[nasional_list] [ppiindia] Kontraksi Ekonomi dan Barisan Pengangguran

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 20 Nov 2005 21:51:42 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=221726&kat_id=16
Jumat, 18 Nopember 2005


Kontraksi Ekonomi dan Barisan Pengangguran 
Oleh : 
Kemal Syamsuddin
Pemerhati Kebijakan Publik dan Direktur Eksekutif Institute for National 
Studies (National Institute)


Kondisi ekonomi makro makin tidak menyenangkan. Keputusan Pemerintah menaikkan 
harga BBM rata-rata 108 persen, hanya sukses menyelamatkan APBN dalam jangka 
pendek, tapi menimbulkan berbagai persoalan baru yang susul-menyusul dan justru 
membuat keadaan semakin runyam. Pada gilirannya, malah menyebabkan posisi APBN 
2006 dan seterusnya tidak aman dan makin tidak pasti.

Persoalan baru itu, antara lain, melonjaknya angka inflasi Oktober sebesar 8,7 
persen. Akibatnya, inflasi periode Januari-Oktober 2005 menjadi 15,65 persen. 
Sementara inflasi tahunan (year on year) Oktober 2004-Oktober 2005 mencapai 
17,89 persen. Angka ini sudah jauh di atas asumsi 8,6 persen di APBN-P 2005. 
Bahkan, diperkirakan sampai akhir tahun ini laju inflasi kumulatif 2005 akan 
mencapai lebih dari 18 persen, mengingat masih ada beberapa faktor musiman pada 
November dan Desember.

Lonjakan inflasi ini menimbulkan dampak baru berupa kenaikan suku bunga dalam 
negeri dan memaksa otoritas moneter menaikkan BI rate dari 11 persen menjadi 
12,25 persen. Keputusan itu tidak dapat dihindari karena BI harus 
mempertahankan nilai riil rupiah, agar kepercayaan masyarakat terhadap mata 
uang nasional tetap dapat dipertahankan. Karena itu, dengan pertimbangan masih 
akan berlanjutnya lonjakan inflasi, sangat mungkin BI terus menaikkan BI rate 
ke kisaran 14-15 persen sampai akhir tahun. 9+87+Inflasi juga telah menyebabkan 
naiknya beban fiskal yang berasal dari indeksasi Surat Utang Pemerintah 
(Obligasi Negara) yang diterbitkan Pemerintah kepada BI. 

Lonjakan utang akibat indeksasi ini tentu saja menyebabkan efek penghematan 
fiskal yang diraih dari penghapusan subsidi BBM jadi kurang berarti. Sebab pada 
saat yang sama, Pemerintah harus menanggung pengeluaran tambahan untuk memenuhi 
kewajibannya kepada BI. Kemampuan Pemerintah memenuhi kewajibannya tentu saja 
akan sangat mempengaruhi kredibilitas Pemerintah di mata pelaku pasar. 
Pasalnya, sebagian surat utang yang diterbitkan Pemerintah, yaitu Surat Utang 
Negara, telah diperdagangkan di pasar obligasi nasional. Kegagalan atau 
penundaan pemenuhan kewajiban keuangan Pemerintah kepada BI akan langsung 
mempengaruhi kepercayaan pelaku pasar obligasi terhadap kredibilitas 
pemerintah. 

Persoalan lainnya adalah kenaikan suku bunga BI rate telah dan masih akan 
mendorong kenaikan suku bunga perbankan baik simpanan maupun kredit. Pengaruh 
BI rate terhadap suku bunga perbankan sangat signifikan, mengingat BI rate 
sebagai indikator moneter menjadi acuan perbankan dalam menentukan suku bunga 
pasar. Saat ini suku bunga simpanan perbankan nasional sudah merambat ke 
kisaran 11,5 persen-12,5 persen. Sedangkan suku bunga kredit telah naik ke 
kisaran 16 persen-17,5 persen. Kenaikan ini telah terjadi sejak awal September, 
sebagai antisipasi perbankan terhadap lonjakan inflasi. 

