** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com ** Catatan Sastra Seorang Awam MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH 6. Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat hal lain. Apakah hal lain itu? Di samping aku melihat pergulatan pikiran dan perasaan yang menggejolak di kepala dan batin Kathirina, dari empat puisi Kathirina yang ditulis pada bulan Nopember 2005, dan disiarkan oleh milis matabambu 16 Nopember 2005, aku juga membaca samar-samar perkembangan yang terjadi di masyarakat Sabah.Terutama perkembangan nilai dan khususnya tentang nilai dominan dalam masyarakat Sabah. Sebelum menulis "Catatan Sastra Seorang Awam" tentang Kathirina ini, aku pernah menanyakan kepada Kak Ony Basalin, seorang penyair dan anggota Ikatan Penulis Sabah [IPS] mengenai komposisi demokrafis [kependudukan] di Sabah. Aku pastikan seperti daerah dan negeri manapun, Sabah tentu dihuni oleh berbagai etnik dan agama, aliran pikiran serta kepercayaan. Ketika berkunjung ke Sarawak, dengan maksud khusus mengenai negara bagian Malaysia ini,aku menyaksikan keragaman etnis dan peranan masing-masing serta hubungan antar mereka yang meninggalkan kesan manis padaku.Terkesan padaku hubungan antar etnis di Sarawak cukup serasi dan menjanjikan.Berdasarkan penglihatan kunjungan singkat itu maka kepada Kak Ony Basalin kutanyakan bagaimana komposisi kependudukan [demografis] di Sabah, khususnya bagaimana posisi etnik Dayak? Pertanyaan ini muncul di benakku karena teringat bahwa Kitingan yang seorang Dayak pernah menjadi Perdana Menteri Sabah, kemudian tergusur. Tidaklah mungkin Kitingan yang Dayak jika komunitas Dayak tidak mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Kak Ony dan Kithirina sendiri adalah orang-orang Dayak juga adanya. Kak Ony bahkan puteri seorang kepala adat Sabah. Menjawab pertanyaanku Kak Ony menjelaskan bahwa komunitas Dayak memang secara jumlah bisa dikatakan dominan, hanya kemudian mereka banyak beralih agama dengan menganut Islam.Keluarga Anggota keluarga Kak Ony sendiri menganut berbagai macam agama. Dari kasus ini, aku melihat bahwa Sabah, seperti bagian planet kecil kita ini di mana pun pada dasarnya, adalah suatu masyarakat majemuk.Hanya saja jika mengamati karya-karya sastra Sabah terakhir terasa bahwa nilai dominan sangat terasa nilai-nilai ke-islaman, yang mungkin merupakan agama terbesar di negara bagian Malaysia itu.Aku tidak tahu apakah perkembangan ini, ada kaitannya dengan perkembangan, terutama perkembangan politik, yang terjadi di Malaysia atau Semenanjung Malaya di mana Kuala Lumpur sebagai ibukota terdapat dan ingin mendominasi negara-negara bagian secara terbuka atau tertutup.Tapi kukira, tentu bukanlah kebetulan. Perkembangan nilai, terutama nilai dominan ini tercermin dari puisi Kathirina: KAU PERNAH BERKATA Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan!!! Jangan singkirkan angan yang indah itu Tanpanya kau tidak punya harapan Jangan Putus harapan sebelum bertarung bermatian Jangan murahkan harga diri Karena kau wanita istimewa. Mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan malu mengaku alpamu Kita kuat dari pengalaman itu Dan mamaku sayang Kau pernah berkata Jangan sesalkan kekurangan ini Karena kemampuanmu hanya sampai disini. Mamaku sayang Ulang tahun ketiga belas kepergianmu Aku masih disini Masih alpa dan sesal Kenapa aku tidak setabah itu. Dari puisi ini, terbaca padaku perbedaan nilai antara alm.ibu Kathirina dan Kathirina sendiri yang dalam enam puisinya terdahulu menyerah pada "takdir", sedangkan sang ibu berpesan kepada puterinya untuk "bertarung bermatian" dahulu demi membela dan memenangkan "harapan". Bagi alm. ibu Kathirina, perempuan adalah seorang manusia dengan harga diri dan martabat yang setara dengan lelaki, sebagaimana terdapat pada konsep Dayak "rengan tingang nyanak