Rabu, 24 Desember 2003 - 01:44:29, Penulis
: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal Iftaa.
Fatwa nomor 2540 |
Kategori
: Fatwa_Ulama |
Tuntunan Ulama' Salaf
dalam menyikapi hari raya non
muslim
|
Apakah boleh memberikan ucapan selamat hari raya atau yang
lainnya kepada orang orang Masihiyun (penganut ajaran Isa al
Masih)?
Yang benar adalah jika kita mengatakan :
Orang-orang nasrani, karena kalimat masihiyun berarti
menisbatkan syariat (yang di bawah Nabi Isa) kepada agama
mereka, artinya mereka menisbatkan diri mereka kepada Al-Masih
Isa bin Maryam.
Padahal telah diketahui bahwa Isa bin
Maryam Alaihissalam telah membawa kabar gembira untuk Bani
Israil dengan(kedatangan) Muhammad.
Allah Subhanahu wa
Taala berfirman: "Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam
berkata: `Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat
dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang
akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)`. Maka
tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang
nyata" (Ash-Shaff: 6).
Maka jika mereka
mengkafiri/mengingkari Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam
maka berarti mereka telah mengkafiri Isa, kerena mereka telah
menolak kabar gembira yang beliau sampaikan kepada mereka. Dan
oleh karena itu kita mensifati mereka dengan apa yang disifatkan
Allah atas mereka dalam Al-Qur`an dan dengan apa yang disifatkan
oleh Rasulullah Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dalam
As-Sunnah, dan yang disifatkan/digambarkan oleh para ulama
muslimin dengan sifat ini yaitu bahwa mereka adalah nashrani
sehingga kitapun mengatakan: sesungguhnya orang-orang nashrani
jika mengkafiri Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam maka
sebenarnya mereka telah mengkafiri Isa bin Maryam.
Akan
tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Isa bin Maryam telah
memberi kabar gembira kepada kami dengan seorang rasul yang akan
datang sesudahnya yang namanya Ahmad, sementara yang datang
namanya adalah Muhammad. Maka kami menanti (rasul yang bernama)
Ahmad, sedangkan Muhammad adalah bukanlah yang dikabargembirakan
oleh Isa. Maka apakah jawaban atas penyimpangan
ini?
Jawabannya adalah kita mengatakan bahwa Allah telah
berfirman: Maka ketika ia (Muhammad) datang kepada mereka dengan
penjelasan-penjelasan¡. Ayat ini menunjukkan bahwa rasul
tersebut telah datang; dan apakah telah datang kepada mereka
seorang rasul selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam
setelah Isa? Tentu saja tidak, tidak seorang rasulpun yang
datang sesudah Isa selain Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa
Sallam. Dan berdasarkan ini maka wajiblah atas mereka untuk
beriman kepada Muhammad Shallallahu wa `alaihi wa Sallam dan
juga kepada Isa `Alaihissalam.
Rasul telah beriman kepada
Al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya (mereka
mengakatan): `Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun
(dengan yang lain) dari rasul-rasulNya.¡¦
(Al-Baqarah:285)
Oleh karena itu Nabi Shallallahu wa
`alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang bersaksi bahwa
tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa
Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Isa adalah hamba dan
utusan Allah(Bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 3435 dalam kitab Ahaditsul Anbiya` bab Qauluhu
Ta`ala: Ya Ahal Kitabi La Taghlul Fi Dinikum, dan oleh Muslim
no. 28 dalam kitab Al-Iman bab Ad-Dalil `Alaa Inna Man Maata
`Alat Tauhiid Dakhalal Jannah Qath`an dari hadits `Ubadah bin
Ash-Shamit Radhiallahu Anhu).
