--- On Tue, 12/30/08, BISAI <A.Alham@xxxxxxxxxxxx> wrote: From: BISAI <A.Alham@xxxxxxxxxxxx> Subject: Fw: SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN Date: Tuesday, December 30, 2008, 1:33 PM Asahan Aidit: SKETSA BUDAYA INDONESIA DAN BUDAYA MIGRAN* Bicara soal Kebudaayaan secara umum terlalu luas. Juga bicara soal Kebudayaan Indonesia masih teramat luas. Dalam satu pertemuan kecil seperti sekarang, pembicaraan soal budaya tentu akan amat terbatas lingkupannya. Karenanya saya memilih sketsa-sketsa yang berfokus kecil sekitar budaya kita yang bisa kita jengkau sekitar penghidupan kita sehari hari atau masa kekinian maupun masa lalu yang masih mempemgaruhi kehidupan kita, di luar negeri maupun di dalam negeri. Saya mulai sekitar kehidupan budaya kita di negeri perantauan. Masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri belum bersejarah lama, Mereka merantau dengan berbagai alasan, situasi, kehususan maupun keumumannya. Terjadilah budaya campuran atau budaya pengaruh atau budaya perkawinan antara budaya asal kita dengan budaya tuan rumah atau negeri yang kita tinggali. Kita mempelajari bahasa tuan rumah untuk berkomunikasi, untuk memsuki sekolah-sekolah/Universitas mereka, untuk bebelanja ke supermark, untuk beli karcis kereta, untuk menilpon dokter bikin janji periksa kesehatan, dsb, dsb, dsb. Dimulai dengan bahasa dan terus berkembang dengan saling pengenalan kebiasaan masing-masing yang mungkin meliputi soal-soal kebiasaan makan atau makanan, pesta-pesta pertemuan, hingga pergaulan dalam sekolah/Universitas maupun dalam pekerjaan atau organisasi kerja sama dsb. Kita berusaha menyesuaikan diri dengan kebiasaan tuan rumah, memperhatikan apa yang mereka sukai dan tidak suka, cara mereka bergurau, cara mereka menyambut tamu, mengetahui hobby atau kegemaran mereka dsb.dsb yang semua itu sedikit banyak akan saling pengaruh-mempengaruhi terhadap kebudayaan masing-masing. Di sini dua cara hidup atau dua kultur yang berbeda akan saling tarik menarik yang pada ahir-ahirnya biasanya budaya tuan rumahlah yang lebih kuat mempengaruhi budaya tamu pendatang mereka. Budaya mana yang akan menang atau kalah dalam tarik menarik ini bukanlah hal yang teramat penting karena kita bukan dalam medan perang kebudayaan di luar tanah air kita. Tapi kesediaan menyerap hal-hal yang positif dan berguna bagi perkembangan serta kemajuan negeri kita dari proses pertemuan dua budaya yang kita alami, adalah kecenderungan pro aktif. Di segi lain, menolak atau menghindari hal-hal yang negatif yang tidak berguna serta merugikan, harus dihadapi dengan bijaksana dengan kesedaran dan bahkan dengan kepribadian yang kuat demi untuk kepentingan diri sendiri maupun kepentingan martabat bangsa. Umpamanya budaya ganja, budaya hedonisme, budaya diskriminasi, bahkan hinga budaya fasist yang masih mungkin terdapat di negeri Barat yang paling demokratis sekalipun.Kita menyerap hal-hal yang positif dan bukan untuk meniru atau menjiplak begitu saja budaya tuan rumah, tapi untuk mengembangkan dan ,menghidupkan inspirasi kita sendiri untuk berkarya dan membentuk budaya kita sendiri agar meninggi dan bermutu. Menolak dan menerima sesuatu yang negatif maupun yang positf bukanlah sederhana dan mudah . Dalam praktek tidak sedikit terjadi korban perbenturan budaya antara kita kaum perantau dengan budaya tuan rumah kita oleh salah pengertian, kehilangan atau miskin toleransi di kedua belah pihak, sikap terlalu pasif memencilkan diri, kebencian pribadi hingga apatisme akibat rasa muak dari dua belah pihak. Beberapa kelemahan kita sebagai kaum perantau yang harus hidup bersama dengan tuan rumah kita. Dalam diskusi di satu acara TV di Belanda antara pemuda-dak) yang saya lihat, ada seorang pemuda Belanda (autochton) mengatakan: "Kami tidak suka melihat orang asing yang berlaku seperti di rumahnya sendiri di negeri kami".. Salah satu contoh-contoh yang diberikannya adalah katanya, kalau sekelompok orang asing yang berbicara dalam bahasanya sendiri di tengah-tengah pasar dengan suara keras, kadang-kadang marah-marah ,kadang-kadang tertawa besar yang tampak seperti di rumahnya sendiri, di negerinya sendiri atau umpamanya orang -orang asing itu tidak memperhatikan hal-hal yang harus mereka perhatikan seperti duduk di tempat yang disediakan khusus untuk orang cacad di dalam kendaraan umum seperti bis dan trem dan kalau diperingatkan belum apa-apa sudah menuduh