jata" [anak enggang dan putera-puteri naga]. Sedangkan Kathirina sendiri mengakui dalam puisinya di atas "masih alpa" pada nilai "rengan tingang nyanak jata" ini yang menimbulkan "sesal" padanya. Masalah nilai dominan ini juga telah disentah oleh Rem, penulis Dayak Sabah lainnya yang sekarang sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di Norwich dalam bidang sain, ketika ia membaca puisi-puisi Sabah sekarang.Nilai dominan, kukira, mempunayi arti menentukan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya dan keadaan masyarakat pada suatu periode. Dan sanjak-sanjak Kathirina mencerminkan dengan hal ini demikian.Melalui sanjak-sanjak Kathirina, aku melihat pola pikir dan mentalitas dua generasi, yaitu generasi sang ibu dan generasi si anak yang hidup di Sabah hari ini, masyarakat yang nampaknya tidak lain dari masyarakat maskulin dengan maskulinisme.Maskulinisme bukanlah konsep "rengan tingang nyanak jata" manusia Dayak. Agaknya nilai-nilai kedayakan yang tanggap zaman, jika mencermati karya-karya Kathirina sudah memudar .Benarkah demikian? Tentu kawan-kawan sastrawan Sabah yang bisa menjawabnya sebagaimana bagaimana mereka menjawab soal kemajemukan dan menilai budaya Dayak di Sabah , maskulinisme atau Arabisasi bahasa seperti yang disinggung oleh esais, Rem [lihat: Lampiran].Hanya saja dari esai Rem dan Kathirina, aku serba sedikit membaca perkembangan ide dan kebudayaan di Sabah bahkan Malaysia secara keseluruhan.Sanjak sebagai bagian dari bangunan atas tidak terlepas dari bangunan bawah atau bangunan dasar dan keadaan sosial. Apalagi Kathirina agaknya menaruh perhatian pada banyak masalah kemasyarakatan seperti pada puisinya di bawah ini yang pada 17 November oleh milis matabambu: JANGAN,TUAN!JANGAN! Jangan lihat mereka seperti anjing, Tuan Mereka juga manusia seperti kau dan aku Ada perasaan. Tahu rasa sakit. Tahu rasa lapar dahaga Menerti apa itu penghinaan Dan punya maruah diri. Jangan layan mereka seperti anjing, Tuan Kita ada undang undang Kita kaya budi bicara Kita masyarakat yang penyayang Adili mereka seperti mengikut perlembagaan Bukan mengikut perasaa kita. Jangan kasari mereka, Tuan Mereka itu seperti abang daan adik kita Seperti ayah dan ibu kita Seperti saudara mara kita Tidakkah simpati melihat darah daging kita dibuat begitu? Jangan Tuan... Mereka datang kerana nama mencari rezeki Meninggalkan kampung halaman Mengharungi berbagai derita Cuba membina hidup baru Segala kerana keterpaksaan Kerana mau memcari erti kehidupan Erti kebahagian Sehingga lupa kita ada undang undang. Tapi Tuan.. Jangan layan mereka seperti anjing Mereka punya rasa malu dan sesal Punya rasa marah dan terhina Jangan biarkan mereka terbakar begini Kita tunjukkan pada mereka Negara kita berdaulat Punya perlembagaan yang adil Mahukan rakyat yang berwawasan Inginkan keamanan dan sepakatan Bukan inginkan persengkataan Bukan mencari permusuhan Adili mereka dengan saksama, Tuan. Mengatal, Kota Kinabalu November 2005. Perhatian Kathirina tidak sebatas lingkup dirinya sendiri dan masalah-masalah psikhologis manusia, hal-hal yang filosofis, tapi juga menyasar ke masalah sosial dan politik.Kukira hal begini membayangkan betapa sebagai penyair, Kathirina sedang menerjuni samudra kehidupan yang tidak pernah ramah, sebagai seorang penyair, penyair yang sesungguhnya dengan tanggungjawab sastranya.Sikap dan perhatian begini kukira memang padan dengan posisi seorang sastrawan sebagai warga "republik berdaulat sastra-seni" yang ditandai oleh kebebasan mencari dan berpikir. Bagiku, seorang sastrawan, termasuk penyair adalah seorang "free thinker", yang dalam kembara pencariannya tak mengenal hutan tabu dan rambu. Dengan membeberkan keadaan masayarakat Sabah melalui puisi-puisinya, kukira, ini pun adalah salah satu jasa Kathirina bagi Sabah dan kemanusiaan, betapapun kecil, misalnya, dan mungkin tidak terbaca orang di Sabah. Tapi Kathirina menolak diam. Ia memprotes ketidakadilan dengan caranya sendiri, cara pemberontakan seorang penyair.