[nasional_list] [ppiindia] Terorisme sebagai Soft Issues

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sat, 26 Nov 2005 11:44:20 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=199310
Sabtu, 26 Nov 2005,



Terorisme sebagai Soft Issues
Oleh Ali Maschan Moesa *


Peter L. Berger melukiskan manusia modern saat ini mengalami anomie, yaitu 
keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan 
perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga 
menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang arti dan 
tujuan kehidupan di dunia ini. 

Daniel Bell juga telah lama menyuarakan kegelisahan dan penyesalan atas 
modernisasi yang telah mencerabut serta melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan 
tradisional yang digantikan nilai-nilai kemodernan yang penuh keserakahan dan 
seribu satu nafsu untuk menghancurkan sesama umat manusia (violence behavior).

Dengan demikian, violence merupakan suatu keadaan dan sifat yang menghancurkan 
kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan mulia menjadi 
terperosok pada sifat-sifat kebinatangan. Tindakan merusak, menekan, memeras, 
memerkosa, meneror, mencuri, melukai, membunuh, dan memusnahkan merupakan 
tindakan yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk 
Tuhan. 

Lebih-lebih jika kekerasan-kekerasan yang menghancurkan itu dilakukan secara 
sadar, sistematis, dan menghalalkan segala cara atau the end justifies the mean 
sebagaimana prinsip politik Machiavelli. Sehingga makin merosotkan derajat 
kemanusiaan ke titik paling terendah. Manusia terperosok ke dalam asfala 
safilin, suatu tempat terhina yang serendah-rendahnya, setelah sebelumnya 
berada di puncak kemuliaan dalam maqom ahsana-taqwim atau tempat yang paling 
mulia.

Walhasil, jika abad ke-19 dikenal sebagai "abad ideologi" (the age of 
ideology); abad ke-20 dipandang sebagai "akhir ideologi" (the end of ideology) 
lewat sosiolog Daniel Bell, atau malah "akhir sejarah" (the end of history) 
dari Francis Fukuyama, bahkan "akhir alam semesta" (the end of nature) dari 
Paul Mackiben. Ternyata, pada abad ke-21 ini, secara empiris, manusia berada 
pada "abad kekerasan" (the age of violence).

Kekerasan
Pada dasarnya, terorisme adalah kekerasan (violence), yaitu suatu sifat atau 
keadaan yang mengandung kekuatan, tekanan, dan paksaan. Kekerasan terkait 
dengan paksaan, yang berarti tekanan yang keras. Kekerasan juga sering 
dikaitkan dengan tindakan perkosaan, yakni suatu tindakan menundukkan dengan 
paksaan dan kekerasan. Dimensi kekerasan bukan hanya fisik, tetapi juga 
psikologis.

Dalam konteks inilah, Johan Galtung, penulis Violence, Peace and Peace 
Research, menyatakan bahwa penghancuran juga bisa dianggap sebagai kekerasan 
psikologis. Paksaan juga bukan sekadar memiliki sasaran pada individu, tetapi 
juga kelompok dan masyarakat, yang sering disebut kekerasan individual dan 
sosial atau struktural.

Lebih lanjut, terorisme termasuk term yang sulit didefinisikan karena istilah 
tersebut sering dipakai untuk merujuk tindakan kekerasan umum yang dilakukan 
musuh politik. Terorisme adalah sebutan yang lebih tepat untuk memukul lawan 
politik. Karena itu, ada persoalan yang lebih besar dalam penggolongan tindak 
kekerasan yang dijalankan dalam batas-batas sebuah negara (violence state). 
Tindak kekerasan yang ilegal tersebut mungkin saja absah (legitimate), 
khususnya bila penguasa negara menindas keras perbedaan pendapat dan bila 
tindakan ilegal tersebut tidak diarahkan pada orang-orang yang dilindungi.

Dalam Ensiklopedi Oxford disebutkan, penggunaan kekerasan untuk tujuan secara 
sengaja dan acak terhadap kelompok yang dilindungi merupakan terorisme. Ini 
adalah definisi fungsional dan tidak mengundang polemik, yang bersifat ringkas 
dan universal. Sedangkan pelakunya bisa negara, agen negara, atau perorangan 
yang bertindak sendiri.

Berikut ini diajukan beberapa pemikiran yang bisa dijadikan pertimbangan untuk 
menuntaskan tindakan terorisme yang masih sangat mungkin dilakukan para 
pengikut Azhari yang sudah tewas beberapa hari lalu.

