[nasional_list] [ppiindia] Catatan Harian Seorang Mantan Presiden

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 29 Nov 2005 11:08:12 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.geocities.com/k2psi_lsm/artikel1.htm

Catatan Harian 

Seorang Mantan Presiden 

  

(Membongkar Dokumen Soeharto) 

  

Oleh Hafis Azhari 





1 

Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini. 

Sudah lama aku mempelajari buku-buku filsafat politik tentang cara-cara 
memimpin negeri. Aku hafal betul tentang apa yang ditulis oleh Machiavelli 
tentang teori-teori kepemimpinan serta cara-cara mengambil-alih kekuasaan. Aku 
sudah paham tentang tokoh-tokoh dalam filsafat Jawa, khususnya mengenai 
trik-trik Raja Kresna untuk menyelesaikan berbagai persoalan di muka bumi. Ya, 
dialah satu-satunya ahli strategi para Pandawa yang paling jitu. Figur 
reinkarnasi dari Wisnu yang identik dengan kebijaksanaan sejati. 

          Bagaimanapun aku harus mengarungi dunia dan tradisi Jawa yang sudah 
berjalan selama berabad-abad. Dunia pewayangan Jawa yang sangat kaya, dan 
begitu melekat dalam pandangan hidup rakyat Nusantara, juga berpengaruh kuat 
dalam gerak-langkah hidup mereka. 

          Tentu tidak lupa aku mempelajari buku-buku dari Negeri Cina juga, 
khususnya mengenai soal-soal kepemimpinan. Ada sebuah buku menarik berjudul 
"Ping Fa" yang dikarang oleh Sun Tzu sejak 510 BC. Buku itu diterjemahkan dalam 
bahasa Prancis oleh Joseph Amiot sejak 1782 M, kemudian diinggriskan dengan 
judul "Principles of War". Selama berminggu-minggu aku merenungi isi yang 
terkandung di dalamnya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa buku itu harus 
menjadi guru suciku, dan tidak boleh ada orang lain yang ikut membacanya. 

          Buku itu aku peroleh dari seorang petinggi militer, pada tahun-tahun 
ketika aku mengadakan studi kemiliteran di Seskoad (Sekolah Staf Komando 
Angkatan Darat). Sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia , entah 
oleh siapa. Namun bagaimanapun buku itu akan kujadikan pegangan hidupku, dan 
sampai sekarang pun akan tetap menjadi rahasia dalam hidupku. 

  

2 

Dulu waktu pangkat militerku masih rendah, bersama teman-teman tentara dan 
kerabatku, sering kami selundupkan barang-barang milik perusahaan Negara, 
bahkan memanipulasi dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro di Jawa 
Tengah. Kami pun sudah terbiasa mengadakan pungutan-pungutan liar untuk 
barang-barang kebutuhan rakyat. Namun semua itu tidak berjalan mulus. Suatu 
ketika kami terpergok dan tertangkap basah. Kemudian oleh seorang jenderal 
diusulkan kepada Presiden Soekarno bahwa aku mesti dipecat dari dunia 
kemiliteran. Seketika itu aku manfaatkan Jenderal TNI Gatot Soebroto - bapak 
angkatnya Bob Hasan - agar menghadap Soekarno secara langsung, supaya dia 
memberi maaf dan mengampuni segala perbuatan kami. Saat itu Soekarno pun 
mengusulkan agar kami dididik dan disekolahkan saja, karena menurutnya, 
"Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita masih rendah, karena itu 
kita semua harus bertanggungjawab untuk mendidiknya dengan baik," begitulah 
kata Soekarno, meskipun 
 aku tidak paham apa yang diomongkannya itu. 

          Segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Soewarto, seorang komandan 
Seskoad sekaligus agen aktif  CIA, yang kemudian berhasil menatar dan 
membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf komando angkatan darat. 

          Mulai sejak itulah karir militerku cukup lancar dan terarah, meski 
semuanya tak terlepas dari gagasan dan kebijakan Soekarno sendiri selaku 
Presiden RI . Oleh karena itu aku berusaha merahasiakan periode ini dalam 
sejarah hidupku kelak. Aku tidak akan menyebut-nyebut soal jasa-jasa Soekarno. 
Dia memang bukan sembarang orang dalam sejarah berdirinya republik yang besar 
dan kaya-raya ini. 

  

3 

Peristiwa 30 September 1965 berkobar. 

Keributan dan huru-hara di Jakarta membuat aku merasa tenang dan puas, 
seakan-akan masadepan sudah bersinar dalam hatiku. Separah apapun kerusakan dan 
kerugian, bahkan sebanyak apapun korban yang ditimbulkan, aku berusaha bersikap 
diam dan tak ambil peduli. 

          Biar sajalah kekacauan itu terjadi. Tiapkali ada krisis kepercayaan 
pada pemerintah, biasanya kekerasan dan kekacauan timbul di mana-mana. Kalau 
perlu pembunuhan dan pembantaian sekalipun. 

Waktu itu pangkatku sudah Mayor Jenderal, dan posisiku sudah menjabat sebagai 
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sampai kapanpun aku tetap 
akan merahasiakan, bahwa karena jiwa pemaaf dan kearifan Soekarno-lah yang 
membuatku berhasil dalam meniti karir setinggi itu di dunia kemiliteran. 

  

  

  

  4 

        Sekali lagi, biar sajalah kerusuhan dan huru-hara itu terjadi. 

          Yang penting, sebelum tanggal 30 September 1965 posisiku harus berada 
di rumah sakit. Kini sudah kubawa seorang anakku ke rumah sakit, karena kakinya 
kesiram sayur sop. Aku akan menemaninya di rumah sakit, meskipun bisa diwakili 
oleh istriku atau anak sulungku, tetapi akulah yang harus menunggunya di sana . 

          Soalnya, sebelum kejadian itu telah datang seorang Komandan Brigif 
bernama Latif ke rumahku, untuk melaporkan adanya "Dewan Jenderal" serta 
rencana sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup oleh para jenderal, 
serta rencana untuk merebut kepemimpinan Soekarno. 

          Pelapor itu aku catat sebagai orang berbahaya, dan kelak akan 
kuasingkan di suatu tempat tersembunyi, serta tidak akan kubiarkan dia bicara 
di depan publik sampai kapanpun. 

          Orang bernama Latif itu sebetulnya tentara kepercayaanku sejak dulu. 
Waktu kehidupan keluarga kami masih sulit, dialah yang carikan beras untuk 
kami, juga dia yang carikan uang tambahan untuk keperluan keluarga kami. 

          Tapi bagaimanapun tetap aku catat sebagai orang berbahaya, supaya 
jangan membongkar persoalan-persoalan penting di masa lalu. 

          Dalam pledoinya di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) 
orang ini memberi pernyataan tegas: 

          "Kenapa harus saya yang berdiri di sini, Pak Hakim? Kenapa bukan 
Soeharto? Padahal dia sudah tahu akan adanya Gerakan di pagi hari." 

          Orang brengsek ini memang telah dua kali melapor sebelum peristiwa 
itu meletus. Pada malam 30 September dia menghadap lagi ke rumah sakit, katanya 
akan dilancarkan Gerakan pada pagi hari, guna mencegah terjadinya kudeta yang 
akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. 

          Laporan itu tidak kutanggapi dan aku diam saja. Walaupun aku paham, 
mestinya tugas pengamanan ada di tanganku. Ya, sebagai Panglima Kostrad 
sekaligus orang kedua di Angkatan Darat, pada malam itu mestinya kuberitahu 
semuanya agar bersiap-siaga untuk pengamanan, karena pagi harinya akan ada 
Gerakan. 

          Tapi apapun yang akan terjadi, biar sajalah. Toh sejak dulu aku 
jarang diperhitungkan di Angkatan Darat. Kalau ada rapat-rapat petinggi 
militer, sepertinya mereka tidak pernah mengundangku. Boleh jadi mereka 
berpendapat bahwa aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak mengerti apa-apa. 

          Dan sekarang, buktikan, siapa di antara kami yang menjadi orang nomor 
satu di negeri ini. Cara apapun harus ditempuh, dan aku akan memperjuangkannya 
sesuai pendirian dan keyakinanku. 

          Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 06.00 pagi aku akan 
mengenakan seragam tempur, untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sudah 
menghadap Presiden. Kalau Jenderal Ahmad Yani sudah mati, bukankah aku - 
sebagai orang kedua - yang mestinya memberi laporan pada Presiden Soekarno? 

          Tapi aku hanya berpura-pura di hadapan mereka semua. aku tidak perlu 
bertanggungjawab. apapun yang terjadi, biar sajalah.. 

  

5 

          Sekarang impian dan ambisiku sudah tercapai. Aku adalah Presiden 
kedua Republik Indonesia . Jalan apapun harus ditempuh. Aku manfaatkan segala 
pengetahuan dan pengalaman hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya itu. 

          Kini Presiden Soekarno sudah jatuh. Menyusul pembantu-pembantu dan 
para pendukungnya harus dijatuhkan pula. (Lebih baik kupergunakan istilah 
"diganti" daripada "dijatuhkan"). Jadi, aku mengganti kepemimpinan Soekarno 
sekan-akan akulah yang dipercayakan menduduki tampuknya. Kini mereka semua 
harus "diamankan" (aku sengaja tidak memakai istilah "ditangkap"). Ya, mereka 
adalah the founding fathers, para perintis dan pendiri republik yang berupaya 
keras untuk berkorban memerdekakan bangsa ini. Dan siapa pula yang tidak 
mengenal Soekarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah 
Nusantara, menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan ideologi. Dia 
berhasil merumuskan dasar negara serta diproklamasikannya Republik Indonesia . 
Daya pukaunya dalam berpidato, telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh 
semangat, bahkan rela berkorban dan mati demi kemerdekaannya. 

          Tentang itu semua, sejarah kita belum mencatatnya secara utuh dan 
bulat. Para sejarawan masih takut. Karena itu istilah "revolusi" kelak akan 
kami batasi sebagai perang kemerdekaan. Adapun lahirnya Pancasila, kelak kami 
rahasiakan pada angkatan muda. 

          Kini sejarah baru harus diciptakan. Aku kerahkan para penulis dan 
budayawan yang memihakku, serta kuberikan sarana dan fasilitas agar mereka 
menulis tentang seluk-beluk sejarah Indonesia . Kemudian kusensor karya-karya 
mereka secara ketat, agar terjadi keseragaman pandangan bahwa sejarah bangsa 
dan negeri ini identik dengan peristiwa 30 September 1965, yang di kemudian 
hari kuberi nama G30S/PKI. 

          Maka apapun yang terjadi sebelum itu, sebesar apapun, tak perlu 
dikategorikan sebagai sejarah Indonesia . 

  

  

  6


Belakangan muncul beberapa penulis dan budayawan yang menaruh perhatian khusus 
pada pledoi dan kesaksian Latif di pengadilan Mahmillub. Kemudian muncul pula 
sebuah penerbit buku independen yang menamakan diri "Hasta Mitra", dan dimotori 
oleh Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman. 

Segeralah kukerahkan para penulis dari kalangan sejarawan, budayawan dan 
seniman agar mereka kompak mendukung pernyataanku tentang seluk-beluk peristiwa 
30 September 1965 itu. Telah kubentuk tim khusus untuk menciptakan sejarah baru 
tentang peristiwa itu; telah kukumpulkan sekelompok masyarakat untuk membikin 
kesaksian palsu; telah kubentuk tim dokter khusus untuk menyampaikan pembuktian 
yang dimanipulasi; juga telah kubangun tugu besar dan museum khusus untuk 
menciptakan kenangan dan ketakutan rakyat; bahkan aku namai museum itu dengan 
sebutan "Museum Lubang Buaya". 

Aku ciptakan kreasi itu dengan detil-detil cerita fiktif yang menakutkan. Dan 
beginilah kisah kejadian itu: 

"Pada pagi hari suatu Gerakan dari Partai Komunis Indonesia telah membantai dan 
membunuh jenderal-jenderal yang merupakan tulang-punggung bagi berjalannya 
revolusi negeri ini. Jenderal-jenderal itu telah diinterogasi dan dilukai 
sekujur tubuhnya. Kemaluannya dipotongi, dibiarkan mereka merintih 
bergelimpangan. Sedangkan para wanita yang tergabung dalam Gerakan Wanita 
Indonesia (Gerwani) berlenggak-lenggok mengelilingi para korban, sambil 
mengadakan tarian-tarian cabul." 

Yang jelas, aku harus membuat kreasi ini sebagus mungkin, agar seluruh 
masyarakat merinding ketakutan. Bahkan kuciptakan kreasi khusus, bersama 
bukti-bukti palsu bahwa Soekarno telah terlibat aktif dalam peristiwa tragis 
itu. Aku jadikan peristiwa itu patokan untuk memancing rasa kebencian. Untuk 
mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, sebagai 
lambang penderitaan manusia Indonesia sejak 1965 sampai kapanpun di masa yang 
akan datang. 

Ya, sudah kupelajari teknik-teknik seperti ini dari buku-buku tentang angkatan 
perang. Suatu teknik yang terbilang ampuh, dan sepanjang sejarah banyak 
dimanfaatkan angkatan perang di seluruh dunia. Dan kini, begitu banyak sarana 
teknologi untuk memberitakan kabar, sebagai pengungkap lambang dan 
simbol-simbol, yang kelak dapat membuat bulu kuduk siapapun akan merinding 
ketakutan. 

  

  

  7


Bicara tentang angakatan muda dan mahasiswa, yang kelak disebut sebagai 
"Angkatan 66", mereka punya andil tersendiri yang dapat kumanfaatkan bantuannya 
pada peristiwa 30 September 1965 itu. 