Karena diperkirakan BI rate masih akan meningkat, dengan sendirinya kenaikan 
suku bunga perbankan juga masih akan terus terjadi. Dengan demikian, tidak 
mustahil suku bunga simpanan akan bergerak ke kisaran 14 persen. Sedangkan suku 
bunga kredit juga masih mungkin naik hingga kisaran 20 persen, bahkan lebih. 
Kenaikan suku bunga perbankan tentu saja mendorong naiknya beban biaya bunga 
yang harus ditanggung dunia usaha debitor perbankan. Stress test BI 
menunjukkan, dunia usaha maksimal akan bertahan sampai kenaikan suku bunga 21 
persen. Bila lebih, bisa dipastikan banyak perusahaan tak lagi mampu membayar 
cicilan utang kepada perbankan dan gulung tikar alias bangkrut. 

Tanpa menunggu suku bunga kredit 21 persen pun, saat ini banyak debitor 
kesulitan membayar cicilan kredit. Ini tecermin dari terus naiknya persentase 
kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan. Pada triwulan pertama 
2005, rasio NPL masih 5,6 persen. Namun akhir triwulan kedua, rasio NPL sudah 
7,9 persen. Pada awal triwulan ketiga, tepatnya akhir Juli, rasio NPL sudah 8,5 
persen. Pembengkakan NPL ini mencerminkan semakin banyaknya debitor yang 
kesulitan memenuhi kewajibannya, sehingga kualitas kreditnya menurun, bahkan 
macet. Kenaikan NPL ini tentu patut disesalkan, karena terjadi sebelum kenaikan 
harga BBM Oktober. Setelah kenaikan harga BBM, sangat mungkin rasio NPL akhir 
tahun lebih dari 9,5 persen.

UKM terpuruk
Kenaikan rasio NPL tidak mustahil, mengingat korban kenaikan harga BBM kali ini 
banyak berasal dari kalangan usaha kecil menengah (UKM). Padahal, saat krisis 
1998, sektor UKM berhasil bertahan dan bahkan menjadi peredam dampak sosial 
ekonomi krisis. Keberhasilan itu relatif sulit terulang kembali tahun ini dan 
masa datang. Sulitnya UKM bertahan dapat dimengerti, karena terpukul langsung 
oleh dampak kenaikan harga BBM. Sebagian besar UKM adalah konsumen minyak tanah 
yang harganya naik 300 persen. Padahal minyak tanah adalah komponen utama dalam 
proses produksi mereka. 

Bukan hanya itu, konsumen produk-produk UKM umumnya adalah konsumen akhir dan 
dari latar belakang sosial-ekonomi bawah dan menengah. Sehingga UKM sulit 
mentransfer kenaikan beban kepada konsumen dengan menaikkan harga jual 
produknya. Sebab konsumen juga mengalami tambahan beban dan penurunan daya 
beli. Akibat dilema ini, tidak sedikit UKM menghentikan kegiatan produksinya, 
sehingga turut menambah tingginya angka pengangguran.

Tapi, kesulitan juga dirasakan perusahaan-perusahaan besar debitor perbankan. 
Ini tecermin dari data BPS yang memperlihatkan dampak kenaikan harga BBM 
terhadap tingkat pengangguran terbuka. Kenaikan harga BBM yang terjadi dua kali 
pada tahun ini, telah menyebabkan gelombang PHK pada industri tekstil, alas 
kaki, dan makanan. Padahal, tiga industri ini dikenal sebagai sektor industri 
padat karya. Tanpa memperhitungkan dampak kenaikan harga BBM, data BPS 
menunjukkan jumlah pengangguran Oktober seharusnya 11,2 juta orang. Akibat 
kenaikan harga BBM, jumlah pengangguran menjadi 11,6 juta atau 10,84 persen 
dari 106,9 juta angkatan kerja. Ini berarti telah terjadi kenaikan jumlah 
pengangguran sebesar 426 ribu orang, hanya karena kenaikan harga BBM.

