[nasional_list] [ppiindia] Panglima TNI dan Persetujuan DPR

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 23 Jan 2006 23:35:36 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **REPUBLIKA
Senin, 23 Januari 2006



Panglima TNI dan Persetujuan DPR 
A Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ushuluddin & Filsafat, UIN Jakarta


Setelah hiruk pikuk pencalonan panglima TNI mulai mereda, gagasan menarik 
dilontarkan oleh Panglima TNI, Endriartono Sutarto, dan Menteri Pertahanan, 
Juwono Sudarsono. Keduanya mengusulkan perlunya revisi Undang-undang (UU) No 
34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya pasal 13 ayat 5 
terkait dengan perlunya persetujuan DPR dalam pengangkatan panglima TNI. 
Menurut keduanya, pengangkatan panglima TNI tidak perlu persetujuan DPR, tapi 
cukup meminta pertimbangan DPR. 

Usulan tersebut dilatarbelakangi oleh perdebatan yang selalu muncul menjelang 
pergantian panglima TNI. Perdebatan tersebut telah menyeret TNI menjadi 
komoditas politik. Selama UU tersebut tidak direvisi, maka pergantian panglima 
TNI akan selalu berpotensi mengundang perdebatan politis. Gagasan revisi UU TNI 
tersebut mendapat tanggapan tajam dari anggota DPR. Namun dari sekian 
tanggapan, alasan utama penolakan mereka lebih dilatarbelakangi oleh trauma 
historis berupa ketakutan-ketakutan atas tindakan TNI masa lalu yang menjadi 
'kuda troya' kekuasaan dan mengancam kebebasan sipil. 

Dengan mengedepankan ketakutan historis tersebut, berarti sipil tidak begitu 
yakin dengan agenda reformasinya sendiri yang secara tegas telah dirumuskan 
dalam bentuk undang-undang. Inilah problem kebangsaan kita saat ini di tengah 
upaya menegakkan supremasi sipil. Secara yuridis kita sudah menapaki ranah 
reformasi, tetapi secara budaya kita masih konservatif dan sering bersimpang 
jalan dengan aturan itu sendiri. Itulah realitas politik yang terjadi di 
republik sipil saat ini. Dari sini kita patut khawatir bahwa sipil hanya mampu 
melakukan politisisasi daripada serius menegakkan agenda reformasi.

Kalau problem utama penolakan terhadap rencana revisi UU TNI tersebut adalah 
trauma historis terhadap tindakan militer masa lalu, maka kita patut belajar 
dari cara TNI mengosongkan seluruh kesadarannya sebagai kelompok yang pernah 
mengendalikan kekuasaan yang telah diwarisinya sejak zaman kemerdekaan menjadi 
kelompok yang dikendalikan oleh sipil. Bagaimana dwifungsi yang telah 
mendarahdaging dan membeku dalam kesadaran TNI mampu dicairkan dalam waktu 
singkat seiring dengan tuntutan reformasi. Mereka mampu menepis postpower 
syndrome di tengah sipil yang bereuforia dengan kekuasaannya. Sementara sipil 
terus dihantui oleh sejarah kelam TNI yang disebabkan oleh politik kekuasaan 
masa lalu yang secara faktual mulai terbantahkan, TNI semakin mantap dengan 
agenda reformasinya.

Transformasi kesadaran
Sejak awal reformasi, beberapa langkah penting sudah diambil dalam rangka 
'mengandangkan' TNI dari sirkus politik. Bahkan, sejak awal reformasi, peran 
politik tentara telah berada pada titik terendah, terutama pada masa 
Abdurrahman Wahid yang secara radikal mereposisi dan merestrukturisasi lembaga 
tentara (TNI). Beberapa kebijakan penting dari 'pelumpuhan' hegemoni tentara 
adalah dihapuskannya Badan Koordinasi Ketahanan Nasional maupun daerah 
(Bakortanas dan Bakortanasda) yang selama Orde Baru menjadi lembaga mata-mata 
tentara dari pusat sampai daerah. 

Walaupun pada awalnya langkah reformasi tersebut mendapat resistensi, setahap 
demi setahap TNI mampu berbenah diri. Bahkan, kalau keterlibatan politik TNI 
diukur melalui keterlibatan mereka di lembaga legislatif, TNI jauh lebih cepat 
merealisasikan agenda reformasinya dibandingkan sipil. TNI yang sebenarnya 
masih memiliki kesempatan di legislatif sampai tahun 2009, justru keluar dari 
legislatif lebih awal dari rencana semula, yaitu sejak 2004. 