mendiskriminasi dan bertengkar panas hinggaa berkelahi, dsb, dsb, terlalu banyak contoh-contoh negatif yang dibuat oleh orang asing menurut pertuturan mereka. Atau umpamanya etnis Marokko khususnya, sering menemui perbenturaan budaya terutama dari pemuda-pemuda mereka yang kalau berkembang atau memang sudah berkembang sejak mula hingga perbenturan yang bersifat diskriminatif, ras dan lalu bisa berkembang menjadi politis akibat perang budaya yang sudah sulit diusut asal muasalnya Tapi menggunakan istilah "perbenturan budaya" tidak harus dijadikan alasan satu-satunya untuk mengesahkan konflik yang tak terhindarkan antara dua budaya: budaya pendatang dan budaya tuan rumah .Perbenturan budaya lebih bersifat spontan daripada sebuah hukum yang mudah dipahami.Manusia sangat sulit mermberikan toleransi apabila terjadi konflik spontan. Perbedaan kebiasaan, cara bertutur, cara gerak -gerik, bahasa badan, sering menimbulkan konfilik budaya yang sesungguhnya bisa dihindari apabila dua belah pihak mengandalkan toleransi daripada stagnasi atau konfrontasi.Tuan rumah, dalam keadaan sedang menyalanya konflik budaya, biasanya merasa haknya lebih besar daripada warga pendatang mereka. Sedangkan dipihak pendatang, mereka merasa sama derajat dan tidak perlu harus mengalah dalam setiap konflik yang terjadi. Sering-sering yang terjadi bukanlah murni perbenturan budaya, namaun semata perebutan hegemoni hak antara yang merasa lebih berhak dengan yang dianggapnya harus mengalah. Dan di sini selalu terjadi kerumitan. Sering-sering harus menggunakan pendekatan psikologis untuk menetralisir menggeloranya perbenturan budaya: psikologi tuan rumah dan psikologi warga pendatang. Siapa yang memberikan lebih dahulu toleransi tanpa terpaku dengan rasa seharusnya dia atau seharusnya saya. Akan tetapi bila rasa toleransi itu memang besar , pihak yang itulah yang berinisiatif lebih dahulu. Umpamanya kalau saya sebagai tuan rumah, saya rela melihat soal itu sebagai soal kecil, bukan yang prinsip, karenanya saya rela mundur selangkah dan saya tetap saja sebagai tuan rumah di negeri saya sendiri. Demikian pula di pihak warga pendatang, dia merasa bagaiamanapun dia adalah tamu meskipun telah menjadi warga tetap dan punya hak sama dan dia memandang konflik yang terjadi sebagai sesuatu yang tidak prinsip yang uga mungkin oleh saling salah pengertian dan dia bersedia mengalah dan menganggap hal yang terjadi sebagai pelajaran yang mengingatkannya agar lebih baik menyesuaikan diri dengan tanah airnya yang kedua. Tapi perbenturan kultur atau konflik budaya tidak hanya bisa terjadi antara budaya tuan rumah dan budaya warga pendatang saja, Hal itu bisa juga terjadi antara waraga pendatang itu sendiri dengan warga pendatang lainnya yang berlainan bangsa dan bahkan terjadi pula antara sesama sewarga pendatang atau satu bangsa. Umpamanya konflik budaya antara orang-orang Indonesia sendiri di negeri di mana mereka sedang tinggal dan berdomisili, di luar tanah air mereka. Ketika saya baru datang ke negeri Belanda di tahun 1983, banyak teman-teman Belanda yang baru saya kenal di Belanda ini yang aktif membantu saya dalam mengurusi bagaimana agar saya tidak diusir kembali atau dipulangkan oleh Pemerintah Belanda ke asal saya bertolak (dari Vietnam) atau ke Indonesia. Seorang wanita Tua Belanda, bekas kader CPN (Partai Komunis Belanda)yang sangat banyak membantu saya dalam segala hal dan sangat baik tanpa pamrih dan juga tanpa mengenal lelah , suatu hari pernah mengatakan pada saya bahwa orang-orang atau bekas-bekas teman saya yang berdatangan ke Belanda karena peristiwa 65 yang sebagai pelarian politik, mempunyai penyakit yang disebutnya "Vluchtelingen ziekte" atau" penyakit pelarian politik" . Saya tidak segera mengerti apa yang dimaksudkan teman Belanda yang saya panggil Tante itu dengan "penyakit pelarian politik". Ternyata yang dia maksud adalah .gejala kebiasaan para pelarian politik Indomesia yang suka berkelompok kecil-kecil maupun yang agak besar, yang tidak bersahabat normal dengan kelompok-kelompok lainnya, saling memburuk-burukkan kelompok yang tidak disukainya, sangat sektaris, dan tidak merasa senasib sepenanggungan meskipun mereka dilanda nasib yang sama.Tante itu mengatakan kepada saya, dia telah meminta kepada semua masyarakat pelarian politik Indonesia di Belanda agar memenuhi ruangan pengadilan Belanda yang akan memutuskan untuk mengusir saya dari