[UntirtaNet] Final Piala Thomas 1976, Permainan Penuh Inovasi

  • From: "Irianto, Yayan" <yayantea@xxxxxxxxxxxxx>
  • To: <untirtanet@xxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Thu, 9 May 2002 17:54:29 -0400

Final Piala Thomas 1976, Permainan Penuh Inovasi

FINAL Piala Thomas 1976 di Bangkok, Thailand, sebenarnya bukanlah final yang
istimewa. Mengapa? Indonesia yang merupakan juara bertahan telah lima kali
memenangi kejuaraan beregu putra itu sejak tahun 1958. Kesuksesan Indonesia
hanya diselingi keberhasilan Malaysia merebut piala yang disumbangkan Sir
George Thomas Bart tersebut pada tahun 1967.

Itu pun bukan lewat pertarungan hingga pertandingan terakhir yang
mendebarkan jantung dan mendirikan bulu roma. Piala Thomas ketika itu lepas
karena referee menghentikan pertandingan dalam kedudukan 4-3 untuk Malaysia.
Penyebabnya, wasit kehormatan Herbert Scheele menilai polah penonton Istora
Senayan tidak dapat ditolerir dan sangat merugikan tim tamu.

IBF kemudian memutuskan pertandingan sisa harus dilanjutkan di Selandia
Baru. Indonesia menolak, dan terbanglah sang piala ke Kuala Lumpur.

Kembali ke final atau saat itu dikenal sebagai Challenge Round 1976, apa
yang dapat dilihat di sana? Yang jelas itulah pertama kali Indonesia mampu
meraih kemenangan terbesar atas lawan di final untuk pertama kalinya.
Malaysia digulung 9-0 tanpa mampu meraih kemenangan satu partai pun.

Indonesia saat itu memang memiliki dream team. Kubu Indonesia diperkuat para
juara-juara All England yang kala itu menjadi barometer tertinggi turnamen
perseorangan dunia. Indonesia memiliki Rudy Hartono juara delapan kali, para
pemain ganda Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata, dan Ade Chandra
yang dalam empat tahun terakhir menjadi juara di Wembley. Indonesia juga
membawa pemain muda dengan smes tercepat di dunia, Liem Swie King.

Mereka adalah para pemain yang mampu mengubah permainan bulu tangkis dengan
segala inovasi-inovasinya. Catat saja Rudy sebagai pemain yang pertama kali
memperkenalkan pukulan over head smash. Bila shuttle cock melaju ke sisi
kirinya, Rudy tidak mengambil lewat pukulan back hand sebagaimana lazimnya.

Menghadapi itu Rudy malah menyondongkan tubuh lebih ke kiri dan memukul
dengan cara fore hand. Bukan pukulan biasa, tetapi sebuah smes keras. Cara
seperti itu kini dapat terlihat antara lain pada pemain muda berusia 17
tahun, Sony Dwi Kuncoro.

King lebih gila lagi. Dia tidak mau menunggu pasif bola lambung meluncur
jatuh untuk dismes. King memilih untuk jemput bola, meloncat dan memukul
keras shuttle cock ketika tubuhnya masih melayang.

King sendiri mengaku lupa-lupa ingat bagaimana awalnya dia bisa melakukan
gaya yang dulu dijuluki sebagai King's smes dan kini dikenal dengan loncatan
smes. "Mungkin cara seperti itu dulu kurang lazim ya," tuturnya.

King memaparkan, pada dasarnya dia adalah pemain menyerang yang tidak
menyukai bola-bola reli yang lamban. Agar permainan bisa berlangsung lebih
cepat, King berusaha agar secepat mungkin menghampiri bola begitu masuk
wilayah permainannya.

Itu termasuk kalau bola masih melambung tinggi. "Saya maunya main cepat
kalau bola dekat net saya serobot. Kalau bola di atas ya saya harus loncat
agar tidak menunggu terlalu lama. Kalau bola sampai dekat permukaan kan
nunggunya lebih lama," kata King.

Tren permainan cepat dan penuh tenaga atau mengandalkan speed dan power juga
dipopulerkan para pemain ganda. Ade Chandra mengisahkan, permainan seperti
itu merupakan hasil rembukan dirinya dengan Christian, Tjun Tjun, dan Johan
dan pelatih fisik Budiman WK.