Ya, dari merekalah gerakan dimulai, dari mulut merekalah sumpah-serapah 
dilontarkan, di kampus-kampus, di lapangan hingga sampai ke jalan-jalan raya. 
Dari fasilitas militer juga disediakan truk-truk hingga panser untuk 
mengangkuti mereka agar berteriak-teriak menentang Soekarno. Spanduk-spanduk, 
yel-yel bertebaran di mana-mana. Belum lagi bantuan dana dari CIA, ditambah 
lagi bantuan jaket-jaket kuning agar dikenakan oleh para demonstran. 

Lantas kukerahkan utusan khusus untuk memaksa orang-orang Telkom agar memutus 
aliran telpon pada saluran-saluran yang telah kutentukan. 

Bersamaan dengan itu Mayjen Pranoto Reksosamodra telah ditunjuk oleh Presiden 
Soekarno selaku Care-Taker MENPANGAD. Aku harus mengupayakan agar dia tak bisa 
dihubungi, kalau perlu mencegahnya agar tidak datang memenuhi panggilan 
Presiden di Halim. 

Sebelum itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 06.30 pagi, telah kuutus 
Brigjen dr. Amino agar memberitahu Pranoto perihal penculikan Letjen Ahmad Yani 
beserta jenderal-jenderal lainnya. Pranoto kontan berangkat menuju Markas Besar 
Angkatan Darat (MBAD) serta mengadakan rapat darurat. Setelah ditampung hasil 
laporan dari sumber-sumber yang telah diatur sedemikian rupa, maka rapat MBAD 
menyimpulkan begini: 

"Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan 
penculik yang belum dikenal. Dengan ini rapat memutuskan bahwa Mayor Jenderal 
Soeharto, panglima Kostrad, agar mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat yang 
sedang fakum." 

Pagi itu melalui kurir khusus, keputusan rapat segera disampaikan kepadaku, 
yang waktu itu sudah menunggu di Makostrad. 

Dan sewaktu muncul siaran RRI tentang penunjukan Pranoto sebagai Care-Taker, 
maka berturut-turut utusan Presiden memanggilnya agar segera menghadap ke 
Halim. Para utusan itu ialah Letkol Infantri Ali Ebram, Brigjen Sutardio, 
Brigjen Sunario dan Kolonel Bambang Wijanarko. 

Tapi apapun yang mereka lakukan, kini Pranoto sudah masuk jebakan dalam 
hubungan komando-taktis di bawah kewenanganku. Dia tidak akan bisa menghadap 
Presiden tanpa mendapat izin dan restu dariku. Dan sewaktu dia meminta izin, 
jelas aku larang mentah-mentah dengan suatu ancaman: 

"Kalau kau memaksakan diri menghadap Presiden, kami tidak bertanggungjawab akan 
kemungkinan adanya korban lagi.." 

 



8 

        Tibalah waktunya pada tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui 
macam-macam proses kejadian, ketika secara resmi aku telah menjabat Kepala Staf 
Angkatan Darat (KSAD), maka segeralah dibentuk susunan staf-staf baru, dan kini 
Pranoto hanya kami tempatkan sebagai perwira tinggi yang diperbantukan pada 
KSAD. 

          Kemudian pada tanggal 16 Februari 1966 kuperintahkan pasukan khusus 
untuk menahan Pranoto dengan tuduhan: terlibat dalam G30S/PKI. Pada tahun itu 
kuperintahkan agar ia segera dikenakan tahanan rumah, hingga kemudian 
dipindahkan ke Inrehab Nirbaya pada tahun 1969, juga dengan tuduhan yang sama. 
Dan untuk memperketat pengucilan dirinya sebaiknya ia dikenakan skorsing 
sebagai anggota angkatan darat, dengan tidak diberi gaji skorsing, juga tidak 
perlu diberi tunjangan apapun. 

          Lantas memasuki tahun 1981 ketika posisiku sebagai Presiden semakin 
diakui masyarakat, dan setelah keberhasilanku menciptakan mitos Bapak 
Pembangunan, maka kuperintahkan Panglima Kopkamtib untuk membuat surat 
pembebasan resmi. Hingga terhitung sejak tanggal 16 Februari 1981 Pranoto 
kubiarkan bebas dari tahanan, yang berarti bahwa selama 15 tahun ia mendekam 
dalam tahanan, tanpa pemberhentian dan pemecatan resmi dari keanggotaan 
Angkatan Darat. Juga tanpa pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita 
acara resmi. 

          Kini kubiarkan ia bebas dan - kalau perlu - silakan berbaur dengan 
masyarakat luas. Lagipula siapa yang akan mengakui keberadaan dia, dan siapa 
pula yang akan mendengarkan omongannya. Kini kepercayaan publik telah terpusat 
kepadaku sebagai Bapak Pembangunan, terutama jasa-jasaku dalam membangun negeri 
bersama dengan segala keamanan dan ketertiban nasional. 

          Orang-orang semacam dia tidak perlu direhabilitasi, serta tidak usah 
diberi uang pensiun sampai kapanpun. Dan pada suatu hari aku pun menerima 
laporan bahwa ia telah wafat di suatu rumah kumuh di wilayah Kramatjati, 
Jakarta . 

          Pranoto adalah satu dari sekian banyak pembantu dan pendukung 
Soekarno, yang kubiarkan mengalami nasib hidup seperti itu. Sekarang buktikan, 
siapa yang menang dan berjaya di antara kita.. 

  

  


9




 Sudah lama di kalangan masyarakat terjadi polemik yang dapat kusimpulkan 
menjadi dua golongan, yakni mereka yang berpendapat bahwa revolusi sudah 
selesai, sedangkan yang lain mengatakan bahwa revolusi belum selesai. 

Soekarno pernah menegaskan bahwa revolusi Indonesia harus melingkupi segala 
bidang sosial-politik, budaya dan ekonomi sekaligus. Bahwa revolusi kemerdekaan 
1945 hanyalah jembatan emas, dan kita harus memperjuangkan kemerdekaan dalam 
arti yang sebenar-sebenarnya. 

Entahlah, apa lagi yang diomongkan oleh Soekarno. Aku tidak paham. 

Sekarang aku hanya membagi menjadi dua kekuatan saja, yakni siapa-siapa yang 
berpihak dan mendukung pemerintahanku, sedangkan yang lain dapat digolongkan 
sebagai kelompok yang membahayakan, dan karenanya harus disingkirkan. 

Dari kalangan seniman sudah jelas siapa mendukung siapa. Siapa kubu bagi siapa. 
Maka segeralah dikerahkan kesatuan-kesatuan tentara guna membakar rumah-rumah 
tokoh seniman yang membangkang. Dan kami tinggal menunggu kabar-berita dari 
para utusan, apakah tugasnya berhasil, tanpa peduli berapa korban yang 
ditimbulkan dari aksi-aksi pembakaran rumah itu. Lagipula, mereka toh akan 
mengira bahwa tindakan itu akibat dari ulah-ulah lawan polemik mereka sendiri 
sesama seniman. 

Ada seorang seniman yang - karena keberaniannya - membuat kami kesulitan untuk 
menangkapnya, hingga sesudah berkali-kali utusan dikerahkan, selalu saja 
membawa laporan yang sangat menjengkelkan. Maka kubuatkan saja skenario khusus 
untuk proses penangkapannya. 

Seniman satu itu pernah menulis novel tentang taktik perang gerilya sejak masa 
kemerdekaan. Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa ia pernah 
malang-melintang di dunia revolusi, bahkan pejuang keras dalam menyelesaikan 
persoalan sejarah sastra Indonesia . Pada awal revolusi 1945 dipimpinnya sebuah 
majalah yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah pendudukan Belanda. 
Dia aktif menyebarkan selebaran-selebaran gelap untuk usaha-usaha revolusioner, 
yang membuatnya pernah tertangkap dan dikucilkan di Pulau Edam pada tahun 1949. 

Waktu penangkapannya, militer Belanda menyita empat novel karyanya mengenai 
peristiwa-peristiwa pada awal-awal revolusi 1945. 

Ya, tentulah dia adalah orang yang patut diperhitungkan dengan serius. Yang 
jelas, dari beberapa tulisannya dapat dipahami bahwa dia adalah pendukung setia 
dari kebijakan-kebijakan politik Soekarno. 

Dan untuk menghadapi seorang ahli perang gerilya, tentulah dibutuhkan 
siasat-siasat khusus untuk dapat meringkusnya. 





10


          Setelah berhasil ditangkap, aku mengutus seorang mayor dan dua letnan 
untuk menginterogasi seniman itu. Aku tinggal menerima laporan dari mereka, 
dengan menyediakan sebuah tape recorder dari hasil rekaman selama interogasi 
itu: 

          Ditanyakan oleh seorang letnan, bagaimana pendapatnya tentang Gerakan 
Untung, kemudian seniman itu menjawab: 

          "Aku tidak tahu apa-apa tentang Gerakan itu." 

          "Apakah Anda membenarkan Gerakan itu?" 

Seniman itu diam, kemudian jawabnya: 

"Kalau dapat kesempatan mempelajari peristiwa Gerakan 30 September, mungkin 
dalam beberapa tahun akan bisa saya jawab." 

"Anda percaya negara Indonesia ini akan menjadi negara komunis?" 

"Mungkin tidak." 

"Kenapa?" 

"Karena faktor geografi dan konservatifitas rakyat kita." 

Rupanya memang sulit untuk mencari-cari kesalahan dari pernyataan-pernyataan 
seniman itu. Namun karena dia termasuk pendukung setia dari pemikiran-pemikiran 
Soekarno, aku berkesimpulan bahwa orang ini akan membawa masalah di kemudian 
hari. Aku tetap menggolongkan dia sebagai orang berbahaya yang harus dijadikan 
korban. 

Dan bukankah Raja Kresna dalam filsafat Jawa tidak mengkhawatirkan berapapun 
jumlah korban, demi kelancaran pembangunan dan stabilitas negeri.? 





11


Untuk menangani para pembantu dan pendukung Soekarno rupanya tidak bisa seperti 
membalikkan telapak tangan. Aku harus mengerahkan ahli-ahli strategi dari 
kalangan militer, serta harus diperbantukan oleh pihak intelijen internasional 
seperti CIA. Dukungan dan bantuan Amerika memang sangat menggiurkan bagi 
kepentingan Angkatan Darat Indonesia, yang sejak tahun 1955 telah 
terang-terangan menampakkan kecurigaanya pada Soekarno, terlebih-lebih ketika 
ia diakui sebagai pemimpin besar Asia-Afrika. 

Maka segeralah di bulan-bulan awal tahun 1966, harus dikerahkan aksi-aksi 
profokasi untuk membuat keributan dan kekacauan di sekitar ibukota Jakarta, 
untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Soekarno sudah tidak berdaya lagi untuk 
mengatasi aksi-aksi kerusuhan itu. Selain itu, aku akan mengusahakan agar 
Soekarno membuatkan surat-resmi yang berisi "pelimpahan kekuasaan", dengan 
ancaman bahwa aku tidak mau bertanggungjawab mengenai korban-korban, sekiranya 
kekuasaan negeri tidak dilimpahkan kepadaku. 

Saat itu di Istana Merdeka akan dilangsungkan Sidang Kabinet untuk membahas 
persoalan "tiga tuntutan rakyat" (tritura), maka dikerahkanlah sekelompok 
pasukan tentara berpakaian preman untuk membikin keributan di sekitar Istana 
Merdeka, serta untuk mengacaukan berlangsungnya Sidang Kabinet yang akan segera 
dilangsungkan. Kemudian ketika sidang dialihkan ke Istana Bogor, kuciptakan 
aksi-aksi teror hingga acara pun gagal lagi untuk ke sekian kalinya. 

Sementara itu di Jakarta sedang hiruk-pikuk oleh kerusuhan dan bentrokan keras 
antara mahasiswa dan aparat, maka korban-korban pun berjatuhan di sana-sini, 
antara lain dua korban yang kami tampilkan untuk menunjukkan ke publik bahwa 
pemerintahan Soekarno telah layak disebut sebagai "diktator". Dua korban itu 
adalah Arif Rahman Hakim dan Zainal Sakse, yang kelak akan kuberi gelar 
"Pahlawan Ampera" atau Amanat Penderitaan Rakyat, yang di kemudian hari  
berhasil memuluskan harapanku untuk membentuk Kabinet Pertama Orde Baru, dengan 
sebutan "Kabinet Ampera". 





12


Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga orang Jenderal bawahanku telah kuutus untuk 
membawa surat pada Presiden Soekarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, 
bahwa aku, Soeharto, tidak akan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, 
seandainya tidak diberikan kekuasaan penuh untuk menumpas G30S/PKI di seluruh 
Indonesia. 

Aku mintakan tiga Jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia 
membuatkan surat perintah khusus kepadaku, yang kelak surat itu disebut sebagai 
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), meskipun redaksinya telah kurubah 
dari perintah pengamanan Jakarta, menjadi "pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal 
Soeharto". Seketika itu kami umumkan mengenai surat itu, dan kami nyatakan pada 
masyarakat bahwa surat itu adalah mukjizat dari Tuhan yang dianugerahkan kepada 
rakyat dan bangsa Indonesia . 

Sebagai gebrakan awal, meskipun dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun 
berhasil membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia . Dalam beberapa hari, 
limabelas menteri pendukung Soekarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura 
tidak tahu ketika Soekarno menyatakan kaget mendengar gebrakanku ini. Kabarnya 
dia bertanya-tanya, kenapa Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang tidak 
dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku menjawab, mengapa harus 
dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat, dan siasat yang 
jitu harus diraih dengan sekuat-mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak 
manapun. 