Belanda dan memulangkan saya ke Vietnam. Tapi ajakan pengerahan massa yang dilakukan Tante itu tidak mendapat sambutan baik dan bahkan banyak yang tidak memberikaan reaksi yang itu berarti tidak setuj atau tidak antusias. Lalu Tante itu meyakinkan kelompok-kelompok yang kurang rasa solidaritas itu dengan mengatakan bahwa jika nasib Asahan(saya) telah menjadi realitas bahwa dia akan diusir dari negeri Belanda, maka nasib kalian juga sangat mungkin tidak akan berbeda . Rupanya apa yang dikatakan Tante Belanda itu punya efek positif dan tepat pada waktu tibanya saya dalam kort geding ( sidang pengadilan), saya melihat begitu banyak orang-orang Indonesia, bekas teman-teman saya yang dulu sama kuliah di Moskow, maupun para kader Partai yang saya kenal dan tidak saya kenal pada berdatangaan dan memenuhi ruang sidang pengadilan yang itu membuat semangat saya tidak turun dan tetap yakin perjuangan Tante Belanda beserta teman-temannya yang lain ahirnya akan menyelamatkan saya dari pengusiran. Itu sebuah cerita yang lain lagi yang bukan pada kesempatan sekarang untuk diceritakan lebih rinci.Tapi apa yang dimaksudkan Tante Belanda dengan "penyakit pelarian politik" atau belakangan saya mengertikannya sebagai "penyakit kaum migran" ternyata memang ujud : sektarian, iri dengki, egois, miskin solidaritas , miskin toleransi di antara teman sendiri yang bahkan senasib. Dan ternyata penyakit itu bukan hanya terdapat pada kaum migran Indonesia saja tapi juga saya ketahui benar terdapat pada kaum migran Vietnam yang hingga saat ini saya masih punya hubungan pribadi dengan beberpa orang dari mereka dari juga dari hubungan-hubungana pribadi dari istri saya sebagai warga Belanda asal Vietnam. Dan belakangan, saya juga menjumpai penyakit itu pada migran-migran bangsa lainnya seperti Turki, Iran,Maroko dll.. Bekas direktur saya yang juga bekas kader CPN yang pernah menjabat sebagai Wethouder di Kotapraja Haarlemmermeer yang selama puluhan tahun bekerja sebagai sukarelawan membantu berbagai bangsa yang akan meminta asil di Belanda, mempunyai cerita yang sama tentang penyakit "vluchtelingen ziekte" itu atau penyakit kaum migran. Sudah tentu tidak setiap migran selalu kena tular atau mengidap penyakit itu. Dan jika mau dikaji lebih mendalam lagi, penyakit migran yang kita sebutkan sekarang ini juga berakar dari budaya migran yang baru didapatnya dari pengalaman hidup diluar tanah airnya dan yang pertama-tama yang harus diperjuangkannya adalah kehidupannya sendiri, keluarganya, atau kelompoknya sebagai perjuangan hidup mati. Mereka lebih suka hidup dalam kelompok-kelompok kecil agar mudah mendapatkan pertolongan atau saling tolong, orientasinya menjadi lebih sempit karena terkonsentrasi akan perjuangan hidupnya sendiri, nasibnya sendiri. Kecenderungan untuk tetap mempunyai ide politik atau sesuatu ideologi tertentu menjadi merosot dan pengertian tentang "cinta tanah air" menjadi kabur dan sering merasa: "tanah air saya adalah di mana saya bisa hidup baik dan terjamin". Dalam keluarga-keluarga migran Indonesia sendiri tidak jarang kedua orang tua mereka menjauhkan anak-anak mereka dari dunia politik, bahkan sampai mengharamkan sama sekali politik, apalagi revolusi dengan segala macam perlawanan dan protes, semua itu telah mereka kubur dalam-dalam. Tentu tidak semua. Budaya yang dibawa oleh anak cucu mereka pada umumnya adalah budaya tuan rumah baik dalam cara berpikir maupun gaya hidup dan kebiasaan-kebiasaan. Sekali lagi tentu tidak semuanya.Tapi kecenderungan demikian kalaupun tidak mau disebut gejala umum, sudah pasti ada dan terlihat bila saja mau melihatnya.Sebagai siapa saja kita tidak bisa menyalahkan mereka dan tidak seharusnya menjauhi dan mengkritik cara hidup yang telah mereka pilih sendiri. Tapi setiap orang yang masih punya idealisme, yang masih terpanggil oleh kecintaan terhadap tanah air muasalnya, bila masih ingin membangun dan memelihara keluarga cinta tanah air, maka mereka harus aktif, dengan penuh kesedaran memupuk cinta tanah air sejak dari mula dengan gigih tapi juga tanpa pemaksaan, dengan pengorbanan perasan tapi juga tanpa mengorbankan keluarga sendiri dan selalu menyedari bahwa budaya migran atau dengan istilah bergengsi "budaya diaspora" adalah budaya yang sudah lain dari budaya tanah asal mereka dan itu memang tidak bisa lain karena budaya itu adalah persentuhaan dekat, persentuhan langsung dengan kehidupan seseorang