*** Paris, Nopember 2005. ------------------ JJ. Kusni Lampiran: To: KEMSAS@xxxxxxxxxxxxxxx From: "Rem" Date: Fri, 11 Nov 2005 12:24:51 -0000 Subject: [KEMSAS] Bid'ah Linguistik Dalam Puisi-Puisi Islam Karya Penyair Sabah Saya amat tertarik dengan gagasan bid'ah linguistik Ainon. Bahasa dan budaya feudal (yang sebegini) sebenarnya turut mengongkong genre penulisan puisi-puisi Islam di Malaysia (termasuk Sabah tentunya!). Saya katakan Malaysia, kerana gaya feudal yang serupa telah lama dirobohkan di Indonesia. Sebab itu, membaca karya penyair-penyair Islam negara seberang itu jauh lebih mempesona.Ekspresi mereka lebih mesra dan membujuk justeru laras bahasanya bersifatsangat marhain. Bukan tebal dengan elemen feudalisme. Apa masalah puisi-puisi Islam di Malaysia? Yang paling ketara, penggunaan bahasa-bahasa jargon Arab yang sangat berlebihan. Dalam sebuah puisi pendek pun, sering ditemui lambakan-lambakan kosakata yang diadaptasi daripada Bahasa Arab. Kalau diguna perkataan yang biasa-biasa (contohnya - hayat, maut, syahadah,syafaat, etc), tak mengapa lagi. Tapi bila diheret segala macam istilah-istilah bombastik (yang jarang atau tidak pernah dipakai dalam konteks konvensional), maka tertonjollah ciri-ciri ego feudalisme. Seolah-olah gaya linguistik yang "begitu" adalah tuntutan wajib dalam penulisan puisi-puisi Islam. Padahal ia sebetulnya hanya satu `fesyen mengada-ngada' yang sengaja dicipta oleh golongan penyair yang gila bayang dalam tempurung kepenyairan mereka. Seperti juga tamsilnya para pemidato dulu-dulu yang menganut kepercayaan bahawa `fesyen pidato yang betul' harus disertai dengan intonasi suara berlagu-lagu dan nada vokal yang tinggi-tinggi (seperti penjual ubat seks di siring -siring kakilima). Mujurlah mazhab kuno ini sudah semakin tidak relevan dalam konteks seni pidato/debat di Malaysia, mahupun di Sabah secara khusus. Persoalannya, bilakah dan siapakah yang mahu merobohkan mazhab kuno (yang sarat dengan jargon Arab)yang begitu bangga diamalkan oleh penulis-penulis puisi Islam Malaysia? Saya sudah lama tertanya-tanya, kenapa penyair-penyair Malaysia (atau boleh saya khususkan sebagai `Sabah'?) rata-ratanya amat tekal berpegang pada dogma begini? Adakah nilai rohaniah sesebuah puisi (sama ada Islam atau tidak!) ditentukan secara signfikan oleh laras linguistik semata-mata? Tidakkah pilihan mesej, gaya olahan idea dan struktur aliran plot itu lebih penting untuk menzahirkan jiwa Islamnya? Tak payah mabuk sakan nak guna istilah Arab sampai bertele-tele pun. Gunalah bahasa yang biasa-biasa dan mudah-mudah. Yang penting nilai-nilai keislaman itu dapat diangkat dengan jelas dan meyakinkan. Apa tanggungjawab utama puisi-puisi Islam? Tentunya sebagai satu bentuk syiar dan dakwah, kan? (Bukan saja kepada orang Islam sendiri, bahkan untuk orang bukan Islam) Tapi kalau ia dipersembahkan dalam bentuk `bahasa bourgeois Arab', bagaimana mesejnya boleh sampai kepada kaum marhain (yang majoritinya telah dibiasakan dengan bahasa Melayu konvensional)? Saya sendiri pun tidak berselera membaca puisi Islam (karya tempatan) yang kebanyakannya sangat tinggi ego feudalnya - khususnya dari segi `kebombastikan' laras bahasa. Kesan bacanya amat membosankan dan mengelirukan. Itu saya -yang yang sekurang-kurangnya ada sedikit sebanyak latarbelakang nahu bahasa Arab. Pun masih tetap gagal mengapresiasi gaya tulisan ala-ala jargon Arab yang begitu. Bagaimana pula dengan orang-orang lain yang langsung tidak pernah ada pengalaman berjinak dengan seni linguistik Bahasa Arab? (Atau, orang bukan Islam?) Tentunya mereka simpan rasa `sakit' dan `menyampah' (lebih daripada apa yang saya sendiri rasai!) bila