Kemudian langkah-langkah selanjutnya, sebaiknya dipercepat sajalah. 

Pada tanggal 25 Juli 1966 harus diadakan Sidang Umum IV MPRS. Kabinet 
pemerintahan Soekarno (Dwikora) yang 15 menterinya telah ditahan, segara kami 
bubarkan. Sebagai gantinya kami bentuk kabinet baru AMPERA (Amanat Penderitaan 
Rakyat), yang tentunya akulah yang harus tampil sebagai Ketua Presidiumnya. Dan 
puncaknya segeralah diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga 
12 Maret 1967 yang membuat aku diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan kontan 
disambut hangat oleh Jenderal Besar A.H. Nasution, yang kemudian menandatangani 
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. 

Sejak saat itu, dicabutlah semua kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden 
Soekarno. Lantas diperintahkan agar dia dilarang keras melakukan kegiatan 
politik. Dan jalan terbaik sebaiknya dijebloskan sajalah ke dalam tahanan, 
menyusul para pembantu dan pendukung-pendukungnya di seluruh tanah air. 

Kini sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Pemahaman angkatan muda tentang 
mereka, akan kami alihkan. Keluarga-keluarga dan anak-cucu mereka, biarlah 
mengais-ngais rezeki berkalang tanah. Semua jasa-jasa dan jejak-langkah 
perjuangan mereka, akan kubuat kabur dan suram. 

Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri. 

Ya, semuanya itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk 
menciptakan iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional.? 



13 


Kini kekuatan dari kalangan pers tengah dipersiapkan. Pers-pers pendukung 
Soekarno, serta pers-pers berhaluan kiri sudah dibredel semuanya. Para 
wartawannya sudah kami tahan. Kami mengutus beberapa tentara untuk menculik 
seniman nasional Trubus, Japoq Lampong serta pengarang lagu Genjer-genjer, 
namun kemudian para penculik mengabarkan adanya "kecelakaan" di tengah jalan. 
Aku memaklumi mereka, dan aku paham apa yang mereka maksudkan. 

Pada suatu hari aku juga menerima berita dari Solo tentang tertangkapnya 
seorang tokoh dari Partai Komunis. Secepat kilat aku harus mengatur strategi 
agar dia jangan sampai diperiksa, atau memberi pernyataan apapun di muka 
pengadilan. 

Mula-mula Kolonel Yasir dan pasukannya kuperintahkan melakukan penggrebekan di 
wilayah perkampungan Sambeng. Tokoh partai itu rupanya bersembunyi di rumah 
seorang pensiunan pegawai bea-cukai, yang kabarnya hidup bersama seorang 
cucunya yang masih gadis remaja. 

Ketika  gadis itu diancam mau digagahi beramai-ramai, maka kakek tua itu 
terpaksa memberitahu tempat persembunyian sang tokoh partai, yakni di belakang 
lemari yang tersekat tembok dinding. Seketika itu aku mengontak Kolonel Yasir 
agar segera menghabisi orang itu di tengah jalan, sebelum tiba di ibukota 
Jakarta . Setelah itu kami pun mengatur siasat untuk penggelapan mayatnya, agar 
orang-orang tidak dapat menemukan di mana rimbanya. 

Di kemudian hari, persoalan ini memang dipertanyakan oleh sejarawan-sejarawan 
angkatan muda yang berani mengungkap teka-teki ini: "Mengapa seorang tokoh 
penting yang menjabat Sekjen PKI serta menjabat resmi selaku Menko, telah 
dibunuh begitu saja, tanpa proses pengadilan?" 

Pernyataan ini senada dengan para penulis sejarah yang berani menggugat: 
"Mengapa Soekarno yang sudah siap diperiksa untuk menyampaikan yang sejujurnya 
perihal seluk-beluk G30S, lantas dikenakan tahanan rumah hingga wafatnya?" 

Untuk menangani persoalan pertama, aku mengarang jawaban seperti ini: 
"Dikarenakan tokoh partai itu melawan dan hendak melarikan diri, terpaksa kami 
tembak di tengah jalan." 

          Kemudian untuk menangani persoalan kedua, aku sudah mengatur jawaban 
seperti ini: "Dikarenakan Soekarno adalah bapak bangsa, maka kita harus 
mengamankan beliau. Tidak boleh ia dibawa ke pengadilan, karena kita harus 
menghormatinya, mikul duwur, mendem jero." 

          Dua jawaban itu kukira sudah cukup menjadi alasan kuat untuk 
mengibuli para sejarawan, budayawan atau kalangan pers di negeri ini. 

  



14


Ada seorang cendikiawan muslim dalam suatu wawancara di suratkabar, mengutip 
sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi: "Barangsiapa memulai kezaliman maka ia akan 
berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan." 

Aku tidak paham apa yang diomongkan si cendikiawan itu. 

Pada kesempatan lain dia mengutip dua buah ayat Al-Quran: "Barangsiapa membunuh 
manusia bukan karena kejahatannya maka ia telah membunuh seluruh manusia, 
barangsiapa memelihara hidup seorang manusia maka ia telah menghidupkan seluruh 
manusia. Mereka yang beriman, dan tidak mengaburkan imannya dengan kejahatan, 
mereka itulah yang memperoleh kedamaian dan bimbingan yang benar." 

Bahkan pernah pada suatu acara dialog di televisi, tokoh satu itu mengupas dua 
buah hadits Nabi yang berbunyi: "Seorang mukmin senantiasa mendapat kelonggaran 
dari agamanya selama ia tidak melakukan pembunuhan tanpa hak. Dan jika seorang 
penguasa mati dalam keadaan masih menipu rakyatnya, maka Tuhan akan 
mengharamkan sorga baginya.." 

Aku tidak mengerti apa maksudnya mengutip-ngutip ayat dan hadits semacam itu. 
Tapi dalam komentarnya tentang sosial-politik, tokoh satu itu kelihatan gegabah 
dan sembarangan. 

Dikiranya siapa dia. Punya kekuatan apa. 

Dari sindiran-sindirannya sering diungkap mengenai keluargaku atau keluarga 
cendana, bahkan disinggungnya perihal bisnis anak-cucu serta kerabat-kerabatku 
dengan gaya bahasanya yang mengandung teka-teki. Dikiranya aku tidak paham sama 
sekali, ke mana arah pembicaraannya itu. 

Mau apa dia. Apa mau menggulingkan dan mengambil-alih kepemimpinan yang 
susah-payah sudah kuraih mati-matian. 

Akhirnya tokoh satu ini pun patut diperhitungkan kelak demi berjalannya 
stabilitas dan keamanan negara. 

  



15


Pembangunan sarana dan infrastruktur sebaiknya dipacu secepat-mungkin. 
Kucetuskan istilah "Ideologi Pembangunan" agar merasuki pikiran masyarakat. 
Investor-investor datang membanjiri negeriku. Bantuan-bantuan ekonomi kami 
manfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam 
kami keruk dan jalur-jalur perekonomian dibentangkan, dan keuntungannya 
dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing kami undang demi kelestarian dan 
jaminan keamanan kapitalnya. 

Tentulah tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan 
sungguh menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional 
menawarkan program-programnya. Dan tanpa perlu pikir panjang, kami sambut 
semuanya dengan senang hati. 

Seorang pakar ekonomi Profesor Kurt Biedenkopf pernah menyatakan: "Ternyata 
bangsa-bangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi untuk 
mengorbankan bangsa-bangsa yang lemah." 

Pernyataan macam itu searah dengan pidato-pidato Soekarno selama Konferensi 
Asia-Afrika di Bandung. Meskipun aku tidak banyak menyimak apa yang diomongkan 
mereka-mereka itu. Aku tak ambil pusing. 

Biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh 
dikerjakan oleh siapapun. Karena itu para anak-cucu dan kerabat terdekatku 
kupercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala 
sarana dan fasilitas buat mereka segera kupermudah. Maka kebutuhan pun segera 
diproduksi, agar produsen memproduksi pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus 
disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang sebenarnya, dan mana yang 
harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi tuan dari kebutuhan 
dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia mengabdi demi 
produksi. 

Untuk kelancaran semuanya mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus 
dibantu dan dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk dikorbankan. 

Campur-tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menegakkan Ideologi 
Pembangunan yang sudah kucetuskan. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh 
Mohammad Hatta sengaja kami abaikan. Soalnya dia termasuk dari sekian banyak 
pembantu Soekarno yang paling dekat. 

Segala sistem aparatur sampai wilayah agama sekalipun harus ditangani dan 
dikendalikan oleh negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus 
ditundukkan untuk mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang 
boleh berlaku hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Maka kami putuskan untuk 
membentuk tim propaganda khusus bersama departemen penerangan, untuk 
menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan masyarakat, hingga kalangan 
ulama dan kiai-kiai pesantren di seluruh pelosok negeri. 

  



16


Ada lagi seorang tokoh publik dari kalangan penyanyi yang menjadi idola kaum 
muda selama beberapa dasawarsa. Kini dia semakin berani mengungkap beberapa 
peristiwa sengit yang sengaja sudah dirahasiakan. Namun dengan lantang dia 
membongkar tentang peristiwa Malari, Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Aceh. 
Belum lagi masalah konflik Kedungombo, Nipah dan banyak lagi yang lainnya. 
Bahkan pada kesempatan lain dia pernah menyindir-nyindir soal korban-korban 
Orde Baru, pembangunan semu, kekayaan anak-cucu presiden dan para elite politik 
Indonesia . Kontan saja kalangan pers selalu mengikuti gerak-gerik dan 
jejak-langkahnya. 

Karena itu, penyanyi satu ini harus menjadi perhitungan tersendiri, dan aku 
harus merancang siasat khusus untuk dapat melumpuhkannya. 

Kini aku makin tekun merumuskan tentang siapa-siapa yang layak menduduki 
pemerintahan daerah, dari tingkat pusat hingga bawah, bahkan rektor-rektor 
universitas pun harus ditentukan oleh kekuatan Orde Baru. Sistem untuk 
menyaring dan memilih mereka sederhana saja, yakni seberapa jauh pemahamannya 
tentang peristiwa 30 September 1965, serta seberapa besar kewibawaannya di 
tengah masyarakat. Kalau sudah memenuhi kriteria, maka gulingkan saja mereka 
yang sudah duduk memimpin, atau sebaiknya digeser secara halus dan pasti, 
supaya masyarakat maklum bahwa cara-cara konstitusional telah ditempuh oleh si 
calon pemimpin baru itu. 

Untuk menangani wilayah-wilayah tertentu yang sulit diatasi, seperti 
Timor-Timur, Aceh dan lain-lain, maka operasi militer besar-besaran akan kami 
kerahkan. Beberapa petinggi-militer kupercayakan untuk menjadi komandan penuh, 
khususnya mereka yang pernah kuutus mengikuti program Terrorism in Low 
Intensity Conflict, yakni suatu pelatihan training bagaimana membuat aksi-aksi 
profokasi dan teror, yang diselenggarakan oleh Pentagon melalui program 
kerjasama militer IMET. 

  



17


Rupanya makin lama makin memerlukan penanganan serius. Aku mencoba menenangkan 
masyarakat, seakan-akan keadaan aman dan tidak terjadi apa-apa. 

Tiga majalah dan tabloid dibredel sekaligus, agar tak ada lagi yang mencoba 
menghasut dan memprofokasi masyarakat, serta agar menjadi pelajaran berharga 
bagi yang lainnya. 

Namun reaksi yang terjadi malah sebaliknya. Seketika itu muncul gelombang 
protes untuk membela majalah dan para wartawan yang bertugas. Dan setelah kami 
terbitkan majalah baru sebagai tandingannya, rupanya gelombang protes semakin 
marak dan meluas di mana-mana. Mereka menyerukan pembelaan terhadap Muchtar 
Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Udin Syafrudin, Xanana Gusmao, Budiman 
Sujatmiko, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya. 

Belum lagi penghargaan Hak Asasi Manusia kepada pahlawan buruh yang bernama 
Marsinah. Bahkan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada politikus Ramos Horta 
dan rohaniwan Ximenes Belo untuk perjuangan Timor-Timur. Ditambah lagi 
kasus-kasus baru karena maraknya teknologi komunikasi dan media informasi: di 
Indonesia bagian timur diberitakan tentang ratusan ribu korban rakyat 
Timor-Timur, di bagian barat dikabarkan ribuan korban rakyat Aceh. Belum lagi 
Ambon, Maluku, Poso, Lampung, Makassar dan seterusnya. 

Mau tidak mau semuanya harus ditangani secara serius. Mau tidak mau harus 
terjadi bentrokan di sana-sini. Mau tidak mau harus ada korban-korban baru yang 
menjadi tumbal, agar dijadikan pelajaran berharga bagi yang lainnya. 

Ya, mengapa tidak. Bukankah stabilitas nasional dan roda-roda pembangunan harus 
berjalan terus. 

Kini aku pun tinggal memantau dan menerima hasil laporannya: 

Kematian wartawan bertambah lagi; bentrokan mahasiswa dan aparat semakin 
menelan banyak korban; para aktifis LSM sudah diamankan; para penulis buku 
tentang Soekarno sudah ditangkapi; ratusan orang telah diciduk dan dikurung 
secara rahasia; puluhan orang yang tertembak di lapangan sengaja dirahasiakan 
jejak-jejaknya, dan banyak lagi yang lainnya. 