dan akan menjadi identitas dirinya meskipun tebal tipisnya tidak selalu sama. Budaya tidak bisa dipaksakan agar dia ada dan juga tidak bisa dipaksakan agar dia tidak ada.Manusia menolak dan menerima budaya yang diinginkannya, melepaskan dan memburu budaya yang baru sesuai dengan perjalanan waktu dan tidak seorangpun yang tidak punya budaya karena yang ada cumalah orang yang tidak mengikuti budaya kita atau telah keluar dari suatu rumpun budaya untuk pindah ke budaya yang lain. Tokoh tuan rumah yang baik hati dan bersimpati pada kaum migran disamping berusaha obyektif menilai kaum migran tapi juga berusaha menganalisa secara ilmiah apa itu budaya migran atau budaya diaspora. Kita mendengar penilaian mereka ayag positif tentang kaum migran, umpamanya tentang keunggulan kaum migran yang mewarisi bicultur yang membuat mereka lebih berpandangan luas dan juga sebagai penyebar kultur baru dengan konsep-konsep baru. Untuk bangsa Indonesia, kehidupan migran masih merupakan penglaman baru dibandingkan umpamanya dengan bangsa-bangsa Tionghoa, bangsa Turki, bangsa Marokko, Vietnam dll. Bangsa Vietnam, umpamanya, ketika mereka baru saja memenangkan perang melawan tentara kolonial Perancis di tahun 1954, Pemimpin mereka Presiden Ho Chi Minh pernah menyerukan agar kaum migran mereka kembali ke tanah air untuk turut serta membangun negeri mereka yang baru dibebaskan. Seruan Ketua Ho atau sebutan mesra rakyat Vietnam sebagai Paman Ho itu banyak dituruti oleh para migran Vietnam, terutama yang dari Perancis. Mereka kembali ke Vietnam dari perantauan mereka dan dengan antusias turut membangun negeri mereka yang baru dan mencatat banyak suskses dan prestasi menonjol karena kemampuan dan ketrampilan para migran disertai rasa cinta tanah air mereka terhadap negeri dan bangsa mereka. Tapi sayang, Vietnam segra berhadapan dengan perang yang selanjutnya melawan agresi Amerika. Vietnam cepat memasuki masa sulit oleh situasi perang. Para migran mulai mengeluh dan merasa kurang diperhatikan dan banyak di antara mereka yang kecewa dan bahkan tidak sedikit yang kembali ke negeri rantau mereka yang lama. Itu sebuah pengalaman berharga, bahwa kehidupan migran di luar tanah air mereka, telah membuat mereka biasa dengan kehidupan yang jauh lebih baik, lebih bebas dan lebih terjamin. Budaya migran mereka tidak mudah menyesuaikan diri dengan budaya tanah asalnya. Rasa cinta tanah air dalam setiap hati kaum migran Vietnam berhadapan dengan situasi perang yang juga perlu dihadapi dengan rasa cinta tanah air mengusir penjajah dengan perang .Rasa cinta tanah air yang bersifat nostalgia tentu akan berlainan dengan rasa cinta tanah yang harus berhadap-hadapan dengan musuh yang bersenjata dengan aparat raksasa perang urat syarafnya yang membikin kesengsaraan rakyat di segala bidang: ekonomi, politik dan kebudayaan. Semua keunggulan yang ada pada kaum migran bisa runtuh dalam seketika bila tanpa persiapan ideologi dan pendidikaan politik yang konstan dalam menghadapi kenyataan baru di tanah air asal mereka: dalam kedaan perang maupun damai. Untuk kaum migran Indonesia, situasi Indonesia yang sekarang tidak jauh berbeda dengan situasi negeri Vietnam di masa perang puluhan tahun lalu.Dan kalau sekiranya mereka telah bisa dengan aman dan terhormat kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka, tapi apakah rasa cinta tanah air yang bersifat nostalgia itu akan mampu berhadapan dengan kenyataan kehidupan di Indonesia sekarang, Di sinilah perlunya kita belajar dari pengalaman Internasional disampingj juga kaum migran harus mengenali dirinya sendiri, budayanya sendiri, kelemahan dan keunggulan mereka sendiri. Demikian pula di pihak penguasanya. Negeri Vietnam moderen dan sedang mengalami kemajuan pesat di bidang Ekonomi, kembali mengimbau para migran mereka di seluruh dunia terutama yang dari Amerika, Canada, Inggris, Perancis untuk turut membangun tanah air mereka. Ketika di tahun 2005 saya beserta istri saya mengunjungi Vietnam setelah selama lebih dua puluh tahun kami tinggalkan sejak tahun 1983, saya sudah hampir tidak lagi mengenali Viertnam, sudah bukan main besar perubahannya. Cerita-cerita kecil yang saya bawa antaraa lain, ketika kami mengunjungi kaum kerabat istri saya yang dulu masih miskin atau sangat miskin, tapi kedatangan kami disambut di rumah mereka yang cukup megah, besar, dengan ubin berwarna yang mahal dengan perhiasan-perhiasan