Maka tidak sempurna iman
kita kecuali dengan beriman kepada Isa Alaihissalam dan bahwa
beliau adalah hamba dan utusan Allah, sehingga kita tidak
mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang nashrani;
bahwa ia adalah putra Allah, dan tidak (pula mengatakan) bahwa
ia adalah tuhan. Dan kita tidak pula mengatakan sebagaimana yang
dikatakan oleh orang yahudi: bahwa beliau adalah pendusta dan
bukan seorang Rasul dari Allah, akan tetapi kita mengatkan bahwa
Isa di utus kepada kaumnya dan bahwa syariat Isa dan nabi-nabi
yang lainnya telah dihapus oleh syariat Nabi Muhammad
Shallallahu wa `alaihi wa Sallam.
Adapun memberi ucapan
selamat hari raya kepada orang-orang nashrani atau yahudi maka
ia adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama sebagaimana
disebutkan Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab Ahkam Ahli
Adz-Dzimmah, dan silahkan anda membaca teks tulisan beliau: "Dan
adapun memberikan ucapan selamat untuk syiar-syiar kekufuran
yang bersifat khusus maka ia adalah haram secara ijma`, seperti
mengucapkan selama untuk hari raya dan puasa mereka dengan
mengatakan : "hari raya yang diberkahi untuk anda¡¦ Maka yang
seperti ini kalaupun orang yang mengucapkan selamat dari
kekufuran maka perbuatan itu termasuk yang diharamkan. Dan ia
sama dengan memberikan selamat untuk ujudnya kepada salib.
Bahkan itu lebih besar dosanya dan lebih dimurkai oleh Allah
daripada memberikan selamat atas perbuatannya meminum khamar,
membunuh, melakukan zina dan yang semacamnya. Dan banyak orang
yang tidak memiliki penghormatan terhadap Ad-dien terjatuh dalam
hal itu dan ia tidak mengetahui apa yang telah ia lakukan".
Selesai tulisan beliau.
(Dinukil dari Ash-Shahwah
Al-Islamiyah, Dhawabith wa taujihat, oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin).
Apakah boleh berpartisipasi dengan
kalangan non muslim dalam Hari-hari Raya mereka (Natal, Tahun
Baru, Paskah, dll, red), seperti hari ulang tahun
misalnya?
Alhamdulillah. Seorang muslim tidak boleh
berpartisipasi dalam hari-hari perayaan mereka dan turut
menunjukkan kegembiraan dan keceriaan bersama mereka dalam
memperingatinya, atau ikut libur bersama mereka, baik itu
peringatan yang bersifat keagamaan atau keduniawiaan. Karena itu
menyerupai musuh-musuh Allah yang memang diharamkan, selain juga
berarti menolong mereka dalam kebatilan. Diriwayatkan dengan
shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
beliau bersabda: "Barangsiapa yang menyerupai satu kaum berarti
termasuk golongan mereka."
Sementara Allah juga
berfirman: "Bertolong-tolonganlah dalam kebaikan dan ketakwaan
dan janganlah bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan;
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Keras
siksanya.." (QS.Al-Maa-idah : 2)
Maka kami nasihat agar
Anda menelaah kibat Iqtidhaa-ush Shiratil Mustaqiem karya Ibnu
Taimiyyah -Rahimahullah-- sebuah buku yang amat bermutu sekali
dalam persoalan tersebut. Wabillahit Taufiq. Semoga shalawat dan
salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
(Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuts Ilmiyyah wal
Iftaa. Fatwa nomor 2540)
Saya menyaksikan banyak kaum
muslimin yang turut berpartisipasi dalam merayakan Hari Natal
dan berbagai perayaan lain. Apakah ada dalil dari Al-Qur'an dan
Sunnah yang bisa saya tunjukkan kepada mereka bahwa kegiatan
tersebut tidaklah disyariatkan?
Ikut serta dalam Hari
Raya orang kafir bersama mereka tidak boleh, berdasarkan hal-hal
berikut:
Pertama: itu berarti menyerupai mereka. Nabi
bersabda: "Barangsiapa menyerupai satu kaum, maka ia termasuk
golongan mereka." Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dikatakan
oleh Al-Albani -Rahimahullah-- : "Hasan shahih." (Shahih Abu
Dawud II : 761)
Ini merupakan ancaman keras. Abdullah bin
Amru bin Ash Radhiallahu 'anhuma pernah menyatakan: "Barangsiapa
yang tinggal di negeri kaum musyrikin dan mengkuti acara Nairuz
dan festival keagamaan mereka, lalu meniru mereka hingga mati,
ia akan merugi di Hari Kiamat nanti."
