ppiindia] Memaknai Kebebasan Beragama

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 21 Nov 2005 22:03:46 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **MEDIA INDONESIA
Selasa, 22 November 2005


Memaknai Kebebasan Beragama
M Dawam Rahardjo, Presiden, The International Institute of Islamic Thought 
(III-T) Indonesia



JIKA pengertian negara sekuler dilawankan dengan negara agama, Indonesia bukan 
negara agama, melainkan negara sekuler. Dalam negara sekuler, negara tidak 
didasarkan pada suatu ideologi agama tertentu yang membentuk teokrasi. Namun 
sering juga dikatakan Indonesia tidak sepenuhnya sekuler, karena dasar negara 
dalam konstitusinya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tetapi negara tidak punya tugas melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya. 
Sementara itu warga negara mempunyai kebebasan untuk menjalankan agama dan 
beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Ketuhanan Yang Maha Esa 
berkedudukan sebagai sumber moral yang dijadikan pedoman bagi sikap dan 
perilaku warga. Sistem moral itu dapat digali dari ajaran-ajaran agama yang 
dipeluk masyarakat. Tapi ajaran-ajaran agama itu harus melalui proses 
rasionalisasi dan objektifikasi. Tuhan di sini adalah Tuhan lintas agama. 
Dengan demikian, setiap agama punya peranan dalam membangun moral bangsa.

Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu diikuti dengan ketentuan mengenai kebebasan 
beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Di 
sini, berlaku asas pluralisme yang mengakui kebenaran eksklusif masing-masing 
agama, terutama dalam hal akidah (creed) dan peribadatan (cult). Kebebasan di 
sini berarti bahwa keputusan beragama diletakkan pada tingkat individu. 
Artinya, agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan negara. Syariat 
Islam bisa dilaksanakan, tapi pada tingkat masyarakat, oleh para pemeluknya 
sendiri. Inilah makna sekularisme yang sebagaimana dikatakan oleh Talcott 
Parson, mengembalikan agama kepada masyarakat dan bukan bersatu dengan 
kekuasaan negara (kesatuan al din wa aldaulah). Hukum agama yaitu syariat tidak 
berkedudukan sebagai hukum positif, melainkan sebagai hukum volunter (voluntary 
law), meminjam istilah tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara.

Jika melihat pada sejarahnya, yaitu sejarah gereja Kristen, asal sekularisme 
lahir, liberalisme agama, yang merupakan salah satu unsur sekularisme itu. 
Artinya, setiap individu dalam memeluk dan menjalankan agama, bebas dari 
otoritas keagamaan. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam La rohbaniyah fi al 
Islam (tidak ada otoritas keagamaan dalam Islam). Sebab otoritas keagamaan 
selalu cenderung mengurangi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut 
keyakinan individu. Sementara itu, iman tidak bisa dipaksakan oleh otoritas apa 
pun. Inilah makna la ikraha fi al din (tidak ada paksaan dalam agama). Di 
sinilah asas liberalisme dan pluralisme bertemu dengan sekularisme, yang 
sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama, termasuk Islam.

Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip 
yang sangat penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan 
konsekuensinya, baik oleh negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini 
perlu diwujudkan ke dalam suatu UU yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan. 
Maksud UU ini adalah, pertama agar bisa membatasi otoritas negara sehingga 
tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal akidah (dasar-dasar 
kepercayaan) dan ibadah maupun syariat agama (code) pada umumnya. Kedua, di 
lain pihak memberikan kesadaran kepada setiap warga negara akan hak-hak 
asasinya, dalam berpendapat, berkeyakinan, dan beragama. UU semacam itu harus 
mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih detail.

Pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama atau 
menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah 
menurut agama dan keyakinan masing-masing.

Kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun 
UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan 
beragama juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan atau untuk 
berkeyakinan ateis.

Ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk berpindah agama, 
artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Berpindah 
agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran baru dalam beragama. 
Berpindah agama juga tidak disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti 
mempunyai agama lain, melainkan karena menentang perintah Tuhan.

Perpindahan agama harus dianggap peristiwa biasa dan sering disambut oleh 
kalangan agama yang baru dipeluk, sebagaimana tampak dalam penayangan 
orang-orang mualaf atau pemberian zakat kepada mualaf yang sering kali 
sebelumnya memeluk agama lain.

Keempat, kebebasan beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama 
(berdakwah), asal dilakukan tidak melalui kekerasan maupun paksaan secara 
langsung maupun tidak langsung. Kegiatan untuk mencari pengikut, dengan 
pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga miskin, atau 
pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu, 
adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, 
dengan 'membeli' keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh 
dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk 
agama tertentu.

Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung 
dari orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan 
tujuan proselitasi adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, 
karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak 
dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proselitasi tidak 
diperkenankan.

Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan 
kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan.

Atas dasar tanpa kecurigaan dan semangat untuk hidup rukun antarpemeluk agama, 
maka pendirian rumah ibadah maupun penggunaan rumah sebagai tempat ibadah tidak 
dilarang, asal tidak melanggar peraturan tata kota, mengganggu lalu lintas, 
atau menimbulkan gangguan lainnya. Peraturan semacam SKB Dua Menteri, 1969, 
yang mengatur pendirian rumah ibadah, atau UU Kerukunan Antar Umat Bergama yang 
bernuansa politisasi agama tidak diperlukan;

Kelima, ateisme sebagai paham yang dipropagandakan, yang bersifat antiagama dan 
anti-Tuhan harus dilarang oleh negara, karena bertentangan dengan Pancasila, 
khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam rangka ateisme ini juga dilarang 
mencela dan menghina suatu agama. Namun tulisan yang berpandangan ateis, 
sebagai diskursus ilmiah, tidak dilarang tapi boleh dibantah secara ilmiah pula.

Keenam, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap 
adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung 
penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah, dianggap bertentangan 
dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas, misalnya, 
tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang bagi favoritisme dan diskriminasi 
yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau berpengaruh 
di pemerintahan.

Ketujuh, negara harus memperbolehkan perkawinan antara dua orang yang berbeda 
agama, jika hal itu sudah menjadi keputusan pribadi dan keluarga.

Otoritas agama boleh mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perkawinan lintas 
agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara 
pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa itu tidak mengikat negara dan pandangan 
keluarga dan individu itu hanya berlaku pada dirinya sendiri.

Kedelapan, dalam pendidikan, setiap siswa atau mahasiswa diberi hak untuk 
menentukan agama yang dipilih untuk dipelajari. Pilihan tidak boleh berlaku 
otomatis menurut agama orang tua, walaupun orang tua bisa memengaruhi, bahkan 
menentukan pilihan anak-anaknya. Hak ini mencakup pilihan untuk tidak mengikuti 
pelajaran agama tertentu. Namun minimal ada keharusan bagi setiap siswa atau 
mahasiswa untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan 
Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan warga negara yang baik.

Kesembilan, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak untuk 
membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal tidak 
mengganggu ketenteraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum 
dan tata susila atau penipuan dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula 
bagi mereka yang ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau 
kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai 
dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak mengharuskan keimanan kepada 
suatu akidah agama sebagai syarat.

Kesepuluh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh 
membuat keputusan hukum (legal decition) yang menyatakan suatu aliran keagamaan 
sebagai--sesat dan menyesatkan--, kecuali jika aliran itu telah melakukan 
praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. Namun otoritas keagamaan 
bisa memberi penerangan dan bimbingan yang berkenaan dengan ibadah, akidah, dan 
syariat, tapi tidak mengikat siapa pun, baik negara maupun warga negara.

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Memaknai Kebebasan Beragama