mahal. Dari mana semua itu? Jawabnya dari kiriman para keluarga mereka yang hidup di luar negeri seperti di Amerika,Kanada ,Inggris, Perancis dll .Saya lalu teringat akan kenalan-kenalan Vietnam kami yang berjualan lumpia di Hoofddorp. Penjual lumpia ini ada yang saya kenal ketika untuk pertama kalinya saya melangkahkan kaki di pasar Hoofddorp fi tahyn 1983 dan hingga detik ini kenalan kami itu masih saja berjualan lumpia. Dari orang-orang migran Vietnam jenis yang inilah antara lain, mengalirkan uang ke keluarga-keluarga mereka untuk mendirikan rumah, membangun perusahaan-perusahaan kecil hingga besar di Vietnam. Dan tidak sedikit dari para pengirim uang ke negerinya itu hidup sangat sederhana, mengumpulkan uang dari keuntungan beberapa puluh sen dari setiap lumpia yang laku selama puluhan tahun. Tapi tidak hanya penjual lumpia yang mampu mendirikan rumah besar di Vietnam. Ketika saya mengunjungi sebuah Casino di dekat kota Hai Phong, yang bernana Do Son tempat pemandangan laut yang sangat terkenal di Vietnam Utara, saya masuk ke dalam kompleks gedung Casino yang besar, megah dan mewah. dan siapakah pemilik seluruh kompleks hiburan serba mahal itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah bekas musuh besar rakyat Vietnam yang paling banyak berhutang darah dengan rakyat Vienam, seorang bekas wakil Presiden Vietnam Selatan, boneka Ameriaka yang bernama Nguyen Cao Ky. Orang Vietnam mana yang tidak kenal nama ini dan siapa yang tidak tahu kekejamannya.Tapi sesudah bekas wakil Presiden ini terguling , dia lari dan hidup sebagai migran yang kaya raya yang memboyong rartusan kilo emas bersamanya ke Amerika Serikat. Sekarang dia tanam modal di Vietnam dan aman dalam perlindungan Pemerintah Viernam. Itu hanya sebuah contoh kecil di Vietnam, masih banyak contoh-contoh menyolok dan mencengangkan lainnya. Bangsa yang menang tidak membalas dendam pada musuhnya yang sudah dikalahkan. Bahkan yang pernah musuh besarpun tapi sebagai migran yang ingin tanam modal di bekas negerinya, silahkan saja. Tapi disamping yang bisa menakjubkan dan mengagumkan itu tidak jarang terdapat ironi yang juga bisa mencengangkan. Banyak migran Virtnam yang katanya kapok pulang kampung. Mereka mengeluh, bila pulang penuh dengan koper-koper yang hamir meledak, penuh oleh-oleh untuk keluarga dan para sahabat dekat, tapi katanya ketika sudah habis "dipreteli", para keluarga cuma berharap agar cepat-cepat kembali ke negeri migrannya dan mereka merasa diperlakukan dingin karena sudah tak ada lagi yang bisa diambil dan diminta. Migran Vietnam punya kehususan yang luar biasa: mereka sangat memperhatikan keluarganya yang mereka tinggalkan. Semua akan mereka korbankan demi keluarga, asalkan keluarga bisa hidup berkecukupan bahkan hingga mewah dan mereka bersedia banting tulang sepannjang hari, berhemat mengumpulkan uang untuk dikirimkan ke keluarga mereka di tanah air dan mereka tidak biasa menghabiskan uang untuk vakansi ke negeri-negeri yang bukan negerinya sendiri. Semua untuk keluarga dan kesejahteraan keluarga.Tapi sekarang katanya mereka sudah berangsur tua dan mulai berpikir untuk menikmati hasil jerih payah mereka sendiri dan sudah malas pulang kampung dan juga kata mereka, keluarga mereka sudah cukup kaya yang kekayaan itu adalah juga dari sumbangan uang mereka.Tapi para migran milyuner mereka tetap tidak bosan menanam modal ke Vietnam. Seolah kita membaca sebuah spanduk yang bertuliskan: "SELAMAT DATANG UANG, SELAMAT TINGGAL PERMUSUHAN". Itu ceita tentang migran Vietnam BUDAYA OMONG Pada tahun tujuh puluhan saya pernah membaca koran KOMPAS yang memuat tulisan panjang yang memenuhi beberapa halaman surat kabar itu dengan judul "Kebudayaan verbalisme" yang kalau tidak salah ditulis oleh Prof. Dr. Harsya Bachtiar.Tentu saya sudah tidak ingat secara rindc isi tulisan yang panjang dan juga ilmiah itu. Tapi hingga sekarang, kalau kita bicara tentang kebudaayaan Indonesia yang sangat beragam itu, kebudayaan yang Bhineka tunggsal Ika, namun kebudayaan verbal atau kebudayaan omong, budaya kata, atau budaya verbal memang masih salah satu identitas budaya bangsa kita. Budaya verbal tentu berlawanan dengaa budaya tindakan, budaya berbuat, budaya produktif dan bukan budaya hanya menghasilkan omongan sepanjang jaman. Kita bangsa yang suka berpidato, terutama para pemimpin hingga para Presiden. Bangsa kita suka berorganisasi dan suka ditunjuk menjadi