  



18


Namun angkatan muda negeri ini semakin berani dan berani saja. Ada apa ini. 
Dari mana asal muasalnya, dan watak siapa yang mereka warisi. 

Ada lagi laporan mengenai ulah seorang sastrawan yang baru dibebaskan dari 
Pulau Buru, tiba-tiba dia menulis buku yang berjudul "Arus Balik". Coba 
bayangkan, judulnya saja Arus Balik. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Sebelum itu pun sudah diluncurkan oleh Penerbit Hasta Mitra, sebuah buku yang 
berjudul, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu", menyusul sebuah buku lagi: "Era Baru 
Pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru". 

Tak berapa lama mulai bermunculan penerbit-penerbit independen yang mengikuti 
jejak Hasta Mitra, lantas menerbitkan buku-buku yang berjudul seperti ini: 
"Kehormatan bagi Yang Berhak", "Bayang-bayang PKI", kemudian seorang etnis Cina 
berani-beraninya meluncurkan otobiografinya dengan judul: "Memoar Oei Tjoe Tat: 
Pembantu Presiden Soekarno". 

Tentu saja aku harus membuat gebrakan untuk melarang semua buku-buku semacam 
itu.. 

  



19


Tapi makin lama keadaan makin parah saja. Gelombang demonstrasi makin marak di 
mana-mana. Negeri ini seperti dikepung oleh gurita raksasa yang membuat aku 
merinding ketakutan. Bantuan-bantuan ekonomi dicabut dari negara-negara asing. 
Timor-Timur menuntut kemerdekaan mutlak. Aceh dan Irian Jaya ikut-ikutan 
bergolak. Sedangkan di Jakarta sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. 
Gedung-gedung megah terbakar, pusat-pusat pertokoan dijarahi massa , bahkan 
dalam satu hari dikabarkan telah terjadi pemerkosaan massal yang mengorbankan 
150 lebih para wanita dari etnis Cina. 

Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Para investor dan pengusaha asing pada kabur ke negerinya masing-masing. Mereka 
menuntut kejelasan tatanan ekonomi serta penyelenggaraan hak asasi manusia yang 
baik di Indonesia . 

Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Bukankah lebih dari 30 tahun aku memimpin negeri ini, dan selama itu tak pernah 
kuhadapi hal-hal aneh yang mengherankan macam ini? Aku tidak paham. aku tidak 
ngerti semua kejadian ini. ampun, aku sudah tidak sanggup lagi.. 

Namun tiba-tiba mereka yang ikut-serta mendirikan pemerintahan Orde Baru pada 
hengkang dan berlarian ke sana kemari. Mereka telah berpaling dari komitmen 
semula. mereka saling berpencar dan kocar-kacir tak keruan.. 

Lantas siapa yang akan menanggung semuanya ini. di mana kawan-kawan dan 
mitra-mitra bisnisku. di mana tanggungjawab mereka. kenapa mereka diam saja. 
kenapa mereka tak ambil peduli. apakah aku harus segera melarikan anak-cucu dan 
semua kerabatku ke luar negeri.. 

  



20


Bagaimanapun aku harus berusaha bersikap tenang. Akan kurancang siasat jitu 
untuk mundur dari kursi pemerintahan. Akan kurekayasa bahasa yang tepat untuk 
dapat menenangkan masyarakat. Sebab ada seorang seniman memakai istilah 
"terjengkang dari kursi kekuasaan". Aku harus memasyarakatkan istilah Jawa, 
yakni "lengser keprabon" (yang berarti mundur secara baik-baik). 

Aku harus manfaatkan siasat-siasat lamaku, serta mengatur situasi dan kondisi 
untuk menyelesaikan kepemimpinanku secara sah dan konstitusional. Bukankah 
cara-cara semacam ini pernah dipercayai masyarakat, hingga berhasil 
mengangkatku menjadi orang nomor satu di negeri ini? 

Akan kuciptakan suasana seakan-akan aku dengan sukarela meletakkan jabatan 
serta memberikan mandat kepada Wakil Presiden. Aku yakin masyarakat tidak 
banyak komentar. Mereka tidak mengerti apakah cara-cara ini legal atau tidak, 
karena aku telah berhasil mengelabui mereka agar tidak paham dan buta politik. 
Aku yakin bahwa mereka akan tetap menghormatiku dan tunduk kepadaku. Juga akan 
kusebarkan berita dan informasi di seluruh jaringan televisi dan radio, bahwa 
saat ini aku tidak memiliki kekayaan sesen pun yang tersimpan di bank. Kini 
sudah kuatur siasat jitu bersama anak-cucu dan kerabatku, agar aku jangan 
sampai dipersalahkan di muka pengadilan, supaya segala kekayaan yang tersimpan 
di bank-bank luar negeri menjadi aman dan terlindungi. Aku akan manfaatkan 
semuanya itu untuk keperluan anak-cucu dan keturunanku, dan jangan sampai jatuh 
di tangan negara. 

Sampai kapanpun akan kurancang siasat ampuh, seperti yang sudah-sudah, agar 
masyarakat tetap bisa dibodohi dan dininabobokan. 



21


Terhitung mulai tanggal 21 Mei 1998 aku lengser kepabon atau mundur secara 
baik-baik. Secara konstitusional murni aku menyerahkan mandat kepada wakilku, 
seorang teknolog lugu dari kalangan sipil yang selama ini terang-terangan 
menganggapku sebagai "guru". Akan kubiarkan dia memimpin negeri ini dengan 
segala kepolosan dan keluguannya. 

Dan seperti dugaanku, hari-hari pemerintahannya kemudian dihiasi dengan 
keributan dan kekerasan brutal yang memuncak di sana-sini. Para pembantu dan 
bekas-bekas pendukungku, bahkan kesatuan militer hingga organisasi agama, yang 
dulu memanfaatkan sarana-fasilitas dari Orde Baru, yang dulu kami berikan 
bantuan moril dan materil, kini semakin adu otot, saling tuding dan saling 
menyalahkan. 

Sudah kuduga sebelumnya, mereka kemudian menjadi petualang-petualang politik di 
tiap-tiap kota dan propinsi, berebut kursi dan kekuasaan, menjadi raja-raja 
kecil, seakan-akan akulah yang menjadi guru dan teladan bagi mereka semua. 
Sementara itu, para koruptor kakap yang selama ini menjadi kaki-tanganku, 
dengan lihainya menyembunyikan diri untuk mundur selangkah, serta membiarkan 
hutang negara menumpuk, hingga menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, 
yang mengakibatkan kerusuhan dan keributan terus merebak di seluruh penjuru 
negeri. 

Biar sajalah semuanya itu terjadi. Toh aku sudah menjadi masyarakat biasa, dan 
aku tak perlu tanggungjawab mengenai semua huru-hara dan kekacauan di negeri 
ini. Aku perintahkan seorang anakku untuk merawatku dengan baik-baik, 
seakan-akan aku menderita sakit permanen, atau - kalau perlu - pura-pura sakit 
jiwa, agar aku terselamatkan dari tuntutan pengadilan. 

  

  

  

22


Partai-partai baru berdiri di sana-sini. Kekacauan semakin merebak di 
mana-mana. Angkatan muda menuntut agar aku beserta keluarga dan kroni-kroniku 
segera diadili atas pelanggaran HAM selama 32 tahun, juga tindakan korupsi, 
kolusi dan nepotisme (KKN). Mahkamah agung - sesuai lobi dan rancanganku - 
hanya memusatkan perhatian pada soal KKN, dan masyarakat pun sepertinya maklum. 

Sebelum itu, tentu saja sudah kuatur siasat dan strategi untuk menggelapkan, 
memalsukan serta memindah-tangankan semua nomor-nomor rekening atas namaku - 
baik di dalam dan luar negeri - hingga pembuktian materil tidak lengkap, dan 
karenanya tuntutan hukum bisa dimentahkan. Dan ketika saatnya diadakan 
pemeriksaan, orang-orang kejaksaan rupanya cukup lihai untuk menghimpun 
pertanyaan yang membuatku bisa berkelit ke sana kemari, hingga suasana tetap 
mengambang dan menemui jalan buntu. 

Ketika angkatan muda semakin berduyun-duyun memadati halaman kejaksaan agung, 
pemeriksaan pun dipindahkan ke tempat lain, tanpa sepengetahuan publik. 
Seketika itu para mahasiswa dan pemuda nampaknya sudah tidak bisa dikelabui 
lagi. Ada apa ini? Watak dan keberanian siapa yang mereka warisi? Perjuangan 
mereka sepertinya tanpa pamrih, dan atas dasar kemauan dan semangat mereka 
sendiri. 

Padahal pemuda angkatan '66 masih bisa diperalat dan dikelabui untuk 
menjatuhkan Soekarno, dengan berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan buat 
mereka. 

Tapi kali ini, coba bayangkan, mereka secara serentak meneriakkan yel-yel dan 
spanduk-spanduk bertuliskan: 

  

Bersihkan Kabinet dari Orang-orang Orde Baru 

Soeharto Dalang Semua Bencana 

Hentikan Penjajahan Gaya Orde Baru 

Rombak Badan Yudikatif Indonesia 

Bersihkan Aparat-aparat Hukum yang Tersangkut dengan Orde Baru 

Bung Karno dan Pendukungnya Harus Direhabilitasi 

  

Pada aksi-aksi demonstrasi di kampus-kampus dan jalanan, nampak pula 
spanduk-spanduk berbunyi: 

  

Usut Tuntas Surat Perintah Sebelas Maret 

Bubarkan 3 Partai Bentukan Orde Baru 

Jadikan Museum Lubang Buaya Sebagai Museum Rekayasa 

Orde Baru 

Tindak Tegas Para Perampok Hutan 

Perkuat Sistem Pertahanan Maritim Kita 

Revolusi Belum Selesai 

Kembalilah pada Bung Karno dan Semangat '45 

  

  

23


Kini aku tidak mau lagi mengikuti berita-berita yang terjadi di negeri ini. Aku 
harus mengisi masa-masa tuaku dengan istirahat penuh di rumah, meskipun aku 
masih kuat untuk berziarah ke makam istriku di Solo, atau menengok anakku di 
Nusakambangan. Entah karena kesalahan apa dia bisa mendekam di sana (tak 
seorang pun memberitahu aku). 

Sekarang aku tidak peduli bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari, bahkan 
nasib bangsa ini pun, aku tak mau ambil pusing. Ya, aku hanya senang mengikuti 
acara-acara televisi yang menyiarkan perjudian dan kuis-kuis, seperti Who Want 
to be a Millioners, baik dari dalam dan luar negeri. Selain itu, aku tidak 
peduli dan tidak mau ambil pusing perihal demonstrasi, spanduk-spanduk dan 
yel-yel yang bertebaran di sana-sini. Biar sajalah pemuda dan mahasiswa itu 
berteriak-teriak menggugat kami, toh mereka tidak paham tentang dunia hukum dan 
pengadilan Indonesia yang masih bisa disetting untuk bersikeras membelaku 
beserta kerabat dan saudara terdekatku. 

Kini aku sudah mempersiapkan pengacara-pengacara handal dan termahal di negeri 
ini, sambil kupancing daya tarik mereka agar bersimpati kepadaku. Mereka sudah 
kukerahkan untuk serentak tampil di depan publik, agar menyampaikan kesan-kesan 
baik tentang aku dan keluargaku. Aku berusaha bersikap sopan dan lembut di 
hadapan mereka, supaya mereka makin gigih dalam pembelaanya terhadap kami. 

Sampai kapanpun aku berusaha - dengan cara apapun - agar masyarakat Indonesia 
tetap menjadi bangsa-bangsa budak dan kuli, yang mudah diperalat dan dikelabui 
oleh segala-macam alasan dan perkataanku.. 

  

*** 

  

(Ditulis untuk menggugat buku "Sukarno File" karya Antonie CA Dake, dari hasil 
penelitian penulis selama 9 tahun, sekaligus sebagai korban langsung dari 
kejahatan rejim Soeharto dan Orde Baru).     

  

  

Hafis Azhari 

Ketua K2PSI 

(Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia ) 

Catatan Harian 

Seorang Mantan Presiden 

  

(Membongkar Dokumen Soeharto) 

  

Oleh Hafis Azhari 





1 

Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti ini. 

Sudah lama aku mempelajari buku-buku filsafat politik tentang cara-cara 
memimpin negeri. Aku hafal betul tentang apa yang ditulis oleh Machiavelli 
tentang teori-teori kepemimpinan serta cara-cara mengambil-alih kekuasaan. Aku 
sudah paham tentang tokoh-tokoh dalam filsafat Jawa, khususnya mengenai 
trik-trik Raja Kresna untuk menyelesaikan berbagai persoalan di muka bumi. Ya, 
dialah satu-satunya ahli strategi para Pandawa yang paling jitu. Figur 
reinkarnasi dari Wisnu yang identik dengan kebijaksanaan sejati. 

          Bagaimanapun aku harus mengarungi dunia dan tradisi Jawa yang sudah 
berjalan selama berabad-abad. Dunia pewayangan Jawa yang sangat kaya, dan 
begitu melekat dalam pandangan hidup rakyat Nusantara, juga berpengaruh kuat 
dalam gerak-langkah hidup mereka. 

          Tentu tidak lupa aku mempelajari buku-buku dari Negeri Cina juga, 
khususnya mengenai soal-soal kepemimpinan. Ada sebuah buku menarik berjudul 
"Ping Fa" yang dikarang oleh Sun Tzu sejak 510 BC. Buku itu diterjemahkan dalam 
bahasa Prancis oleh Joseph Amiot sejak 1782 M, kemudian diinggriskan dengan 
judul "Principles of War". Selama berminggu-minggu aku merenungi isi yang 
terkandung di dalamnya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa buku itu harus 
menjadi guru suciku, dan tidak boleh ada orang lain yang ikut membacanya. 