Kedua: Ikut serta
berarti juga menyukai dan mencintai mereka
Allah
berfirman: "Janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nashrani sebagai wali kalian.."
Demikian juga Allah
berfirman: "Hai orang-orang yang beriman; janganlah kalian
menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh-musuh kalian sebagai wali
yang kalian berikan kepada mereka kecintaan padahal mereka telah
kafir terhadap kebenaran yang datang kepada
mereka.."
Yang ketiga: Hari Raya adalah masalah agama dan
akidah, bukan masalah keduniaan, sebagaimana ditegaskan dalam
hadits: "Setiap kaum memiliki Hari Raya, ini adalah Hari Raya
kita.." Hari Raya mereka mengekspresikan akidah mereka yang
rusak, penuh syirik dan kekafiran.
Keempat: "Dan
mereka-mereka yang tidak menghadiri kedustaan (kemaksiatan).."
ditafsirkan oleh para ulama bahwa yang dimaksud dengan kedustaan
dalam ayat itu adalah Hari-hari Raya kaum musyrikin. Sehingga
tidak boleh menghadiahkan kepada mereka kartu ucapan selamat,
atau menjualnya kepada mereka, demikian juga tidak boleh menjual
segala keperluan Hari Raya mereka, baik itu lilin, pohon natal,
makanan-makanan; kalkun, manisan atau kue yang berbentuk stik
atau tongkat dan lain-lain.
Kalau yang dimaksud dengan
peringatan di situ adalah peringatan Hari Raya orang-orang kafir
dan musyrikin tersebut, jelas tidak boleh kita berpartisipasi
dalam Hari Raya yang batil tersebut. Karena itu mengandung kerja
sama dan menolong mereka dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Berpartisipasi dalam Hari Raya mereka juga berarti Menyerupai
orang-orang kafir. Islam telah melarang menyerupai orang-orang
kafir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka ia termasuk dalam
golongan mereka." (Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan
Ahmad)
Umar bin Al-Khattab pernah menyatakan: "Jauhilah
musuh-musuh Allah pada Hari Raya mereka." Dikeluarkan oleh
Al-Baihaqi)
Ibnul Qayyim -Rahimahullah-- menyatakan:
"Kaum muslimin tidak boleh menghadiri perayaan Hari-hari Raya
kaum musyrikin menurut kesepakatan para ulama yang berhak
memberikan fatwa. Para ulama fikih dari madzhab yang empat sudah
menegaskan hal itu dalam buku-buku mereka. Imam Al-Baihaqi
meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Umar bin Al-Khattab
Radhiallahu 'anhu bahwa beliau pernah berkata: "Janganlah
menemui orang-orang musyrik di gereja-gereja mereka pada Hari
Raya mereka. Karena kemurkaan Allah sedang turun di antara
mereka." Umar juga pernah berkata: "Jauhilah musuh-musuh Allah
itu pada Hari Raya mereka." Imam Al-Baihaqi juga meriwayatkan
dengan sanad yang bagus dari Abdullah bin Amru Radhiallahu
'anhuma beliau pernah berkata: "Barangsiapa lewat di negeri non
Arab, lalu mereka sedang merayakan Hari Nairuz dan festival
keagamaan mereka, lalu ia meniru mereka hingga mati, maka
demikianlah ia dibangkitkan bersama mereka di Hari Kiamat
nanti." (Lihat Ahkaamu Ahlidz Dzimmah I :
723-724).
