[nasional_list] [ppiindia] Kelemahan Kabinet,Terlalu Banyak Omong

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 28 Nov 2005 19:55:52 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2005/11/28/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Kelemahan Kabinet,Terlalu Banyak Omong
Oleh Tjipta Lesmana 
SALAH satu kelemahan pokok pemerintah Yu- dhoyono-Kalla adalah keduanya terlalu 
banyak ngomong. Para pembantunya pun terlalu banyak ngomong. Celakanya, omongan 
Yudhoyono maupun Kalla kerapkali tidak konsisten satu sama lain, sehingga 
membingungkan masyarakat, membuat pelaku pasar skeptis dan akhirnya menjatuhkan 
kredibilitas pemerintah sendiri di mata rakyatnya. 

Sebagai contoh, hingga dua minggu sebelum pemerintah menaikkan (lagi) harga 
BBM, Presiden Yudhoyono masih menegaskan bahwa kenaikan harga BBM akan 
dilakukan secara bertahap, tidak langsung disesuaikan dengan harga pasar. 

"Jika harganya dinaikkan secara langsung ke harga ekonomi, tidak mungkin," ucap 
Yudhoyono tanggal 17 September 2005. Presiden tidak menyebut angka kenaikan 
itu. Tapi, Wakil Presiden, Menko Perekonomian, Ketua Bappenas dan Menteri 
Keuangan terus-menerus melontarkan angka, satu sama lain tidak sama. 

Pada akhirnya, Jusuf Kalla mengemukakan harga BBM akan dinaikkan minimal 50 
persen, bisa juga 70 persen atau sampai 80 persen. Semua pernyataan itu, 
ternyata tidak benar. Pada akhirnya, harga BBM dinaikkan rata-rata 128 persen 
per 1 Oktober 2005. 

Ketika Jusuf Kalla ditanya soal angka ini, ia jawab enteng: Pemerintah tidak 
salah. "Angka 50 persen awalnya kan dari Ketua Bappenas. Saya katakan minimal 
50 persen. Jadi, kalau 100 persen, ya, pemerintah tidak salah." Ia lupa 
kenaikan harga BBM per 1 Oktober bukan 100 persen, melainkan 128 persen. Dus, 
meleset pula dari prediksinya yang "bisa mencapai 80 persen". 

Siapa sesungguhnya yang mempengaruhi Presiden untuk menaikkan harga BBM 
rata-rata 128 persen, kita tidak tahu. Yang jelas, Presiden tampaknya 
"dikerjain", atau diceramahi dengan "angin surga", sebab semua terkejut setelah 
1 Oktober, termasuk Dr Sjahrir, penasihat ekonomi Presiden Yudhoyono. 

Soal timing kenaikan pun terjadi simpang-siur antar petinggi pemerintah. Semula 
pemerintah mengatakan harga BBM akan dinaikkan lagi pada awal tahun depan. 

Pertengahan Agustus yang lalu, Presiden mengatakan harga BBM dinaikkan bulan 
Oktober. Tapi, tiba-tiba Menko Perekonomian mengeluarkan pernyataan bahwa harga 
BBM akan naik September. Hebat! 


Beli pesawat 

Tatkala berita mengenai kenaikan anggaran Kepresidenan sebesar 57 persen 
mencuat ke permukaan, Presiden Yudhoyono mengaku terperanjat, dan langsung 
memanggil para menteri terkait untuk membahas dan merevisinya. 

Anggaran Kepresidenan untuk tahun anggaran 2006 semula dikabarkan melonjak dari 
Rp 727,7 miliar (2005) menjadi Rp 1,147 triliun. 

Dan, Presiden mengaku tidak tahu tentang rencana kenaikan itu. Berbagai pihak 
langsung mengeluarkan kecaman ke alamat Presiden. Presiden dituding tidak tahu 
malu. Pada saat sebagian besar rakyat menderita kesulitan hidup, terutama 
akibat kenaikan harga BBM yang gila-gilaan, justru Presiden meminta tambahan 
anggaran belanja yang tidak masuk akal. 

Lucunya, pada waktu yang sama, Menteri Keuangan Jusuf Anwar menegaskan proses 
penyusunan anggaran departemen dan lembaga kepresidenan sudah dibahas dalam 
sidang kabinet yang dipimpin langsung oleh Presiden. Naskah RUU APBN 2006 pun 
sudah ditandatangani oleh Presiden untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. 

Karena Menteri Keuangan yang mewakili pemerintah dalam pembahasan rencana 
anggaran 2006, menteri yang satu ini pun menjadi sasaran kritik masyarakat. 
Dengan nada kesal, Menteri Keuangan menepis sangkaan bahwa instansinya yang 
membuat anggaran untuk lembaga Kepresidenan. "Itu semua sudah diputuskan di 
kabinet dan kepalanya adalah Presiden. Jadi, semua orang tahu!" tambah Jusuf 
Anwar kesal. 

