Preman -ISME Hercules, Sang Penguasa Tanah Abang Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/hercules.jpg Ia merupakan seorang pejuang yang pro terhadap NKRI ketika terjadi ketegangan Timor-timur sebelum akhirnya merdeka pada tahun 1999. Maka tak salah jika sosoknya yang begitu berkarisma ia dipercaya memegang logistik oleh KOPASUS ketika menggelar operasi di Tim-tim. Namun nasib lain hinggap pada dirinya, musibah yang dialaminya di Tim-tim kala itu memaksa dirinya menjalani perawatan intensif di RSPAD Jakarta. Dan dari situlah perjalanan hidupnya menjadi Hercules yang di kenal sampai sekarang, ia jalani. Hidup di Jakarta tepatnya di daerah Tanah Abang yang terkenal dengan daerah ‘Lembah Hitam’, seperti diungkapkan Hercules daerah itu disebutnya sebagai daerah yang tak bertuan, bahkan setiap malamnya kerap terjadi pembacokan dan perkelahian antar preman. Hampir setiap malam pertarungan demi pertarungan harus dia hadapi. “Waktu itu saya masih tidur di kolong-kolong jembatan. Tidur ngak bisa tenang. Pedang selalu menempel di badan. Mandi juga selalu bawa pedang. Sebab setiap saat musuh bisa menyerang,” ungkapnya. Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/hercules_tanahabang.jpg Hercules Rosario de Marshal alias Hercules Rasanya tidak percaya Hercules preman yang paling ditakuti, setidaknya di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Badannya kurus. Hanya tangan kirinya yang berfungsi dengan baik. Sedangkan tangan kananya sebatas siku menggunakan tangan palsu. Sementara bola mata kanannya sudah digantikan dengan bola mata buatan. Tapi setiap kali nama Hercules disebut, yang terbayang adalah kengerian. Banyak sudah cerita tentang sepak terjang Hercules dan kelompoknya. Sebut saja kasus penyerbuan Harian Indopos gara-gara Hercules merasa pemberitaan di suratkabar itu merugikan dia. Juga tentang pendudukan tanah di beberapa kawasan Jakarta yang menyebabkan terjadi bentrokan antar-preman. Tak heran jika bagi warga Jakarta dan sekitarnya, nama Hercules identik dengan Tanah Abang. Meski tubuhnya kecil, nyali pemuda kelahiran Timtim (kini Timor Leste) ini diakui sangat besar. Dalam tawuran antar-kelompok Hercules sering memimpin langsung. Pernah suatu kali dia dijebak dan dibacok 16 bacokan hingga harus masuk ICU, tapi ternyata tak kunjung tewas. Bahkan suatu ketika, dalam suatu perkelahian, sebuah peluru menembus matanya hingga ke bagian belakang kepala tapi tak juga membuat nyawa pemuda berambut keriting ini tamat. Ada isu dia memang punya ilmu kebal yang diperolehnya dari seorang pendekar di Badui Dalam. Ternyata, di balik sosok yang menyeramkan ini, ada sisi lain yang belum banyak diketahui orang. Dalam banyak peristiwa kebakaran, ternyata Hercules menyumbang berton-ton beras kepada para korban. Termasuk buku-buku tulis dan buku pelajaran bagi anak-anak korban kebakaran. Begitu juga ketika terjadi bencana tsunami di beberapa wilayah, Hercules memberi sumbangan beras dan pakaian. Bahkan juga bantuan bahan bangunan dan semen untuk pembangunan masjid-masjid. Sisi lain yang menarik dari Hercules adalah kepeduliannya pada pendidikan. “Saya memang tidak tamat SMA. Tapi saya menyadari pendidikan itu penting,” ujar ayah tiga anak ini. Maka jangan kaget jika Hercules menyekolahkan ketiga anaknya di sebuah sekolah internasional yang relatif uang sekolahnya mahal. Bukan Cuma itu, ketika Lembaga Pendidikan Kesekretarisan Saint Mary menghadapi masalah, Hercules ikut andil menyelesaikannya, termasuk menyuntikan modal agar lembaga pendidikan itu bisa terus berjalan dan berkembang. Olo Panggabean, The Real Medan Godfather Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/olo-panggabean-.jpg Sahara Oloan Panggabean Olo Panggabean lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean, tapi lebih suka di panggil OLO, yang dalam bahasa Tapanuli artinya YA atau OK. Pada masa hidupnya, untuk menemui atau hanya melihat sosok “Ketua” itu bukanlah perkara gampang. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaannya di suatu tempat, itupun dengan pengawalan berlapis-lapis yang selalu mengitari kemanapun dia pergi. Sang “Ketua” itu pun selalu menghindari wartawan. Dia bahkan pernah memberikan uang kepada wartawan untuk tidak mewawancarai ataupun mengabadikan dirinya melalui foto. Sosoknya sangat bertolak belakang dari sebutannya yang dikenal sebagai “Kepala Preman.” Perawakannya seperti orang biasa dengan penampilan yang cukup sederhana. Ia hanya mengunakan sebuah jam tangan emas tanpa satupun cincin yang menempel di jarinya. Sorot matanya terlihat berair seperti mengeluarkan air mata, tetapi memiliki lirikan yang sangat tajam. “Jangan panggil saya Pak. Panggil saja Bang, soalnya saya kan sampai sekarang masih lajang,”ujar Olo sambil tertawa. Meski begitu, pengawal rata-rata bertubuh besar berkumis tebal dengan kepalan rata-rata sebesar buah kelapa. Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66′. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK. Masa mudanya itu, dia dikenal sebagai preman besar. Wilayah kekuasannya di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikan terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan dari Koordinasi Ikatan - Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari). Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/olo_panggabean.jpg Melalui IPK Olo kemudian membangun “kerajaannya” yang sempat malang melintang di berbagai aspek kehidupan di Sumut dan menghantarkannya dengan julukan “Ketua.” Selain kerap disebut “Kepala Preman”, yang dikaitkan dari nomor seri plat kendaraannya yang seluruhnya berujung “KP”, Olo juga dikenal orang sebagai “Raja Judi” yang mengelola perjudian di Sumut. Namun segala hal tersebut, belum pernah tersentuh atau dibuktikan oleh pihak yang berwajib. Terasa, tapi tidak teraba. Olo Panggabean pernah dituding sebagai pengelola sebuah perjudian besar di Medan. Semasa Brigjen Pol Sutiono menjabat sebagai Kapolda Sumut (1999), IPK pernah diminta untuk menghentikan praktik kegiatan judi. Tudingan itu membuat Moses Tambunan marah besar. Sebagai anak buah Olo Panggabean, Moses menantang Sutiono untuk dapat membuktikan ucapannya tersebut. Persoalan ini diduga sebagai penyulut insiden di kawasan Petisah. Anggota brigade mobile (Brimob) terluka akibat penganiayaan sekelompok orang. Merasa tidak senang, korban yang terluka itu melaporkan kepada rekan rekannya. Insiden ini menjadi penyebab persoalan, sekelompok oknum itu memberondong tempat kediamana Olo “Gedung Putih” dengan senjata api. Pada pertengahan 2000, ia menerima perintah panggilan dari Sutanto (saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumut) terkait masalah perjudian namun panggilan tersebut ditolaknya dengan hanya mengirimkan seorang wakil sebagai penyampai pesan. Sejak jabatan Kapolri disandang Sutanto pada tahun 2005, kegiatan perjudian yang dikaitkan dengan Olo telah sedikit banyak mengalami penurunan.[1]. Semasa Sutanto menjadi Kapolri, bisnis judi Olo diberantas habis sampai keakar akarnya. Sutanto berhasil memberantas judi di Sumatera Utara kurang dari tiga tahun, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh Kapolri sebelumnya. Sejak itu, Olo dikabarkan memfokuskan diri pada bisnis legal, seperti POM Bensin , Perusahaan Otobus (PO) dan sebagainya. Pada akhir 2008, Olo Panggabean yang kembali harus berurusan pihak polisi. Namun kali ini, kasusnya berbeda yakni untuk melaporkan kasus penipuan terhadap dirinya oleh sejumlah rekannya dalam kasus jual beli tanah sebesar Rp 20 miliar di kawasan Titi Kuning, Medan Johor. Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/Olo_Panggabean-1-204x30 0.jpg Namun terlepas dari apa kata orang terhadap Olo Panggabean, sejumlah langkah positif dalam perjalanan hidupnya pantas dicatat dengan tinta emas. Terutama sikap kedermawanannya dan kepeduliannya kepada rakyat tidak berkemampuan. Kisah sedih bayi kembar siam Angi-Anjeli anak dari pasangan Subari dan Neng Harmaini yang kesulitan membiayai dana operasi pemisahan di Singapura, tahun 2004 adalah satu contoh kedermawanan Olo paling mendebarkan. Ibu sang bayi, Neng Harmaini, melahirkan mereka di RS Vita Insani, Pematang Siantar, Rabu, 11 Pebruari 2004 pukul 08.00 WIB, melalui operasi caesar. Bayi kembar siam ini harus diselamatkan dengan operasi cesar, tapi orangtuanya tidak mampu. Ditengah pejabat Pemprovsu dan Pemko Siantar masih saling lempar wacana untuk membantu biaya operasi, malah Olo Panggabean bertindak cepat menanggung semua biaya yang diperlukan. Bahkan saat bayi bernasib sial itu tiba di Bandara Polonia Medan dengan pesawat Garuda Indonesia No. GIA 839 pada Senin 18 Juli 2004 sekitar pukul 11.30, Olo Panggabean menyempatkan diri menyambut dan menggendongnya. Saat itu Angi dan Anjeli terseyum manis, mereka mudah akrab dengan orang yang berjasa untuk mengoperasi mereka. Banyak orang tereyuh dan orng tua Angi dan Anjeli, nyaris rubuh pingsan karena terharu. Maklum, setelah membiayai semua perobatan di rumah sakit, Olo masih bersedia menyambutnya di Bandara. Kisah kedermawanan Ketua sudah banyak dirasakan masyarakat kurang mampu di Sumatera Utara.Tidak sekedar membiayai perobatan orang sakit, tapi juga dalam bentuk lain berupa biaya pendidikan, modal kerja untuk menghidupi keluarga. Olo telah meninggal dunia Kamis, 30 April 2009 jam 14.00 di rumah sakit Glenegles Medan Sumatera Utara. Olo meninggal pada usia 67 Tahun. Jenazah disemayamkan dirumah duka jalan Sekip. John Kei, Big Boss Asal Maluku Utara Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/John_kei.jpg Jhon Refra Kei Jhon Refra Kei atau yang biasa disebut Jhon Kei, tokoh pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Namanya semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara pula, Basri Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu Padahal dua nama tokoh pemuda itu seperti saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar. Dengan kematian Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama kelompoknya seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta. Untuk diketahui, Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara. Mereka berhimpun pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama resmi himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan Jhon Kei sebagai pimpinan. Ia bahkan mengklaim kalau anggota AMKEI mencapai 12 ribu orang. Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya sebagai debt collector alias penagih utang. Usaha jasa penagihan utang semakin laris ketika kelompok penagih utang yang lain, yang ditenggarai pimpinannya adalah Basri Sangaji tewas terbunuh. Para ‘klien’ kelompok Basri Sangaji mengalihkan ordernya ke kelompok Jhon Kei. Aroma menyengat yang timbul di belakang pembunuhan itu adalah persaingan antara dua kelompok penagih utang. Bahkan pertumpahan darah besar-besaran hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, golok, celurit saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji. Beruntung 8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat mencegah terjadinya bentrokan itu. Sebenarnya pembunuhan terhadap Basri ini bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari bentrokan antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik Stadium di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu. Saat itu kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut tewas dan belasan terluka. Polisi bertindak cepat, beberapa pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota kelompok Basri dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon Key, hal ini menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri, selain persaingan bisnis juga ditunggangi dendam pribadi. Description: http://cdn.beritaunik.net/wp-content/uploads/2011/11/jhon-kei.jpg Pada Juni 2007 aparat Polsek Tebet Jaksel juga pernah meminta keterangan Jhon Key menyusul bentrokan yang terjadi di depan kantor DPD PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel. Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan kelompok Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu. Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok ini juga pernah mengamuk di depan Diskotik Hailai Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa sebab yang jelas. Sebuah sumber dari seseorang yang pernah berkecimpung di kalangan jasa penagihan utang menyebutkan, Jhon Kei dan kelompoknya meminta komisi 10 persen sampai 80 persen. Persentase dilihat dari besaran tagihan dan lama waktu penunggakan. “Tapi setiap kelompok biasanya mengambil komisi dari kedua hal itu,” ujar sumber tersebut. Dijelaskannya, kalau kelompok John, Sangaji atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt Collector Ibukota biasanya baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta. Menurutnya, jauh sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan gembong perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat Johny Sembiring dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun 1996 lalu. Kalau kelompok tiga besar itu biasa main besar dengan tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu biasanya dialihkan ke kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya pun dilihat dari lamanya waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar maka semakin besar pula komisinya,” ungkap sumber itu lagi.Dibeberkannya, kalau utang yang ditagih itu masih di bawah satu tahun maka komisinya paling banter 20 persen. Tapi kalau utang yang ditagih sudah mencapai 10 tahun tak terbayar maka komisinya dapat mencapai 80 persen. Bahkan menurut sumber tersebut, kelompok penagih bisa menempatkan beberapa anggotanya secara menyamar hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dekat rumah orang yang ditagih. “Pokoknya perintahnya, dapatkan orang yang ditagih itu dengan cara apa pun,” ujarnya. Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika orang yang dicari-carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya namun orang itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih. “Dengan cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik anggota keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya. Dilanjutkannya, ketika penagihan berhasil walaupun dengan cara diecer alias dicicil, maka saat itu juga komisi diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total tagihan Rp 1 miliar dengan perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam pertemuan pertama si tertagih baru dapat membayar Rp 100 juta, maka kelompok penagih langsung mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya baru diserahkan kepada pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas. Akhirnya walaupun si tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih sudah memperoleh komisinya dari pembayaran-pembayaran sebelumnya,” Dalam ‘dunia persilatan’ Ibukota, khususnya dalam bisnis debt collector ini, kekerasan kerap muncul diantara