> >Tadarrus Ramadan Jaringan Islam Liberal, 16 September 2008 > >Mengaji al-Islam wa Ushul al-Hukm > >Karya Ali Abd. Raziq (1888 â?? 1966) > > > >Ilusi Khilafah Islam > > >Perdebatan seputar institusionalisasi politik Islam melalui negara yang >mengemuka pada diskusi kedua Tadarrus Ramadan Jaringan Islam Liberal >menjadi tema utama pada diskusi yang ketiga ini. Diskusi ini menjadi >sangat menarik karena yang dibahas adalah teori Ali Abdul Raziq dalam buku >al-Islam wa Ushul al-Hukm mengenai negara Islam. Titik utama keterangan >Raziq adalah bahwa Nabi Muhammad tidak datang sebagai pemangku wahyu >politik yang oleh karenanya harus menyebarkan risalah negara Islam. >Sebagaimana rekan-rekannya sesama nabi, Nabi Muhammad hanyalah pembawa >risalah agama, tidak lebih dari itu. > > Luthfi Assyaukanie yang tampil sebagai pembicara pertama mengupas isi > dan latar belakang historis kelahiran buku yang sedang dikaji. Sementara > pembicara kedua, Ihsan Ali-Fauzi, mencoba melakukan teoretisasi terhadap > karya ini dan memberi konteks terhadap realitas dunia Islam masa kini. > >Al-Islam wa Ushul al-Hukm muncul di tengah perdebatan seputar wacana >khilafah menyusul dihapusnya khilafah oleh Mustafa Kemal Attaturk pada >tahun 1924. Banyak kalangan yang menilai bahwa kelahiran buku ini adalah >bentuk dukungan teologis semata kepada keputusan Attaturk membubarkan >institusi khilafah. > >Kedua tokoh sezaman ini kemudian memperoleh kecaman luar biasa dari >otoritas Islam di pelbagai dunia Islam. Beruntung bagi Attaturk karena ia >memegang kekuasaan politik. Sementara kecaman yang diterima oleh Raziq >dari otoritas dan masyarakat Islam Mesir membuat posisi-posisi sosialnya >dilepas satu persatu. Raziq yang awalnya adalah salah satu ulama >universitas al-Azhar dipecat dari jabatannya tersebut. > >Kelahiran buku ini sebetulnya berada pada situasi dunia Islam yang sedang >bergejolak. Tahun 1924, Mustafa Kemal Attaturk mengambil inisiatif >menghapuskan bentuk pemerintahan khilafah Turki, satu-satunya khilafah >Islam yang masih tersisa. Alasan utama Attaturk mengambil inisiatif adalah >bahwa bentuk negara khilafah adalah sistem pemerintahan kuno yang tidak >mampu memenuhi tantangan zaman, terutama karena Turki semakin terpuruk di >bawah sistem pemerintahan ini. Butuh inovasi baru yang lebih segar dan >modern, yaitu sekularisme. > >Penghapusan khilafah kemudian dengan cepat memperoleh reaksi dari para >pemimpin politik Islam dan terutama dari para ulama. Penghapusan ini >memberi angin segar kepada komunitas-komunitas politik di luar Turki yang >selama ini memang menunggu momen itu untuk mendeklarasikan diri sebagai >khalifah. Dua komunitas politik yang sangat bernafsu adalah Raja Mesir, >Fuad, dan Jazirah Arab. > >Sebelum buku ini terbit, seorang ulama Mesir terkemuka, Rasyid Ridha, >mempublikasikan sebuah tulisan di jurnal Al-Manar yang intinya memberi >dukungan terhadap khilafah. Ada sementara anggapan yang mengatakan bahwa >Raziq memberi jawaban balik terhadap artikel Ridha itu melalui buku >Al-Islam. Di sisi lain Raziq, melalui buku ini, sebetulnya juga melakukan >kritik terhadap nafsu penguasa Mesir untuk menjadi khalifah. Serangan pada >dua otoritas inilah yang kemudian menempatkan Raziq pada posisi yang >sangat berbahaya, yakni menghadapi otoritas agama dan politik sekaligus. > >Secara teretis, Raziq tampak meminjam paparan Ibn Khaldun mengenai >pembedaan antara khilafah dan kerajaan. Khilafah adalah rezim Qurâ??ani >yang beriorientasi ukhrawi. Di dalamnya adalah solidaritas sosial atau >ashabiyyah. Sementara kerajaan hanyalah sistem politik dengan orientasi >duniawi semata. Sistem politik bisa berubah dari kerajaan menjadi >khilafah, demikian pula sebaliknya, ditentukan oleh seberapa besar >solidaritas sosial terjalin untuk kepentingan ukhrawi. Belakangan ini, >menurut Ibn Khaldun, khilafah telah turun menjadi kerajaan karena >kurangnya solidaritas sosial yang beriorientasi ukhrawi. Akan tetapi >kerajaan bisa bangkit lagi menjadi khilafah jika politik pemerintahan >dapat diislamkan dan islamnya dapat dipolitikkan. > >Bagi Raziq, selamanya yang terjadi adalah politik kekuasaan. Tidak pernah >terjadi kekuasaan politik memiliki nuansa religius sekaligus. Di sini >Raziq berusaha membangun teori untuk menolak definisi khilafah yang >menyatakan bahwa khilafah adalah bentuk pemerintahan yang bersumber dari >ilahi dan disetujui oleh ummat. Pertama-tama Raziq menantang semua >pendukung khilafah untuk menunjukkan bukti doktrin Islam yang berbicara >mengenai bentuk pemerintahan. Menurut Raziq, tidak ada satupun nash >al-Qurâ??an yang menyatakan satu bentuk pemerintahan atau sistem politik >Islam. Yang ada hanyalah ungkapan-ungkapan mengenai posisi Muhammad >sebagai pembawa risalah. Raziq kemudian mengutip sejumlah dalil yang >menunjukkan bahwa Muhammad hanyalah pembawa risalah, dan tidak memiliki >otoritas untuk melakukan pemaksaan. Dengan tidak adanya paksaan, maka >sesungguhnya Muhammad tidak menunjukkan otoritas politik