membaca karya-karya yang kompleks begitu. Jadi, siapa sebenarnya sasaran pembaca karya-karya puisi Islam yang jargon ini? Mungkin hanya para penyair yang syok sendiri itu. Barangkali mereka bersekongkol sesama mereka: kau baca karyaku, aku baca karyamu. Pendek kata, syiar dan dakwah ini hanya eksklusif untuk satu lingkungan yang kecil.Bukan untuk orang awam secara meluas. Natijah akhirnya apa? Dalam dunia kepenyairan puisi-puisi Islam, terbentuklah satu kasta feudal (yang hanya dianggotai oleh kelompok terpilih) - dan kasta feudal itu ditunjangi oleh mekanisme bahasa-bahasa jargon Arab. Inilah salah satu punca kegagalan kepada konsep `memasyarakatkan sastera'. Macam mana nak uja proses`pemasyarakatan' itu kalau pendekatannya berasaskan gaya feudal? Kadang-kadang saya terfikir juga. Para penyair yang gemar sangat menyelitkan segala macam istilah Arab ini - adakah mereka mempunyai kefahaman asas tentang sistem linguistik Bahasa Arab? Tak payah nak faham yang dalam-dalam. Cukuplah kalau tahu konsepasas `isim' (katanama) dan `fi'il' (katakerja). Juga tahu ala kadar perbezaan antara kosakata gender maskulin (muzak'kar) dan feminin (muan'nas). Kalau kurang faham, lebih baik jangan mengada-ngada mahu mengangkut segala macam istilah Arab untuk diterapkan dalam puisi-puisi (yang kononnya!) berjiwa Islam. Kenapa? Sebab kalau kefahaman kita pada nahu Bahasa Arab itu dangkal, dan ilmu tatabahasa Melayu pula tidak sedalam mana - maka, pemindahan transilasi ungkapan (daripada Arab kepada Melayu) kadangkala boleh jadi porak peranda. Kita sudah ada banyak istilah lazim dalam Bahasa Melayu yang mempunyai konotasi keagamaan atau ada `darah keturunan' Arab (contohnya: zikir, solat, munajat, doa, sirah, takdir,dsb). Pakai sajalah mana-mana yang sudah di-KAMUS-kan secara rasmi, dan telah mesra sebati dengan rakyat marhain. Kenapa masih timbul kegatalan mahu mencipta istilah yang bukan-bukan? Bukankah Islam itu fitrahnya indah dan mudah? Jadi, kenapa pula puisi-puisi Islam mesti disusah-susahkan (hingga menjadi hodoh)? PS: Saya sebetulnya mahu memetik beberapa contoh puisi. Tapi saya fikir pandangan peribadi saya ini lebih bagus diletak dalam konteks umum. Tidak mahu mengguris hati sesiapa secara tersurat. --- In KEMSAS@xxxxxxxxxxxxxxx, Hasyuda Abadi wrote: Bid'ah Linguistik Dipetik daripada: http://ainonmohd.blogspot.com/ Salah satu masalah yang menyebabkan buku-buku agama Islam susah dibaca oleh mereka yang hendak belajar sendiri tentang Islam adalah unsur 'bid'ah bahasa' yakni kelaziman pada penggunaan peraturan bahasa feudal dalam buku-buku agama. Dalam tradisi bahasa Melayu, raja-raja menggunakan bahasa istana, yang berlainan sedikit dengan bahasa Melayu rakyat biasa. Sebagai contoh, raja 'bertitah' manakala rakyat 'bercakap'. Ustaz-ustaz Malaysia mencipta peraturan feudal untuk bahasa Nabi Muhammad dan Allah. Jadi Allah 'berfirman' manakala Nabi Muhammad 'bersabda'. Alasan mereka adalah bagi memuliakan Allah dan Nabi Muhammad. Atas alasan itu kataganti nama feudal 'baginda' (yang bermakna 'dia') dikenakan kepada Nabi Muhammad. Namun bagi Allah,ustaz-ustaz Malysia tetap menggunakan 'dia'. Dalam Quran, 'qa-la' (berkata) digunakan untuk Allah, Nabi Muhammd dan sesiapa sahaja, termasuk syaitan! Bahasa feudal bukan bahasa Quran. Nabi Muhammad bukan raja. Sistem feudal tidak selaras dengan sistem politik Islam. Perkataan 'sabda' adalah dipinjam daripada bahasa Sanskrit, bahasa kitab-kitab agama Hindu. Perkataan 'firman' datang dari bahasa Parsi, itulah sebabnya perkataan itu tidak ada dalam Quran. Suatu hal yang menarik, di negara Brunei yang masih amat feudal itu, perkataan 'bersabda' digunakan oleh mufti dan menteri agama negara itu.*** [Bersambung...] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today! http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **