[nasional_list] [ppiindia] Fw: SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN

  • From: la_luta@xxxxxxxxx
  • To: BISAI <A.Alham@xxxxxxxxxxxx>, Sastra Unas <sastraunas@xxxxxxxxxxxxxxx>, X_PPI 77-87 <x-ppi_se-eropa77-87@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Thu, 1 Jan 2009 10:35:29 -0800 (PST)

--- On Tue, 12/30/08, BISAI <A.Alham@xxxxxxxxxxxx> wrote:

From: BISAI <A.Alham@xxxxxxxxxxxx>
Subject: Fw:  SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN
Date: Tuesday, December 30, 2008, 1:33 PM


Asahan 
Aidit:
 
 
                          
SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN*
 
 
Bicara soal Kebudaayaan secara umum 
terlalu luas. Juga bicara soal Kebudayaan Indonesia masih teramat luas. Dalam 
satu pertemuan kecil seperti sekarang, pembicaraan soal budaya tentu akan amat 
terbatas lingkupannya. Karenanya saya memilih  sketsa-sketsa yang berfokus 
kecil sekitar budaya kita yang bisa kita jengkau sekitar penghidupan kita 
sehari 
hari  atau masa kekinian maupun masa lalu yang masih mempemgaruhi kehidupan 
kita, di luar negeri maupun di dalam negeri.
 
     Saya mulai 
sekitar kehidupan budaya kita di negeri perantauan.
 
Masyarakat Indonesia yang tinggal di 
luar negeri belum bersejarah lama, Mereka merantau  dengan berbagai 
alasan, situasi, kehususan maupun keumumannya. Terjadilah budaya campuran atau 
budaya pengaruh atau budaya perkawinan antara budaya asal kita dengan budaya 
tuan rumah  atau negeri yang kita tinggali. Kita mempelajari bahasa tuan 
rumah untuk berkomunikasi, untuk memsuki sekolah-sekolah/Universitas mereka, 
untuk bebelanja ke supermark, untuk beli karcis kereta, untuk menilpon dokter 
bikin janji periksa kesehatan, dsb, dsb, dsb. Dimulai dengan bahasa dan terus 
berkembang dengan saling pengenalan kebiasaan masing-masing yang mungkin 
meliputi soal-soal kebiasaan makan atau makanan, pesta-pesta pertemuan, hingga 
pergaulan dalam sekolah/Universitas maupun dalam pekerjaan atau organisasi 
kerja 
sama dsb. Kita berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan tuan rumah, 
memperhatikan apa yang mereka sukai dan tidak suka, cara mereka bergurau, cara 
mereka menyambut tamu, mengetahui hobby atau kegemaran mereka dsb.dsb yang 
semua 
itu sedikit banyak akan saling pengaruh-mempengaruhi terhadap kebudayaan 
masing-masing. Di sini dua cara hidup atau dua kultur yang 
berbeda  akan saling tarik menarik yang pada ahir-ahirnya biasanya budaya 
tuan rumahlah yang lebih kuat mempengaruhi budaya tamu pendatang mereka. Budaya 
mana yang akan menang atau kalah dalam tarik menarik ini bukanlah hal 
yang teramat penting karena kita bukan dalam medan perang kebudayaan di luar 
tanah air kita. Tapi kesediaan menyerap hal-hal yang positif dan berguna bagi 
perkembangan serta kemajuan negeri kita dari proses pertemuan dua budaya yang 
kita alami, adalah kecenderungan pro aktif. Di segi lain, menolak atau 
menghindari hal-hal yang negatif yang tidak berguna serta merugikan, harus 
dihadapi dengan bijaksana dengan kesedaran dan bahkan dengan kepribadian yang 
kuat demi untuk kepentingan diri sendiri  maupun kepentingan martabat 
bangsa. Umpamanya budaya ganja, budaya hedonisme, budaya diskriminasi, bahkan 
hinga budaya fasist yang masih mungkin terdapat di negeri Barat yang paling 
demokratis sekalipun.Kita menyerap hal-hal yang  positif dan bukan 
untuk  meniru atau menjiplak begitu saja budaya tuan rumah, tapi 
untuk mengembangkan  dan ,menghidupkan inspirasi kita sendiri untuk 
berkarya dan membentuk budaya kita sendiri agar meninggi dan bermutu. Menolak 
dan menerima sesuatu yang negatif maupun yang positf bukanlah sederhana dan 
mudah . Dalam praktek tidak sedikit terjadi korban perbenturan budaya 
antara kita kaum perantau dengan budaya tuan rumah kita oleh salah pengertian, 
kehilangan atau miskin toleransi di kedua belah pihak, sikap terlalu pasif 
memencilkan diri, kebencian pribadi hingga apatisme akibat rasa muak dari dua 
belah pihak.
 
     Beberapa 
kelemahan kita sebagai kaum perantau yang harus hidup bersama dengan tuan rumah 
kita.
 