Apakah Presiden jujur ketika mengatakan ia terkejut membaca kenaikan anggaran 
instansinya yang besar itu? Ataukah keterkejutan itu tidak lebih impression 
management semata? Istilah impression management dijumpai dalam buku Erving 
Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (1959). 

Menurut Goffman, manusia, siapa pun dia, kerapkali menggunakan topeng (yang 
bagus) dalam berkomunikasi. Topeng diperlukan untuk citra positif komunikator, 
sehingga ia dapat memikat komunikan, atau meyakinkan komunikan tentang 
kejujuran dan kepiawaiannya. 



Topeng juga diperlukan "to forgo or conceal action which is inconsistent with 
ideal standards", tulis Goffman. 

Kenapa harga BBM harus dinaikkan? Menurut retorika pemerintah, hal itu terutama 
karena kenaikan harga minyak di tingkat internasional yang fantastis. Beban 
subsidi pun membengkak luar biasa, sehingga beban anggaran sangat berat. 
Sepertiga anggaran kita habis dipakai hanya untuk subsidi BBM, kata Wakil 
Presiden sebelum 1 Oktober. 

Tapi, tiga minggu setelah harga BBM dinaikkan untuk kedua kalinya, Dr Anggito 
Abimanyu, Ketua Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, 
Departemen Keuangan, mengatakan kondisi keuangan negara saat ini sudah baik. 

"Kita memiliki uang banyak dari minyak ... " Pernyataan ini keluar ketika 
Anggito diminta pendapatnya tentang rencana presiden membeli pesawat jet 
pribadi. Pejabat tinggi Departemen Keuangan ini mendukung penuh rencana 
tersebut. Alasannya, "Ya, kita punya uang banyak, kok!" 

Sehari setelah itu, Anggito "dijewer" Menteri Keuangan, atasannya langsung. 
Jusuf Anwar membantah kalau pemerintah punya rencana untuk membeli pesawat jet 
pribadi Presiden. 


Prediksi 

Menteri-menteri kita, terutama yang di bidang ekonomi, juga gemar sekali 
membuat prediksi. Tragisnya, prediksi kerapkali terlalu dini dilempar ke 
publik. Padahal yang namanya prediksi, kan masih perlu diuji, jangan terlalu 
"PD" bicara pada masyarakat. 

Yang paling memalukan adalah prediksi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan 
Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, tentang kaitan antara kenaikan harga 
BBM dan angka kemiskinan. 

Sejak awal LPEM berkampanye bahwa kenaikan harga BBM jika dibarengi dengan 
pemberian subsidi langsung kepada rakyat miskin (dalam bentuk BLT, bantuan 
langsung tunai) mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar dua persen (dari 16 
persen menjadi 14 persen). 

Realitanya bagaimana? Jumlah orang miskin bukan berkurang, tapi justru 
bertambah. Para petugas lapangan Badan Pusat Statistik (BPS) pun kebingungan. 
Sekitar 50 persen rakyat Indonesia kini berstatus "sangat miskin" atau "hampir 
miskin" (near poor). 

Kenyataannya, program BLT tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tujuh minggu 
setelah Hari-H (1 Oktober 2005), masih jutaan rakyat miskin yang belum menerima 
BLT. Padahal semula pemerintah berjanji BLT akan diterima rakyat sebelum harga 
BBM dinaikkan. 

Celakanya, hasil penelitian LPEM "telanjur" disosialisasikan oleh Wakil 
Presiden, Ketua Bappenas dan Menko Perekonomian dalam upaya meyakinkan rakyat 
bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang dibarengi dengan program 
dana kompensasi sudah benar dan adil. 

Bukan hanya itu. Sebuah LSM bahkan memasang iklan setengah halaman selama 
beberapa hari di sejumlah harian ibu kota sebelum 1 Maret 2005. Isinya, secara 
khusus mencekoki bangsa ini bahwa angka kemiskinan akan turun dan pengangguran 
akan berkurang. Pernyataan heboh yang diiklankan itu ditandatangani oleh 
sejumlah nama beken, termasuk mantan menteri di bidang ekonomi era Orde Baru. 
Memalukan sekali! 

Masih soal prediksi-memprediksi. Moh Ichsan, Direktur LPEM, menolak keras 
ramalan para ekonom Indef bahwa kenaikan harga BBM akan mendorong laju inflasi 
yang tinggi. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM pada 1 Maret, inflasi 
nyatanya hanya naik sebesar 1,9 persen, kata Ichsan. Padahal, pemerintah ketika 
itu menaikkan harga BBM rata-rata 29 persen. 

Menko Perekonomian, berdasarkan analisis LPEM, pun menolak keras prediksi 
Gubernur Bank Indonesia yang mengatakan inflasi tahun 2005 bisa mencapai 14 
persen. Ical menuding Burhanuddin orang yang "pesimistis" dan tetap bertahan 
pada angka 12 persen. 

Tapi, inflasi kenyataannya meroket 7,5 persen lebih, hanya pada bulan Oktober, 
akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober 2005. Dan, inflasi 2005 sampai Oktober 
sudah mencapai 15,7 persen. Para ekonom LPEM dan Menko Perekonomian pun bungkem 
100 persen. 

