Tua-tua keladi.... Makin tua makin nggapleki.... M.Hafidz Anwar Powered by BlacksweetBerry® -----Original Message----- From: "Desi Dian Kautsar" <desi.dian@xxxxxxxxxxxxxxxx> Sender: tea-corner-bounce@xxxxxxxxxxxxx Date: Sat, 11 Feb 2012 18:03:19 To: <tea-corner@xxxxxxxxxxxxx> Reply-To: tea-corner@xxxxxxxxxxxxx Cc: <gunawan.prakoso@xxxxxxxxx> Subject: [breaktime-corner] Re: Tua di Jalanan Kalo saya tua di PT masbroo.. hehe.. From: tea-corner-bounce@xxxxxxxxxxxxx [mailto:tea-corner-bounce@xxxxxxxxxxxxx] On Behalf Of gunawan prakoso Sent: Saturday, February 11, 2012 2:38 PM To: tea-corner@xxxxxxxxxxxxx Cc: gunawan.prakoso@xxxxxxxxx Subject: [breaktime-corner] Tua di Jalanan Tua di Jalanan Ini kisah para penglaju di Bali, yang setiap hari harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai di tempat kerjanya. Untuk yang bekerja mulai jam 8 pagi, ada yang harus berkemas dari kampungnya sebelum matahari terbit. Mereka ada yang berasal dari Mambang Tabanan bekerja di Sanur, jauhnya sekitar 50 km sekali jalan. Ada juga yang tinggal di Kamasan Klungkung tapi bekerja di Uluwatu, jaraknya sekitar 60 km. Dan itu harus ditempuh 2 kali pagi dan sore hari. Bagi para pekerja yang ulet dan tekun ini, umur mereka habiskan di jalanan. Karena bila tiap hari mesti berkendaraan 2 jam ketika berangkat dan 2 jam lagi ketika pulang, total dalam setahun mereka melaju diatas kendaraan untuk pergi pulang kerja sebanyak 1440 jam atau sama dengan 60 hari. Dalam sepuluh tahun hampir seribu hari untuk berkendara saja. Bila orang mesti pensiun di umur 70 maka separo usianya habis di jalanan. Sesuatu yang sangat merugikan, karena waktu yang panjang itu mestinya bisa dimanfaatkan untuk hal yang lebih berguna ketimbang cuma tepekur penuh konsentrasi di jalanan yang liar dan sempit serta selalu macet itu. Tapi tak ada pilihan lain buat para pengelaju itu, karena kewajiban adat membuat mereka harus selalu ada di kampungnya. Bila tinggal di tempat kerja dianggap pemborosan karena terkena pajak bernama Kipem, membayar kontrak rumah, sewa listrik air dan kebersihan. Bila melaju di jalanan di Sempidi Badung, di Munggu, atau di Tembau di bagian timur kita selalu berpapasan dengan gerombolan pengelaju yang mengendarai kendaraannya dengan kecepatan penuh. Antara 60 sampai 70 km perjam. Ini untuk mencapai target waktu agar sampai ditempat kerja sebelum lonceng berbunyi. Made Sudi 40 tahun, sebagai salah satu contoh. Dia tinggal di kawasan Tohpati Kesiman tapi bekerja di Tanjung Benoa, karena tidak kuat mengontrak rumah di kawasan dekat pelabuhan itu. "Ini termasuk jarak dekat karena ada yang menempuh jarak 40 km untuk mencapai tempat kerjanya dan mereka tak mengeluh, karena bisa ngayah di banjar, bisa dekat dengan anak istri dan biayanya lebih murah," tuturnya. Perhitungannya adalah, bila tinggal dekat tempat kerja misalnya di Nusa Dua, sewa rumah Rp 500.000 sebulan, belanja dapurnya Rp 25.000 perhari, bayar listrik Rp 10.000, keamanan dan Kipem sekitar Rp 8.000 perhari. Sebulan mereka mesti merogoh kocek Rp 1,3 juta. "Bila penghasilan cuma Rp 2 juta sebagai karyawan hotel, sisanya hanya bisa digunakan untuk membeli krupuk, kalau tinggal di kampung hanya kena transport dan jajan di jalanan, sisanya bisa untuk mengepulkan dapur, dan membelikan istri kalung," ungkap Sudi. Dengan uang sejumlah itu mereka bisa mencicil motor yang dalam sebulannya tak sampai Rp 300.000. Jalan yang mulus yang menghubungkan tempat kerja mereka dengan kampung halaman, itulah yang menjadi pilihan kenapa menjadi pengelaju. Disamping yang utama adalah karena adanya awig adat yang mengharuskan setiap warga adat harus selalu siap bila ada suara kentongan di pukul sewaktu waktu. Selebihnya juga karena biaya hidup yang mahal di tempat kerja mereka. Sewa rumah, makan di warung juga hiburan di keramaian yang mencekek juga jadi pertimbangan para pengelaju. Maka bersiaplah terjebak kemacetan bila harus bergegas keluar kota di pagi hari, karena kita akan berpapasan dengan para pengelaju yang tidak sabaran mau cepat sampai di tempat kerja sambil tanpa sadar menghabiskan usia mereka di jalanan.