Dalam diskusi di satu acara TV di 
Belanda antara pemuda-dak)  yang saya lihat, ada seorang pemuda Belanda 
(autochton) mengatakan: "Kami tidak suka melihat orang asing yang berlaku 
seperti di rumahnya sendiri di negeri kami".. Salah satu contoh-contoh yang 
diberikannya adalah katanya, kalau sekelompok orang asing yang berbicara dalam 
bahasanya sendiri di tengah-tengah pasar dengan suara keras, kadang-kadang 
marah-marah ,kadang-kadang tertawa besar yang tampak seperti di rumahnya 
sendiri, di negerinya sendiri atau umpamanya orang -orang asing itu tidak 
memperhatikan hal-hal yang harus mereka perhatikan seperti  duduk di tempat 
yang disediakan khusus untuk orang cacad di dalam kendaraan umum seperti bis 
dan 
trem dan kalau diperingatkan belum apa-apa sudah menuduh mendiskriminasi dan 
bertengkar panas hinggaa berkelahi, dsb, dsb, terlalu banyak contoh-contoh 
negatif yang dibuat oleh orang asing menurut pertuturan mereka.  Atau 
umpamanya etnis Marokko khususnya, sering menemui perbenturaan budaya terutama 
dari pemuda-pemuda mereka yang kalau berkembang atau memang sudah 
berkembang sejak mula hingga perbenturan yang bersifat diskriminatif, ras dan 
lalu bisa berkembang menjadi politis akibat perang budaya yang sudah sulit 
diusut asal muasalnya 
 
    Tapi menggunakan 
istilah "perbenturan budaya" tidak harus dijadikan alasan satu-satunya untuk 
mengesahkan konflik yang tak terhindarkan antara dua budaya: budaya pendatang 
dan budaya tuan rumah .Perbenturan budaya lebih bersifat spontan daripada 
sebuah 
hukum yang mudah dipahami.Manusia sangat sulit mermberikan toleransi apabila 
terjadi konflik spontan. Perbedaan kebiasaan, cara bertutur, cara 
gerak -gerik, bahasa badan, sering menimbulkan konfilik budaya yang 
sesungguhnya bisa dihindari apabila dua belah pihak mengandalkan toleransi 
daripada stagnasi atau konfrontasi.Tuan rumah, dalam keadaan sedang menyalanya 
konflik budaya, biasanya merasa haknya lebih besar daripada warga pendatang 
mereka. Sedangkan dipihak pendatang, mereka merasa sama derajat dan tidak perlu 
harus mengalah dalam setiap konflik yang terjadi. Sering-sering yang terjadi 
bukanlah murni perbenturan budaya, namaun semata perebutan hegemoni hak antara 
yang merasa lebih berhak dengan yang dianggapnya harus mengalah. Dan di 
sini selalu terjadi kerumitan. Sering-sering harus menggunakan pendekatan 
psikologis untuk menetralisir menggeloranya perbenturan budaya: psikologi tuan 
rumah dan psikologi warga pendatang. Siapa yang memberikan lebih dahulu 
toleransi tanpa terpaku dengan rasa seharusnya dia atau seharusnya saya. Akan 
tetapi bila rasa toleransi itu memang besar , pihak  yang itulah yang 
berinisiatif lebih dahulu. Umpamanya kalau saya sebagai tuan rumah, saya rela 
melihat soal itu sebagai soal kecil, bukan yang prinsip, karenanya saya rela 
mundur selangkah dan saya tetap saja sebagai tuan rumah di negeri saya sendiri. 
Demikian pula di pihak warga pendatang, dia merasa bagaiamanapun dia adalah 
tamu 
meskipun telah menjadi warga tetap dan punya hak sama  dan dia memandang 
konflik yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak prinsip yang uga mungkin oleh 
saling salah pengertian dan dia bersedia mengalah dan menganggap hal yang 
terjadi sebagai pelajaran yang mengingatkannya agar lebih baik menyesuaikan 
diri 
dengan  tanah airnya yang kedua.
 