sesama kelompok penagih utang. Ia mencontohkan pernah terjadi bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji saat itu sedang menagih seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang itu, mendadak sang pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa ‘dipakainya’ untuk menagih utang pula. “Hercules sempat ditembak beberapa kali, tapi dia hanya luka-luka saja dan bibirnya terluka karena terserempet peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di sebuah rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah Hercules juga terluka, tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya terbunuh dan beberapa juga terluka,” tutupnya. Selain jasa penagihan utang, kelompok Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa pengawalan lahan dan tempat. Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan banyak ‘klien’ tatkala Basri Sangaji tewas terbunuh dan anggota keloompoknya tercerai berai. Padahal Basri Sangaji bersama kelompoknya memiliki nama besar pula dimana Basri CS pernah dipercaya terpidana kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto untuk menarik aset-asetnya. Tersiar kabar, Jamal Sangaji yang masih adik sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri menggantikan posisi Basri sebagai pimpinan dengan dibantu Daftar nama tokoh dan kelompok preman yang menguasai Jakarta Aksi premanisme yang banyak dilakukan oleh beberapa kelompok pemuda akhir-akhir ini semakin meresahkan masyarakat umum. Berlatar belakang jasa dept collector (penagih hutang) dan pembebasan lahan sengketa, membuat banyak kelompok pemuda terutama yang berasal dari kawasan timur Indonesia telah mengontrol dan menduduki suatu kawasan tertentu di Jakarta. Nama - nama pentolan kelompok pemuda seperti Jhon Kei (mantan seteru kelompok pimpinan Almarhum Basri Sangaji), misalnya, merupakan himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei, Maluku Tenggara. Terbentuk pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei, pada Mei 2000, dengan nama resmi Angkatan Muda Kei (Amkei). Jhon Kei, pentolan Amkei, mengklaim punya anggota sampai 12.000 orang. Belum lagi nama mantan penguasa tanahabang (Hercules) yang sudah sangat tersohor, semakin membuktikan bahwa semakin hari dunia premanisme semakin berkembang dan terorganisir dengan rapi. Selain nama-nama tokoh dan kelompok terkenal yang sudah sering kita dengar di media massa, masih ada lagi kelompok-kelompok lain yang menguasai berbagai kawasan di Jakarta. Di Jakarta Timur, kawasan Kebon Singkong, Klender, diketahui menjadi "basis" preman. Dari "pemain" 365 (perampokan) hingga pencuri kendaraan bermotor berkumpul di situ. Di kawasan perparkiran Arion Rawamangun ada nama "Azis", sedangkan di Jl. Matraman-Pramuka ada nama "Edison". Di Jakarta Pusat, nama "Hasan Suwing" masih disegani di kawasan Lokasari, Manggabesar dan sekitarnya. Kemudian mantan pembunuh bayaran yang sudah tobat, Arek Foto, juga masih punya nama di Tanah Tinggi. Atau "Yanto", yang memegang perparkiran di depan Gelanggang "Planet" Senen. Pencopet-pencopet Senen diisukan dipimpin "Ical alias Eddy". Dan salah satu penyebab, mengapa mereka berani langsung mencopet penumpang KA di Stasiun Senen, konon karena ada beking oknum di kawasan itu. Lalu di Jl Biak-Roxy, masih ada nama "Amsir Budeg" dan "Tatang Cs" di Jl Juanda. Di Jakarta Barat, nama "Margono" sudah cukup kuat di kawasan Cengkareng. Pemerasan pengemudi angkot setiap hari diduga dikoordinir olehnya, dan sempat terjadi tawuran massal dengan kelompok Palembang di kawasan itu. Di Jakarta Selatan, masih ada nama preman yang "sudah sadar", yakni "Seger" yang memegang perparkiran di kawasan Blok M. Dia terkenal dalam kasus pemberontakan LP Cipinang tahun 1981, di mana dia diduga menghabisi anak buah Jhoni Sembiring (almarhum). Rekan seangkatan "Seger" adalah "Freddy Galur" serta "Plolong" (almarhum). Di Jakarta Utara, nama "Kadim" masih disegani di kawasan pelabuhan. Di sekitar kawasan WTS Kramat Tunggak, tepatnya di Jl Kramat Jaya VI ada "dedengkot" bernama Zazuli. Mantan terhukum seumur hidup ini, dianggap penguasa kawasan Gudang Baru, Bulog dan lain-lain. Lalu di Pademangan Barat, ada nama "Rudy Ambon" yang biasa mangkal di bioskop King. Di kawasan WTS Kalijodo, nama "Daeng Usman, Daeng Patah dan Daeng Hamid" masih disegani di daerah itu. Kemudian, nama "Royal" di Gedung Panjang, Kota. Di Pasar Ikan sudah lama ada nama "Janaan dan Suganda" (satu lagi: Janaka sudah almarhum). Selain menguasai kuli-kuli di pelabuhan itu, juga diduga sebagai bos "bajing luncat" di kawasan pelabuhan hingga Jawa Barat. "Markas" mereka konon di belakang pabrik Bimoli, Pluit. GENG PREMAN VAN JAKARTA (dari majalah TEMPO) TANGANNYA menahan tusukan golok di perut. Ibu jarinya nyaris putus. Lima bacokan telah melukai kepalanya. Darah bercucuran di sekujur tubuh. “Saya lari ke atas,” kata Logo Vallenberg, pria 38 tahun asal Timor, mengenang pertikaian melawan geng preman lawannya, di sekitar