          Buku itu aku peroleh dari seorang petinggi militer, pada tahun-tahun 
ketika aku mengadakan studi kemiliteran di Seskoad (Sekolah Staf Komando 
Angkatan Darat). Sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia , entah 
oleh siapa. Namun bagaimanapun buku itu akan kujadikan pegangan hidupku, dan 
sampai sekarang pun akan tetap menjadi rahasia dalam hidupku. 

  

2 

Dulu waktu pangkat militerku masih rendah, bersama teman-teman tentara dan 
kerabatku, sering kami selundupkan barang-barang milik perusahaan Negara, 
bahkan memanipulasi dump kendaraan bermotor milik Divisi Diponegoro di Jawa 
Tengah. Kami pun sudah terbiasa mengadakan pungutan-pungutan liar untuk 
barang-barang kebutuhan rakyat. Namun semua itu tidak berjalan mulus. Suatu 
ketika kami terpergok dan tertangkap basah. Kemudian oleh seorang jenderal 
diusulkan kepada Presiden Soekarno bahwa aku mesti dipecat dari dunia 
kemiliteran. Seketika itu aku manfaatkan Jenderal TNI Gatot Soebroto - bapak 
angkatnya Bob Hasan - agar menghadap Soekarno secara langsung, supaya dia 
memberi maaf dan mengampuni segala perbuatan kami. Saat itu Soekarno pun 
mengusulkan agar kami dididik dan disekolahkan saja, karena menurutnya, 
"Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita masih rendah, karena itu 
kita semua harus bertanggungjawab untuk mendidiknya dengan baik," begitulah 
kata Soekarno, meskipun 
 aku tidak paham apa yang diomongkannya itu. 

          Segeralah Pak Gatot Soebroto mengontak Soewarto, seorang komandan 
Seskoad sekaligus agen aktif  CIA, yang kemudian berhasil menatar dan 
membekaliku dalam suatu kursus regular sebagai staf komando angkatan darat. 

          Mulai sejak itulah karir militerku cukup lancar dan terarah, meski 
semuanya tak terlepas dari gagasan dan kebijakan Soekarno sendiri selaku 
Presiden RI . Oleh karena itu aku berusaha merahasiakan periode ini dalam 
sejarah hidupku kelak. Aku tidak akan menyebut-nyebut soal jasa-jasa Soekarno. 
Dia memang bukan sembarang orang dalam sejarah berdirinya republik yang besar 
dan kaya-raya ini. 

  

3 

Peristiwa 30 September 1965 berkobar. 

Keributan dan huru-hara di Jakarta membuat aku merasa tenang dan puas, 
seakan-akan masadepan sudah bersinar dalam hatiku. Separah apapun kerusakan dan 
kerugian, bahkan sebanyak apapun korban yang ditimbulkan, aku berusaha bersikap 
diam dan tak ambil peduli. 

          Biar sajalah kekacauan itu terjadi. Tiapkali ada krisis kepercayaan 
pada pemerintah, biasanya kekerasan dan kekacauan timbul di mana-mana. Kalau 
perlu pembunuhan dan pembantaian sekalipun. 

Waktu itu pangkatku sudah Mayor Jenderal, dan posisiku sudah menjabat sebagai 
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sampai kapanpun aku tetap 
akan merahasiakan, bahwa karena jiwa pemaaf dan kearifan Soekarno-lah yang 
membuatku berhasil dalam meniti karir setinggi itu di dunia kemiliteran. 

  

  

  

  4 

        Sekali lagi, biar sajalah kerusuhan dan huru-hara itu terjadi. 

          Yang penting, sebelum tanggal 30 September 1965 posisiku harus berada 
di rumah sakit. Kini sudah kubawa seorang anakku ke rumah sakit, karena kakinya 
kesiram sayur sop. Aku akan menemaninya di rumah sakit, meskipun bisa diwakili 
oleh istriku atau anak sulungku, tetapi akulah yang harus menunggunya di sana . 

          Soalnya, sebelum kejadian itu telah datang seorang Komandan Brigif 
bernama Latif ke rumahku, untuk melaporkan adanya "Dewan Jenderal" serta 
rencana sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup oleh para jenderal, 
serta rencana untuk merebut kepemimpinan Soekarno. 

          Pelapor itu aku catat sebagai orang berbahaya, dan kelak akan 
kuasingkan di suatu tempat tersembunyi, serta tidak akan kubiarkan dia bicara 
di depan publik sampai kapanpun. 

          Orang bernama Latif itu sebetulnya tentara kepercayaanku sejak dulu. 
Waktu kehidupan keluarga kami masih sulit, dialah yang carikan beras untuk 
kami, juga dia yang carikan uang tambahan untuk keperluan keluarga kami. 

          Tapi bagaimanapun tetap aku catat sebagai orang berbahaya, supaya 
jangan membongkar persoalan-persoalan penting di masa lalu. 

          Dalam pledoinya di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) 
orang ini memberi pernyataan tegas: 

          "Kenapa harus saya yang berdiri di sini, Pak Hakim? Kenapa bukan 
Soeharto? Padahal dia sudah tahu akan adanya Gerakan di pagi hari." 

          Orang brengsek ini memang telah dua kali melapor sebelum peristiwa 
itu meletus. Pada malam 30 September dia menghadap lagi ke rumah sakit, katanya 
akan dilancarkan Gerakan pada pagi hari, guna mencegah terjadinya kudeta yang 
akan dilakukan oleh Dewan Jenderal. 

          Laporan itu tidak kutanggapi dan aku diam saja. Walaupun aku paham, 
mestinya tugas pengamanan ada di tanganku. Ya, sebagai Panglima Kostrad 
sekaligus orang kedua di Angkatan Darat, pada malam itu mestinya kuberitahu 
semuanya agar bersiap-siaga untuk pengamanan, karena pagi harinya akan ada 
Gerakan. 

          Tapi apapun yang akan terjadi, biar sajalah. Toh sejak dulu aku 
jarang diperhitungkan di Angkatan Darat. Kalau ada rapat-rapat petinggi 
militer, sepertinya mereka tidak pernah mengundangku. Boleh jadi mereka 
berpendapat bahwa aku ini bukan siapa-siapa, dan tidak mengerti apa-apa. 

          Dan sekarang, buktikan, siapa di antara kami yang menjadi orang nomor 
satu di negeri ini. Cara apapun harus ditempuh, dan aku akan memperjuangkannya 
sesuai pendirian dan keyakinanku. 

          Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekitar jam 06.00 pagi aku akan 
mengenakan seragam tempur, untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa aku sudah 
menghadap Presiden. Kalau Jenderal Ahmad Yani sudah mati, bukankah aku - 
sebagai orang kedua - yang mestinya memberi laporan pada Presiden Soekarno? 

          Tapi aku hanya berpura-pura di hadapan mereka semua. aku tidak perlu 
bertanggungjawab. apapun yang terjadi, biar sajalah.. 

  

5 

          Sekarang impian dan ambisiku sudah tercapai. Aku adalah Presiden 
kedua Republik Indonesia . Jalan apapun harus ditempuh. Aku manfaatkan segala 
pengetahuan dan pengalaman hidupku. Aku tidak akan menyia-nyiakan semuanya itu. 

          Kini Presiden Soekarno sudah jatuh. Menyusul pembantu-pembantu dan 
para pendukungnya harus dijatuhkan pula. (Lebih baik kupergunakan istilah 
"diganti" daripada "dijatuhkan"). Jadi, aku mengganti kepemimpinan Soekarno 
sekan-akan akulah yang dipercayakan menduduki tampuknya. Kini mereka semua 
harus "diamankan" (aku sengaja tidak memakai istilah "ditangkap"). Ya, mereka 
adalah the founding fathers, para perintis dan pendiri republik yang berupaya 
keras untuk berkorban memerdekakan bangsa ini. Dan siapa pula yang tidak 
mengenal Soekarno, satu-satunya pahlawan yang sanggup mempersatukan wilayah 
Nusantara, menciptakan persatuan di antara banyak suku, agama dan ideologi. Dia 
berhasil merumuskan dasar negara serta diproklamasikannya Republik Indonesia . 
Daya pukaunya dalam berpidato, telah sanggup membuat rakyat bergerak penuh 
semangat, bahkan rela berkorban dan mati demi kemerdekaannya. 

          Tentang itu semua, sejarah kita belum mencatatnya secara utuh dan 
bulat. Para sejarawan masih takut. Karena itu istilah "revolusi" kelak akan 
kami batasi sebagai perang kemerdekaan. Adapun lahirnya Pancasila, kelak kami 
rahasiakan pada angkatan muda. 

          Kini sejarah baru harus diciptakan. Aku kerahkan para penulis dan 
budayawan yang memihakku, serta kuberikan sarana dan fasilitas agar mereka 
menulis tentang seluk-beluk sejarah Indonesia . Kemudian kusensor karya-karya 
mereka secara ketat, agar terjadi keseragaman pandangan bahwa sejarah bangsa 
dan negeri ini identik dengan peristiwa 30 September 1965, yang di kemudian 
hari kuberi nama G30S/PKI. 

          Maka apapun yang terjadi sebelum itu, sebesar apapun, tak perlu 
dikategorikan sebagai sejarah Indonesia . 

  

  

  6


Belakangan muncul beberapa penulis dan budayawan yang menaruh perhatian khusus 
pada pledoi dan kesaksian Latif di pengadilan Mahmillub. Kemudian muncul pula 
sebuah penerbit buku independen yang menamakan diri "Hasta Mitra", dan dimotori 
oleh Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer dan Hasjim Rachman. 

Segeralah kukerahkan para penulis dari kalangan sejarawan, budayawan dan 
seniman agar mereka kompak mendukung pernyataanku tentang seluk-beluk peristiwa 
30 September 1965 itu. Telah kubentuk tim khusus untuk menciptakan sejarah baru 
tentang peristiwa itu; telah kukumpulkan sekelompok masyarakat untuk membikin 
kesaksian palsu; telah kubentuk tim dokter khusus untuk menyampaikan pembuktian 
yang dimanipulasi; juga telah kubangun tugu besar dan museum khusus untuk 
menciptakan kenangan dan ketakutan rakyat; bahkan aku namai museum itu dengan 
sebutan "Museum Lubang Buaya". 

Aku ciptakan kreasi itu dengan detil-detil cerita fiktif yang menakutkan. Dan 
beginilah kisah kejadian itu: 

"Pada pagi hari suatu Gerakan dari Partai Komunis Indonesia telah membantai dan 
membunuh jenderal-jenderal yang merupakan tulang-punggung bagi berjalannya 
revolusi negeri ini. Jenderal-jenderal itu telah diinterogasi dan dilukai 
sekujur tubuhnya. Kemaluannya dipotongi, dibiarkan mereka merintih 
bergelimpangan. Sedangkan para wanita yang tergabung dalam Gerakan Wanita 
Indonesia (Gerwani) berlenggak-lenggok mengelilingi para korban, sambil 
mengadakan tarian-tarian cabul." 

Yang jelas, aku harus membuat kreasi ini sebagus mungkin, agar seluruh 
masyarakat merinding ketakutan. Bahkan kuciptakan kreasi khusus, bersama 
bukti-bukti palsu bahwa Soekarno telah terlibat aktif dalam peristiwa tragis 
itu. Aku jadikan peristiwa itu patokan untuk memancing rasa kebencian. Untuk 
mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, sebagai 
lambang penderitaan manusia Indonesia sejak 1965 sampai kapanpun di masa yang 
akan datang. 

Ya, sudah kupelajari teknik-teknik seperti ini dari buku-buku tentang angkatan 
perang. Suatu teknik yang terbilang ampuh, dan sepanjang sejarah banyak 
dimanfaatkan angkatan perang di seluruh dunia. Dan kini, begitu banyak sarana 
teknologi untuk memberitakan kabar, sebagai pengungkap lambang dan 
simbol-simbol, yang kelak dapat membuat bulu kuduk siapapun akan merinding 
ketakutan. 

  

  

  7


Bicara tentang angakatan muda dan mahasiswa, yang kelak disebut sebagai 
"Angkatan 66", mereka punya andil tersendiri yang dapat kumanfaatkan bantuannya 
pada peristiwa 30 September 1965 itu. 

Ya, dari merekalah gerakan dimulai, dari mulut merekalah sumpah-serapah 
dilontarkan, di kampus-kampus, di lapangan hingga sampai ke jalan-jalan raya. 
Dari fasilitas militer juga disediakan truk-truk hingga panser untuk 
mengangkuti mereka agar berteriak-teriak menentang Soekarno. Spanduk-spanduk, 
yel-yel bertebaran di mana-mana. Belum lagi bantuan dana dari CIA, ditambah 
lagi bantuan jaket-jaket kuning agar dikenakan oleh para demonstran. 

Lantas kukerahkan utusan khusus untuk memaksa orang-orang Telkom agar memutus 
aliran telpon pada saluran-saluran yang telah kutentukan. 

Bersamaan dengan itu Mayjen Pranoto Reksosamodra telah ditunjuk oleh Presiden 
Soekarno selaku Care-Taker MENPANGAD. Aku harus mengupayakan agar dia tak bisa 
dihubungi, kalau perlu mencegahnya agar tidak datang memenuhi panggilan 
Presiden di Halim. 

