[nasional_list] [ppiindia] Korupsi dan Keadilan

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 26 Nov 2005 00:40:09 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.kompas.com/kompas-cetak/0511/26/opini/2238081.htm


 
Korupsi dan Keadilan 

Budiarto Danujaya



Pembicaraan sangkut paut korupsi dan politik kerap mentok pada persoalan 
"tangan-tangan kotor". Robert Fullinwider, misalnya, kerap dikutip mengatakan 
bahwa kita butuh politikus seperti kita butuh tukang sampah, jadi seharusnya 
kita sudah menduga kalau bakal bau (Peter Singer, ed.: 1993).

Di sini kita bukan hanya bicara "power tends to corrupt'", tetapi bahwa tatanan 
nilai yang tergelar merupakan produk lingkungan dan jejaring sosial yang sudah 
terdegradasi. Dengan demikian, korupsi lalu menjadi konsekuensi yang niscaya; 
bahkan justru solusi bagi sebuah "keterpaksaan" sosial.

Paradigma berpikir semacam inilah yang memungkinkan koruptor juga bisa dilihat 
sebagai korban. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lalu bahkan dianggap bagian 
naluri dasar setiap manusia, dan karena itu lantas bisa dianggap "kewajaran 
sosial yang dapat diterima". Yang penting lalu lebih cara membuat koruptor 
"berprestasi", membuat korupsi menjadi produktif bagi kemajuan bangsa dan 
negara, dan katanya sih... bisa kalau mau (Radhar Panca Dahana, "Berani 
Korupsi, Berani Prestasi", Kompas, 28/10/2005)

Betapa pun banyak penelitian disebut-sebut melihat korelasi positif korupsi, 
termasuk di Indonesia, tetap saja pernyataan seperti ini lebih terasa 
provokatif ketimbang argumentatif. Kiranya, pernyataan ini lebih semacam 
pancingan. Semacam ajakan berdebat, apakah konsekuensi pragmatik dapat 
dijadikan legitimasi politik bagi korupsi.

Penyalahgunaan dan keadilan

Setidaknya, ada persoalan paradigmatik yang tak utuh digelar di sini sehingga 
menerbitkan kekisruhan pragmatis semacam ini.

Korupsi memang pertama-tama adalah masalah penyalahgunaan wewenang. Kalau kita 
terus menyangka bahwa korupsi sekadar masalah penyelewengan nilai-nilai moral 
dan agama, kita takkan pernah berjumpa dengan Indonesia nirkorupsi dalam hidup 
kita. Bahwasanya kita sudah menghabiskan bertriliun rupiah untuk penataran P4, 
dan bahkan satu dari sedikit negara modern yang punya pelajaran agama dari SD 
sampai universitas, tetapi tetap terus jawara dalam peringkat korupsi 
antarnegara, semestinya membeliakkan mata kita.

Akan tetapi, korupsi juga jelas lebih merupakan masalah keadilan dibandingkan 
sekadar masalah moral. Penyalahgunaan wewenang berakibat pada disparitas 
perlakuan terhadap para korban di hadapan wujud-wujud pengejewantahan 
kekuasaan. Dalam konteks ini seharusnya kita mengingat, bahkan jauh sebelum 
John Rawls menuliskan A Theory of Justice (1971), perdebatan dalam pemikiran 
politik sudah tak dapat lagi mengabaikan topik keadilan distributif. Termasuk 
perdebatan mengenai besaran peran negara dalam pengejewantahan dan 
perwujudannya.

Dalam pengertian inilah pancingan Radhar, misalnya, bahwa korupsi justru 
"berhasil mengubah wajah birokrasi opresif dan alienatif menjadi lebih ramah 
dan manusiawi", menjadi kehilangan pijakan. Mengingat tak semua "duli" di 
hadapan kuasa mampu dan mau menyuap, pertanyaannya lalu birokrasi tersebut 
ramah dan manusiawi kepada siapa?

Sebagai misal, seperti banyak keluhan pada pengurusan KTP dan SIM, kiranya juga 
segala jenis perizinan di negeri ini, birokrasi justru menjadi ekstra jelimet, 
bertele-tele, dan menyulitkan bagi mereka yang tak bersedia menyuap atau 
melalui jalur khusus. Korupsi dengan demikian justru mengakibatkan- atau 
sekurangnya melestarikan- relasi kuasa yang tidak sehat karena membuka peluang 
disparitas perlakuan; menciptakan ketidaksetaraan. Bahkan, bisa menciptakan 
relasi kuasa "duli di hadapan tuanku" karena aturan main legal lalu 
disingkirkan aturan main baru yang lebih situasional, semau sang pemangku 
wewenang.

