[nasional_list] [ppiindia] catatan sastra seorang awam [6]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah

  • From: "Budhisatwati KUSNI" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Fri, 18 Nov 2005 04:37:42 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
Catatan Sastra Seorang Awam



MEMBACA PUISI-PUISI KATHIRINA SUSANNA 
PENYAIR KOTA KINIBALU, SABAH

6.



Dari puisi "Kau Pernah Berkata" ini pun, aku melihat hal lain. Apakah hal lain 
itu?

Di samping aku melihat pergulatan pikiran dan perasaan yang menggejolak di 
kepala dan batin Kathirina,  dari empat puisi Kathirina yang ditulis pada bulan 
Nopember 2005, dan disiarkan oleh milis matabambu 16 Nopember 2005, aku juga 
membaca samar-samar perkembangan yang terjadi di masyarakat Sabah.Terutama 
perkembangan nilai dan khususnya tentang nilai dominan dalam masyarakat Sabah.

Sebelum menulis "Catatan Sastra Seorang Awam" tentang Kathirina ini, aku pernah 
menanyakan kepada Kak Ony Basalin, seorang penyair dan anggota Ikatan Penulis 
Sabah [IPS] mengenai komposisi demokrafis [kependudukan] di Sabah. Aku pastikan 
seperti daerah dan negeri manapun, Sabah tentu dihuni oleh berbagai etnik dan 
agama, aliran pikiran serta kepercayaan.

Ketika berkunjung ke Sarawak, dengan maksud khusus mengenai negara bagian 
Malaysia ini,aku menyaksikan keragaman etnis dan peranan masing-masing serta 
hubungan antar mereka yang meninggalkan kesan manis padaku.Terkesan padaku 
hubungan antar etnis di Sarawak cukup serasi dan menjanjikan.Berdasarkan 
penglihatan kunjungan singkat itu maka kepada Kak Ony Basalin kutanyakan 
bagaimana komposisi kependudukan [demografis] di Sabah, khususnya bagaimana 
posisi etnik Dayak? Pertanyaan ini muncul di benakku karena teringat bahwa 
Kitingan yang seorang Dayak pernah menjadi Perdana Menteri Sabah, kemudian 
tergusur. Tidaklah mungkin Kitingan yang Dayak jika komunitas Dayak tidak 
mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Kak Ony dan Kithirina sendiri adalah 
orang-orang Dayak juga adanya. Kak Ony bahkan puteri seorang kepala adat Sabah. 

Menjawab pertanyaanku Kak Ony menjelaskan bahwa komunitas Dayak memang secara 
jumlah bisa dikatakan dominan, hanya kemudian mereka banyak beralih agama 
dengan menganut Islam.Keluarga Anggota keluarga Kak Ony sendiri menganut 
berbagai macam agama. Dari kasus ini, aku melihat bahwa Sabah, seperti bagian 
planet kecil kita ini di mana pun pada dasarnya, adalah suatu masyarakat 
majemuk.Hanya saja jika mengamati karya-karya sastra Sabah terakhir terasa 
bahwa nilai dominan sangat terasa nilai-nilai ke-islaman, yang mungkin 
merupakan agama terbesar di negara bagian Malaysia itu.Aku tidak tahu apakah 
perkembangan ini, ada kaitannya dengan perkembangan, terutama perkembangan 
politik, yang terjadi di Malaysia atau Semenanjung Malaya di mana Kuala Lumpur 
sebagai ibukota terdapat dan ingin mendominasi negara-negara bagian secara 
terbuka atau tertutup.Tapi kukira, tentu bukanlah kebetulan.

Perkembangan nilai, terutama nilai dominan ini tercermin dari puisi Kathirina:


KAU PERNAH BERKATA

Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan!!!
Jangan singkirkan angan yang indah itu
Tanpanya kau tidak punya harapan
Jangan
Putus harapan sebelum bertarung bermatian
Jangan murahkan harga diri
Karena kau wanita istimewa.
Mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan malu mengaku alpamu
Kita kuat dari pengalaman itu
Dan mamaku sayang
Kau pernah berkata
Jangan sesalkan kekurangan ini
Karena kemampuanmu hanya sampai disini.
Mamaku sayang
Ulang tahun ketiga belas kepergianmu
Aku masih disini
Masih alpa dan sesal
Kenapa aku tidak setabah itu.