Sebelum itu, pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 06.30 pagi, telah kuutus 
Brigjen dr. Amino agar memberitahu Pranoto perihal penculikan Letjen Ahmad Yani 
beserta jenderal-jenderal lainnya. Pranoto kontan berangkat menuju Markas Besar 
Angkatan Darat (MBAD) serta mengadakan rapat darurat. Setelah ditampung hasil 
laporan dari sumber-sumber yang telah diatur sedemikian rupa, maka rapat MBAD 
menyimpulkan begini: 

"Letjen Ahmad Yani beserta lima jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan 
penculik yang belum dikenal. Dengan ini rapat memutuskan bahwa Mayor Jenderal 
Soeharto, panglima Kostrad, agar mengambil-alih pimpinan Angkatan Darat yang 
sedang fakum." 

Pagi itu melalui kurir khusus, keputusan rapat segera disampaikan kepadaku, 
yang waktu itu sudah menunggu di Makostrad. 

Dan sewaktu muncul siaran RRI tentang penunjukan Pranoto sebagai Care-Taker, 
maka berturut-turut utusan Presiden memanggilnya agar segera menghadap ke 
Halim. Para utusan itu ialah Letkol Infantri Ali Ebram, Brigjen Sutardio, 
Brigjen Sunario dan Kolonel Bambang Wijanarko. 

Tapi apapun yang mereka lakukan, kini Pranoto sudah masuk jebakan dalam 
hubungan komando-taktis di bawah kewenanganku. Dia tidak akan bisa menghadap 
Presiden tanpa mendapat izin dan restu dariku. Dan sewaktu dia meminta izin, 
jelas aku larang mentah-mentah dengan suatu ancaman: 

"Kalau kau memaksakan diri menghadap Presiden, kami tidak bertanggungjawab akan 
kemungkinan adanya korban lagi.." 

 



8 

        Tibalah waktunya pada tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui 
macam-macam proses kejadian, ketika secara resmi aku telah menjabat Kepala Staf 
Angkatan Darat (KSAD), maka segeralah dibentuk susunan staf-staf baru, dan kini 
Pranoto hanya kami tempatkan sebagai perwira tinggi yang diperbantukan pada 
KSAD. 

          Kemudian pada tanggal 16 Februari 1966 kuperintahkan pasukan khusus 
untuk menahan Pranoto dengan tuduhan: terlibat dalam G30S/PKI. Pada tahun itu 
kuperintahkan agar ia segera dikenakan tahanan rumah, hingga kemudian 
dipindahkan ke Inrehab Nirbaya pada tahun 1969, juga dengan tuduhan yang sama. 
Dan untuk memperketat pengucilan dirinya sebaiknya ia dikenakan skorsing 
sebagai anggota angkatan darat, dengan tidak diberi gaji skorsing, juga tidak 
perlu diberi tunjangan apapun. 

          Lantas memasuki tahun 1981 ketika posisiku sebagai Presiden semakin 
diakui masyarakat, dan setelah keberhasilanku menciptakan mitos Bapak 
Pembangunan, maka kuperintahkan Panglima Kopkamtib untuk membuat surat 
pembebasan resmi. Hingga terhitung sejak tanggal 16 Februari 1981 Pranoto 
kubiarkan bebas dari tahanan, yang berarti bahwa selama 15 tahun ia mendekam 
dalam tahanan, tanpa pemberhentian dan pemecatan resmi dari keanggotaan 
Angkatan Darat. Juga tanpa pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita 
acara resmi. 

          Kini kubiarkan ia bebas dan - kalau perlu - silakan berbaur dengan 
masyarakat luas. Lagipula siapa yang akan mengakui keberadaan dia, dan siapa 
pula yang akan mendengarkan omongannya. Kini kepercayaan publik telah terpusat 
kepadaku sebagai Bapak Pembangunan, terutama jasa-jasaku dalam membangun negeri 
bersama dengan segala keamanan dan ketertiban nasional. 

          Orang-orang semacam dia tidak perlu direhabilitasi, serta tidak usah 
diberi uang pensiun sampai kapanpun. Dan pada suatu hari aku pun menerima 
laporan bahwa ia telah wafat di suatu rumah kumuh di wilayah Kramatjati, 
Jakarta . 

          Pranoto adalah satu dari sekian banyak pembantu dan pendukung 
Soekarno, yang kubiarkan mengalami nasib hidup seperti itu. Sekarang buktikan, 
siapa yang menang dan berjaya di antara kita.. 

  

  


9




 Sudah lama di kalangan masyarakat terjadi polemik yang dapat kusimpulkan 
menjadi dua golongan, yakni mereka yang berpendapat bahwa revolusi sudah 
selesai, sedangkan yang lain mengatakan bahwa revolusi belum selesai. 

Soekarno pernah menegaskan bahwa revolusi Indonesia harus melingkupi segala 
bidang sosial-politik, budaya dan ekonomi sekaligus. Bahwa revolusi kemerdekaan 
1945 hanyalah jembatan emas, dan kita harus memperjuangkan kemerdekaan dalam 
arti yang sebenar-sebenarnya. 

Entahlah, apa lagi yang diomongkan oleh Soekarno. Aku tidak paham. 

Sekarang aku hanya membagi menjadi dua kekuatan saja, yakni siapa-siapa yang 
berpihak dan mendukung pemerintahanku, sedangkan yang lain dapat digolongkan 
sebagai kelompok yang membahayakan, dan karenanya harus disingkirkan. 

Dari kalangan seniman sudah jelas siapa mendukung siapa. Siapa kubu bagi siapa. 
Maka segeralah dikerahkan kesatuan-kesatuan tentara guna membakar rumah-rumah 
tokoh seniman yang membangkang. Dan kami tinggal menunggu kabar-berita dari 
para utusan, apakah tugasnya berhasil, tanpa peduli berapa korban yang 
ditimbulkan dari aksi-aksi pembakaran rumah itu. Lagipula, mereka toh akan 
mengira bahwa tindakan itu akibat dari ulah-ulah lawan polemik mereka sendiri 
sesama seniman. 

Ada seorang seniman yang - karena keberaniannya - membuat kami kesulitan untuk 
menangkapnya, hingga sesudah berkali-kali utusan dikerahkan, selalu saja 
membawa laporan yang sangat menjengkelkan. Maka kubuatkan saja skenario khusus 
untuk proses penangkapannya. 

Seniman satu itu pernah menulis novel tentang taktik perang gerilya sejak masa 
kemerdekaan. Dari catatan sejarah dapat dilihat bahwa ia pernah 
malang-melintang di dunia revolusi, bahkan pejuang keras dalam menyelesaikan 
persoalan sejarah sastra Indonesia . Pada awal revolusi 1945 dipimpinnya sebuah 
majalah yang kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah pendudukan Belanda. 
Dia aktif menyebarkan selebaran-selebaran gelap untuk usaha-usaha revolusioner, 
yang membuatnya pernah tertangkap dan dikucilkan di Pulau Edam pada tahun 1949. 

Waktu penangkapannya, militer Belanda menyita empat novel karyanya mengenai 
peristiwa-peristiwa pada awal-awal revolusi 1945. 

Ya, tentulah dia adalah orang yang patut diperhitungkan dengan serius. Yang 
jelas, dari beberapa tulisannya dapat dipahami bahwa dia adalah pendukung setia 
dari kebijakan-kebijakan politik Soekarno. 

Dan untuk menghadapi seorang ahli perang gerilya, tentulah dibutuhkan 
siasat-siasat khusus untuk dapat meringkusnya. 





10


          Setelah berhasil ditangkap, aku mengutus seorang mayor dan dua letnan 
untuk menginterogasi seniman itu. Aku tinggal menerima laporan dari mereka, 
dengan menyediakan sebuah tape recorder dari hasil rekaman selama interogasi 
itu: 

          Ditanyakan oleh seorang letnan, bagaimana pendapatnya tentang Gerakan 
Untung, kemudian seniman itu menjawab: 

          "Aku tidak tahu apa-apa tentang Gerakan itu." 

          "Apakah Anda membenarkan Gerakan itu?" 

Seniman itu diam, kemudian jawabnya: 

"Kalau dapat kesempatan mempelajari peristiwa Gerakan 30 September, mungkin 
dalam beberapa tahun akan bisa saya jawab." 

"Anda percaya negara Indonesia ini akan menjadi negara komunis?" 

"Mungkin tidak." 

"Kenapa?" 

"Karena faktor geografi dan konservatifitas rakyat kita." 

Rupanya memang sulit untuk mencari-cari kesalahan dari pernyataan-pernyataan 
seniman itu. Namun karena dia termasuk pendukung setia dari pemikiran-pemikiran 
Soekarno, aku berkesimpulan bahwa orang ini akan membawa masalah di kemudian 
hari. Aku tetap menggolongkan dia sebagai orang berbahaya yang harus dijadikan 
korban. 

Dan bukankah Raja Kresna dalam filsafat Jawa tidak mengkhawatirkan berapapun 
jumlah korban, demi kelancaran pembangunan dan stabilitas negeri.? 





11


Untuk menangani para pembantu dan pendukung Soekarno rupanya tidak bisa seperti 
membalikkan telapak tangan. Aku harus mengerahkan ahli-ahli strategi dari 
kalangan militer, serta harus diperbantukan oleh pihak intelijen internasional 
seperti CIA. Dukungan dan bantuan Amerika memang sangat menggiurkan bagi 
kepentingan Angkatan Darat Indonesia, yang sejak tahun 1955 telah 
terang-terangan menampakkan kecurigaanya pada Soekarno, terlebih-lebih ketika 
ia diakui sebagai pemimpin besar Asia-Afrika. 

Maka segeralah di bulan-bulan awal tahun 1966, harus dikerahkan aksi-aksi 
profokasi untuk membuat keributan dan kekacauan di sekitar ibukota Jakarta, 
untuk menunjukkan bahwa pemerintahan Soekarno sudah tidak berdaya lagi untuk 
mengatasi aksi-aksi kerusuhan itu. Selain itu, aku akan mengusahakan agar 
Soekarno membuatkan surat-resmi yang berisi "pelimpahan kekuasaan", dengan 
ancaman bahwa aku tidak mau bertanggungjawab mengenai korban-korban, sekiranya 
kekuasaan negeri tidak dilimpahkan kepadaku. 

Saat itu di Istana Merdeka akan dilangsungkan Sidang Kabinet untuk membahas 
persoalan "tiga tuntutan rakyat" (tritura), maka dikerahkanlah sekelompok 
pasukan tentara berpakaian preman untuk membikin keributan di sekitar Istana 
Merdeka, serta untuk mengacaukan berlangsungnya Sidang Kabinet yang akan segera 
dilangsungkan. Kemudian ketika sidang dialihkan ke Istana Bogor, kuciptakan 
aksi-aksi teror hingga acara pun gagal lagi untuk ke sekian kalinya. 

Sementara itu di Jakarta sedang hiruk-pikuk oleh kerusuhan dan bentrokan keras 
antara mahasiswa dan aparat, maka korban-korban pun berjatuhan di sana-sini, 
antara lain dua korban yang kami tampilkan untuk menunjukkan ke publik bahwa 
pemerintahan Soekarno telah layak disebut sebagai "diktator". Dua korban itu 
adalah Arif Rahman Hakim dan Zainal Sakse, yang kelak akan kuberi gelar 
"Pahlawan Ampera" atau Amanat Penderitaan Rakyat, yang di kemudian hari  
berhasil memuluskan harapanku untuk membentuk Kabinet Pertama Orde Baru, dengan 
sebutan "Kabinet Ampera". 





12


Pada tanggal 11 Maret 1966 tiga orang Jenderal bawahanku telah kuutus untuk 
membawa surat pada Presiden Soekarno, yang isinya telah diatur sedemikian rupa, 
bahwa aku, Soeharto, tidak akan bertanggungjawab mengenai keamanan negeri, 
seandainya tidak diberikan kekuasaan penuh untuk menumpas G30S/PKI di seluruh 
Indonesia. 

Aku mintakan tiga Jenderal itu agar mendesak Presiden, supaya ia bersedia 
membuatkan surat perintah khusus kepadaku, yang kelak surat itu disebut sebagai 
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), meskipun redaksinya telah kurubah 
dari perintah pengamanan Jakarta, menjadi "pelimpahan kekuasaan kepada Jenderal 
Soeharto". Seketika itu kami umumkan mengenai surat itu, dan kami nyatakan pada 
masyarakat bahwa surat itu adalah mukjizat dari Tuhan yang dianugerahkan kepada 
rakyat dan bangsa Indonesia . 

Sebagai gebrakan awal, meskipun dengan cara-cara teror dan kekerasan, kami pun 
berhasil membubarkan Partai Komunis di seluruh Indonesia . Dalam beberapa hari, 
limabelas menteri pendukung Soekarno berhasil kami tangkap. Aku berpura-pura 
tidak tahu ketika Soekarno menyatakan kaget mendengar gebrakanku ini. Kabarnya 
dia bertanya-tanya, kenapa Soeharto melakukan tindakan-tindakan yang tidak 
dikonsultasikan lebih dahulu? Maka dalam hati aku menjawab, mengapa harus 
dikonsultasikan? Ini adalah politik, dan politik adalah siasat, dan siasat yang 
jitu harus diraih dengan sekuat-mungkin tanpa perlu konsultasi dari pihak 
manapun. 

Kemudian langkah-langkah selanjutnya, sebaiknya dipercepat sajalah. 