Catatan
Pertama, upaya menentang terorisme tak ubahnya berperang melawan kelompok 
gerilyawan dengan lawan dan strategi yang tidak jelas. Aktivitas yang dilakukan 
dari keduanya mengarah pada hal yang sama, yaitu pencapaian tujuan politik. 
Kata teroris dan terorisme kemudian hadir tak lebih sebagai simplikasi agar 
terdapat objek yang diperangi dalam menentang kejahatan terhadap kemanusiaan 
ini.

Kedua, teror adalah kekerasan, dan kekerasan muncul dari adanya konflik. 
Konflik yang sering terjadi di muka bumi baik yang vertikal maupun horizontal 
pada dasarnya berakar pada dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan, yaitu 
bagaimana lingkungan yang tidak kondusif membuat manusia secara emosional 
tertekan sehingga membuatnya frustrasi pada keadaan. 

Apabila hal tersebut didiamkan, akan muncul impuls yang positif terhadap 
pemberontakan diri berupa tindakan kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme. 
Aspek kedua adalah persoalan dalam diri manusia sendiri. Para psikoanalisis 
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki insting yang dinamakan insting 
kematian. Artinya, setiap individu memiliki jiwa untuk melakukan tindakan 
kekerasan (teror) terhadap orang lain.

Ketiga, agama tidak hanya memainkan peranan dalam menciptakan integrasi dan 
harmoni sosial, tetapi ia juga bisa menjadi faktor konflik dalam masyarakat 
yang mengarah pada tindakan terorisme. Analisis tersebut perlu diterangkan 
dalam konteks agama hanya sebagai simbol (gincu dan bukan garam) yang terkait 
dalam proses interaksi struktur sosial masyarakat. Lebih kompleks lagi jika 
konflik tersebut akibat tarik-menarik antara kepentingan ekonomi dan politik. 

Bahkan, para pengikut Weberian menggambarkan keterkaitan saling-silang itu 
dengan melontarkan sebuah asumsi bahwa pada dasarnya agama adalah kepentingan 
ekonomi, pada dasarnya ekonomi adalah kepentingan politik, dan pada dasarnya 
politik adalah demi kepentingan agama (religion is really economics, economics 
is really politics, politics is really religion).

Lebih lanjut, secara empiris, persentuhan antara agama dan politik selalu 
menimbulkan kecenderungan ekstrem yang berdalih keagamaan. Pertama, berupa 
subordinasi umat beragama atau bahkan agama kepada kepentingan kekuasaan yang 
mapan. Dan kedua, memunculkan radikalisasi politik atas nama agama, bahkan 
orang membunuh lawan politiknya atas nama Tuhan. Dengan demikian, nilai-nilai 
luhur agama menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan arogansi kekuasaan 
atau sebaliknya anarki dan kekerasan (teror) atas nama agama.

Keempat, berakhirnya perang dingin telah membawa konsekuensi pada perubahan 
ancaman atas keamanan internasional. Berbeda dengan periode perang dingin 
(militer/hard issues), pada periode pascaperang dingin saat ini, ancaman 
keamanan internasional bersumber dari masalah-masalah nonmiliter (soft issues). 

Dalam dasawarsa sekarang, konflik skala rendah, terorisme internasional, 
terganggunya keamanan ekonomi, dan sosial akibat kian terbatasnya SDA (sumber 
daya alam) dan degradasi lingkungan ternyata telah menjadi isu-isu yang 
mengancam keamanan internasional.

Akhirnya, umat beragama perlu mendefinisikan kembali makna beragama. Pada 
dasarnya, terdapat dua model beragama, yaitu yang ekstrinsik dan yang 
intrinsik. Beragama model ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk 
dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. 
Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. 
Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain seperti kebutuhan status, rasa 
aman, atau harga diri. 

Orang yang beragama dengan cara ini melaksanakan bentuk-bentuk luar agama. 
Sebagai muslim, misalnya, dia berpuasa, salat, naik haji, dan sebagainya, 
tetapi tidak di dalamnya. Cara beragama seperti ini berkaitan dengan penyakit 
mental, dan sudah barang tentu tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh 
kasih sayang. 

*. Ali Maschan Moesa, ketua PW NU Jatim

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Help save the life of a child. Support St. Jude Children's Research Hospital.
http://us.click.yahoo.com/cRr2eB/lbOLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Terorisme sebagai Soft Issues