Bumi Serpong Damai, Banten, April lalu. “Anak buah saya berkumpul di lantai tiga.” Pagi itu, Logo dan delapan anak buahnya menjaga kantor Koperasi Bosar Jaya, Ruko Golden Boulevard, BSD City, Banten. Mereka disewa pemilik koperasi, Burhanuddin Harahap. Mendapat warisan dari ayahnya, Baharudin Harahap, ia menguasai puluhan koperasi di berbagai kota, seperti Bandung, Semarang, Parung, Ciputat, dan Pamulang. Wafat pada akhir 2008, Baharudin meninggalkan banyak warisan buat keluarganya, antara lain aset delapan koperasi berbadan hukum, yang cabangnya tersebar di sejumlah kota. Pengadilan Agama Jakarta Timur pun menetapkan istri dan empat anak Baharudin sebagai ahli waris. Konflik keluarga berawal ketika Masthahari, adik Baharudin, menuntut hak waris.Masthahari menyewa jasa pengamanan dari Umar Kei, 33 tahun, pemuda dari Kei, Maluku. Tak mau kalah, Burhanuddin meminta pengawalan Alfredo Monteiro dan Logo Vallenberg dari kelompok Timor. Di lapangan, merekalah yang berhadapan. Serangan itu datang pagi-pagi. Lima orang datang ke kantor Koperasi Bosar Jaya. “Kami dari Koperasi Mekar Jaya ingin mengambil alih kantor,” kata Jamal, seorang penyerang. Tak lama kemudian datang Umar Kei, yang meminta Logo dan kelompoknya meninggalkan kantor. Ditolak, Umar memanggil anak buahnya yang datang dengan enam mobil. Menurut Logo, mereka bersenjata golok dan pedang samurai. Umar memerintahkan anak buahnya menyerang. Para penyerang menyabet Logo. “Anak buah saya tak bersenjata,” kata Logo. Bentrokan tak berlanjut karena petugas kompleks pertokoan itu telah datang. Belakangan Logo tahu, Umar bekerja dengan bendera Lembaga Bantuan Hukum Laskar Merah Putih. “Mereka mengatasnamakan koperasi simpan-pinjam Mekar Jaya,” katanya. Kepada Tempo, Umar mengatakan, dia datang untuk mengajak berunding. Ia meminta Logo dan teman-temannya meninggalkan kantor karena sengketa keluarga itu ditangani pengadilan. Sebelum menghadapi Logo, Umar mengatakan bahwa gengnya sudah lebih dulu berhadapan dengan anggota Brimob, kelompok Banten, Forum Betawi Rempug, dan kelompok Ongen Sangaji yang disewa Burhanuddin Harahap. “Mereka mundur menghadapi kelompok saya,” katanya. Sengketa waris pun menjadi pertikaian berdarah. l l l KELOMPOK Umar Kei dan kelompok Alfredo-Logo terhubung dalam usaha jasa pengamanan. Di ceruk “bisnis kekerasan” ini, ada pemain lain semacam Kembang Latar pimpinan Bahyudin, Petir di bawah komando Alo Maumere, Forum Betawi Rempug yang dipimpin Lutfi Hakim, Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten pimpinan Dudung Sugriwa, dan Pemuda Pancasila. “Subsektor” bisnis ini merentang dari penagihan utang, jasa penjagaan lahan sengketa, pengelolaan jasa parkir, sampai pengamanan tempat hiburan dan perkantoran di Ibu Kota. Usaha pengamanan kantor antara lain dipilih Abraham Lunggana alias Lulung, 50 tahun. Mendirikan perusahaan PT Putraja Perkasa pada awal 2000, ia masuk jasa pengelolaan parkir dan pengamanan. Putraja memiliki anak perusahaan, PT Sacom. Abraham mengklaim mempekerjakan sekitar 4.000 orang. “Dulu sempat lebih besar dari itu,” kata dia. Anak buah Lulung menangani pengamanan Blok F, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat para pedagang kelontong. Ia mengambil alih “kekuasaan” yang sebelumnya dipegang oleh seorang jawara bernama Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, 62 tahun. Ucu dulu menyingkirkan penguasa sebelumnya, Rosario Marshal alias Hercules, seorang pemuda asal Timor Timur. Perusahaan Lulung juga mengelola perparkiran di sejumlah kantor, termasuk Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan (lihat “Pemburu Utang, Penjaga Parkir”). Persaingan antarkelompok sering sangat keras dan bisa diakhiri dengan pertumpahan darah. Akhir September lalu, dua kelompok berhadapan di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Jalan Ampera. Mereka menghadiri sidang bentrok berdarah, yang melibatkan sejumlah pemuda Kei dengan penjaga keamanan Blowfish Kitchen and Bar, Gedung Menara Mulia, Jakarta Selatan. (lihat “Dari Blowfish ke Ampera”). Menurut Agrafinus Rumatora, 42 tahun, dari kelompok Kei, penjaga keamanan Blowfish dipegang kelompok Flores Ende pimpinan Thalib Makarim. Perkelahian pada April lalu itu menewaskan dua pemuda Kei, yakni Yoppie Ingrat Tubun dan M. Soleh. Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghadirkan terdakwa pelaku pembunuhan dua orang itu. Ternyata sidang ini menyulut pertikaian lebih besar. Tiga orang dari kelompok Kei tewas, puluhan lainnya luka-luka. Seorang sopir bus pengangkut kelompok ini menjadi korban. Daud Kei, Wakil Ketua Angkatan Muda Kei (AMKei), menganggap pertikaian dua kelompok itu lebih besar. Daud, 38 tahun, tangan kanan John Kei, ketua organisasi itu, mengatakan, “Ini bukan antara Kei dan Flores, tapi antara Maluku dan Flores Ende. Jangan salah tulis,” katanya. Setelah bentrokan di Ampera, Alfredo Monteiro dan Logo diperiksa polisi. Alfredo mengatakan bahwa polisi menduga ia dan Logo berkaitan dengan Thalib Makarim. Logo memang pernah bekerja untuk Thalib. “Cuma dua bulan,” katanya. Polisi lalu menangkap enam tersangka, semuanya dari kelompok Flores Ende. “Bagaimana mungkin tidak ada tersangka satu pun dari mereka (kelompok Kei)?” kata Zakaria “Sabon” Kleden, 66 tahun, tokoh yang sangat dihormati di kalangan kelompok etnis. l l l PERALIHAN penguasa bisnis jagoan di Ibu Kota bukanlah suksesi yang mulus. Pada 1990-an, area ini dikuasai Hercules. Ia semula pemuda Timor yang direkrut Komando Pasukan Khusus, atau Kopassus, pada saat proses integrasi wilayah itu ke Indonesia. Terluka dalam kecelakaan helikopter, ia dibawa Gatot Purwanto, perwira pasukan yang dipecat dengan pangkat kolonel setelah insiden Santa Cruz, ke Jakarta. Hercules menetap di Jakarta, dan segera merajai dunia para jagoan. Ia menguasai Tanah Abang. Namanya pun selalu dekat dengan kekerasan. Kekuasaan tak abadi. Pada 1996, ia tak mampu mempertahankan kekuasaannya di pasar terbesar se-Asia Tenggara itu. Kelompoknya dikalahkan dalam pertikaian dengan kelompok Betawi pimpinan Bang Ucu Kambing, kini 64 tahun. Sejak itu ia tak lagi berkuasa. Tapi namanya telanjur menjadi ikon. Seorang perwira polisi mengatakan, setiap pergantian kepala kepolisian, Hercules selalu dijadikan “sasaran utama pemberantasan preman”. Pada masa kejayaan Hercules, ada Yorrys Raweyai. Pada awal 1980-an, ia bekerja menjadi penagih utang. Kekuatan pemuda asal Papua ini ditopang Pemuda Pancasila, organisasi yang mayoritas anggotanya anak-anak tentara. Dia menjadi ketua umum organisasi itu pada 2000 dan melompatkan kariernya di politik. Dia kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar. Pemuda Pancasila juga menjual jasa pengamanan lahan, penagihan, dan penjaga keamanan. Ordernya diterima dari perusahaan resmi yang memiliki jaringan dengan Pemuda Pancasila. “Habis, mau kerja apa, mereka tidak punya ijazah,” Yorrys menunjuk anggota kelompoknya. Soal cap preman, dia berkomentar enteng, “Saya anggap koreksi saja.” Pada generasi yang sama, Lulung, bekas preman Tanah Abang, kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta dari Partai Persatuan Pembangunan. Usahanya dimulai dari pengumpul sampah kardus bekas hingga barang bekas. “Karier”-nya mencorong ketika kemudian bermain dalam usaha pengamanan Tanah Abang. Untuk melestarikan kekuatan, Lulung memilih jalur resmi. Ia mendirikan PT Putraja Perkasa, lalu PT Tujuh Fajar Gemilang, dan PT Satu Komando Nusantara. Perusahaan ini disesuaikan dengan “kompetensi inti” Lulung: jasa keamanan, perparkiran, penagihan utang. “Kami masuk lewat tender resmi,” ujarnya. Pada 1996, ketika Hercules berhadapan dengan Bang Ucu, Lulung memilih “berkolaborasi” dengan kelompok Timor. Alhasil, ia dikejar-kejar teman-temannya di Betawi. Bang Ucu menyelamatkannya. Itu sebabnya, kini Lulung rajin menyetor dana ke Ucu. Dari Nusa Tenggara Timur ada nama Zakaria “Sabon” Kleden. Mendarat di Betawi pada 1961, Zaka-begitu dia disapa-mengatakan menjadi preman pertama asal daerahnya. “Dulu istilahnya geng. Ada geng Berland, Santana, dan Legos,” tuturnya kepada Tempo. Riwayat Zaka tak kalah berdarah. Ia mengaku sempat memutilasi korbannya. Ia juga mengatakan telah menembak mati beberapa orang. “Saya membela harga diri saya,” ujarnya. Tapi ia mengatakan tak pernah dinyatakan bersalah. “Saya sering ditahan, tapi tidak pernah dihukum penjara,” kata pria yang sangat dihormati kelompok preman terutama dari daerah Nusa Tenggara Timur itu. Tiga tahun lalu, Zaka menjalankan bisnis sekuriti, PT Sagas Putra Bangsa. Dari eranya, Zaka menyebutkan nama ketua geng seperti Chris Berland, Ongky Pieter, Patrick Mustamu dari Ambon, Matt Sanger dari Manado, Jonni Sembiring dari Sumatera, Pak Ukar dan Rozali dari Banten, Effendi Talo dari Makassar. “Komunikasi di antara kami baik, maka jarang bentrok berdarah,” tuturnya. Pada awal 2000, muncul Basri Sangaji. Tapi dia terbunuh dalam penyerangan berdarah di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. “Bisnis”-nya diteruskan anggota keluarga Sangaji: Jamal dan Ongen. Ongen kini mantap dengan karier politiknya, menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Hanura Jakarta. “Target saya ketua Dewan Pimpinan Pusat,” ujar Ongen Sangaji. Menjelang 1980-an kelompok-kelompok preman etnis juga membentuk organisasi massa. Dimulai dari Prems-kependekan dari Preman Sadar-pimpinan Edo Mempor. Tetap saja, bisnis mereka penagihan, perpakiran, dan jaga tanah sengketa. “Ini awal mulanya preman berbalut ormas,” kata seorang mantan serdadu yang kini jadi preman. Kelompok itu berdiri hingga kini. Ada Angkatan Muda Kei, Kembang Latar, Petir, Forum Betawi Rempug, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten, juga Angkatan Muda Kei. l l l SETELAH bentrok berdarah di Ampera, nama Thalib Makarim muncul ke permukaan. Para pesaingnya menyebut dia menyediakan pengamanan klub hiburan malam, seperti Blowfish, DragonFly, X2, dan Vertigo. Thalib resminya seorang pengacara. Dia pernah mendampingi artis kakak-adik Zaskia Adya Mecca dan Tasya Nur Medina, yang diculik oleh Novan Andre Paul Neloe. Ia juga menjadi anggota tim pengacara pengusaha Tomy Winata, ketika menggugat majalah Tempo pada 2005. Thalib tercatat bekerja untuk kantor pengacara Victor B. Laiskodat & Associates di Melawai, Jakarta Selatan. Tapi, ketika Tempo mendatangi kantor ini, ia tak lagi bekerja di sana. “Lima tahun lalu sudah keluar,” kata Mie Gebu, staf kantor ini. Beberapa orang yang berjanji bisa menghubungkan dia dengan Tempo juga gagal menemukannya. Ia juga tak pernah memenuhi panggilan polisi, yang menangani kasus Ampera. Sumber Tempo di kalangan preman menyebutkan, Thalib merupakan pengganti Basri Sangaji. Ia menguasai tempat-tempat hiburan elite di Jakarta Selatan. “Termasuk lingkungan pasar Blok M-Melawai,” katanya. Adapun kelompok John Kei, menurut salah satu pentolannya, Agrafinus, berfokus pada jasa penagihan dan pengacara. Kelompok ini tidak masuk ke bisnis pengamanan tempat hiburan, perparkiran, ataupun pembebasan tanah. “Level kami bukan kelas recehan seperti itu,” katanya. Sebab itulah, Daud Kei membantah tuduhan pertikaian di Blowfish dan Ampera dilatari perebutan lahan bisnis. “Kami etnis Maluku tidak ada bisnis penjagaan tempat hiburan,” dia menegaskan. Namun, menurut seorang preman senior, pertikaian antarkelompok separah itu umumnya karena berebut suplai atau meminta jatah. Sebab, perputaran uang di tempat-tempat dugem (dunia gemerlap) itu luar biasa besar. “Bayangin aja, dari suplai tisu, snack, minuman, sampai narkoba ada,” tuturnya. Berbeda dengan John Kei, Umar Kei meluaskan bisnisnya ke pembebasan tanah, termasuk penjagaannya. Di lahan ini juga bermain Forum Betawi Rempug dan Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Banten. Adapun perparkiran umumnya dipegang ormas lokal Betawi atau Banten, contohnya Haji Lulung. Dari semua bisnis yang dilakoni kelompok etnis itu, sumber Tempo menuturkan, penghasilan terbesar ada di proyek pembebasan tanah. “Nilainya setara dengan uang jajan setahun,” katanya. Mereka biasa menyebut penghasilan ini sebagai “jatah preman”, yang dipelesetkan menjadi “jatah reman”. Di tingkat kedua, penjagaan tempat hiburan malam. Kali ini jatahnya dipakai untuk “uang jajan sebulan”. Sedangkan bisnis perpakiran menghasilkan jatah reman berupa “uang jajan harian”. Tak mengherankan bila dunia para jagoan ini sering diwarnai pertikaian, bahkan sampai berdarah-darah. Sejarah Preman Jakarta 29 September 2010 Bentrokan antara kelompok Maluku (Kei) dan Flores (Thalib Makarim) ketika sidang kasus Blowfish di Jalan Ampera, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Korban tewas dari kelompok Maluku: Frederik Philo Let Let, 29 tahun, Agustinus Tomas (49), dan seorang sopir Kopaja Syaifudin (48). 31 Juli 2010 Bentrokan Forum Betawi Rempug (FBR) dengan Pemuda Pancasila, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), dan Komunikasi Masyarakat Membangun Lapisan Terbawah (Kembang Latar) di Rempoa, Ciputat. 30 Mei 2010 Bentrokan antara massa Forkabi dan warga Madura di Duri Kosambi, Cengkareng. Ketua Forkabi Cipondoh Endid Mawardi tewas dibacok. 12 April 2010 Koordinator keamanan Koperasi Bosar Jaya, Logo Vallenberg, dikeroyok kelompok Umar Kei. Penyebabnya sengketa warisan antarkeluarga pemilik koperasi. 4 April 2010 Bentrokan di Klub Blowfish, Wisma Mulia, Jakarta, menewaskan dua orang dari kelompok Kei, M. Sholeh dan Yoppie Ingrat Tubun. Klub Blowfish dijaga kelompok Flores Ende pimpinan Tha-lib Makarim. 14 Desember 2009 Mantan karyawan PT Maritim Timur Jaya, Susandi alias Aan, dipukul dan ditendang di bagian kepala dan dada oleh Viktor Laiskodat, pemimpin Artha Graha Group. 11 Agustus 2008 John Kei, pemuda Ambon, ditangkap Densus Antiteror 88 Kepolisian Daerah Maluku di Desa Ohoijang, Kota Tual. Dia diduga kuat terlibat penganiayaan terhadap dua warga Tual, Charles Refra dan Remi Refra, yang menyebabkan jari kedua pemuda itu putus. 1 Juni 2008 Bentrokan Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Markas Besar Kepolisian RI menetapkan lima anggota FPI sebagai tersangka dalam pengeroyok-an dan pemukulan terhadap anggota Aliansi. 27 April 2006 Ratusan anggota FBR mendatangi rumah artis Inul Daratista, menuntut Inul meminta maaf atas tindakannya menggelar demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi di Hotel Indonesia. 3 Februari 2006 Massa FPI mengamuk di depan kantor Kedutaan Besar Denmark, Menara Rajawali, terkait dengan pemuatan kartun Nabi Muhammad SAW di koran Denmark, Jyllands-Posten. 19 Desember 2005 Hercules bersama 17 anak buahnya menyerang kantor Indopos, Jakarta Barat, karena keberatan atas artikel berjudul “Reformasi Preman Tanah Abang, Hercules Kini Jadi Santun”. Dia divonis hukuman penjara 2 bulan. 18 Juni 2005 Kelompok Maluku mengamuk dan merusak kantor pemasaran Perumahan Taman Permata Buana, Jakarta Barat. Mereka mengaku mewakili Aminah binti Ilyas, pemilik tanah yang sedang bersengketa dengan pengembang. 