[nasional_list] [ppiindia] Coup '65: 30 September

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 11 Nov 2005 22:03:21 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.laksamana.net/read.php?gid=103

« Home


 
September, 30 2005 @ 08:04 am

Coup '65: 30 September


Samudera perpolitikan Indonesia, makin hari makin bergelombang. Tapi 
sesungguhnya, gelombang itu lebih terasa di kalangan elite. Maklum, mayoritas 
rakyat Indonesia, yang baru merdeka 20 tahun lamanya itu, masih buta huruf, 
masih mengandalkan radio sebagai alat komunikasi. Padahal alat komunikasi utama 
ini jangkauannya sangat terbatas.

Kisruh politik makin memanas. Lebih-lebih dengan kondisi sang pemimpin besar 
revolusi, paduka yang mulia, panglima tertinggi angkatan bersenjata,yang telah 
jatuh sakit. Semua kekuatan politik siap berhadap-hadapan, menunggu saat tepat 
untuk bergerak.

Saat itu sudah lama diperkirakan olehnya. Pasti akan terjadi, cepat atau 
lambat. Informasi yang berkaitan dengan kondisi politik ini sudah ada di 
tangannya melalui pembicaraan-pembicaraan rahasia. Dia sudah lama gemas, namun 
menunggu momen memang membutuhkan kesabaran. Sebagaimana kesabaran prajurit 
yang akan membidik sasaran. Dan bidikan itu sudah lama ia tengarai. 
Pembicaraan-pembicaraan itu menjadi bekal.

"Ini saatnya bagi tuan untuk bergerak. Jika tuan terlambat, maka negeri ini 
akan jatuh ke tangan komunis."

"Jangan sampai komunisme berkuasa. Katakan, tindakan apa yang harus saya 
lakukan? Sebagai prajurit saya patuh pada atasan, dan hingga kini tak ada 
perintah dari komandan untuk bertindak."

"Tuanlah yang harus bertindak. Bukan komandan tuan. Mereka selalu akan menunggu 
perintah panglima tertinggi. Dan ingat, dia sedang sakit parah. Tuan tidak 
lihat bahwa komunisme semakin gencar merengkuh semua kekuatan politik untuk 
berada di bawah pengaruhnya?"

"Saya tahu itu. Tapi saya juga tahu tidak ada yang salah dengan itu, karena 
mereka menjalankan bagian daripada strategi dan taktik politik."

"Tuan terlalu naif. Politik itu berwajah seribu, hari ini menjadi kawan besok 
sudah dijadikan lawan."

"Saya prajurit, bukan politisi. Tugas saya adalah mengamankan negeri ini 
daripada ancaman, gangguan, dan hambatan yang terjadi."

"Di situlah maksud saya. Tuan tahu, komunisme adalah ancaman yang nyata bagi 
negeri tuan. Mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai bagian dari gerakan 
komunis internasional yang dipimpin oleh Beijing. Jika itu terjadi, maka tuan 
tidak punya keleluasaan dalam membangun negeri tuan, karena semuanya nanti akan 
tergantung pada arahan dan persetujuan Beijing."

"Saya mengerti."

Dia terdiam sejenak. Memahami benar bagaimana Partai Komunis Indonesia adalah 
ancaman nyata baginya. Namun, dia juga paham, bahwa PKI berjalan di koridor 
yang telah ditentukan. Mereka ikut pemilu, mengakui Pancasila sebagai dasar 
negara, dan tidak menentang Angkatan Darat secara langsung.

Dia menatap lawan bicaranya yang masih duduk sambil menghisap sebatang 
rokoknya. Terbersit di benaknya, sebuah kalimat pancingan yang bernada lugu 
namun diarahkan untuk membuatnya tahu apa isi benak lawan bicaranya.

"Saya mengerti, namun, soal politik, itu bukan urusan saya."

"Ah lagi-lagi tuan terlalu naif. Tuan tentunya tahu bahwa dalam komunisme, 
militer harus tunduk pada arahan dan perintah partai."

"Jangan sampai itu terjadi. AD bukan alat kekuatan apapun, AD bukan pemadam 
kebakaran. Bahkan AD, seperti kata Panglima Besar Jend. Soedirman, adalah 
satu-satunya kekuatan yang tetap utuh dan solid. AD adalah tentara rakyat, ia 
berjuang bersama rakyat merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik. Karena 
itu, AD harus terlibat dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan negara."

"Itulah yang saya maksud mengapa komunisme dan PKI merupakan ancaman nyata."

"Tapi apa yang harus saya lakukan? PKI adalah sebuah partai politik yang sah, 
yang berjuang dengan cara-cara legal. Mereka tidak menabrak konstitusi kami."

"Tuan, itu hanya salah satu aspek dari strategi politik PKI. Mereka mengenal 
perjuangan legal dan ilegal, mekanisme atas-bawah. Yang di atas tidak 
mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Tuan tahu bahwa mereka juga menggarap 
prajurit-prajurit Angkatan Bersenjata?"

"Saya lebih tahu daripada mereka. Saya tahu mereka menyusup ke tubuh angkatan 
bersenjata. Saya tahu betul agen-agen mereka. Berikan kepada saya, apa alasan 
legal saya untuk menindak PKI ? Mereka tidak melakukan pemberontakan, mereka 
tidak menentang angkatan bersenjata secara terbuka. Mereka berbeda dengan 
Masyumi atau PSI yang terkait dengan PRRI dan Permesta."

Si lawan bicara tersenyum.

"Tuan, politik itu berwajah seribu. Tuan bisa membuat seribu satu alasan untuk 
menghantam komunisme, untuk kemudian berkuasa di negeri ini."

"Yang saya butuhkan alasan legalnya, saya ingin kelak ketika berkuasa hal itu 
dicapai dengan cara-cara legal. Soal bagaimana melakukan, Anda tak perlu 
mengajari saya."

"Tuan, alasan bisa dicari dan dibentuk. Yang paling penting adalah tindakan. 
Dalam politik, mereka yang berhasil memanfaatkan momentum adalah yang 
memenangkan pertarungan. Politik bukanlah matematika. Politik adalah seni. Seni 
berkuasa. Kadang tuan harus tampil gagah, kadang lemah, kadang lembut, kadang 
abstrak, tapi juga harus berani bersikap tegas dan keras. Jangan seperti 
Nasution, yang gagah tapi tidak berani bersikap tegas. Atau Yani, yang hanya 
cukup puas mengabdi pada pemimpin besar revolusi."

"Lalu apa momentum itu?"

"Tuan, inilah saatnya momentum yang terbaik. Panglima besar sedang jatuh sakit, 
semua kekuatan politik saling bersiaga, menunggu siapa yang mulai bertindak. 
Tapi mereka hanya menunggu, mereka tak berani mulai bertindak. Itulah kesalahan 
utama mereka."

"Saya mengerti, tapi tindakan apa yang harus diambil? Saya kira semua elite itu 
berpikiran seperti saya, 'tindakan apa yang harus diambil yang menguntungkan 
kedudukannya?"

Si lawan bicara mengerti, mata kail telah bergoyang.

"Tuan, untuk memenangkan pertempuran saat ini, tuan harus menyerang kekuatan 
yang paling kuat. Kekuatan yang paling kuat itu adalah Soekarno, panglima besar 
revolusi, pemimpin tertinggi angkatan bersenjata."

"Itu saya mengerti, tapi sekali lagi apa alasan legalnya?"

"Tuan bertindaklah, jangan dulu memikirkan alasan legalnya. Kalau tuan sudah 
berkuasa, tuan bisa membuat sendiri alasan legal itu. Hukum itu produk politik, 
orang sejak awal berkuasa dulu baru membuat aturan, karena dengan demikian 
barulah aturan itu bisa ditegakkan. Bukan sebaliknya."

"Tapi, kalau itu saya lakukan, pasti akan ada pertumpahan darah yang luar 
biasa, akan ada perang saudara. Saya tidak mau sebagai prajurit, dituduh 
mengobarkan perang saudara."

"Tuan, untuk kepentingan umum, terkadang kita harus mengorbankan kepentingan 
orang per orang atau golongan per golongan. Untuk kepentingan jangka panjang, 
tidaklah soal jika kepentingan jangka pendek dibatalkan."

"Itulah yang saya pikirkan, kepentingan jangka panjang itu. Saya tak ingin 
disebut sebagai pemimpin yang berlumuran darah, saya tak ingin dunia 
internasional takut berhadapan dengan saya karena kekejaman yang terjadi."

"Tuan, masa depan ditentukan oleh tindakan tuan hari ini. Masa depan ada dalam 
buku-buku sejarah, dan sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Soal dunia 
internasional, tuan dunia tidak seterbuka yan tuan kira, juga tidak sesantun 
yang tuan sangka. Dunia luar penuh warna, dan warna itu tergantung pada 
kepentingan mereka. Apalagi saat ini, setiap negara sibuk dengan urusannya 
masing-masing."

"Tapi pasti mereka akan tahu, dan saya tidak ingin terasing dari pergaulan 
internasional."

"Tuan jangan khawatir soal itu. Kami adalah kawan dan sahabat tuan, jika tuan 
berkuasa kelak. Kami justru lebih takut dengan pemerintahan yang ada saat ini, 
karena mereka membiarkan komunisme bersimaharajalela."

Sang prajurit menghela nafas panjang-panjang.
Malam kian larut, dan dingin semakin menusuk tulang.

By: Coen Husain Pontoh | Category: Coup '65 


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Coup '65: 30 September