     Tapi 
perbenturan kultur atau konflik budaya tidak hanya bisa terjadi antara budaya 
tuan rumah dan budaya warga pendatang saja, Hal itu bisa juga terjadi antara 
waraga pendatang itu sendiri dengan warga pendatang lainnya yang berlainan  
bangsa dan bahkan terjadi pula antara sesama sewarga pendatang atau satu 
bangsa. 
Umpamanya konflik budaya antara orang-orang Indonesia sendiri di negeri di mana 
mereka sedang tinggal dan berdomisili, di luar tanah air mereka. Ketika saya 
baru datang ke negeri Belanda di tahun 1983, banyak teman-teman Belanda yang 
baru saya kenal di Belanda ini yang aktif membantu saya dalam mengurusi 
bagaimana agar saya tidak diusir kembali atau dipulangkan oleh Pemerintah 
Belanda ke asal saya bertolak (dari Vietnam) atau ke Indonesia. Seorang 
wanita Tua Belanda, bekas kader CPN (Partai Komunis Belanda)yang sangat banyak 
membantu saya dalam segala hal dan sangat baik tanpa pamrih dan juga tanpa 
mengenal lelah , suatu hari pernah mengatakan pada saya bahwa orang-orang 
atau bekas-bekas teman saya yang berdatangan ke Belanda karena peristiwa 
65 yang sebagai pelarian politik, mempunyai penyakit yang disebutnya 
"Vluchtelingen ziekte" atau" penyakit pelarian politik" . Saya tidak segera 
mengerti apa yang dimaksudkan teman Belanda yang saya panggil Tante itu dengan 
"penyakit pelarian politik". Ternyata yang dia maksud adalah .gejala kebiasaan 
para pelarian politik Indomesia yang suka berkelompok kecil-kecil maupun 
yang agak besar, yang tidak bersahabat normal dengan kelompok-kelompok lainnya, 
saling memburuk-burukkan kelompok yang tidak disukainya, sangat sektaris, dan 
tidak merasa senasib sepenanggungan meskipun mereka dilanda nasib yang 
sama.Tante itu mengatakan kepada saya, dia telah meminta kepada semua 
masyarakat 
pelarian politik Indonesia di Belanda agar memenuhi ruangan pengadilan Belanda 
yang akan memutuskan untuk mengusir saya dari Belanda dan memulangkan saya ke 
Vietnam. Tapi ajakan pengerahan massa yang dilakukan Tante itu tidak 
mendapat sambutan baik dan bahkan banyak yang tidak memberikaan reaksi yang itu 
berarti tidak setuj atau tidak antusias. Lalu Tante itu meyakinkan 
kelompok-kelompok yang kurang rasa solidaritas itu dengan mengatakan bahwa jika 
nasib Asahan(saya) telah menjadi realitas bahwa dia akan diusir dari 
negeri Belanda, maka nasib kalian juga sangat mungkin tidak akan berbeda . 
Rupanya apa yang dikatakan Tante Belanda itu punya efek positif dan tepat 
pada waktu tibanya saya dalam kort geding ( sidang pengadilan), saya 
melihat begitu banyak orang-orang Indonesia, bekas teman-teman saya yang 
dulu sama kuliah di Moskow, maupun para kader Partai yang saya kenal dan 
tidak saya kenal pada berdatangaan  dan memenuhi ruang sidang pengadilan 
yang itu membuat semangat saya tidak turun  dan tetap yakin perjuangan 
Tante Belanda beserta teman-temannya yang lain ahirnya akan menyelamatkan saya 
dari pengusiran. Itu sebuah cerita yang lain lagi yang bukan pada kesempatan 
sekarang untuk diceritakan lebih rinci.Tapi apa yang dimaksudkan Tante Belanda 
dengan "penyakit pelarian politik" atau belakangan saya mengertikannya sebagai 
"penyakit kaum migran" ternyata memang ujud : sektarian, iri dengki, egois, 
miskin solidaritas , miskin toleransi di antara teman sendiri yang bahkan 
senasib. Dan ternyata penyakit itu bukan hanya terdapat pada kaum migran 
Indonesia saja tapi juga saya ketahui benar terdapat pada kaum migran 
Vietnam yang hingga saat ini saya masih punya hubungan pribadi dengan beberpa 
orang dari mereka dari juga dari hubungan-hubungana pribadi dari istri saya 
sebagai warga Belanda asal Vietnam. Dan belakangan, saya juga menjumpai 
penyakit itu pada migran-migran bangsa lainnya seperti Turki, Iran,Maroko dll.. 
Bekas direktur saya yang juga bekas kader CPN yang pernah menjabat sebagai 
Wethouder di Kotapraja Haarlemmermeer yang selama puluhan tahun bekerja 
sebagai sukarelawan membantu berbagai bangsa yang akan meminta asil di Belanda, 
mempunyai cerita yang sama tentang penyakit "vluchtelingen ziekte" itu atau 
penyakit kaum migran. Sudah tentu tidak setiap migran selalu kena 
tular atau mengidap penyakit itu. Dan jika mau dikaji lebih mendalam 
lagi, penyakit migran yang kita sebutkan sekarang ini juga berakar dari budaya 
migran yang baru didapatnya dari pengalaman hidup diluar tanah airnya dan yang 
pertama-tama yang harus diperjuangkannya adalah kehidupannya sendiri, 
keluarganya, atau kelompoknya sebagai perjuangan hidup mati. Mereka lebih suka 
hidup dalam kelompok-kelompok kecil agar mudah mendapatkan pertolongan atau 
saling tolong, orientasinya menjadi lebih sempit karena terkonsentrasi akan 
perjuangan hidupnya sendiri, nasibnya sendiri. Kecenderungan untuk tetap 
mempunyai ide politik atau sesuatu ideologi tertentu menjadi merosot dan 
pengertian tentang "cinta tanah air" menjadi kabur dan sering merasa: "tanah 
air 
saya adalah di mana saya bisa hidup baik dan terjamin". Dalam keluarga-keluarga 
migran Indonesia sendiri tidak jarang kedua orang tua mereka menjauhkan 
anak-anak mereka dari dunia politik, bahkan sampai mengharamkan sama sekali 
politik, apalagi revolusi dengan segala macam perlawanan dan protes, semua itu 
telah mereka kubur dalam-dalam. Tentu tidak semua. Budaya yang dibawa oleh anak 
cucu mereka pada umumnya adalah budaya tuan rumah baik dalam cara berpikir 
maupun gaya hidup dan kebiasaan-kebiasaan. Sekali lagi tentu tidak 
semuanya.Tapi 
kecenderungan demikian kalaupun tidak mau disebut gejala umum, sudah pasti ada 
dan terlihat bila saja mau melihatnya.Sebagai siapa saja kita tidak bisa 
menyalahkan mereka dan tidak seharusnya menjauhi dan mengkritik cara hidup yang 
telah mereka pilih sendiri. Tapi setiap orang yang masih punya idealisme, yang 
masih terpanggil oleh kecintaan terhadap tanah air muasalnya, bila masih ingin 
membangun dan memelihara keluarga cinta tanah air, maka mereka harus aktif, 
dengan penuh kesedaran memupuk cinta tanah air sejak dari mula dengan gigih 
tapi 
juga tanpa pemaksaan, dengan pengorbanan perasan tapi juga tanpa 
mengorbankan keluarga sendiri dan selalu menyedari bahwa budaya migran atau 
dengan istilah bergengsi "budaya diaspora" adalah budaya yang sudah lain dari 
budaya tanah asal mereka dan itu memang tidak bisa lain karena budaya itu 
adalah persentuhaan dekat, persentuhan langsung dengan kehidupan seseorang dan 
akan menjadi identitas dirinya meskipun tebal tipisnya tidak selalu sama. 
Budaya 
tidak bisa dipaksakan agar dia ada dan juga tidak bisa dipaksakan agar dia 
tidak 
ada.Manusia menolak dan menerima budaya yang diinginkannya, melepaskan dan 
memburu budaya yang baru sesuai dengan perjalanan waktu dan tidak seorangpun 
yang tidak punya budaya karena yang ada cumalah orang yang tidak mengikuti 
budaya kita atau telah keluar dari suatu rumpun budaya untuk pindah ke budaya 
yang lain.
 
     Tokoh tuan 
rumah yang baik hati dan bersimpati pada kaum migran disamping berusaha 
obyektif menilai kaum migran tapi juga berusaha menganalisa secara ilmiah apa 
itu budaya migran atau budaya diaspora. Kita mendengar penilaian mereka ayag 
positif tentang kaum migran, umpamanya tentang keunggulan kaum migran yang 
mewarisi bicultur yang membuat mereka lebih berpandangan luas dan juga sebagai 
penyebar kultur baru dengan konsep-konsep baru. Untuk bangsa Indonesia, 
kehidupan migran masih merupakan penglaman baru dibandingkan umpamanya dengan 
bangsa-bangsa Tionghoa, bangsa Turki, bangsa Marokko, Vietnam dll. 
Bangsa Vietnam, umpamanya, ketika mereka baru saja memenangkan perang 
melawan tentara kolonial Perancis di tahun 1954, Pemimpin mereka Presiden Ho 
Chi 
Minh pernah menyerukan agar kaum migran mereka kembali ke tanah air 
untuk turut serta membangun negeri mereka yang baru 
dibebaskan. Seruan  Ketua Ho atau sebutan mesra rakyat Vietnam sebagai 
Paman Ho itu banyak dituruti oleh para migran Vietnam, terutama yang dari 
Perancis. Mereka kembali ke Vietnam dari perantauan mereka dan dengan antusias 
turut membangun negeri mereka yang baru dan mencatat banyak suskses dan 
prestasi 
menonjol karena kemampuan dan ketrampilan para migran disertai rasa cinta 
tanah air mereka terhadap negeri dan bangsa mereka. Tapi sayang, Vietnam segra 
berhadapan dengan perang yang selanjutnya melawan agresi Amerika. Vietnam cepat 
memasuki masa sulit oleh situasi perang. Para migran mulai mengeluh dan merasa 
kurang diperhatikan dan banyak di antara mereka yang kecewa dan bahkan tidak 
sedikit yang kembali ke negeri rantau mereka yang lama. Itu sebuah 
pengalaman berharga,  bahwa kehidupan migran di luar tanah air mereka, 
telah membuat mereka biasa dengan kehidupan yang jauh lebih baik, lebih bebas 
dan lebih terjamin. Budaya migran mereka tidak mudah menyesuaikan diri dengan 
budaya tanah asalnya. Rasa cinta tanah air dalam setiap hati kaum migran 
Vietnam 
berhadapan dengan situasi perang yang juga perlu dihadapi dengan rasa cinta 
tanah air mengusir penjajah dengan perang .Rasa cinta tanah air yang bersifat 
nostalgia tentu akan berlainan dengan rasa cinta tanah yang harus 
berhadap-hadapan dengan musuh yang bersenjata dengan aparat raksasa perang 
urat syarafnya yang membikin kesengsaraan rakyat di segala bidang: ekonomi, 
politik dan kebudayaan. Semua keunggulan yang ada pada kaum migran bisa runtuh 
dalam seketika bila tanpa persiapan ideologi dan pendidikaan politik yang 
konstan dalam menghadapi kenyataan baru di tanah air asal mereka: dalam 
kedaan perang maupun damai. Untuk kaum migran Indonesia, situasi Indonesia 
yang sekarang tidak jauh berbeda dengan situasi negeri Vietnam di masa perang 
puluhan tahun lalu.Dan kalau sekiranya mereka telah bisa dengan aman dan 
terhormat kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka, tapi apakah rasa cinta tanah 
air yang bersifat nostalgia itu akan mampu berhadapan dengan kenyataan 
kehidupan 
di Indonesia sekarang, Di sinilah perlunya kita belajar dari pengalaman 
Internasional disampingj juga kaum migran harus mengenali dirinya sendiri, 
budayanya sendiri, kelemahan dan keunggulan mereka sendiri. Demikian pula di 
pihak penguasanya. Negeri Vietnam moderen dan sedang mengalami kemajuan pesat 
di 
bidang Ekonomi, kembali mengimbau para migran mereka di seluruh dunia terutama 
yang dari Amerika, Canada, Inggris, Perancis untuk turut membangun tanah air 
mereka. Ketika di tahun 2005 saya beserta istri saya mengunjungi Vietnam 
setelah 
selama lebih dua puluh tahun kami tinggalkan sejak tahun 1983, saya sudah 
hampir 
tidak lagi mengenali Viertnam, sudah bukan main besar perubahannya. 
Cerita-cerita kecil yang saya bawa antaraa lain, ketika kami mengunjungi kaum 
kerabat istri saya yang dulu masih miskin atau sangat miskin, tapi kedatangan 
kami disambut di rumah mereka yang cukup megah, besar, dengan ubin berwarna 
yang 
mahal dengan perhiasan-perhiasan mahal. Dari mana semua itu? Jawabnya dari 
kiriman para keluarga mereka yang hidup di luar negeri seperti di 
Amerika,Kanada 
,Inggris, Perancis dll .Saya lalu teringat akan kenalan-kenalan Vietnam kami 
yang berjualan lumpia di Hoofddorp. Penjual lumpia ini ada yang saya kenal 
ketika untuk pertama kalinya saya melangkahkan kaki di pasar Hoofddorp fi tahyn 
1983 dan hingga detik ini kenalan kami itu masih saja berjualan lumpia. 
Dari orang-orang migran Vietnam jenis yang inilah antara lain, mengalirkan 
uang ke keluarga-keluarga mereka untuk mendirikan rumah, membangun 
perusahaan-perusahaan kecil hingga besar di Vietnam. Dan tidak sedikit dari 
para 
pengirim uang ke negerinya itu hidup sangat sederhana, mengumpulkan uang dari 
keuntungan beberapa puluh sen dari setiap lumpia yang laku selama puluhan 
tahun. 
Tapi tidak hanya penjual lumpia yang mampu mendirikan rumah besar di Vietnam. 
Ketika saya mengunjungi sebuah Casino di dekat kota Hai Phong, yang bernana 
Do Son tempat pemandangan laut yang sangat terkenal di Vietnam Utara, saya 
masuk ke dalam kompleks gedung Casino yang besar, megah dan mewah. dan siapakah 
pemilik seluruh kompleks hiburan serba mahal itu? Tidak lain dan tidak bukan 
adalah bekas musuh besar rakyat Vietnam yang paling banyak berhutang darah 
dengan rakyat Vienam, seorang bekas wakil Presiden Vietnam Selatan, boneka 
Ameriaka yang bernama Nguyen Cao Ky. Orang Vietnam mana yang tidak kenal 
nama ini dan siapa yang tidak tahu kekejamannya.Tapi sesudah bekas 
wakil Presiden ini terguling , dia lari dan hidup sebagai migran yang 
kaya raya yang memboyong rartusan kilo emas bersamanya ke Amerika Serikat. 
Sekarang dia tanam modal di Vietnam dan aman dalam perlindungan Pemerintah 
Viernam. Itu hanya sebuah contoh kecil di Vietnam, masih banyak contoh-contoh 
menyolok dan mencengangkan lainnya. Bangsa yang menang tidak membalas dendam 
pada musuhnya yang sudah dikalahkan. Bahkan yang pernah musuh besarpun tapi 
sebagai migran yang ingin tanam modal di bekas negerinya, silahkan saja.
 