Pada tanggal 25 Juli 1966 harus diadakan Sidang Umum IV MPRS. Kabinet 
pemerintahan Soekarno (Dwikora) yang 15 menterinya telah ditahan, segara kami 
bubarkan. Sebagai gantinya kami bentuk kabinet baru AMPERA (Amanat Penderitaan 
Rakyat), yang tentunya akulah yang harus tampil sebagai Ketua Presidiumnya. Dan 
puncaknya segeralah diselenggarakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga 
12 Maret 1967 yang membuat aku diangkat menjadi Pejabat Presiden, dan kontan 
disambut hangat oleh Jenderal Besar A.H. Nasution, yang kemudian menandatangani 
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. 

Sejak saat itu, dicabutlah semua kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden 
Soekarno. Lantas diperintahkan agar dia dilarang keras melakukan kegiatan 
politik. Dan jalan terbaik sebaiknya dijebloskan sajalah ke dalam tahanan, 
menyusul para pembantu dan pendukung-pendukungnya di seluruh tanah air. 

Kini sejarah tentang mereka akan kami gelapkan. Pemahaman angkatan muda tentang 
mereka, akan kami alihkan. Keluarga-keluarga dan anak-cucu mereka, biarlah 
mengais-ngais rezeki berkalang tanah. Semua jasa-jasa dan jejak-langkah 
perjuangan mereka, akan kubuat kabur dan suram. 

Biar sajalah angkatan muda tidak mengenal sejarah bangsanya sendiri. 

Ya, semuanya itu bermula dari Supersemar. Bukankah itu suatu siasat jitu untuk 
menciptakan iklim perebutan kekuasaan berdasarkan cara-cara konstitusional.? 



13 


Kini kekuatan dari kalangan pers tengah dipersiapkan. Pers-pers pendukung 
Soekarno, serta pers-pers berhaluan kiri sudah dibredel semuanya. Para 
wartawannya sudah kami tahan. Kami mengutus beberapa tentara untuk menculik 
seniman nasional Trubus, Japoq Lampong serta pengarang lagu Genjer-genjer, 
namun kemudian para penculik mengabarkan adanya "kecelakaan" di tengah jalan. 
Aku memaklumi mereka, dan aku paham apa yang mereka maksudkan. 

Pada suatu hari aku juga menerima berita dari Solo tentang tertangkapnya 
seorang tokoh dari Partai Komunis. Secepat kilat aku harus mengatur strategi 
agar dia jangan sampai diperiksa, atau memberi pernyataan apapun di muka 
pengadilan. 

Mula-mula Kolonel Yasir dan pasukannya kuperintahkan melakukan penggrebekan di 
wilayah perkampungan Sambeng. Tokoh partai itu rupanya bersembunyi di rumah 
seorang pensiunan pegawai bea-cukai, yang kabarnya hidup bersama seorang 
cucunya yang masih gadis remaja. 

Ketika  gadis itu diancam mau digagahi beramai-ramai, maka kakek tua itu 
terpaksa memberitahu tempat persembunyian sang tokoh partai, yakni di belakang 
lemari yang tersekat tembok dinding. Seketika itu aku mengontak Kolonel Yasir 
agar segera menghabisi orang itu di tengah jalan, sebelum tiba di ibukota 
Jakarta . Setelah itu kami pun mengatur siasat untuk penggelapan mayatnya, agar 
orang-orang tidak dapat menemukan di mana rimbanya. 

Di kemudian hari, persoalan ini memang dipertanyakan oleh sejarawan-sejarawan 
angkatan muda yang berani mengungkap teka-teki ini: "Mengapa seorang tokoh 
penting yang menjabat Sekjen PKI serta menjabat resmi selaku Menko, telah 
dibunuh begitu saja, tanpa proses pengadilan?" 

Pernyataan ini senada dengan para penulis sejarah yang berani menggugat: 
"Mengapa Soekarno yang sudah siap diperiksa untuk menyampaikan yang sejujurnya 
perihal seluk-beluk G30S, lantas dikenakan tahanan rumah hingga wafatnya?" 

Untuk menangani persoalan pertama, aku mengarang jawaban seperti ini: 
"Dikarenakan tokoh partai itu melawan dan hendak melarikan diri, terpaksa kami 
tembak di tengah jalan." 

          Kemudian untuk menangani persoalan kedua, aku sudah mengatur jawaban 
seperti ini: "Dikarenakan Soekarno adalah bapak bangsa, maka kita harus 
mengamankan beliau. Tidak boleh ia dibawa ke pengadilan, karena kita harus 
menghormatinya, mikul duwur, mendem jero." 

          Dua jawaban itu kukira sudah cukup menjadi alasan kuat untuk 
mengibuli para sejarawan, budayawan atau kalangan pers di negeri ini. 

  



14


Ada seorang cendikiawan muslim dalam suatu wawancara di suratkabar, mengutip 
sebuah ayat Al-Quran yang berbunyi: "Barangsiapa memulai kezaliman maka ia akan 
berada dalam pertentangan yang tak berkesudahan." 

Aku tidak paham apa yang diomongkan si cendikiawan itu. 

Pada kesempatan lain dia mengutip dua buah ayat Al-Quran: "Barangsiapa membunuh 
manusia bukan karena kejahatannya maka ia telah membunuh seluruh manusia, 
barangsiapa memelihara hidup seorang manusia maka ia telah menghidupkan seluruh 
manusia. Mereka yang beriman, dan tidak mengaburkan imannya dengan kejahatan, 
mereka itulah yang memperoleh kedamaian dan bimbingan yang benar." 

Bahkan pernah pada suatu acara dialog di televisi, tokoh satu itu mengupas dua 
buah hadits Nabi yang berbunyi: "Seorang mukmin senantiasa mendapat kelonggaran 
dari agamanya selama ia tidak melakukan pembunuhan tanpa hak. Dan jika seorang 
penguasa mati dalam keadaan masih menipu rakyatnya, maka Tuhan akan 
mengharamkan sorga baginya.." 

Aku tidak mengerti apa maksudnya mengutip-ngutip ayat dan hadits semacam itu. 
Tapi dalam komentarnya tentang sosial-politik, tokoh satu itu kelihatan gegabah 
dan sembarangan. 

Dikiranya siapa dia. Punya kekuatan apa. 

Dari sindiran-sindirannya sering diungkap mengenai keluargaku atau keluarga 
cendana, bahkan disinggungnya perihal bisnis anak-cucu serta kerabat-kerabatku 
dengan gaya bahasanya yang mengandung teka-teki. Dikiranya aku tidak paham sama 
sekali, ke mana arah pembicaraannya itu. 

Mau apa dia. Apa mau menggulingkan dan mengambil-alih kepemimpinan yang 
susah-payah sudah kuraih mati-matian. 

Akhirnya tokoh satu ini pun patut diperhitungkan kelak demi berjalannya 
stabilitas dan keamanan negara. 

  



15


Pembangunan sarana dan infrastruktur sebaiknya dipacu secepat-mungkin. 
Kucetuskan istilah "Ideologi Pembangunan" agar merasuki pikiran masyarakat. 
Investor-investor datang membanjiri negeriku. Bantuan-bantuan ekonomi kami 
manfaatkan untuk pembangunan gedung-gedung megah di sana-sini. Kekayaan alam 
kami keruk dan jalur-jalur perekonomian dibentangkan, dan keuntungannya 
dimanfaatkan. Pengusaha-pengusaha asing kami undang demi kelestarian dan 
jaminan keamanan kapitalnya. 

Tentulah tawaran jutaan dollar yang dipromotori IMF sebagai modal pembangunan 
sungguh menggiurkan. World Bank, IGGI dan sekian lembaga internasional 
menawarkan program-programnya. Dan tanpa perlu pikir panjang, kami sambut 
semuanya dengan senang hati. 

Seorang pakar ekonomi Profesor Kurt Biedenkopf pernah menyatakan: "Ternyata 
bangsa-bangsa kaya hanya dapat bertahan dengan melakukan ekspansi untuk 
mengorbankan bangsa-bangsa yang lemah." 

Pernyataan macam itu searah dengan pidato-pidato Soekarno selama Konferensi 
Asia-Afrika di Bandung. Meskipun aku tidak banyak menyimak apa yang diomongkan 
mereka-mereka itu. Aku tak ambil pusing. 

Biar sajalah tatanan ekonomi berjalan. Segalanya mungkin bagi manusia dan boleh 
dikerjakan oleh siapapun. Karena itu para anak-cucu dan kerabat terdekatku 
kupercayakan untuk menangani bisnis-bisnis penting berskala besar. Segala 
sarana dan fasilitas buat mereka segera kupermudah. Maka kebutuhan pun segera 
diproduksi, agar produsen memproduksi pemenuhan kebutuhan yang terus-menerus 
disiasati. Tidak usah dipikirkan mana kebutuhan yang sebenarnya, dan mana yang 
harus direkayasa sedemikian rupa. Sampai produksi menjadi tuan dari kebutuhan 
dan dari manusia. Produksi mengabdi pada manusia ataupun manusia mengabdi demi 
produksi. 

Untuk kelancaran semuanya mau tidak mau harus diperjelas siapa yang harus 
dibantu dan dilindungi, dan siapa-siapa yang pantas untuk dikorbankan. 

Campur-tangan pemerintah sangat diperlukan untuk menegakkan Ideologi 
Pembangunan yang sudah kucetuskan. Sistem ekonomi koperasi yang digagas oleh 
Mohammad Hatta sengaja kami abaikan. Soalnya dia termasuk dari sekian banyak 
pembantu Soekarno yang paling dekat. 

Segala sistem aparatur sampai wilayah agama sekalipun harus ditangani dan 
dikendalikan oleh negara. Para tokoh agama, budayawan hingga cendikiawan harus 
ditundukkan untuk mengabdi pada kebijakan dan ketetapan pemerintah, karena yang 
boleh berlaku hanyalah ideologi dan tafsiran negara. Maka kami putuskan untuk 
membentuk tim propaganda khusus bersama departemen penerangan, untuk 
menyeragamkan segala informasi pada seluruh lapisan masyarakat, hingga kalangan 
ulama dan kiai-kiai pesantren di seluruh pelosok negeri. 

  



16


Ada lagi seorang tokoh publik dari kalangan penyanyi yang menjadi idola kaum 
muda selama beberapa dasawarsa. Kini dia semakin berani mengungkap beberapa 
peristiwa sengit yang sengaja sudah dirahasiakan. Namun dengan lantang dia 
membongkar tentang peristiwa Malari, Tanjung Priok, Timor-Timur hingga Aceh. 
Belum lagi masalah konflik Kedungombo, Nipah dan banyak lagi yang lainnya. 
Bahkan pada kesempatan lain dia pernah menyindir-nyindir soal korban-korban 
Orde Baru, pembangunan semu, kekayaan anak-cucu presiden dan para elite politik 
Indonesia . Kontan saja kalangan pers selalu mengikuti gerak-gerik dan 
jejak-langkahnya. 

Karena itu, penyanyi satu ini harus menjadi perhitungan tersendiri, dan aku 
harus merancang siasat khusus untuk dapat melumpuhkannya. 

Kini aku makin tekun merumuskan tentang siapa-siapa yang layak menduduki 
pemerintahan daerah, dari tingkat pusat hingga bawah, bahkan rektor-rektor 
universitas pun harus ditentukan oleh kekuatan Orde Baru. Sistem untuk 
menyaring dan memilih mereka sederhana saja, yakni seberapa jauh pemahamannya 
tentang peristiwa 30 September 1965, serta seberapa besar kewibawaannya di 
tengah masyarakat. Kalau sudah memenuhi kriteria, maka gulingkan saja mereka 
yang sudah duduk memimpin, atau sebaiknya digeser secara halus dan pasti, 
supaya masyarakat maklum bahwa cara-cara konstitusional telah ditempuh oleh si 
calon pemimpin baru itu. 

Untuk menangani wilayah-wilayah tertentu yang sulit diatasi, seperti 
Timor-Timur, Aceh dan lain-lain, maka operasi militer besar-besaran akan kami 
kerahkan. Beberapa petinggi-militer kupercayakan untuk menjadi komandan penuh, 
khususnya mereka yang pernah kuutus mengikuti program Terrorism in Low 
Intensity Conflict, yakni suatu pelatihan training bagaimana membuat aksi-aksi 
profokasi dan teror, yang diselenggarakan oleh Pentagon melalui program 
kerjasama militer IMET. 

  



17


Rupanya makin lama makin memerlukan penanganan serius. Aku mencoba menenangkan 
masyarakat, seakan-akan keadaan aman dan tidak terjadi apa-apa. 

Tiga majalah dan tabloid dibredel sekaligus, agar tak ada lagi yang mencoba 
menghasut dan memprofokasi masyarakat, serta agar menjadi pelajaran berharga 
bagi yang lainnya. 

Namun reaksi yang terjadi malah sebaliknya. Seketika itu muncul gelombang 
protes untuk membela majalah dan para wartawan yang bertugas. Dan setelah kami 
terbitkan majalah baru sebagai tandingannya, rupanya gelombang protes semakin 
marak dan meluas di mana-mana. Mereka menyerukan pembelaan terhadap Muchtar 
Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, Udin Syafrudin, Xanana Gusmao, Budiman 
Sujatmiko, Wiji Thukul dan banyak lagi yang lainnya. 

Belum lagi penghargaan Hak Asasi Manusia kepada pahlawan buruh yang bernama 
Marsinah. Bahkan penganugerahan Nobel Perdamaian kepada politikus Ramos Horta 
dan rohaniwan Ximenes Belo untuk perjuangan Timor-Timur. Ditambah lagi 
kasus-kasus baru karena maraknya teknologi komunikasi dan media informasi: di 
Indonesia bagian timur diberitakan tentang ratusan ribu korban rakyat 
Timor-Timur, di bagian barat dikabarkan ribuan korban rakyat Aceh. Belum lagi 
Ambon, Maluku, Poso, Lampung, Makassar dan seterusnya. 