8 Juni 2005 Keributan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei saat sidang kasus pemukulan di Diskotek Stadium, Jakarta Barat. Kakak kandung John Kei, Walterus Refra Kei alias Semmy Kei, terbunuh di lahan parkir Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tindakan ini merupakan balas dendam atas pembunuhan Basri Sangaji dan bentrokan di Diskotek Stadium. 29 Mei 2005 Persatuan Pendekar Banten bentrok dengan Forkabi. Jahuri, 44 tahun, warga Cilampang, Banten, tewas, ditemukan di Gedung Serbaguna Perumahan Permata Buana. Bentrokan dipicu sengketa tanah. 1 Maret 2005 Ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, dan celurit berhadapan di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketika sidang pembunuhan Basri Sangaji. 16 Februari 2005 Bentrokan antara petugas Tramtib DKI dan kelompok Hercules yang menjaga lahan kosong di Jalan H.R. Rasuna Said Blok 10-I Kaveling 5-7, Jakarta Selatan. Adik Hercules, Albert Nego Kaseh alias John Albert, mati tertembak senjata Kasi Operasi Satpol Pamong Praja DKI Jakarta, Chrisman Siregar. 12 Oktober 2004 Basri Sangaji tewas diserang sepuluh preman dari kelompok John Kei di kamar 301 Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan. 2 Maret 2004 Bentrokan antara kelompok Basri Sangaji dan John Kei di Diskotek Stadium di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat. Saat itu kelompok Basri menjaga diskotek dan diserang puluhan orang Kei. Dua penjaga keamanan dari kelompok Basri tewas. 7 Mei 2003 Bentrokan kubu Hercules dan Basri Sangaji di Kemang, Jakarta Selatan. Pertikaian menyebabkan Samsi Tuasah tewas akibat luka tembak di paha dan dada. 8 Maret 2003 David A. Miauw dan rekan, anak buah Tomy Winata, menye-rang dan melakukan pemukulan terhadap tiga wartawan majalah Tempo. Tomy berkeberatan atas artikel Tempo edisi Senin, 3 Maret 2003, berjudul “Ada Tomy di Tanah abang?” Kasus ini dibawa ke pengadilan. 28 Maret 2002 Tujuh anggota FBR menganiaya anggota Urban Poor Consortium pimpinan Wardah Hafidz di kantor Komnas HAM, Menteng. 12 Desember 1998 dan 15 Januari 1999 Kerusuhan antara kelompok Ambon muslim dan Kristen dipicu peristiwa Ketapang. Kerusuhan Ambon ditengarai akibat provokasi beberapa kelompok preman. 22-23 November 1998 Kerusuhan antara Ambon muslim dan Kristen di daerah Ketapang, Jakarta Pusat. Baku hantam dipicu terbunuhnya empat pemuda muslim pada kerusuhan Semanggi, menjelang Sidang Istimewa MPR. 29 Mei 1997 Dedy Hamdun, preman asal Ambon beragama Islam, diculik lalu hilang hingga kini. Suami artis Eva Arnaz ini bekerja membebaskan tanah bagi bisnis properti Ibnu Hartomo, adik ipar bekas presiden Soeharto. Sebelum hilang, Dedy aktif mendukung Partai Persatuan Pembangunan. 1996 Perang antara kelompok Betawi dan Timor pimpinan Hercules. Kelompok Timor hengkang dari Tanah Abang. Laskar Jalanan 29 Juli 2001 FBR didirikan oleh KH Fadloli el-Muhir (almarhum) dengan jumlah pengikut saat pendirian 400 ribu orang. 18 April 2001 Forkabi dideklarasikan di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. 10 Oktober 2000 Kelompok Laskar Merah Putih pimpinan Eddy Hartawan (almarhum). Kelompok pemuda ini pernah menjadi tenaga pengawal mendampingi Manohara Odelia Pinot. Mei 2000 Angkatan Muda Kei (AmKei) didirikan oleh keluarga Kei dengan ketua John Refra atau John Kei. Organisasi terbentuk pascakerusuhan Tual, Maluku, pada Maret 1999. Kelompok ini mengklaim memiliki 12 ribu pengikut. 17 Agustus 1998 FPI didirikan oleh Muhammad Rizieq bin Husein Syihab di Jalan Petamburan III Nomor 83, Jakarta Pusat. Beberapa jenderal TNI dan Polri mendukung pendirian FPI, di antaranya mantan Kepala Polda Metro Jaya Komisaris Jenderal Nugroho Jayusman. 1998 Warga Betawi Tanah Abang mendirikan Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang dan memilih jawara Tanah Abang, Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, sebagai ketua umum hingga sekarang. Masa Orde Baru: Tumbuh organisasi pemuda, seperti Pemuda Pancasila, Pemuda Panca Marga, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia, Yayasan Bina Kemanusiaan, dan belakangan organisasi Kembang Latar. Selain berbendera organisasi kepemudaan, ada kelompok informal yang sangat populer, seperti Siliwangi, Berland, Santana, dan Legos. Kelompok ini menjalankan usaha keamanan tempat hiburan serta sengketa lahan dan tempat parkir wilayah Jakarta Selatan. Petrus Pemerintah Orde Baru menekan kelompok preman dengan operasi rahasia “penembakan misterius” atau petrus. Investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat korban tewas petrus pada 1983 sekitar 532 orang, dan sepanjang 1984 dan 1985 sebanyak 181 orang. Titik rawan jakarta antara lain, Perempatan Coca-Cola, Stasiun Pasar Senen, Johar Baru, Kemayoran di Jakarta Pusat. Selain itu, ada juga wilayah Taman Sari, Kolong Jembatan Grogol, Tambora di Jakarta Barat. Pasar kebayoran Lama & Pasarlebak Bulus di Jakarta selatan