yang ada dalam >doktrin agama. Kekuatan pemaksa hanya milik otoritas politik dan bukan >otoritas agama. > >Raziq tidak memungkiri fakta mengenai terbentuknya komunitas politik, >namun semua itu hanyalah fenomena historis yang tidak diwajibkan oleh >syariah. Ketika Muhammad membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak >pernah mengemukakan satu bentuk pemerintahan politik standar yang harus >diikuti oleh para penerusnya kemudian. Apa yang disebut politik Islami >tidal lebih dari ijtihad politik para elit Islam sepeninggal Muhammad. >Tidak ada mekanisme politik standar yang berlaku bagi pemerintahan Abu >Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing terpilih melalui mekanisme >politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya bahkan menjadi >sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan berdasarkan garis >keturunan. > >Fakta ini memberi bukti bahwa Islam tidak pernah menetapkan khilafah >sebagai keharusan politik, bahkan ia tidak Islami sama sekali. Raziq menulis: > >â??Agama Islam terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, >dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan >kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang >urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata adalah rancangan politik murni yang >tak ada urusan sama sekali dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, >menolaknya, memerintahkannya, ataupun melarangnya. Tapi, ia adalah sesuatu >yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah >rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga, pendirian >lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara tak >ada kaitannya dengan agama. Tapi semua itu diserahkan pada akal dan >pengalaman manusia untuk memutuskan yang terbaik.â?? > >Untuk mendukung argumentasinya, Raziq menggunakan argumentasi historis dan >kutipan sumber-sumber doktrin Islam. Secara historis bentuk kekuasaan >politik dalam masyarakat Muslim terus berubah. Menurut Raziq, kekhalifahan >yang pernah ada dalam Islam bukanlah doktrin melainkan fenomena sejarah >semata. Pandangan ini kontan merisaukan sejumlah ulama. Rasyid Ridha >menyatakan bahwa pandangan Raziq ini akan sangat menyilitkan ummat Islam >yang sekarang terpecah-pecah dalam komunitas-komunitas politik >kolonialisme. Sekali lagi Raziq mengemukakan bahwa untuk urusan agama >sangat mungkin tercipta solidaritas Islam secara global, tapi adalah mimpi >untuk memikirkan solidaritas semacam itu untuk urusan politik. > >Raziq mengutip banyak sekali nash al-Qurâ??an untuk mendukung >argumentasinya. Ihsan Ali-Fauzi mengemukakan bahwa buku ini bisa jadi >sangat menjemukan karena hampir setiap argumen selalu didasarkan pada nash >al-Qurâ??an. Menurut Ihsan, ini juga cukup mengecewakan sebab Raziq adalah >sarjana politik lulusan Oxford, namun tidak terlalu menggunakan perangkat >teori politik modern untuk mendukung pendiriannya, Raziq malah kembali >masuk ke dalam cara berpikir Islam tradisional. Namun begitu, lanjutnya >Ihsan, ini sebetulnya adalah fenomena umum di kalangan masyarakat Islam. >â??Ilmu politik tidak pernah berkembang di dunia Islam,â?? ungkap Ihsan. > >Satu-satunya ayat al-Qurâ??an yang dianggap berbicara mengenai politik >adalah â??Yã ayyuha alladzîna ãmanû athîâ??û allah wa atîâ??û >al-rasûl wa ûlî al-amr mingkum..â?? dan â??Wa law raddûhu ilã >al-rasûli wa ilã ûlî al-amr minhum laâ??alimahu alladzîna >yastanbitûnahu minhum.â?? Menurut Raziq, para ulama telah melakukan >manipulasi ayat sehingga ulil amr menjadi istilah yang bermakna politik. >Padahal menurut al-Baydhawi itu adalah ungkapan untuk menyebut >sahabat-sahabat Nabi. Al-Zamakhsyari menyebut itu sekedar istilah untuk >menyebut ulama. > >Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa Raziq sesungguhnya adalah >peletak dasar konsep sekularisme di dunia Islam. Dalam bukunya Raziq >mengutip Hobbes dan Locke, namun pengaruh terbesarnya berasal dari Ibn >Khaldun. Meminjam istilah Leonard Binder, Ihsan menyebut liberalisme yang >dikembangkan Raziq adalah â??rejective alternatif,â?? karena masih >terobsesi dengan dasar-dasar liberalisme dalam Islam, yang tidak sesuai >dengan panggilan terdekat zamannya. Namun begitu, menurut Ihsan, hanya >Faraq Foudah yang berani melanjutkan pemikiran Raziq dengan menawarkan >pembacaan sejarah yang lebih kritis terhadap realitas kekuasaan di dunia >Islam sejak masa Khulafa al-Rasyidun. >Satu hal yang belum clear dari buku ini adalah pembedaan antara khilafah >(emperium) atau negara bangsa. Hanif dan M. Dawam Rahardjo mengemukakan >pertanyaan itu, apakah yang dibahas oleh Raziq adalah imperium atau >sekedar negara bangsa? Tampak bahwa Raziq tidak melakukan pembedaan secara >jelas mengenai dua bentuk komunitas politik tersebut. Jawaban sementara >yang barangkali kurang memuaskan adalah bahwa yang dikemukakan oleh Raziq >adalah semua bentuk komunitas politik. > >Saidiman >www.saidiman.wordpress.com [Non-text portions of this message have been removed]