Dari puisi ini, terbaca padaku perbedaan nilai antara alm.ibu Kathirina dan 
Kathirina sendiri yang dalam enam puisinya terdahulu menyerah pada "takdir", 
sedangkan sang ibu berpesan kepada puterinya untuk "bertarung bermatian" dahulu 
demi membela dan memenangkan "harapan". Bagi alm. ibu Kathirina, perempuan 
adalah seorang manusia dengan harga diri dan martabat yang setara dengan 
lelaki, sebagaimana terdapat pada konsep Dayak "rengan tingang nyanak jata" 
[anak enggang dan putera-puteri naga]. Sedangkan Kathirina sendiri mengakui 
dalam puisinya di atas "masih alpa" pada nilai "rengan tingang nyanak jata" ini 
yang menimbulkan "sesal" padanya. 

Masalah nilai dominan ini juga telah disentah oleh Rem, penulis Dayak Sabah 
lainnya yang sekarang sedang menyelesaikan program Ph.D-nya di Norwich dalam 
bidang sain, ketika ia membaca puisi-puisi Sabah sekarang.Nilai dominan, 
kukira, mempunayi arti menentukan bagi perkembangan masyarakat selanjutnya dan 
keadaan masyarakat pada suatu periode. Dan sanjak-sanjak Kathirina mencerminkan 
dengan hal ini demikian.Melalui sanjak-sanjak Kathirina, aku melihat pola pikir 
dan mentalitas dua generasi, yaitu generasi sang ibu dan generasi si anak yang 
hidup di Sabah hari ini, masyarakat yang nampaknya tidak lain dari masyarakat 
maskulin dengan maskulinisme.Maskulinisme bukanlah konsep "rengan tingang 
nyanak jata" manusia Dayak. Agaknya nilai-nilai kedayakan yang tanggap zaman, 
jika mencermati karya-karya Kathirina sudah memudar .Benarkah demikian? Tentu 
kawan-kawan sastrawan Sabah yang bisa menjawabnya sebagaimana bagaimana mereka 
menjawab soal kemajemukan dan menilai budaya Dayak di Sabah
 , maskulinisme atau Arabisasi bahasa seperti yang disinggung oleh esais, Rem 
[lihat: Lampiran].Hanya saja dari esai Rem dan Kathirina, aku serba sedikit 
membaca perkembangan ide dan kebudayaan di Sabah bahkan Malaysia secara 
keseluruhan.Sanjak sebagai bagian dari bangunan atas tidak terlepas dari 
bangunan bawah atau bangunan dasar dan keadaan sosial. Apalagi Kathirina 
agaknya menaruh perhatian pada banyak masalah kemasyarakatan seperti pada 
puisinya di bawah ini yang pada 17 November oleh milis matabambu:

JANGAN,TUAN!JANGAN!
 
Jangan lihat mereka seperti anjing, Tuan
Mereka juga manusia seperti kau dan aku
Ada perasaan.
Tahu rasa sakit.
Tahu rasa lapar dahaga
Menerti apa itu penghinaan
Dan punya maruah diri.
Jangan layan mereka seperti anjing, Tuan
Kita ada undang undang
Kita kaya budi bicara
Kita masyarakat yang penyayang
Adili mereka seperti mengikut perlembagaan
Bukan mengikut perasaa kita.
Jangan kasari mereka, Tuan
Mereka itu seperti abang daan adik kita
Seperti ayah dan ibu kita
Seperti saudara mara kita
Tidakkah simpati melihat darah daging kita dibuat begitu?
Jangan Tuan...
Mereka datang kerana nama mencari rezeki
Meninggalkan kampung halaman
Mengharungi berbagai derita 
Cuba membina hidup baru
Segala kerana keterpaksaan
Kerana mau memcari erti kehidupan
Erti kebahagian
Sehingga lupa kita ada undang undang.
Tapi Tuan..
Jangan layan mereka seperti anjing
Mereka punya rasa malu dan sesal
Punya rasa marah dan terhina
Jangan biarkan mereka terbakar begini
Kita tunjukkan pada mereka
Negara kita berdaulat
Punya perlembagaan yang adil
Mahukan rakyat yang berwawasan
Inginkan keamanan dan sepakatan
Bukan inginkan persengkataan
Bukan mencari permusuhan
Adili mereka dengan saksama, Tuan.