     Tapi 
disamping yang bisa menakjubkan dan mengagumkan itu tidak jarang terdapat ironi 
yang juga bisa mencengangkan. Banyak migran Virtnam yang katanya kapok pulang 
kampung. Mereka mengeluh, bila pulang penuh dengan koper-koper yang hamir 
meledak, penuh oleh-oleh untuk keluarga dan para sahabat dekat, tapi katanya 
ketika sudah habis "dipreteli", para keluarga cuma berharap agar cepat-cepat 
kembali ke negeri migrannya dan mereka merasa diperlakukan dingin karena 
sudah tak ada lagi yang bisa diambil dan diminta. Migran Vietnam punya 
kehususan 
yang luar biasa: mereka sangat memperhatikan keluarganya yang mereka 
tinggalkan. 
Semua  akan mereka korbankan demi keluarga, asalkan keluarga bisa 
hidup berkecukupan bahkan hingga mewah dan mereka bersedia banting tulang 
sepannjang hari, berhemat mengumpulkan uang untuk dikirimkan ke keluarga mereka 
di tanah air dan mereka tidak biasa menghabiskan uang untuk vakansi ke 
negeri-negeri yang bukan negerinya sendiri. Semua untuk keluarga dan 
kesejahteraan keluarga.Tapi sekarang katanya mereka sudah berangsur tua dan 
mulai berpikir untuk menikmati hasil jerih payah mereka sendiri dan sudah 
malas pulang kampung dan juga kata mereka, keluarga mereka sudah cukup kaya 
yang 
kekayaan itu adalah juga dari sumbangan uang mereka.Tapi para migran milyuner 
mereka tetap tidak bosan menanam modal ke Vietnam. Seolah kita membaca sebuah 
spanduk yang bertuliskan: "SELAMAT DATANG UANG, SELAMAT TINGGAL PERMUSUHAN". 
Itu 
ceita tentang migran Vietnam 
     

 
 
