** Mailing List Nasional Indonesia PPI India Forum ** http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/pertambangan/2005/0401/tam1.html Tren Migas Indonesia Antara Prospek "Offshore" dan Mengais-ngais Minyak JAKARTA - Konflik Blok Ambalat yang diperebutkan Indonesia-Malaysia terkait dengan dugaan besarnya potensi migas (minyak mentah dan gas bumi) di wilayah itu sesungguhnya bisa dijelaskan oleh dua fakta berikut. Pertama adalah data yang dikeluarkan oleh Mackay Consultants, konsultan migas internasional. Di situ dipaparkan produksi migas dan dana yang dikucurkan (expenditure) untuk aktivitas eksplorasi, pengembangan, dan produksi lepas pantai (offshore) dari sejumlah negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia dan Malaysia. Jangan terkejut bila kita semua harus akui Indonesia kalah jauh dari Malaysia di bidang offshore. Pada tahun 2002 misalnya, realisasi produksi minyak mentah Indonesia dari offshore hanya sebesar 26,7 juta ton sedangkan gas bumi sebesar 13 miliar kubik. Untuk tahun yang sama, Malaysia sudah memproduksi minyak mentah sebesar 37 juta ton dan 47,9 miliar kubik. Kesenjangan Indonesia dibandingkan Malaysia bahkan lebih jomplang di tahun 2004. Produksi offshore kita praktis jalan di tempat dengan produksi minyak mentah sebesar 27,8 juta ton sementara Malaysia melonjak menjadi 43,1 juta ton, sedangkan untuk gas bumi Indonesia 14 miliar kubik sementara negara jiran itu menjadi 60,6 miliar kubik. Hingga tahun 2008 mendatang, Mackay Consultants memprediksi produksi minyak mentah Indonesia meningkat menjadi 38,8 juta ton sedangkan Malaysia 52,6 juta ton, dan untuk gas bumi Indonesia diperkirakan meningkatkan produksinya hingga 46,8 miliar kubik tetapi Malaysia semakin jauh di depan dengan angka 81,3 miliar kubik. Dalam hitungan duit yang dikucurkan (expenditure) untuk offshore, Indonesia juga kalah telak. Pada tahun 2002, Malaysia menghabiskan dana dua kali lipat dari Indonesia, yakni sebesar US$ 2,885 miliar berbanding Indonesia yang besarnya US$ 1,43 miliar. Begitupun tahun 2004, Malaysia menggelontorkan US$ 3,25 miliar sementara Indonesia US$ 1,66 miliar. Dan hingga 2008 sekalipun, Malaysia lebih unggul dengan kucuran dana US$ 4,035 miliar dibandingkan Indonesia yang besarnya US$ 3,015 miliar. Kesimpulan yang bisa kita tarik adalah Malaysia jauh lebih agresif baik dalam dana maupun usaha yang dilakukan di sektor offshore. Seperti dikemukakan oleh pengamat industri migas Dirgo Purbo maupun General Manager Pertamina DOH (Daerah Operasi Hulu) Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam Ridwan Nyak Baik, offshore padahal adalah masa depan migas Indonesia. "Boleh dikata untuk onshore (pengeboran di daratan) sulit mendapatkan ladang minyak yang besar (big fish). Tengok saja, dalam beberapa tahun terakhir sumber migas yang besar-besar didapatkan di offshore. Jadi, offshore adalah masa depan kita dan karenanya Pemerintah harus mulai memfokuskan diri kesana," ujar Ridwan kepada SH beberapa waktu lalu saat kunjungan ke wilayah kerjanya di Aceh Timur. Terus Turun Fakta kedua yang tidak kalah penting adalah kenyataan bahwa perusahaan asing sekaliber Shell sama sekali memandang sebelah mata terhadap Indonesia! Ini dibuktikan dengan pernyataan resmi dari Shell bahwa perusahaan itu akan menginvestasikan dana sebesar kurang lebih US$ 45 miliar untuk tiga tahun ke depan di kawasan Asia Pasifik, tetapi tidak memasukkan Indonesia sebagai negara tujuan investasinya. Dominique Gardy, CEO Royal Dutch Shell Group untuk produksi dan eksplorasi wilayah Asia Pasifik, menegaskan investasi itu meliputi negara-negara Brunei, Rusia, Selandia Baru, Australia, Cina dan Malaysia. Indonesia? Tidak masuk hitungan! Salah satu target investasi Shell di Malaysia adalah wilayah yang kini disengketakan dan diklaim ditemukan cadangan besar oleh Shell-Petronas Carigali-ConocoPhillips di tahun 2004. Strategi yang dilakukan Shell itu tidak lepas dari strategi mendapatkan bagian dari besarnya kontribusi Asia Pasifik terhadap industri migas offshore. Di tahun 2003, setelah Laut Utara dan Teluk Meksiko, wilayah Asia Pasifik menyumbang 13,6 persen produksi minyak mentah dunia, 21,6 persen produksi gas bumi di dunia dan sebesar 16,3 persen total expenditure di offshore. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Yang terjadi saat ini adalah produksi minyak mentah yang terus menurun (declining). Meski pemerintah masih berkelit dan belum mau mengakui tren penurunan produksi minyak nasional, namun faktanya selama beberapa tahun terakhir belum ada lagi penemuan cadangan minyak baru yang besar pasca lapangan Minas dan Duri yang dikelola PT Caltex. Produksi minyak mentah nasional untuk tahun 2004 rata-rata di bawah satu juta barel per hari, masih di bawah asumsi APBN yang besarnya kala itu 1,3 juta barel per hari, apalagi kini di tahun 2005, sumur-sumur yang rata-rata sudah berumur akan semakin sulit digenjot produksinya. Mengais Menarik mencermati strategi apa yang dilakukan Pertamina di tengah situasi harga minyak mentah dunia yang melambung saat ini. General Manager DOH Sumut-NAD PT Pertamina (Persero) Ridwan Nyak Baik dengan rendah hati mengatakan, yang dilakukan pihaknya saat ini tidak lain adalah "mengais-ngais" minyak dari sumur-sumur tua yang masih mungkin diproduksi. Ungkapan yang mungkin bagi sebagian orang berkonotasi rendah atau negatif, tetapi bagi Pertamina, tegas Ridwan, sejauh itu menguntungkan, apapun akan dilakukan. "Mau tidak mau itulah yang kita kerjakan saat ini. Mumpung harga minyak mentah lagi tinggi-tingginya, sumur yang tadinya ditutup karena produksi menurun kita genjot kembali (re-entry). Lumayan, bisa meningkatkan produksi migas dari DOH ini," katanya. Ia bercerita, ketika ia pertama kali memegang kendali disana, DOH Sumut-NAD hanya memproduksi kurang dari 3.700 barel per hari. Namun, dengan metode ESP (Electrical Submersible Pump), produksi minyak mentah bisa ditingkatkan. Langkah "mengais-ngais" itu dalam hitung-hitungan Pertamina cukup dirasakan menguntungkan. Sebabnya, untuk setiap barel minyak mentah biaya produksinya berkisar US$ 12-15. Jadi dengan harga mentah Indonesia yang berkisar US$ 28-30 per barel saat ini, Pertamina masih mendapatkan untung yang lumayan besar. Tak heran, meski dari satu sumur produksinya terhitung kecil, padahal sumur yang harus dikelola ratusan sumur, namun apapun dilakukan. Biaya Pemulihan Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Peribahasa itu tidaklah tepat jika dijadikan argumen untuk Pertamina melakukan langkah "mengais-ngais" minyak dari perut bumi. Selain masa produksi yang cenderung tidak lama, itu sama saja dengan menguras sumber daya dan pikiran untuk hal-hal kecil. Jelas melelahkan. Pencarian big fish atau ladang minyak dengan potensi besar tentu harus dilakukan. Dan Ridwan mengakui, offshore adalah alternatif berikut setelah onshore tidak lagi ekonomis secara jangka panjang. "Persoalannya, pengeboran offshore butuh biaya yang sangat besar, apalagi kita (Pertamina) belum banyak pengalaman melakukan pengeboran lepas pantai. Tetapi mau tidak mau kita akan menuju ke arah sana nantinya," papar Ridwan. Tampaknya, Pertamina atau pemerintah harus sudah melirik dan fokus di offshore. Dengan produksi minyak mentah nasional yang terus berkurang ditambah dengan kecenderungan harga minyak mentah yang akan terus tinggi, misi pencarian cadangan minyak baru harus dilakukan. Rasanya, persoalan dana bisa dicarikan solusinya dengan menggandeng perbankan nasional. Tentu saja dengan studi geologis yang lebih canggih, risiko kegagalan eksplorasi bisa direduksi. Janganlah terlalu menyerahkan diri pada kontraktor asing atau PSC (Production Sharing Contract). Pasalnya, negara justru dua kali dikerjai. Pertama, kebijakan cost recovery yakni semua biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor nantinya dibayarkan dari hasil produksi migas. Ini membuka ruang bagi kontraktor menggelembungkan biaya dan menagih biaya yang tidak sepantasnya ditagih. Ingat, kasus ExxonMobil yang memasukkan biaya akuisisi terhadap PT Ustraindo ke dalam cost recovery, alias memperbesar kepemilikan perusahaan tanpa perlu keluar uang sepeserpun. Kedua, PSC atau kontraktor tidak diharuskan menyetorkan bagian produksi untuk kepentingan nasional dan bebas mengekspor migas yang diproduksi. Ketentuan dalam UU Migas No.22/2001 inilah yang dinilai membahayakan pasokan migas nasional sehingga Mahkamah Konstitusi (MK) mengandemen pasal dalam UU Migas tersebut. (SH/rudy victor sinaga) Copyright © Sinar Harapan 2003 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Website resmi http://www.ppi-india.uni.cc **