Sri Mulyani (Ketua Bappenas) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di berbagai 
kesempatan mengatakan BLT sebesar Rp 100.000 per kepala per bulan dapat 
meng-offset dampak kenaikan harga BBM bagi rakyat miskin. Jusuf Kalla malah 
dengan berani membuat rincian hitung-hitungan (breakdown). 

Dengan kenaikan harga BBM 1 Oktober, kata Wakil Presiden, pengeluaran orang 
miskin akan bertambah Rp 60.000 per bulan. Maka, dengan memperoleh BLT sebesar 
Rp 100.000 masih ada kelebihan Rp 40.000 per bulan. Hebat kan? Jadi, rakyat 
miskin justru sangat diuntungkan akibat kenaikan harga BBM 1 Oktober. 

Namun, faktanya rakyat di mana-mana berteriak, karena daya beli mereka 
betul-betul terhimpit nyaris rata (leveling) dengan permukaan tanah. Gubernur 
Jakarta Sutiyoso akhirnya mengakui secara jujur bahwa BLT Rp 100.000 tidak 
cukup untuk meng-offset penderitaan rakyat miskin akibat kenaikan harga BBM 
sebesar 128 persen itu. 


Kenaikan Harga 

Dua hari menjelang kenaikan harga BBM 1 Maret 2005, pemerintah (yang antara 
lain diwakili oleh Ketua Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber 
Daya Mineral serta Menko Perekonomian) memberikan jaminan kepada DPR bahwa 
harga-harga barang takkan naik. 

Sehari setelah harga BBM kembali dinaikkan pada 1 Oktober, Menteri Perdagangan 
dan Menko Perekonomian mengemukakan kepada pers bahwa dampak kenaikan harga BBM 
takkan diikuti kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Alasannya, persediaan 
kebutuhan pokok cukup. 

Faktanya, ketika harga barang dan jasa, termasuk cabai, terasi dan sayur-mayur, 
naik berkisar 15 sampai 25 persen, apa tanggapan pemerintah? 

Sebetulnya, kebiasaan banyak ngomong dan omongan satu sama lain kerap tidak 
konsisten juga ada pada diri Presiden. Ambil misalnya soal reshuffle kabinet. 
Pernyataan Yudhoyono dalam soal ini dari hari ke hari terus berubah-ubah. 
Semula Yudhoyono sendiri yang berjanji kepada rakyat bahwa ia akan mengevaluasi 
kabinet setelah berusia setahun. Jika dalam evaluasi ternyata ada menteri yang 
kinerjanya tidak baik, ia tidak segan-segan untuk menggantinya. 

Selama 1,5 tahun terakhir, soal reshuffle kabinet ini ditanggapi beragam 
pernyataan oleh Yudhoyono: Dari mulai tidak harus mengganti menteri, cuma ganti 
tempat, hanya satu dua menteri yang akan diganti hingga pernyataan terakhir di 
Seoul, 19 November yang lalu, bahwa reshuffle kabinet bukanlah tujuan. Tujuan 
kita adalah bagaimana supaya bangsa Indonesia maju. 

Bapak Presiden, siapa yang pernah mengatakan bahwa pergantian kabinet adalah 
tujuan? Semua orang tahu bahwa pergantian kabinet sepenuhnya hak prerogatif 
Presiden. Masalahnya, Yudhoyono mau tidak? Masalahnya, Yudhoyono merasa perlu 
atau tidak? Apakah Yudhoyono masih ingat dan merasa terikat dengan komitmennya 
yang dilontarkan dalam kampanye-kampanye pemilihan presiden tempo hari? 

Masyarakat hanya memberikan masukan: (a) bahwa sejumlah menteri Kabinet 
sekarang betul-betul tidak performed atau buruk kinerjanya, (b) bahwa Presiden 
perlu mengganti menteri-menteri yang dimaksud jika Presiden masih mengharapkan 
dukungan rakyat, dan (c) bahwa jika Presiden tidak melakukan reshuffle, pasar 
akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah sehingga kredibilitas pemerintah 
akan jatuh. 

Bagaimana Presiden masih mempertahankan menteri-menteri yang banyak disorot dan 
yang dicemooh masyarakat ketika mereka menginspeksi pasar? 

Masukan dan saran dari para ahli, pengamat dan politisi memang bisa meleset, 
bahkan mungkin saja didasarkan atas kepentingan sempit. Tapi, jika suara 
masyarakat sudah menjadi public agenda (dalam teori agenda setting). 

Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh. Di mana-mana sudah terbukti bahwa 
pemimpin bangsa yang melawan opini publik akan jatuh atau pemerintahannya 
berjalan terseok- seok. Percayalah, Bapak Presiden! * 


Penulis adalah pengajar di Universitas Pelita Harapan 


Last modified: 28/11/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Kelemahan Kabinet,Terlalu Banyak Omong