Lebih jauh, reformasi di tubuh TNI telah sampai pada proses internalisasi 
nilai-nilai kemanusiaan (HAM) yang tercantum dalam kurikulum pendidikan mereka. 
Ini merupakan perubahan yang sangat fundamental, karena TNI selama ini sering 
dianggap sebagai 'monster' yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran HAM 
masa lalu. Dalam kurikulum pendidikan mereka, masalah penghargaan terhadap 
nilai-nilai kemanusiaan lebih dikedepankan sebagai bagian dari reformasi 
internal TNI. 

Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa transformasi kesadaran di kalangan 
sipil berlangsung lamban dan cenderung konservatif dibandingkan dengan proses 
transformasi kesadaran yang dilakukan TNI. Bahkan lebih dari itu, transformasi 
kesadaran dalam tubuh TNI tersebut telah menjelma menjadi sikap pengakuan atas 
supremasi sipil. 

Supremasi sipil
Salah satu keberhasilan sipil dalam proses reformasi selama ini adalah 
kemampuannya membangun sebuah kerangka struktural bagi bangunan reformasi itu 
sendiri. Secara logika, dengan segala perangkat reformasi yang telah 
disusunnya, sipil seharusnya bisa menjadi kampiun reformasi. Namun kenyataan 
berbicara lain. Sipil masih sering memainkan TNI untuk meraih kepentingan 
politiknya.

Selain terlibat dalam perdebatan pergantian panglima TNI yang sebenarnya 
merupakan hak prerogatif presiden, sipil juga telah memancing TNI masuk ke 
ranah politik melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) yang lalu. Keterlibatan 
TNI dalam pilkada tidak sepenuhnya merupakan hasrat politik TNI, tetapi lebih 
disebabkan adanya celah secara yuridis dan faktual yang ditawarkan oleh kaum 
politisi. Sebenarnya, kalau sipil betul-betul hendak menegakkan supremasinya, 
maka konsistensi reformasi harus dijaga dan menutup rapat-rapat bagi 
kemungkinan keterlibatan TNI.

Dalam rangka itulah, maka segala aturan main yang memungkinkan celah politik 
hadir, harus ditutup rapat-rapat, termasuk dalam hal penentuan (persetujuan) 
terhadap calon panglima TNI. Kalau pengunduran TNI/Polri dari lembaga 
legislatif dianggap sebagai monumen terakhir keterlibatan TNI dalam ranah 
politik, maka sipil seharusnya bisa menjadikan revisi UU TNI dengan segala 
pertimbangannya sebagai akhir dari upaya politisisasi TNI. Lebih dari itu, 
seiring dengan mundurnya TNI dari ranah politik, maka seharusnya supremasi 
sipil bisa lebih ditegakkan melalui sikap dan budaya politik sipil yang dapat 
dipertanggungjawabkan. 

TNI, begitu juga kekuasaan, bukanlah wilayah yang bebas dari hasrat dan 
kepentingan. Tetapi dalam masyarakat yang demokratis dengan perangkat 
undang-undang yang cukup komprehensif, maka hasrat dan kepentingan tersebut 
bisa ditekan sedemikian rupa oleh pemegang kedaulatan, yaitu masyarakat sipil. 
Dan ini akan terwujud apabila sipil betul-betul mampu menegakkan supremasinya 
yang direpresentasikan oleh anggota DPR. Bahkan, secara ekstrem, dapat diyakini 
bahwa tanpa UU TNI pun, di tengah euforia dan heavy politics yang dimiliki DPR 
RI dan kesadaran politik yang semakin merekah di masyarakat, TNI tidak akan 
bisa bertindak melebihi wewenangnya.

Di sinilah tanggungjawab dan peran anggota DPR sebagai kontrol eksekutif harus 
dipertaruhkan. Yaitu kontrol yang kuat agar TNI tidak terjerumus dalam lubang 
kelam sejarah masa lalunya, apalagi terseret ke ranah politik karena ulah sipil 
sendiri. Di sini pula revisi UU TNI mendapatkan signifikansinya. Tanpa revisi, 
maka secara implisit UU tersebut masih menyisakan hasrat sipil untuk menyeret 
TNI dalam ranah politik praktis


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Panglima TNI dan Persetujuan DPR