[UntirtaNet] "Business Under Attack"

  • From: "yayantea" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
  • Date: Wed, 25 Sep 2002 18:06:18 -0400

"Business Under Attack"

Oleh A Prasetyantoko
PADA suatu pagi di lobi sebuah hotel di Paris, seorang turis Amerika Serikat 
(AS) berujar kepada saya, "Wah, hari ini cerah ya. Apa lagi, nilai bursa 
terangkat naik pagi ini. Inilah saat yang baik untuk mengakhiri liburan dan 
kembali bekerja." 


Sambil terus melayani percakapan, benak saya bekerja. Manusia modern sungguh 
hebat. Dalam waktu yang sama bisa menikmati indahnya Kota Paris sambil terus 
memelototi bursa. 

Kemudian, gagasan saya berlari pada sebuah analisis tentang stereotype orang AS 
yang sangat ambisius dan inovatif. Letak kehebatan orang AS adalah pada 
semangat (etat d'esprit)-nya yang selalu berorientasi ke depan, bukan ke 
belakang. Hegel pernah menulis,"The American lives even more for his goals, for 
the future, than the Europe". Sementara Einstein menambahkan, "Life for him is 
always becoming, never being" (Newsweek, 16-23/9/2002). 

Amerika adalah ladang paling subur untuk menanamkan benih-benih bisnis di era 
modern ini. Di sana pulalah generasi pertama sekolah bisnis muncul dan 
berkembang. Pada tahun 1908, Amerika sudah mulai menghasilkan gelar MBA (master 
of business administration) yang kemudian berkembang sangat pesat hingga kini. 
Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for International Education, 14,4 
persen siswa yang belajar MBA di AS pada musim gugur tahun 2000, datang dari 
negara lain. 

Akhirnya, harus diakui bahwa AS adalah pusat bisnis dunia. Bukan saja karena 
didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang berkinerja baik, bursa saham 
yang dinamis, lembaga keuangan yang kuat, tetapi juga karena didukung oleh para 
pelaku bisnis yang hebat, lulusan sekolah bisnis terkemuka. 

Dan karena pentingnya posisi AS dalam percaturan bisnis dunia, maka guncangan 
pada bisnis di AS berdampak sangat luas. Dalam dua tahun terakhir ini, paling 
kurang ada dua peristiwa penting yang bisa ditunjuk sebagai biang getaran dalam 
dinamika bisnis modern. 

Pertama, runtuhnya World Trade Center tidak jauh dari Wall Street. Kedua, 
terkuaknya deretan skandal keuangan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di 
AS. Apa implikasi dua peristiwa ini bagi masa depan peradaban bisnis modern?

Sekolah bisnis 

Dalam The Economist (5/6/2002) terpampang sebuah artikel berjudul "Business 
School Under Attack". Tentu saja, jika setahun sebelumnya tidak ada headline di 
hampir semua media massa di dunia dengan tajuk "America Under Attack", maka 
judul ini tidak akan menarik. Judul artikel-yang saya adopsi jadi judul tulisan 
ini-dengan segera memberi inspirasi untuk mengaitkan antara serangan teroris 
dengan krisis sekolah bisnis. Secara tidak langsung tentu saja. 

Dua tokoh yang dirujuk dalam artikel tersebut adalah Jeffrey Pfeffer, profesor 
dari Stanford University (pesaing terberat Harvard Business School) dan Henry 
Mintzberg, profesor dari McGill University, Canada, yang juga mengajar di 
INSEAD, Perancis. Mereka berdua adalah para profesor bisnis yang kritis 
terhadap eksistensi sekolah bisnis.

Setiap tahun lebih dari 100.000 lulusan MBA membanjir masuk bursa kerja AS. 
Pfeffer mengajukan kalkulasi berikut ini. Jika mereka menghabiskan masa studi 
selama kurang lebih dua tahun untuk menyelesaikan program MBA di salah satu 
sekolah terkemuka, maka masing-masing akan mengeluarkan lebih dari 100.000 
dollar AS untuk meraih gelarnya. Malangnya, dari survei yang dilakukannya 
selama hampir 40 tahun, gelar sama sekali tidak berhubungan secara positif 
dengan tingkat gaji maupun kariernya di perusahaan. 

Secara agak provokatif, Pfeffer mengajukan proposisi bahwa sekolah bisnis 
dianggap telah gagal. Tidak semua lulusan MBA dari sekolah terkemuka berhasil 
memimpin perusahaan dengan baik. Sebaliknya, banyak manajer sukses tanpa gelar. 
Jika dilanjutkan, olok-olok akan sampai pada fakta bahwa George Bush Jr yang 
notabene adalah seorang MBA telah gagal mengendalikan sistem bisnis AS. 

Sementara itu, Mintzberg memberi rekomendasi bahwa program MBA hanya baik bagi 
orang yang sudah memiliki pengalaman kerja. Karena pada dasarnya, bisnis 
bukanlah perkara teori melainkan soal praktik dan pengalaman. 

The Economist Intelligence Unit (EIU) pernah memprakarsai sebuah diskusi yang 
menghadirkan para dekan dari beberapa sekolah bisnis terkemuka. Pertanyaan yang 
diajukan sangat sederhana dan mendasar, "untuk apa sebenarnya MBA?" 