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu
Taimiyyah -Rahimahullah-- menyatakan dalam bukunya yang agung
Iqtidha-ush Shirathil Mustaqiem Mukhalafata Ash-haabil Jahiem:
"Adapun apabila seorang muslimin menjual kepada mereka pada
Hari-hari Raya mereka segala yang mereka gunakan pada Hari Raya
tersebut, berupa makanan, pakaian, minyak wangi dan lain-lain,
atau menghadiahkannya kepada mereka, maka itu termasuk menolong
mereka mengadakan Hari Raya mereka yang diharamkan. Dasarnya
satu kaidah: tidak boleh menjual anggur atau juice kepada orang
kafir yang jelas digunakan untuk membuat minuman keras. Juga
tidak boleh menjual senjata kepada mereka bila digunakan untuk
memerangi kaum muslimin."
Kemudian beliau menukil dari Abdul
Malik bin Habib dari kalangan ulama Malikiyyah: "Sudah jelas
bahwa kaum muslimin tidak boleh menjual kepada orang-orang
Nashrani sesuatu yang menjadi kebutuhan Hari Raya mereka, baik
itu daging, lauk-pauk atau pakaian. Juga tidak boleh memberikan
kendaraan kepada mereka, atau memberikan pertolongan untuk Hari
Raya, karena yang demikian itu termasuk memuliakan kemusyrikan
mereka dan menolong mereka dalam kekufuran mereka." (Al-Iqtidhaa
cet. Darul Makrifah dengan tahqiq Al-Qafiyy hal.
229-231)
Semua perayaan tahunan dan pertemuan tahunan
(yang dirayakan non Muslim, red) adalah Hari-hari Raya bid'ah
dan ajaran bid'ah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah
penjelasan tentang hal itu.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Berhati-hatilah terhadap amalan yang
dibuat-buat. Setiap amalan yang dibuat-buat adalah bid'ah dan
setiap bid'ah adalah sesat." (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud
dan At-Tirmidzi serta yang lainnya)
Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam juga bersabda: "Masing-masing kaum memiliki
Hari Raya, dan ini adalah Hari Raya kita." (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah--
mengulas persoalan tersebut secara panjang lebar dalam buku
beliau Iqtidha-ush Shiratil Mustaqiem Mukhalafata Ash-habil
Jahiem, berkaitan dengan kecaman terhadap berbagai Hari Raya
bid'ah yang tidak ada asalnya dalam ajaran Islam yang lurus.
Adapun kerusakan yang terkandung dalam acara-acara tersebut,
tidak setiap orang, bahkan juga kebanyakan orang tidak dapat
mengetahui kerusakan yang terkandung dalam bentuk bid'ah semacam
itu. Apalagi bentuk bid'ah itu adalah bid'ah dalam ibadah
syariat. Hanya kalangan cerdik pandai dari para ulama yang dapat
mengetahui kerusakan yang terdapat di dalamnya.
Kewajiban
umat manusia adalah mengikuti ajaran Kitabullah dan Sunnah
Rasul, meskipun ia belum bisa mengetahui maslahat dan kerusakan
yang terdapat di dalamnya. Dan bahwasanya orang yang
membuat-buat satu amalan pada hari tertentu dalam bentuk shalat,
puasa, membuat makanan, banyak-banyak melakukan infak dan
sejenisnya, tentu akan diiringi oleh keyakinan hati. Karena ia
pasti memiliki keyakinan bahwa hari itu lebih baik dari
hari-hari lain. Karena kalau tidak ada keyakinan demikian dalam
hatinya, atau dalam hati orang yang mengikutinya, tidak akan
mungkin hati itu tergerak untuk mengkhususkan hari tertentu atau
malam tertentu dengan ibadah tersebut. Mengutamakan sesuatu
tanpa adanya keutamaan adalah tidak mungkin.
Kemudian Hari
Raya (Ied) bisa menjadi nama untuk tempat perayaan, waktu
perayaan, atau pertemuan pada perayaan tersebut. Ketiganya
memunculkan beberapa bentuk bid'ah. Adapun yang berkaitan dengan
waktu, ada tiga macam. Terkadang di dalamnya juga tercakup
sebagian bentuk tempat dan aktivitas perayaan.