Mengatal, Kota Kinabalu
November 2005.


Perhatian Kathirina tidak sebatas lingkup dirinya sendiri dan masalah-masalah 
psikhologis manusia, hal-hal yang filosofis, tapi juga menyasar ke masalah 
sosial dan politik.Kukira hal begini membayangkan betapa sebagai penyair, 
Kathirina sedang menerjuni samudra kehidupan yang tidak pernah ramah, sebagai 
seorang penyair, penyair yang sesungguhnya dengan tanggungjawab sastranya.Sikap 
dan perhatian begini kukira memang padan dengan posisi seorang sastrawan 
sebagai warga "republik berdaulat sastra-seni" yang ditandai oleh kebebasan 
mencari dan berpikir. Bagiku, seorang sastrawan, termasuk penyair adalah 
seorang "free thinker", yang dalam kembara pencariannya tak mengenal hutan tabu 
dan rambu.

Dengan membeberkan keadaan masayarakat Sabah melalui puisi-puisinya, kukira, 
ini pun adalah salah satu jasa Kathirina bagi Sabah dan kemanusiaan, betapapun 
kecil, misalnya, dan mungkin tidak terbaca orang di Sabah. Tapi Kathirina 
menolak diam. Ia memprotes ketidakadilan dengan caranya sendiri, cara 
pemberontakan seorang penyair.***


Paris, Nopember 2005.
------------------
JJ. Kusni
 
 
 

Lampiran:


To: KEMSAS@xxxxxxxxxxxxxxx 
From: "Rem" Date: Fri, 11 Nov
2005 12:24:51 -0000 
Subject: [KEMSAS] Bid'ah Linguistik Dalam Puisi-Puisi Islam Karya Penyair Sabah 

Saya amat tertarik dengan gagasan bid'ah linguistik Ainon. Bahasa dan budaya 
feudal (yang sebegini) sebenarnya turut mengongkong genre penulisan puisi-puisi 
Islam di Malaysia (termasuk Sabah tentunya!). Saya katakan Malaysia, kerana 
gaya feudal yang serupa telah lama dirobohkan di Indonesia. Sebab itu, membaca 
karya penyair-penyair Islam negara seberang itu jauh lebih mempesona.Ekspresi 
mereka lebih mesra dan membujuk justeru laras bahasanya bersifatsangat marhain. 
Bukan tebal dengan elemen feudalisme.

Apa masalah puisi-puisi Islam di Malaysia? Yang paling ketara, penggunaan 
bahasa-bahasa jargon Arab yang sangat berlebihan. Dalam sebuah puisi pendek 
pun, sering ditemui lambakan-lambakan kosakata yang diadaptasi daripada Bahasa 
Arab. Kalau diguna perkataan yang biasa-biasa (contohnya - hayat, maut, 
syahadah,syafaat, etc), tak mengapa lagi. Tapi bila diheret segala macam 
istilah-istilah bombastik (yang jarang atau tidak pernah dipakai dalam konteks 
konvensional), maka tertonjollah ciri-ciri ego feudalisme. Seolah-olah gaya 
linguistik yang "begitu" adalah tuntutan wajib dalam penulisan puisi-puisi 
Islam. Padahal ia sebetulnya hanya satu `fesyen mengada-ngada' yang sengaja 
dicipta oleh golongan penyair yang gila bayang dalam tempurung kepenyairan 
mereka. Seperti juga tamsilnya para pemidato dulu-dulu yang menganut 
kepercayaan bahawa `fesyen pidato yang betul' harus disertai dengan intonasi 
suara berlagu-lagu dan nada vokal yang tinggi-tinggi (seperti penjual ubat seks 
di siring
 -siring kakilima). Mujurlah mazhab kuno ini sudah semakin tidak relevan dalam 
konteks seni pidato/debat di Malaysia, mahupun di Sabah secara khusus. 
Persoalannya, bilakah dan siapakah yang mahu merobohkan mazhab kuno (yang sarat 
dengan jargon Arab)yang begitu bangga diamalkan oleh penulis-penulis puisi 
Islam Malaysia?