Meyer Feldberg, dekan sekolah bisnis dari Columbia University menjawab dengan 
nada enteng, "kebanyakan hanya untuk gagah-gagahan saja, menambah percaya 
diri". Sementara itu, Peter Lorange-dekan Institute for Management Development 
(IMD) di Switzerland - menjelaskan bahwa program MBA bertujuan membangun cara 
berpikir yang kontekstual dalam jangka panjang. Mike Vitale, dekan Australian 
Graduate School of Management mempercayai bahwa peranan program MBA yang utama 
adalah menciptakan kondisi bagi para peserta didik agar mampu mempertajam 
kemampuannya memimpin organisasi.

Tema yang cukup menonjol dalam diskusi adalah soal pentingnya pengalaman dalam 
pendidikan MBA. Jadi sangat dibutuhkan metode komprehensif dari berbagai 
pendekatan yang berbeda. Tema hangat lainnya adalah soal perlunya memberikan 
wawasan yang bersifat interdisipliner. Misalnya saja, mata kuliah manajemen 
strategik sebaiknya mengadopsi juga pendekatan-pendekatan sosiologi. 

Demikian juga mata kuliah kewirausahaan yang membutuhkan bantuan psikologi dan 
juga antropologi. Tanpa ada pendekatan yang komprehensif, para lulusan MBA 
hanya akan menjadi "teknisi" dalam bisnis saja. 

Konsekuensi 

Provokasi Pfeffer dan Mintzberg secara tersirat menunjukkan bahwa pendekatan 
konvensional dalam bisnis sudah tidak relevan lagi. Konteks bisnis telah 
berubah. Serangan teroris menyadarkan para pelaku bisnis bahwa kalkulasi bisnis 
tidak bisa meniadakan begitu saja konteks sosial-politik-budaya. Bisnis tidak 
bisa lepas dari konteksnya, sebagaimana disangka selama ini.

Konsekuensinya, dalam pembuatan perencanaan strategi misalnya, para pelaku 
bisnis tidak bisa hanya mengandalkan variabel-variabel konvensional saja. 
Sekarang ini, metode scenario planning banyak dipakai karena memberi 
kemungkinan melakukan perhitungan bisnis secara lebih luas, sekaligus 
komprehensif. 

Sementara itu, terkuaknya berbagai malpraktik perusahaan AS telah menunjukkan 
bahwa para aktor tidak bisa diberi kekuasaan terlalu besar. Bagaimanapun, 
kerangka institutional penting agar keseimbangan bisa sedikit diwujudkan. 
Pertanyaannya, apakah dari dua peristiwa penting ini bisnis bisa digerakkan 
menuju peradaban yang lain? 

Usaha untuk itu memang ada. Tetapi apakah berarti sedang terjadi perubahan 
paradigma, saya agak ragu. 

Hari-hari ini, di AS sedang terjadi diskusi tentang sistem pengawasan terhadap 
kinerja keuangan perusahaan. Intinya adalah memasukkan pihak ketiga yang 
dianggap netral sebagai dewan pengawas.

Jack Bogle, pendiri sekaligus mantan direktur Vanguard-sebuah kelompok mutual 
fund-mengusulkan agar pola evaluasi kinerja keuangan tidak diorientasikan dalam 
jangka pendek saja, melainkan jangka panjang (Financial Times, 18/9/2002). Dia 
menggunakan istilah "the silent of the funds", sebagai sesuatu yang seharusnya 
ditiadakan, untuk meningkatkan transparansi pengelolaan keuangan perusahaan.

Rupanya, dari segi pengawasan kinerja keuangan ini saja, sudah melibatkan 
perangkat yang begitu rumit. Karena pergeseran prinsip ini harus melalui 
persetujuan terlebih dahulu dari Financial Accounting Standards Board (FASB), 
sebagai pembuat aturan sistem pembukuan di AS, dan juga International 
Accounting Standards Board (IASB) guna mendapatkan legitimasi pada tingkat 
internasional.

Rasanya, usaha untuk mereformasi praktik bisnis di era-modern ini akan 
menyangkut perkara yang sangat besar dan melibatkan perangkat yang luas. Bukan 
saja pada tingkat aturan, yang sudah jelas akan selalu tertinggal dari praktik 
bisnis. Tetapi, juga pada sumber daya yang lain, seperti teknologi dan 
informasi yang telah membuat praktik bisnis bisa dikendalikan dari tempat yang 
sangat jauh, sambil liburan. 

Dan dari semua itu, hal yang paling mendasar untuk direformasi adalah soal cara 
pandang yang sudah melekat pada gerak pikir para aktor yang tentu saja tidak 
mudah dipatahkan hanya oleh sekadar regulasi. Maka salah satu usaha untuk 
melakukan reformasi adalah melakukan perubahan pada sekolah bisnis, tempat para 
pelaku bisnis menjalani masa pendidikan.

Alasannya? Karena struktur bisnis modern disangga oleh para aktor, maka 
mempengaruhi cara pikir para pelaku bisnis bukanlah sesuatu yang tak ada 
gunanya.


Yayan tea
==============================================================(C)opyright 
1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx,
dengan Subject 'Subscribe' atau lansung ke
//www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=untirtanet
Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] "Business Under Attack"