Ini tentu merisaukan. Pada Agustus 2004 saja, angka pengangguran mencapai 10,25 
juta orang atau 9,86 persen dari jumlah angkatan kerja. Dibanding angka 
pengangguran terbuka per Oktober 2005, telah terjadi pembengkakan penganggur 
hingga 1,35 juta orang. Ini tidak bisa ditoleransi lagi! Karena tambahan 
pengangguran yang sangat besar berpotensi mengganggu stabilitas politik dan 
keamanan. Ancaman ini bukan main-main. Karena masih ada pengangguran setengah 
terbuka atau yang bekerja kurang dari 35 jam per bulan. Menurut hitungan LIPI 
pada 2004, jumlahnya 28,93 juta orang atau 27,5 persen dari total angkatan 
kerja. Sedikit guncangan ekonomi, status mereka merosot menjadi pengangguran 
terbuka. 

Dalam kondisi ekonomi makro yang semakin buruk, jumlah tenaga kerja yang 
bekerja kurang dari 35 jam per bulan akan meningkat. Karena pekerja penuh 
korban PHK menjadi setengah penganggur dan mencoba bekerja di sektor informal 
atau UKM. Namun, karena UKM menghadapi tekanan, jam kerja para pekerjanya juga 
tidak bisa lebih dari 35 jam per bulan.

Dengan tambahan angka pengangguran terbuka 1,35 juta orang itu saja, keadaannya 
sungguh memprihatinkan. Sebab kian menjauhkan posisi Pemerintah dari realisasi 
janji-janjinya, yaitu menargetkan setiap satu persen pertumbuhan ekonomi 
menyerap sekitar 427 ribu-600 ribu tenaga kerja. Target optimistis itu memang 
sengaja disusun untuk memenangkan kampanye pemilu dan meraih simpati publik di 
masa awal pemerintahan. Padahal, kenyataan menunjukkan, beberapa tahun terakhir 
elastisitas dunia usaha menyerap tenaga kerja merosot menjadi 200 ribu-300 ribu 
tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi.

Penurunan elastisitas antara lain terjadi karena masih tingginya biaya ekonomi, 
terjadinya mekanisasi proses produksi yang lebih mengutamakan penggunaan mesin 
berteknologi tinggi dan menyisihkan penggunaan tenaga manusia. Mekanisasi 
proses produksi ini merupakan pilihan paling masuk akal untuk mengejar 
efisiensi proses produksi akibat tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung 
dunia usaha. Selain itu, penurunan daya serap tenaga kerja juga disebabkan 
investasi lebih banyak di sektor konsumsi dan jasa yang tak butuh banyak tenaga 
kerja. Hal ini sejalan dengan kenyataan yang menunjukkan laju pertumbuhan 
ekonomi 1999-2005 lebih banyak didorong sektor konsumsi. 

Kontraksi ekonomi
Bila setiap persen pertumbuhan ekonomi menyerap tenaga kerja, seharusnya 
terjadi penurunan jumlah pengangguran. Tapi karena selama 2005 terdapat 
penambahan angka pengangguran hingga 1,35 juta orang, maka sebenarnya bukan 
terjadi pertumbuhan ekonomi, melainkan kontraksi ekonomi. Dengan logika ini, 
bila menggunakan angka optimistis, maka sebenarnya telah terjadi kontraksi atau 
penyusutan ekonomi sebesar 2,25-3,16 persen! Tapi bila memperhatikan realitas 
penurunan elastisitas daya serap tenaga kerja tadi, maka sesungguhnya telah 
terjadi kontraksi ekonomi hingga 4,5 persen hingga 6,75 persen! Apapun angka 
yang dipilih, yang terjadi tetap saja kontraksi ekonomi.

Alih-alih berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen per tahun 
hingga 2009 dan menurunkan pengangguran terbuka dari 9,6 persen menjadi 5,5 
persen, yang terjadi justru kebalikannya. Karena kebijakan harga yang gegabah, 
telah terjadi penyusutan ekonomi dan membengkaknya jumlah pengangguran. 
Sungguh, ironi yang merisaukan.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kontraksi Ekonomi dan Barisan Pengangguran