Dalam hal ini, kiranya masuk akal kalau ditandaskan bahwa ketidaksetaraan 
sosial dan ekonomi hanya bisa diterima jika menyangkut jabatan atau instansi 
yang lebih dahulu harus dikondisikan terbuka bagi segenap pihak dengan 
kesetaraan kesempatan yang adil. Seperti Prinsip Perbedaan (The Difference 
Principle) Rawls, kalaupun terjadi disparitas perlakuan, hanya dan baru adil 
jika justru menguntungkan mereka yang tercecer (John Rawls: 2000). Sebuah 
prinsip yang mendasari model kebijakan yang kita kenal sebagai affirmative 
action.

Jelaslah, tindak KKN tidak pernah menguntungkan mereka yang tercecer, baik 
dalam arti nirkuasa maupun nirharta. Bahkan, sebaliknya justru menguntungkan 
mereka yang kuasa dan kaya karena lebih mampu menyuap atau memiliki akses pada 
jejaring kuasa. Dalam pengertian inilah, kalaupun korupsi lebih dianggap 
sebagai ekses sebuah wujud kegiatan politik yang memang disadari penuh kotoran- 
karena nangkring di atas ranah sosial-politik-tetaplah dengan sendirinya 
kehilangan legitimasi politiknya karena tidak mencerminkan keadilan distributif.

Konsekuensi pragmatis tak pernah memadai untuk menjadi legitimasi politik bagi 
korupsi karena masih tetap menyisakan persoalan disparitas perlakuan. Korupsi 
bahkan tak pernah mungkin legitimit secara politik karena akan senantiasa 
bertabrakan dengan prinsip-prinsip keadilan distributif.

Budaya korupsi

Angan-angan untuk mengubah korupsi menjadi produktif dengan mendorong para 
koruptor untuk berprestasi memajukan bangsa dan negara kiranya setara dengan 
mengimbau para teroris untuk mengubah jalan jihadnya ke jalur politik 
perwakilan. Sebuah delusi yang barangkali datang dari keputusasaan.

Banyak pakar yang tidak sepakat kalau korupsi disebut sebagai budaya. Akan 
tetapi, seperti halnya kemiskinan dianggap semacam budaya oleh Oscar Lewis 
karena mempunyai semacam tatanan nilai yang ikut melakukan determinasi terhadap 
perilaku para penyandangnya, kiranya demikian pulalah korupsi.

Internalisasi nilai-nilai kemiskinan mengakibatkan semacam gerak kausal saling 
pengaruh sirkular antara nilai-nilai kemiskinan dengan para penyandangnya. 
Pengidap budaya kemiskinan seakan "menerima" kemiskinan sedemikian rupa 
sehingga "betah" di dalamnya, atau setidaknya menganggapnya sebagai kewajaran. 
Mereka lalu jadi cenderung miskin daya juang untuk keluar sehingga membuat 
kemiskinan bak tak berujung (AB Ala, ed.: 1980).

Seperti digambarkan banyak kisah korupsi yang terbongkar di negeri ini, 
kecenderungan semacam ini juga terjadi. Sebuah tindak korupsi mendorong, bahkan 
memaksa, terjadinya tindak korupsi selanjutnya, baik atas nama ketamakan maupun 
keterpaksaan untuk menutupi tindak sebelumnya serta mempertahankan diri dalam 
jejaring kuasa tersebut. Sebuah tindak korupsi juga menghadirkan budaya 
korupsi-misal peningkatan pola konsumtif yang mendorong perilaku lanjut 
korupsi-maupun virus korupsi yang merangsang tindak korupsi lain di sekitar 
pengidapnya. Kita tentu ingat betapa para tersangka korupsi KPU sedang 
membangun rumah mewah, dan betapa korupsi di KPU menularkan rangkaian korupsi 
di BPK, Departemen Keuangan, dan bahkan DPR.

Telah lama para pakar menggambarkan bagaimana kapital mempunyai logika 
preservasi-akumulasi tertutup yang sama untuk lebih terus merawat dan 
mengakumulasi dirinya sendiri belaka (Karl Marx {1844}: 1961). Dalam hal ini, 
kiranya korupsi merupakan penyakit yang lebih buruk karena memiliki logika 
secorak tapi tak mewarisi budaya entrepreneur serupa. Dalam logika 
preservasi-akumulasi tertutup semacam ini, seorang koruptor sejati kiranya 
sibuk mengurusi kepentingan dirinya sendiri belaka sehingga sukar dibayangkan 
akan berpikir untuk kemajuan dan kesejahteraan orang banyak.

Jadi bukan saja konsekuensi pragmatis tak pernah memadai untuk menjadi 
legitimasi politik bagi korupsi, melainkan juga korupsi sulit dibayangkan bisa 
mempunyai konsekuensi pragmatis yang positif bagi kesejahteraan orang banyak 
sehingga layak untuk dipertimbangkan sebagai legitimasi politiknya. Semoga para 
koruptor kita bukan koruptor yang sejati.

BUDIARTO DANUJAYA Pemerhati Sosial; Mengajar di Jurusan Filsafat FIB-UI


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Korupsi dan Keadilan