fungsionaris organisasi agar punya banyak kesempataan bicara di depan kolektif dan lalu mengatur dan membagi bagikan pekerjaan pada orang lain dan dia sendiri selalu terjamin tidak kebagian pekerjaan kecuali bicara, bicara dan bicara. Puluhan tahun bangsa kita membicarakan dan mendiskusikan tentang Panca Sila dan itu masih berlangsung hingga sekarang. Para pemuka agama bisa bicara panjang lebar di surau-surau, mesjid- mesjid, gereja-gereja, kuil-kuil. Para dokter partikulir memasang patok yang menuliskan jam bicara. Di kendaraan umum untuk menghindari kecelakaan lalu lintas ditulis pengumaman: "Dilarang bicara dengan supir". di gedung DPR atau Parlemen yang memang arena besar untuk bicara ahirnya sering kosong ketika harus diadakan sidang karena para anggotanya sudah capek dan bosan bicara. Dalam rapat-rapat meskipun sudah ada yang bicara, tapi kalau kurang menarik,orang-orang bicara denga teman yang sebangku hingga dalam satu rapat bisa terdapat beberapa tema pembicaraan sekaligus di belakang maupun di muka. Dan sebutkanlah segala macam peristiwa bicara dalam kehidupan bangsa kita yang bangsa Indonesia ini: bicara adalah bagian terbesar dari hidup kita dan juga tidak salah bahwa salah satu kebudayaan besar kita adalah kebudayaan bicara, kebudayaan omong atau kebudayaan verbalisme. Dan itu telah tercatat dalam pepatah, umpamanya: "Mulut kamu harimau kamu" (begitulah kalau terlalu banyak omong}.Atau: "Sedikit bicara, banyak bekerja"( karena terlalu banyak bicara dari pada kerja), atau "Memang Lidah tidak bertulang"( karena lidah Indonesia kerjaanya hanya untuk bicara). BUDAYA LATAH Dari budaya omong atau bicara dengan sendirinya mudah berkembang menjadi budaya latah. Latah artinya ikut-ikutan secara spontan tanpa pikir panjang. Kalau Suharto bersama rezimnya melontarkan fitnah keji seperti umpamanya dongeng porno "tari harum bunga" yang menurut dia dilakukan oleh wanita-wanita Gerwani sambil menyilet-nyiket kemaluan para jendral yang sudah mati dibunuh, maka seluruh negeri begitu saja percaya dan spontan dan latah membalas dendam dan membuat kekejian yang jauh lebih mengerikan dari dongeng porno sadis yang dilontarkan suharto denga angkatan daratnya. Juga "Kesaktian Panca Sila" versi Suharto disemburkan ke seluruh rakyat dan bangsa dan dengan kelatahan yang sama, seluuruh bangsa secara spontan tanpa pikir panjang, ikut arus "Kesaktian Panca Sila" yang intinya manipulasi penolakan Panca Sila yang sesungguhnya dia maksudkan untuk meruntuhkan semua musuh-musuh politiknya. BUDAYA PANUTAN Dari budaya latah, beranak pinak lalu menjadi budaya manut. Atau kalau menurut istilah Pram, budaya Panutan. Budaya manut adalah budaya yang tidak mampu berdiri sendiri, tergantung pada pemimpin atau orang lain secara mutlak tanpa pikir apalagi dengan pikiran kritis dan melahirkan manusia-manusia "yesmen" yang hanya bisa mengatakan "ya" terhadap semua panutannya. Yang muda harus meng-iyakan yang tua, yang tidak punya kuasa harus meng- iyakan yang punya kuasa, yang bawahan harus meng-iyakan yang atasan, generasi muda harus mendengarkan generari tua secara membabi buta dsb-dsb, betapa banyak contoh bila saja berani mengambilnya dari seluruh bidang kehidupan peradaban Indonesia. BUDAYA MUNAFIK Dari budaya bicara hingga budaya panutan lahir lagi budaya munafik .Munafik artinya tidak mengatakan yang sebenarnya tapi justru mengatakan yang sebaliknya, Umpamanya memusuhi demokrsi dalam perbuatan padahal dalam omongannya mencintai demokrasi untuk menipu orang lain. Bahkan pengarang dan wartawan Mochtar Lubis pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang munafik.Seorang penyair terkenal Taufik Ismail sering menyatakan dirinya sebagai "malu menjadi orang Indonesia". Padahal penyair ini tumbuh dan berkembang serta menjadi terkenal yang dimulainya dengan iikut aktiv dalam demonstrasi-demonstrasi anti Sukarnao dan pro Militer Suharto. BUDAYA TKI/TKW Mungkin akan lahir sebuah budaya baru yaitu budaya migran TKI/TKW (Saya singkat saja dengan TKI).Ada kontraversi mengenai penilaian TKI yang dipandang dari sudut kepentingan Pemerintah dan kehidupan keras sebagai pekerjaan migaran di luar negeri. Dari sudut pandang Pemerintah dan juga pendapat-pendapat yang menyokongnya, TKI biasa dianggap sebagai "Pahlawan Devisa" yang mendatangkan keuntungan bagi kas Negara RI.