Pertama: Hari
yang secara asal memang tidak dimuliakan oleh syariat, tidak
pernah pula disebut-sebut oleh para ulama As-Salaf. Tidak ada
hal yang terjadi yang menyebabkan hari itu dimuliakan.
Yang
kedua: Hari di mana terjadi satu peristiwa sebagaimana terjadi
pada hari yang lain, tanpa ada konsekuensi menjadikannya sebagai
musim tertentu, para ulama As-Salaf juga tidak pernah memuliakan
hari tersebut. Maka orang yang memuliakan hari itu, telah
menyerupai umat Nashrani yang menjadikan hari-hari terjadinya
beberapa peristiwa terhadap Nabi Isa sebagai Hari Raya. Bisa
juga mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Hari
Raya itu adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah untuk
diikuti. Kalau tidak, maka akan menjadi bid'ah yang diada-adakan
dalam agama ini.
Demikian juga banyak bid'ah yang dilakukan
masyarakat yang meniru-niru perbuatan umat Nashrani terhadap
hari kelahiran Nabi Isa -'Alaihissalam-- , bisa jadi untuk
menunjukkan kecintaan terhadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan memuliakan beliau. Perbuatan semacam itu tidak pernah
dilakukan oleh generasi As-Salaf, meskipun yang mengharuskannya
(bila memang boleh) sudah ada, dan tidak ada hal yang
menghalangi.
Yang ketiga: Hari-hari di mana dilaksanakan
banyak syariat, seperti hari Asyura, hari Arafah, dua Hari Raya
dan lain-lain. Kemudian sebagian Ahli Bid'ah membuat-buat ibadah
pada hari itu dengan keyakinan bahwa itu merupakan keutamaan,
padahal itu perbuatan munkar yang dilarang. Seperti orang-orang
Syi'ah Rafidhah yang menghaus-hauskan diri dan bersedih-sedih
pada hari Asyura' dan lain-lain. Semua itu termasuk perbuatan
bid'ah yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah Ta'ala dan
Rasul-Nya, tidak pula oleh para generasi As-Salaf atau Ahli Bait
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun mengadakan pertemuan
rutin yang berlangsung secara terus menerus setiap minggu,
setiap bulan atau setiap tahun selain pertemuan-pertemuan yang
disyariatkan, itu meniru pertemuan rutin dalam shalat lima
waktu, Jumat, Ied dan Haji. Yang demikian itu termasuk bid'ah
yang dibuat-buat.
Dasarnya adalah bahwa seluruh ibadah-ibadah
yang disyariatkan untuk dilakukan secara rutin sehingga menjadi
sunnah tersendiri dan memiliki waktu pelaksanaan tersendiri
kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah. Semua itu sudah cukup
menjadi syariat bagi hamba-hamba-Nya. Kalau ada semacam
pertemuan yang dibuat-buat sebagai tambahan dari
pertemuan-pertemuan tersebut dan dijadikan sebagai kebiasaan,
berarti itu upaya menyaingi syariat dan ketetapan Allah.
Perbuatan itu mengandung kerusakan yang telah disinggung
sebelumnya. Lain halnya dengan bentuk bid'ah yang dilakukan
seseorang sendirian, atau satu kelompok tertentu sesekali
saja."
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, seorang muslim
tidak boleh berpartisipasi pada hari-hari yang dirayakan setiap
tahun secara rutin, karena itu menyaingi Hari-hari Raya kaum
muslimin sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya. Tetapi
kalau dilakukan sekali saja, dimisalkan seorang muslim hadir di
hari itu untuk memberikan penjelasan kepada kaum muslimin
lainnya dan menyampaikan kebenaran kepada mereka, maka tidak
apa-apa, insya Allah. Wallahu A'lam.
(Masa-il wa Rasaa-il
oleh Muhammad Al-Humud An-Najdi 31)