BUDAYA OMONG
 
     Pada tahun 
tujuh puluhan saya pernah membaca koran KOMPAS yang memuat tulisan panjang 
yang memenuhi beberapa halaman surat kabar itu dengan judul "Kebudayaan 
verbalisme" yang kalau tidak salah ditulis oleh Prof. Dr. Harsya 
Bachtiar.Tentu saya sudah tidak ingat secara rindc isi tulisan yang panjang dan 
juga ilmiah itu. Tapi hingga sekarang, kalau kita bicara tentang kebudaayaan 
Indonesia yang sangat beragam itu, kebudayaan yang Bhineka tunggsal Ika, namun 
kebudayaan verbal atau kebudayaan omong, budaya kata, atau budaya verbal memang 
masih salah satu identitas budaya bangsa kita. Budaya verbal tentu berlawanan 
dengaa budaya tindakan, budaya berbuat, budaya produktif dan bukan budaya hanya 
menghasilkan omongan sepanjang jaman. Kita bangsa yang suka berpidato, terutama 
para pemimpin hingga para Presiden. Bangsa kita suka berorganisasi dan suka 
ditunjuk menjadi fungsionaris organisasi agar punya banyak kesempataan bicara 
di 
depan kolektif dan lalu mengatur dan membagi bagikan pekerjaan pada orang lain 
dan dia sendiri selalu terjamin tidak kebagian pekerjaan kecuali bicara, bicara 
dan bicara. Puluhan tahun bangsa kita membicarakan dan mendiskusikan tentang 
Panca Sila dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Para pemuka agama bisa 
bicara panjang lebar di surau-surau, mesjid- mesjid, gereja-gereja, kuil-kuil. 
Para dokter partikulir memasang patok yang menuliskan jam bicara. Di kendaraan 
umum untuk menghindari kecelakaan lalu lintas ditulis pengumaman: "Dilarang 
bicara dengan supir". di gedung DPR atau Parlemen yang memang arena besar untuk 
bicara ahirnya sering kosong ketika harus diadakan sidang karena para 
anggotanya 
sudah capek dan bosan bicara. Dalam rapat-rapat meskipun sudah ada yang bicara, 
tapi kalau kurang menarik,orang-orang bicara denga teman yang 
sebangku   hingga dalam satu rapat bisa terdapat beberapa tema 
pembicaraan sekaligus di belakang maupun di muka. Dan sebutkanlah segala macam 
peristiwa bicara dalam kehidupan bangsa kita yang bangsa Indonesia ini: bicara 
adalah bagian terbesar dari hidup kita dan juga tidak salah bahwa salah satu 
kebudayaan besar kita adalah kebudayaan bicara, kebudayaan  omong atau 
kebudayaan verbalisme. Dan itu telah tercatat dalam pepatah, umpamanya: "Mulut 
kamu harimau kamu" (begitulah kalau terlalu banyak omong}.Atau: "Sedikit 
bicara, 
banyak bekerja"( karena terlalu banyak bicara dari pada kerja), atau "Memang 
Lidah tidak bertulang"( karena lidah Indonesia kerjaanya hanya untuk 
bicara).
 
BUDAYA LATAH
 
     Dari budaya 
omong atau bicara dengan sendirinya mudah berkembang menjadi budaya latah. 
Latah 
artinya ikut-ikutan secara spontan tanpa pikir panjang. Kalau Suharto bersama 
rezimnya melontarkan fitnah keji seperti umpamanya dongeng porno "tari harum 
bunga" yang menurut dia dilakukan oleh wanita-wanita Gerwani  sambil 
menyilet-nyiket kemaluan para jendral yang sudah mati dibunuh, maka seluruh 
negeri begitu saja percaya dan spontan dan latah membalas dendam dan membuat 
kekejian yang jauh lebih mengerikan dari dongeng porno sadis yang dilontarkan 
suharto denga angkatan daratnya. Juga "Kesaktian Panca Sila" versi Suharto 
disemburkan ke seluruh rakyat dan bangsa dan dengan kelatahan yang sama, 
seluuruh bangsa secara spontan tanpa pikir panjang, ikut arus "Kesaktian Panca 
Sila" yang intinya manipulasi  penolakan Panca Sila yang sesungguhnya  
dia maksudkan untuk meruntuhkan semua musuh-musuh politiknya.
 
BUDAYA PANUTAN
 
     Dari budaya 
latah, beranak pinak lalu menjadi budaya manut. Atau kalau menurut istilah 
Pram, 
budaya Panutan. Budaya manut adalah budaya yang tidak mampu berdiri sendiri, 
tergantung pada pemimpin atau orang lain secara mutlak tanpa pikir apalagi 
dengan pikiran kritis dan melahirkan manusia-manusia "yesmen" yang hanya bisa 
mengatakan "ya" terhadap semua panutannya. Yang muda harus meng-iyakan yang 
tua, 
yang tidak punya kuasa harus meng- iyakan yang punya kuasa, yang bawahan harus 
meng-iyakan yang atasan, generasi muda harus mendengarkan generari tua 
secara membabi buta dsb-dsb, betapa banyak contoh bila saja berani mengambilnya 
dari seluruh bidang kehidupan peradaban Indonesia.
 
BUDAYA MUNAFIK
 
     Dari budaya 
bicara hingga budaya panutan lahir lagi budaya munafik .Munafik artinya tidak 
mengatakan yang sebenarnya tapi justru mengatakan yang sebaliknya, Umpamanya 
memusuhi demokrsi dalam perbuatan padahal dalam omongannya 
mencintai demokrasi untuk menipu orang lain. Bahkan pengarang dan wartawan 
Mochtar Lubis pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang 
munafik.Seorang penyair terkenal Taufik Ismail sering menyatakan dirinya 
sebagai "malu menjadi orang Indonesia". Padahal penyair ini tumbuh  
dan berkembang serta menjadi terkenal yang dimulainya dengan iikut aktiv dalam 
demonstrasi-demonstrasi anti Sukarnao dan pro Militer 
Suharto.
 