(devisa yang masuk). Tapi pandangan yang lain melihat sebaliknya, bahwa TKI adalah penghinaan terhadap diri sendiri karena perlakuan para majikan kejam dan sikap Pemerintah tuan rumah yang tidak memperhatikan dan menjamin hak-hak mereka selama bekerja di perantauan dan hanyalah memproduksi bangsa budak yang lebih mempermalukan martabat Indonesia di dumia Internasional umumnya. Pengalaman selama ini yang didengar dan ditulis adalah sebagian besar pengalaman pahit hingga dramatis yang menimpa para buruh migran TKI: hukuman mati, siksaan majikan, buronan polisi dan pelecehan-pelecehan lainnya yang dialami para buruh migran TKI . Ketika saya selesai membaca sebuah cerpen yang ditulis oleh seorang buruh migran TKI yang dimulai dengan kalimat: "Kau percaya? ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung". Dari segi estetika sastra, ini adalah pembukan yang sangat berhasil, sangat memancing minat pembaca dan laksana ledakan bom yang dilemparkan pilot-pilot Amerika di Vietnam sebelum membuka "Perundingan Paris" di masa lalu. Hanya seorang cerpenis berpengalaman dan professioanal yang terpikirkan membuat kalimat pembukaan yang sehebat itu. Tapi penulis cerpen ini yang bernama Etik Juwita dengan judul cerpennya "BUKAN YEM" adalah salah seorang buruh migran yang punya bakat cemerlang sebagai cerpenis muda yad.Tapi saya tidak akan mengupas cerpen ini sebagai komentar sastra dalam kesempatan sekarang.Yang saya maksudkan adalah, kandungan budaya migran yang terdapat dalam cerpen Etik Juwita yang sangat spesifik ini. Kalimat pertamanya telah sempat mendirikan bulu kuduk saya. Spontan otak saya bekerja: perbuatan demikian( memasukkan bayi dalam mesin cuci) hanya mungkin dilakukan oleh kaum fasist Hitler. Sungguh kejam.Tapi nanti dulu. Ini adalah sebuah cerpen fiksi.Namun dari cerpen ini kita bisa menimba salah satu pengalaman yang uar biasa pahitnya dari para pekerja migran yang ditindas dan dihisap para majikan mereka dengan berbagai cara yang membuat para buruh migran yang mengalaminya menaruh dendam yang luar biasa, kebencian yang tak tergambarkan hingga trauma yang membuat mereka banyak yang sakit saraf hingga gila seratus persen. Kebencian dan dendam itu mencari jalan pelepasannya, mencari saluran yang paling luas diameternya yang dalam hal ini menemukan tempatnya yaitu sastra.Orang -orang bisa mempunyai kesan seolah inilah kaum "proletar"Indomesia yang baru yang mengalami penindasan di luar negeri oleh para majikan mereka dan bila pulang ke negerinya lalu diperas lagi oleh bermacam tukang peras yang atas nama Pemerintah maupun partikulir dan lahirlah budaya perlawanan yang lebih gawat tapi juga lebih berbudaya yaitu yang dilakukan oleh pekerja migran itu sendiri sebagai penulis-penulis yang bermuatan sastra maupun yang telah bernilai sastra yang sesungguhnya seperti yang telah dimiliki oleh Etik Juwita dalam cerpennya "BUKAN YEM". Tapi di segi lain, cerita-cerita atau pengalaman hidup dari para buruh migran TKI memang bisa menimbulkan kontraversi dan itu juga bisa wajar. Pengalaman mereka yang negatif dan dramatis, juga tak bisa kita kunyah begitu saja sebagai kenyataan telanjang tanpa sedikitpun penganalisaan dan pemikiran adil. Strategis, semua orang progressif ataupun kiri harus berdiri di belakang dan membela kaum yang terhina, tertindas dan terhisap. Tetapi taktis, setiap mereka juga harus menganalisa kenyataan, peristiwa, pendengaran ataupun kesaksian dengan kepala dingin meskpun tidak harus menjadi kanan dan berpihak kepada penindasan. Terutama di pihak Pemerintah Indonesia sendiri. TKI yang dikirim ke luar negeri untuk mencari nafkah di sana tidak dipersiapkan dengan baik atau tidak dipersiapkan sama sekali dibidang budaya. Mereka tidak dipersenjatai dengan kemungkinan-kemungkina benturan budaya dengan pihak tuan rumah migran mereka. "Para calon pahlawan devisa" tidak dibekali senjata budaya dan hanya diharapkan uang mereka saja. Ada pepatah Nusantara yang berbunyi: "Masuk kandang kerbau menguak, masuk kandang kambing mengembik". Tentu saja kalau masuk kandang kerbau bukan harus menjadi budak kerbau dan bila masuk kandang kambing lalu menjadi budak kambing. Tentu diperlukan penafsiran yang bijaksana dan mendekati kebenaran. Menghadapi penindasan memang harus dilawan, tapi juga menghadapi keawajaran dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan, peraturan tuan rumah, dll, juga harus mempunyai disiplin agar bisa saling menghormati dan menghargai satu sama lain tanpa perlu