Saya sudah lama tertanya-tanya, kenapa penyair-penyair Malaysia (atau boleh 
saya khususkan sebagai `Sabah'?) rata-ratanya amat tekal berpegang pada dogma 
begini? Adakah nilai rohaniah sesebuah puisi (sama ada Islam atau tidak!) 
ditentukan secara signfikan oleh laras linguistik semata-mata? Tidakkah pilihan 
mesej, gaya olahan idea dan struktur aliran plot itu lebih penting untuk 
menzahirkan jiwa Islamnya? Tak payah mabuk sakan nak guna istilah Arab sampai 
bertele-tele pun. Gunalah bahasa yang biasa-biasa dan mudah-mudah. Yang penting 
nilai-nilai keislaman itu dapat diangkat dengan jelas dan meyakinkan.

Apa tanggungjawab utama puisi-puisi Islam? Tentunya sebagai satu bentuk syiar 
dan dakwah, kan? (Bukan saja kepada orang Islam sendiri, bahkan untuk orang 
bukan Islam) Tapi kalau ia dipersembahkan dalam bentuk `bahasa bourgeois Arab', 
bagaimana mesejnya boleh sampai kepada kaum marhain (yang majoritinya telah 
dibiasakan dengan bahasa Melayu konvensional)? Saya sendiri pun tidak berselera 
membaca puisi Islam (karya tempatan) yang kebanyakannya sangat tinggi ego 
feudalnya - khususnya dari segi `kebombastikan' laras bahasa. Kesan bacanya 
amat membosankan dan mengelirukan. Itu saya -yang yang sekurang-kurangnya ada 
sedikit sebanyak latarbelakang nahu bahasa Arab. Pun masih tetap gagal 
mengapresiasi gaya tulisan ala-ala jargon Arab yang begitu. 

Bagaimana pula dengan orang-orang lain yang langsung tidak pernah ada 
pengalaman berjinak dengan seni linguistik Bahasa Arab? (Atau, orang bukan 
Islam?) Tentunya mereka simpan rasa `sakit' dan `menyampah' (lebih daripada apa 
yang saya sendiri rasai!) bila membaca karya-karya yang kompleks begitu. Jadi, 
siapa sebenarnya sasaran pembaca karya-karya puisi Islam yang jargon ini? 
Mungkin hanya para penyair yang syok sendiri itu. Barangkali mereka 
bersekongkol sesama mereka: 

kau baca karyaku, aku baca karyamu. Pendek kata, syiar dan dakwah ini hanya 
eksklusif untuk satu lingkungan yang kecil.Bukan untuk orang awam secara 
meluas. Natijah akhirnya apa? Dalam dunia kepenyairan puisi-puisi Islam, 
terbentuklah satu kasta feudal (yang hanya dianggotai oleh kelompok terpilih) - 
dan kasta feudal itu ditunjangi oleh mekanisme bahasa-bahasa jargon Arab. 
Inilah salah satu punca kegagalan kepada konsep `memasyarakatkan sastera'. 
Macam mana nak uja proses`pemasyarakatan' itu kalau pendekatannya berasaskan 
gaya feudal?