 
 BUDAYA TKI/TKW
 
Mungkin akan lahir sebuah budaya baru 
yaitu budaya migran TKI/TKW (Saya singkat saja dengan TKI).Ada kontraversi 
mengenai penilaian TKI yang dipandang dari sudut kepentingan Pemerintah dan 
kehidupan keras sebagai pekerjaan migaran di luar negeri. Dari sudut pandang 
Pemerintah dan juga pendapat-pendapat yang menyokongnya, TKI biasa dianggap 
sebagai "Pahlawan Devisa" yang mendatangkan keuntungan bagi kas Negara 
RI.(devisa yang masuk). Tapi pandangan yang lain melihat sebaliknya, bahwa TKI 
adalah penghinaan terhadap diri sendiri karena perlakuan para majikan kejam dan 
sikap Pemerintah tuan rumah yang tidak memperhatikan dan menjamin hak-hak 
mereka 
selama bekerja di perantauan dan hanyalah memproduksi bangsa budak yang lebih 
mempermalukan martabat Indonesia di dumia Internasional umumnya. 
Pengalaman  selama ini yang didengar dan ditulis adalah sebagian besar 
pengalaman pahit hingga dramatis yang menimpa para buruh migran TKI: hukuman 
mati, siksaan majikan, buronan polisi dan pelecehan-pelecehan lainnya yang 
dialami para buruh migran TKI .
 
    Ketika saya selesai membaca sebuah 
cerpen yang ditulis oleh seorang buruh migran TKI yang dimulai dengan kalimat: 

"Kau percaya? ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke 
dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung". Dari segi estetika sastra, 
ini adalah pembukan yang sangat berhasil, sangat memancing minat pembaca dan 
laksana ledakan bom yang dilemparkan pilot-pilot Amerika di Vietnam sebelum 
membuka "Perundingan Paris" di masa lalu. Hanya seorang cerpenis berpengalaman 
dan professioanal  yang terpikirkan membuat kalimat pembukaan yang sehebat 
itu. Tapi penulis cerpen ini yang bernama Etik Juwita dengan judul cerpennya 
"BUKAN YEM" adalah salah seorang buruh migran yang punya bakat cemerlang 
sebagai 
cerpenis muda yad.Tapi saya tidak akan mengupas cerpen ini sebagai komentar 
sastra dalam kesempatan sekarang.Yang saya maksudkan adalah, kandungan budaya 
migran yang terdapat dalam cerpen Etik Juwita yang sangat spesifik ini. 
Kalimat pertamanya telah sempat mendirikan bulu kuduk saya. Spontan otak saya 
bekerja: perbuatan demikian( memasukkan bayi dalam mesin cuci) hanya mungkin 
dilakukan oleh kaum fasist Hitler. Sungguh kejam.Tapi nanti dulu. Ini adalah 
sebuah cerpen fiksi.Namun dari cerpen ini kita bisa menimba salah satu 
pengalaman yang uar biasa pahitnya dari para pekerja migran yang ditindas dan 
dihisap para majikan mereka dengan berbagai cara  yang membuat para buruh 
migran yang mengalaminya menaruh dendam yang luar biasa, kebencian  yang 
tak tergambarkan hingga trauma yang membuat mereka banyak yang sakit saraf 
hingga gila seratus persen. Kebencian dan dendam itu mencari jalan 
pelepasannya, mencari saluran yang paling luas diameternya yang dalam hal ini 
menemukan tempatnya yaitu sastra.Orang -orang bisa mempunyai kesan seolah 
inilah 
kaum "proletar"Indomesia yang baru yang mengalami penindasan di luar negeri 
oleh 
para majikan mereka dan bila pulang ke negerinya lalu diperas lagi oleh 
bermacam 
tukang peras yang atas nama Pemerintah maupun partikulir dan lahirlah budaya 
perlawanan yang lebih gawat tapi juga lebih berbudaya yaitu yang dilakukan oleh 
pekerja migran itu sendiri sebagai penulis-penulis yang bermuatan sastra maupun 
yang telah bernilai sastra yang sesungguhnya  seperti yang telah dimiliki 
oleh  Etik Juwita dalam cerpennya "BUKAN YEM".