menjilat atau sikap-sikap lainnya yang merendahkan martabat diri sendiri dan juga untuk menghindari, atau mengurangi pelecehan, hinaan dan kesewenang wenangan dari pihak tuan rumah. Ini sebuah penyesuaian budaya yang sering-sering rumit dan bahkan sangat peka. Bila Pemerintah meremehkan soal ini, dan hanya memikirkan uang dan keuntungan semata, tidak mau keluar modal sedikitpun untuk memberikam pendidikan pendahuluan kepada calon-calon TKI sebelum mereka berangkat ke luar negeri, maka cerita-cerita horror, pelecehan dan hingga permusuhan antara bangsa, bisa terjadi dan bahkan sudah terjadi. Padahal pendidikan budaya bukanlah pendidikan mewah atau lux dan mahal. Budaya adalah juga budi pekerti dalam bahasa sederhana kita yang juga diajarkan di sekolah dasar di manapun di dunia ini.Tapi tidak setiap orang selalu ingat dengan apa yang sudah mereka pelajari puluhan tahun lalu, dan dalam kedaan khusus, keperluan khusus, persiapan khusus, budaya atau budi pekerti itu perlu diajarkan kembali sesuai dengan keperluannya yang itu pertama-tama adalah kewajiban Pemerintah. Tapi disamping itu LSM-LSM juga harus ambil inisiatif mengadakan kursus-kursus yang diperlukan sebagai bekal budaya bagi para calon buruh migran atas subsidi Pemerintah. Untuk Instansi yangl ebih tinggi dan jug para ahli atau tokoh Kebudayaan, ada baiknya mengadakan studi khusus, penelitian dan penyelidikan mengenai budaya migran yang belum banyak menjadi sasaran studi ilmiah. Juga para mahasisiwa serta calon-calon Ph.D.perlu memberikan perhatian akan perlunya studi ilmiah terhadap budaya migran yang selalu unik seperti umpamanya psikologi para migran, sejarahnya, alam pemikirannya, mimpi-mimpinya dsb.Dan tidaklah adil mencampakkan mereka ke sudut yang kecil dan melihatnya dengan sebelah mata dan lalu mendengar cerita-cerita horror, dramatis atau kecerdikan mereka dalam menyelamatkan hidup dan lalu bila terangsang, spontan ikut menyulut perseteruan bangsa atau membela secara membabi buta pihak tertindas yang tak tahu pasal dan cerita yang sesungguhnya. Selama ini kita menghadapinya dengan budaya verbal yang sedia ada, omong, bicara, omong bicara tanpa pengetahun yang memadai apa itu budaya migran, Dengan pengetaahuan yang serba di permukaan, dangkal dan sikap anti ilmiah, kita tidak akan tahu persis siapa yang kita bela dan siapa yang kita lawan. Pepatah mengatkan: "TAK KENAL MAKA TAK SAYANG". Dan celakanya, karena tak kenal bukan hanya tak sayang tapi malah dibuang ke sudut gelap yang tak terlihat orang . Laum migran bukanlahanak haram apalagi anak yang terbuang tapi adalah juga saudara -sadara kita setanah air yang masih mengalami nasib korban ketidak adilan. Mereka tidak perlu dimanjakan, dipuji-puji setinggi langit bila emosi sedang naik, tapi juga tak boleh ditinggalkan dan bila perlu dikritik dan diberi pendidikan untuk kepentingan bersama sebagai sesama sesaudara dan setanah air. MENGKRITK DIRI SENDIRI Begitu banyakkah cacad budaya bangsa kita? Seolah kita sudah tidak punya kebudayaan yang normal . Mengapa begitu pahit dan getirnya menjadi orang Indonesia. Apakah benar demikian? Orang boleh berdebat untuk pro atau kontra tapi bila kita melihat kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka dengan sendirinya akan terjawab bagaimana parahnya luka yang kita derita dan itu sudah tidak bisa ditutupi dengan bicara, dengan omongan yang bagaimanapun. Semua luka dan derita itu adalah juga hasil dari budaya-budaya yang kita punyai, budaya negatif, budaya kontra produktif dan budaya-budaya yang lainnya yang meracuni tubuh kita. Kita sudah tidak bisa menghibur diri dengan kata dan omongan kecuali dengan perbuatan sambil menyingkirkan semua budaya-budaya negatif yang merongrong bangas selama ini. Melihat kenyataan dan menuliskannya dengan kata-kata pahit sesuai dengan kenyataan yang juga pahit bukanlah merendahkan diri sendiri tapi justru memilih kepahitan utuk bangkit dan kembali menjadi manusia berbudaya dan bermartabat. Asahan Aidit. Hoofddorp, 30122009 * Pokok-pokok pembicaraan dalam dialog budaya yang akan dibacakan pada pertemuan dialog budaya pada tanggal 3 Desember 2009 di rumah Pak Mintarjo bersama teman teman PPI-Leiden dll di Korenbloemlaan 59 -Oegstgeest - Leiden pada jam 14.00 Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/ ; http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ [Non-text portions of this message have been removed]