Kadang-kadang saya terfikir juga. Para penyair yang gemar sangat menyelitkan 
segala macam istilah Arab ini - adakah mereka mempunyai kefahaman asas tentang 
sistem linguistik Bahasa Arab? Tak payah nak faham yang dalam-dalam. Cukuplah 
kalau tahu konsepasas `isim' (katanama) dan `fi'il' (katakerja). Juga tahu ala 
kadar perbezaan antara kosakata gender maskulin (muzak'kar) dan feminin 
(muan'nas). Kalau kurang faham, lebih baik jangan mengada-ngada mahu mengangkut 
segala macam istilah Arab untuk diterapkan dalam puisi-puisi (yang kononnya!) 
berjiwa Islam. Kenapa? Sebab kalau kefahaman kita pada 
nahu Bahasa Arab itu dangkal, dan ilmu tatabahasa Melayu pula tidak sedalam 
mana - maka, pemindahan transilasi ungkapan (daripada Arab kepada Melayu) 
kadangkala boleh jadi porak peranda.

Kita sudah ada banyak istilah lazim dalam Bahasa Melayu yang mempunyai konotasi 
keagamaan atau ada `darah keturunan' Arab (contohnya: zikir, solat, munajat, 
doa, sirah, takdir,dsb). Pakai sajalah mana-mana yang sudah di-KAMUS-kan secara 
rasmi, dan telah mesra sebati dengan rakyat marhain. Kenapa masih timbul 
kegatalan mahu mencipta istilah yang bukan-bukan? Bukankah Islam itu fitrahnya 
indah dan mudah? Jadi, kenapa pula puisi-puisi Islam mesti disusah-susahkan 
(hingga menjadi hodoh)?

PS: Saya sebetulnya mahu memetik beberapa contoh puisi. Tapi saya fikir 
pandangan peribadi saya ini lebih bagus diletak dalam konteks umum. Tidak mahu 
mengguris hati sesiapa secara tersurat.

--- In KEMSAS@xxxxxxxxxxxxxxx, Hasyuda Abadi
wrote:

Bid'ah Linguistik

Dipetik daripada: http://ainonmohd.blogspot.com/


Salah satu masalah yang menyebabkan buku-buku agama Islam susah dibaca oleh 
mereka yang hendak belajar sendiri tentang Islam adalah unsur 'bid'ah bahasa' 
yakni kelaziman pada penggunaan peraturan bahasa feudal dalam buku-buku agama. 
 
Dalam tradisi bahasa Melayu, raja-raja menggunakan bahasa istana, yang 
berlainan sedikit dengan bahasa Melayu rakyat biasa. Sebagai contoh, raja 
'bertitah' manakala rakyat 'bercakap'.
 
Ustaz-ustaz Malaysia mencipta peraturan feudal untuk bahasa Nabi Muhammad dan 
Allah. Jadi Allah 'berfirman' manakala Nabi Muhammad 'bersabda'.
 
Alasan mereka adalah bagi memuliakan Allah dan Nabi Muhammad. Atas alasan itu 
kataganti nama feudal 'baginda' (yang bermakna 'dia') dikenakan kepada Nabi 
Muhammad. Namun bagi Allah,ustaz-ustaz Malysia tetap menggunakan 'dia'.
 
Dalam Quran, 'qa-la' (berkata) digunakan untuk Allah, Nabi Muhammd dan sesiapa 
sahaja, termasuk syaitan!
 
Bahasa feudal bukan bahasa Quran. Nabi Muhammad bukan raja. Sistem feudal tidak 
selaras dengan sistem politik Islam. 
 
Perkataan 'sabda' adalah dipinjam daripada bahasa Sanskrit, bahasa kitab-kitab 
agama Hindu. Perkataan 'firman' datang dari bahasa Parsi, itulah sebabnya 
perkataan itu tidak ada dalam Quran.
 
Suatu hal yang menarik, di negara Brunei yang masih amat feudal itu, perkataan 
'bersabda' digunakan oleh mufti dan menteri agama negara itu.***

[Bersambung...]



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose.org helps at-risk students succeed. Fund a student project today!
http://us.click.yahoo.com/LeSULA/FpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] catatan sastra seorang awam [6]: membaca puisi-puisi kathirina susanna penyair kota kinibalu, sabah