     Tapi di segi lain, cerita-cerita 
atau pengalaman hidup dari para buruh migran TKI memang bisa menimbulkan 
kontraversi dan itu juga bisa wajar. Pengalaman mereka yang negatif dan 
dramatis, juga tak bisa kita kunyah begitu saja sebagai  kenyataan 
telanjang tanpa sedikitpun penganalisaan dan pemikiran adil. Strategis, semua 
orang progressif ataupun kiri harus berdiri di belakang dan membela kaum yang 
terhina, tertindas dan terhisap. Tetapi taktis, setiap mereka juga harus 
menganalisa kenyataan, peristiwa, pendengaran ataupun kesaksian dengan kepala 
dingin meskpun tidak harus menjadi kanan dan berpihak kepada penindasan. 
Terutama di pihak Pemerintah Indonesia sendiri. TKI yang dikirim ke luar negeri 
untuk mencari nafkah di sana tidak dipersiapkan dengan baik atau tidak 
dipersiapkan sama sekali dibidang budaya. Mereka tidak dipersenjatai dengan 
kemungkinan-kemungkina benturan budaya dengan pihak tuan rumah migran mereka. 
"Para calon pahlawan devisa" tidak dibekali senjata budaya dan hanya 
diharapkan uang mereka saja. Ada pepatah Nusantara yang berbunyi: "Masuk 
kandang 
kerbau menguak, masuk kandang kambing mengembik". Tentu saja kalau masuk 
kandang 
kerbau bukan harus menjadi budak kerbau dan bila masuk kandang kambing lalu 
menjadi budak kambing. Tentu diperlukan penafsiran yang bijaksana dan mendekati 
kebenaran. Menghadapi penindasan memang harus dilawan, tapi juga menghadapi 
keawajaran dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, peraturan tuan rumah, dll, juga 
harus mempunyai disiplin agar bisa saling menghormati dan menghargai satu sama 
lain tanpa perlu menjilat atau sikap-sikap lainnya  yang merendahkan 
martabat diri sendiri dan juga untuk menghindari, atau mengurangi pelecehan, 
hinaan dan kesewenang wenangan dari pihak tuan rumah. Ini sebuah penyesuaian 
budaya yang sering-sering rumit dan bahkan sangat peka. Bila Pemerintah 
meremehkan soal ini, dan hanya memikirkan uang dan keuntungan semata, tidak mau 
keluar modal sedikitpun untuk memberikam pendidikan pendahuluan kepada 
calon-calon TKI sebelum mereka berangkat ke luar negeri, maka cerita-cerita 
horror, pelecehan dan hingga permusuhan antara bangsa, bisa terjadi dan bahkan 
sudah terjadi. Padahal pendidikan budaya bukanlah pendidikan mewah atau lux dan 
mahal. Budaya adalah juga budi pekerti dalam bahasa sederhana kita yang juga 
diajarkan di sekolah dasar di manapun di dunia ini.Tapi tidak setiap orang 
selalu ingat dengan apa yang sudah mereka pelajari puluhan tahun lalu, 
dan dalam kedaan khusus, keperluan khusus, persiapan khusus, budaya atau 
budi pekerti itu perlu diajarkan  kembali sesuai dengan keperluannya yang 
itu pertama-tama adalah kewajiban Pemerintah. Tapi disamping itu LSM-LSM juga 
harus ambil inisiatif mengadakan kursus-kursus yang diperlukan sebagai bekal 
budaya bagi para calon buruh migran atas subsidi Pemerintah. Untuk Instansi 
yangl ebih tinggi dan jug para ahli atau tokoh Kebudayaan,  ada baiknya 
mengadakan studi khusus, penelitian dan penyelidikan mengenai budaya migran 
yang belum banyak menjadi sasaran studi ilmiah. Juga para mahasisiwa serta 
calon-calon Ph.D.perlu memberikan perhatian akan perlunya studi ilmiah terhadap 
budaya migran yang selalu unik  seperti umpamanya psikologi para migran, 
sejarahnya, alam pemikirannya, mimpi-mimpinya dsb.Dan tidaklah adil 
mencampakkan mereka ke sudut yang kecil dan melihatnya dengan sebelah mata dan 
lalu mendengar cerita-cerita horror, dramatis atau kecerdikan mereka dalam 
menyelamatkan hidup dan lalu bila terangsang, spontan ikut menyulut 
perseteruan bangsa atau membela secara membabi buta pihak tertindas yang tak 
tahu pasal dan cerita yang sesungguhnya. Selama ini kita menghadapinya dengan 
budaya verbal yang sedia ada, omong, bicara, omong bicara tanpa pengetahun yang 
memadai apa itu budaya migran, Dengan pengetaahuan yang serba di permukaan, 
dangkal  dan sikap anti ilmiah, kita tidak akan tahu persis siapa yang kita 
bela dan siapa yang kita lawan. Pepatah mengatkan: "TAK KENAL MAKA TAK SAYANG". 
Dan celakanya, karena tak kenal bukan hanya tak sayang tapi malah dibuang ke 
sudut gelap yang tak terlihat orang . Laum migran bukanlahanak haram 
apalagi anak yang terbuang tapi adalah juga saudara -sadara kita setanah air 
yang masih mengalami nasib korban ketidak adilan. Mereka tidak perlu 
dimanjakan, 
dipuji-puji setinggi langit bila emosi sedang naik, tapi juga tak boleh 
ditinggalkan dan bila perlu dikritik dan diberi pendidikan untuk kepentingan 
bersama sebagai sesama sesaudara dan setanah air.
  
MENGKRITK DIRI SENDIRI
 
     Begitu banyakkah cacad budaya bangsa 
kita? Seolah kita sudah tidak punya kebudayaan yang normal . Mengapa 
begitu pahit dan getirnya  menjadi orang Indonesia. Apakah benar 
demikian? Orang boleh berdebat untuk pro atau kontra tapi bila kita melihat 
kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka dengan sendirinya 
akan 
terjawab bagaimana parahnya luka yang kita derita dan itu sudah tidak bisa 
ditutupi dengan bicara, dengan omongan yang bagaimanapun. Semua luka dan derita 
itu adalah juga hasil dari budaya-budaya yang kita punyai, budaya negatif, 
budaya kontra produktif dan budaya-budaya yang lainnya yang meracuni tubuh 
kita. 
Kita sudah tidak bisa menghibur diri dengan kata dan omongan kecuali dengan 
perbuatan sambil menyingkirkan semua budaya-budaya negatif yang merongrong 
bangas selama ini. Melihat kenyataan dan menuliskannya dengan  
kata-kata pahit sesuai dengan kenyataan yang juga pahit bukanlah  
merendahkan diri sendiri tapi justru memilih kepahitan utuk bangkit dan 
kembali menjadi manusia berbudaya dan bermartabat.

Asahan Aidit.
Hoofddorp, 30122009

* Pokok-pokok pembicaraan dalam dialog budaya yang akan 
dibacakan pada
   pertemuan dialog budaya pada tanggal 3 Desember 
2009 di rumah Pak
   Mintarjo bersama teman teman PPI-Leiden 
dll di Korenbloemlaan 59 -Oegstgeest - Leiden pada jam 14.00
     
Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/  ; 
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Fw: SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN - la_luta