Mau tidak mau semuanya harus ditangani secara serius. Mau tidak mau harus 
terjadi bentrokan di sana-sini. Mau tidak mau harus ada korban-korban baru yang 
menjadi tumbal, agar dijadikan pelajaran berharga bagi yang lainnya. 

Ya, mengapa tidak. Bukankah stabilitas nasional dan roda-roda pembangunan harus 
berjalan terus. 

Kini aku pun tinggal memantau dan menerima hasil laporannya: 

Kematian wartawan bertambah lagi; bentrokan mahasiswa dan aparat semakin 
menelan banyak korban; para aktifis LSM sudah diamankan; para penulis buku 
tentang Soekarno sudah ditangkapi; ratusan orang telah diciduk dan dikurung 
secara rahasia; puluhan orang yang tertembak di lapangan sengaja dirahasiakan 
jejak-jejaknya, dan banyak lagi yang lainnya. 

  



18


Namun angkatan muda negeri ini semakin berani dan berani saja. Ada apa ini. 
Dari mana asal muasalnya, dan watak siapa yang mereka warisi. 

Ada lagi laporan mengenai ulah seorang sastrawan yang baru dibebaskan dari 
Pulau Buru, tiba-tiba dia menulis buku yang berjudul "Arus Balik". Coba 
bayangkan, judulnya saja Arus Balik. Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Sebelum itu pun sudah diluncurkan oleh Penerbit Hasta Mitra, sebuah buku yang 
berjudul, "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu", menyusul sebuah buku lagi: "Era Baru 
Pemimpin Baru: Badio Menolak Rekayasa Rezim Orde Baru". 

Tak berapa lama mulai bermunculan penerbit-penerbit independen yang mengikuti 
jejak Hasta Mitra, lantas menerbitkan buku-buku yang berjudul seperti ini: 
"Kehormatan bagi Yang Berhak", "Bayang-bayang PKI", kemudian seorang etnis Cina 
berani-beraninya meluncurkan otobiografinya dengan judul: "Memoar Oei Tjoe Tat: 
Pembantu Presiden Soekarno". 

Tentu saja aku harus membuat gebrakan untuk melarang semua buku-buku semacam 
itu.. 

  



19


Tapi makin lama keadaan makin parah saja. Gelombang demonstrasi makin marak di 
mana-mana. Negeri ini seperti dikepung oleh gurita raksasa yang membuat aku 
merinding ketakutan. Bantuan-bantuan ekonomi dicabut dari negara-negara asing. 
Timor-Timur menuntut kemerdekaan mutlak. Aceh dan Irian Jaya ikut-ikutan 
bergolak. Sedangkan di Jakarta sendiri, kerusuhan terjadi di mana-mana. 
Gedung-gedung megah terbakar, pusat-pusat pertokoan dijarahi massa , bahkan 
dalam satu hari dikabarkan telah terjadi pemerkosaan massal yang mengorbankan 
150 lebih para wanita dari etnis Cina. 

Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Para investor dan pengusaha asing pada kabur ke negerinya masing-masing. Mereka 
menuntut kejelasan tatanan ekonomi serta penyelenggaraan hak asasi manusia yang 
baik di Indonesia . 

Ada apa ini? Ada soal apa di negeri ini? 

Bukankah lebih dari 30 tahun aku memimpin negeri ini, dan selama itu tak pernah 
kuhadapi hal-hal aneh yang mengherankan macam ini? Aku tidak paham. aku tidak 
ngerti semua kejadian ini. ampun, aku sudah tidak sanggup lagi.. 

Namun tiba-tiba mereka yang ikut-serta mendirikan pemerintahan Orde Baru pada 
hengkang dan berlarian ke sana kemari. Mereka telah berpaling dari komitmen 
semula. mereka saling berpencar dan kocar-kacir tak keruan.. 

Lantas siapa yang akan menanggung semuanya ini. di mana kawan-kawan dan 
mitra-mitra bisnisku. di mana tanggungjawab mereka. kenapa mereka diam saja. 
kenapa mereka tak ambil peduli. apakah aku harus segera melarikan anak-cucu dan 
semua kerabatku ke luar negeri.. 

  



20


Bagaimanapun aku harus berusaha bersikap tenang. Akan kurancang siasat jitu 
untuk mundur dari kursi pemerintahan. Akan kurekayasa bahasa yang tepat untuk 
dapat menenangkan masyarakat. Sebab ada seorang seniman memakai istilah 
"terjengkang dari kursi kekuasaan". Aku harus memasyarakatkan istilah Jawa, 
yakni "lengser keprabon" (yang berarti mundur secara baik-baik). 

Aku harus manfaatkan siasat-siasat lamaku, serta mengatur situasi dan kondisi 
untuk menyelesaikan kepemimpinanku secara sah dan konstitusional. Bukankah 
cara-cara semacam ini pernah dipercayai masyarakat, hingga berhasil 
mengangkatku menjadi orang nomor satu di negeri ini? 

Akan kuciptakan suasana seakan-akan aku dengan sukarela meletakkan jabatan 
serta memberikan mandat kepada Wakil Presiden. Aku yakin masyarakat tidak 
banyak komentar. Mereka tidak mengerti apakah cara-cara ini legal atau tidak, 
karena aku telah berhasil mengelabui mereka agar tidak paham dan buta politik. 
Aku yakin bahwa mereka akan tetap menghormatiku dan tunduk kepadaku. Juga akan 
kusebarkan berita dan informasi di seluruh jaringan televisi dan radio, bahwa 
saat ini aku tidak memiliki kekayaan sesen pun yang tersimpan di bank. Kini 
sudah kuatur siasat jitu bersama anak-cucu dan kerabatku, agar aku jangan 
sampai dipersalahkan di muka pengadilan, supaya segala kekayaan yang tersimpan 
di bank-bank luar negeri menjadi aman dan terlindungi. Aku akan manfaatkan 
semuanya itu untuk keperluan anak-cucu dan keturunanku, dan jangan sampai jatuh 
di tangan negara. 

Sampai kapanpun akan kurancang siasat ampuh, seperti yang sudah-sudah, agar 
masyarakat tetap bisa dibodohi dan dininabobokan. 



21


Terhitung mulai tanggal 21 Mei 1998 aku lengser kepabon atau mundur secara 
baik-baik. Secara konstitusional murni aku menyerahkan mandat kepada wakilku, 
seorang teknolog lugu dari kalangan sipil yang selama ini terang-terangan 
menganggapku sebagai "guru". Akan kubiarkan dia memimpin negeri ini dengan 
segala kepolosan dan keluguannya. 

Dan seperti dugaanku, hari-hari pemerintahannya kemudian dihiasi dengan 
keributan dan kekerasan brutal yang memuncak di sana-sini. Para pembantu dan 
bekas-bekas pendukungku, bahkan kesatuan militer hingga organisasi agama, yang 
dulu memanfaatkan sarana-fasilitas dari Orde Baru, yang dulu kami berikan 
bantuan moril dan materil, kini semakin adu otot, saling tuding dan saling 
menyalahkan. 

Sudah kuduga sebelumnya, mereka kemudian menjadi petualang-petualang politik di 
tiap-tiap kota dan propinsi, berebut kursi dan kekuasaan, menjadi raja-raja 
kecil, seakan-akan akulah yang menjadi guru dan teladan bagi mereka semua. 
Sementara itu, para koruptor kakap yang selama ini menjadi kaki-tanganku, 
dengan lihainya menyembunyikan diri untuk mundur selangkah, serta membiarkan 
hutang negara menumpuk, hingga menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan, 
yang mengakibatkan kerusuhan dan keributan terus merebak di seluruh penjuru 
negeri. 

Biar sajalah semuanya itu terjadi. Toh aku sudah menjadi masyarakat biasa, dan 
aku tak perlu tanggungjawab mengenai semua huru-hara dan kekacauan di negeri 
ini. Aku perintahkan seorang anakku untuk merawatku dengan baik-baik, 
seakan-akan aku menderita sakit permanen, atau - kalau perlu - pura-pura sakit 
jiwa, agar aku terselamatkan dari tuntutan pengadilan. 

  

  

  

22


Partai-partai baru berdiri di sana-sini. Kekacauan semakin merebak di 
mana-mana. Angkatan muda menuntut agar aku beserta keluarga dan kroni-kroniku 
segera diadili atas pelanggaran HAM selama 32 tahun, juga tindakan korupsi, 
kolusi dan nepotisme (KKN). Mahkamah agung - sesuai lobi dan rancanganku - 
hanya memusatkan perhatian pada soal KKN, dan masyarakat pun sepertinya maklum. 

Sebelum itu, tentu saja sudah kuatur siasat dan strategi untuk menggelapkan, 
memalsukan serta memindah-tangankan semua nomor-nomor rekening atas namaku - 
baik di dalam dan luar negeri - hingga pembuktian materil tidak lengkap, dan 
karenanya tuntutan hukum bisa dimentahkan. Dan ketika saatnya diadakan 
pemeriksaan, orang-orang kejaksaan rupanya cukup lihai untuk menghimpun 
pertanyaan yang membuatku bisa berkelit ke sana kemari, hingga suasana tetap 
mengambang dan menemui jalan buntu. 

Ketika angkatan muda semakin berduyun-duyun memadati halaman kejaksaan agung, 
pemeriksaan pun dipindahkan ke tempat lain, tanpa sepengetahuan publik. 
Seketika itu para mahasiswa dan pemuda nampaknya sudah tidak bisa dikelabui 
lagi. Ada apa ini? Watak dan keberanian siapa yang mereka warisi? Perjuangan 
mereka sepertinya tanpa pamrih, dan atas dasar kemauan dan semangat mereka 
sendiri. 

Padahal pemuda angkatan '66 masih bisa diperalat dan dikelabui untuk 
menjatuhkan Soekarno, dengan berbagai sarana dan fasilitas yang disediakan buat 
mereka. 

Tapi kali ini, coba bayangkan, mereka secara serentak meneriakkan yel-yel dan 
spanduk-spanduk bertuliskan: 

  

Bersihkan Kabinet dari Orang-orang Orde Baru 

Soeharto Dalang Semua Bencana 

Hentikan Penjajahan Gaya Orde Baru 

Rombak Badan Yudikatif Indonesia 

Bersihkan Aparat-aparat Hukum yang Tersangkut dengan Orde Baru 

Bung Karno dan Pendukungnya Harus Direhabilitasi 

  

Pada aksi-aksi demonstrasi di kampus-kampus dan jalanan, nampak pula 
spanduk-spanduk berbunyi: 

  

Usut Tuntas Surat Perintah Sebelas Maret 

Bubarkan 3 Partai Bentukan Orde Baru 

Jadikan Museum Lubang Buaya Sebagai Museum Rekayasa 

Orde Baru 

Tindak Tegas Para Perampok Hutan 

Perkuat Sistem Pertahanan Maritim Kita 

Revolusi Belum Selesai 

Kembalilah pada Bung Karno dan Semangat '45 

  

  

23


Kini aku tidak mau lagi mengikuti berita-berita yang terjadi di negeri ini. Aku 
harus mengisi masa-masa tuaku dengan istirahat penuh di rumah, meskipun aku 
masih kuat untuk berziarah ke makam istriku di Solo, atau menengok anakku di 
Nusakambangan. Entah karena kesalahan apa dia bisa mendekam di sana (tak 
seorang pun memberitahu aku). 

Sekarang aku tidak peduli bagaimana nasib anak-anakku di kemudian hari, bahkan 
nasib bangsa ini pun, aku tak mau ambil pusing. Ya, aku hanya senang mengikuti 
acara-acara televisi yang menyiarkan perjudian dan kuis-kuis, seperti Who Want 
to be a Millioners, baik dari dalam dan luar negeri. Selain itu, aku tidak 
peduli dan tidak mau ambil pusing perihal demonstrasi, spanduk-spanduk dan 
yel-yel yang bertebaran di sana-sini. Biar sajalah pemuda dan mahasiswa itu 
berteriak-teriak menggugat kami, toh mereka tidak paham tentang dunia hukum dan 
pengadilan Indonesia yang masih bisa disetting untuk bersikeras membelaku 
beserta kerabat dan saudara terdekatku. 

Kini aku sudah mempersiapkan pengacara-pengacara handal dan termahal di negeri 
ini, sambil kupancing daya tarik mereka agar bersimpati kepadaku. Mereka sudah 
kukerahkan untuk serentak tampil di depan publik, agar menyampaikan kesan-kesan 
baik tentang aku dan keluargaku. Aku berusaha bersikap sopan dan lembut di 
hadapan mereka, supaya mereka makin gigih dalam pembelaanya terhadap kami. 

Sampai kapanpun aku berusaha - dengan cara apapun - agar masyarakat Indonesia 
tetap menjadi bangsa-bangsa budak dan kuli, yang mudah diperalat dan dikelabui 
oleh segala-macam alasan dan perkataanku.. 

  

*** 

  

(Ditulis untuk menggugat buku "Sukarno File" karya Antonie CA Dake, dari hasil 
penelitian penulis selama 9 tahun, sekaligus sebagai korban langsung dari 
kejahatan rejim Soeharto dan Orde Baru).     

  

  

Hafis Azhari 

Ketua K2PSI 

(Kelompok Kerja Perumusan Sejarah Indonesia ) 




[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Catatan Harian Seorang Mantan Presiden