Kala itu, para pemain Eropa yang masih dominan masih gemar bermain cantik
dengan reli-reli panjang dan penempatan-penempatan bola akurat. Ade dan
teman-teman tidak suka yang seperti itu. Bagi mereka dalam olahraga
tujuannya adalah kemenangan. Jadi itu harus dilakukan meski harus merusak
"pakem" yang sudah digemari penonton.

"Akhirnya kami putuskan kalau mau menang, harus main cepat tidak peduli
dibilang bagus atau tidak. Bola dipukul keras terus dan menyerobotnya
secepat mungkin saat datang. Itu hasil pemikiran kami para pemain saat itu,"
kenang Ade.

Permainan seperti itu ternyata menuntut kemampuan refleks. Inilah yang
menjadi perpaduan kemampuan Johan Wahyudi/Tjun Tjun dan Christian/Ade
Chandra.

"Ketika menemukan inspirasi untuk melatih refleks dalam bulu tangkis ganda
yaitu pada saat melihat permainan tenis meja. Bola tenis meja yang bergerak
lebih cepat daripada shuttle cock itu ternyata selalu dapat dikejar. Dari
sini akhirnya diperoleh inspirasi refleks yang harus dilatih," kata Johan.

Dibanding Tjun Tjun, Johan yang harus lebih melatih kemampuan itu, terutama
untuk memperkuat kemampuan memukul bola kiri. Ia berlatih dengan memukul
bola tersebut ke dinding. Di dinding diberi garis dengan ketinggian tertentu
sebagai patokan titik pukulan bola.

Tjun Tjun pada waktu itu lebih banyak bertugas untuk mencatat
pukulan-pukulan Johan dengan waktu tertentu. Pada setiap menit ia berhasil
memukul bola kiri ke tembok sebanyak sekitar 20 kali. Kemampuan refleks yang
dilatih dengan cara seperti itu, karena bola kembali dari tembok selalu
tidak beraturan. Kemampuan refleks ini sangat menunjang untuk mengembalikan
pukulan bola keras, sehingga tidak terlambat dalam memukul balik.

"Keberhasilan menjadi juara itu tidak hanya ditunjang dengan latihan di
lapangan saja. Latihan pukulan ke dinding ini tidak pernah dilihat dan
sangat menunjang peningkatan kemampuan di lapangan," kata Johan.

Namun, untuk menang, terlebih dahulu harus mampu menganalisis kelemahan dan
kelebihan lawan. Ia bersama Tjun Tjun selalu mencatat kelemahan dan
kelebihan pemain-pemain yang akan menjadi lawan tanding mereka.

Pada kesempatan meraih juara All England pada masa itu, Johan dan Tjun Tjun
lebih sering memperoleh lawan dari negara-negara Eropa. Di antaranya
Denmark, Swedia, dan Inggris. Kelemahan menonjol dari lawan-lawan tersebut,
ketika harus mengembalikan smash body atau pukulan keras mengarah badan.

Pukulan tersebut sulit dikembalikan oleh lawan, karena postur tubuh orang
Eropa memang sulit untuk bergerak liat dan cepat ketika menerima smash body.
Untuk menciptakan peluang smash body itu, menurut Johan, diawali dengan
pukulan-pukulan cop (menukik tajam) dan drop shot (pukulan pendek mendekat
jaring net). Biasanya, bola-bola pengembalian lawan menjadi peluang untuk
mematikan dengan smash body tersebut. Ini kunci keberhasilan Johan dan Tjun
Tjun pada masanya.


===============================================================
(C)opyright 1999-2002 UntirtaNet
Milis ini dikelola oleh alumni Universitas Tirtayasa Banten - Indonesia 
dan terbuka untuk semua Civitas Academica Universitas Tirtayasa Banten 
Untuk berlangganan, kirim email ke: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx, dengan  
Subject 'Subscribe' atau lansung ke  //www.freelists.org/cgi-bin/list?
list_id=untirtanet Untuk kirim pesan: untirtanet@xxxxxxxxxxxxx
Please visit our Homepage: http://www.untirtanet.org
---------------------------------------------------------------------------

Other related posts:

  • » [UntirtaNet] Final Piala Thomas 1976, Permainan Penuh Inovasi