[milis-salafy] Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)
- From: "abusalman" <ana@xxxxxxxxxxxxxx>
- To: salafy@xxxxxxxxxxxxx
- Date: Sat, 27 Dec 2003 11:11:26 +0700
Jum'at, 26 Desember 2003 - 23:13:46, Penulis
: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili |
Kategori
: Manhaj |
Sikap muslim dalam membenci dan
memusuhi ahli bid’ah (I)
|
Definisi
dan Kedudukan Cinta (al Wala') dan Benci (Al Bara') dalam Islam
Cinta dan benci karena Allah merupakan bagian dari akidah Islam dan
kesempurnaan iman. Muadz bin Anas meriwayatkan sabda Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam : “Barangsiapa yang memberi karena Allah,
menahan karena Allah, membenci karena Allah dan menikah karena Allah, maka
telah sempurna keimanannya. (HR Ahmad, At Tirmidzi, Al Hakim, Abu Dawud dan
disahihkan oleh Al Albani).
Masalah ini sangat penting dan bila saya
uraikan panjang lebar, akan membuat pembahasan buku ini tak terarah. Oleh
sebab itu, saya akan membatasi seputar masalah yang berkaitan dengan ahli
bid’ah.
Hakikat cinta dan benci karena Allah secara umum
seperti yang dituturkan para ulama diantaranya Yahya bin Muadz berkata
“Hakikat cinta karena Allah adalah tidak bertambah dengan kebaikan dan
tidak berkurang karena hubungan renggang. (Fathul Bari jilid I, hal
62).
Maksudnya cinta diberikan secara tulus ikhlas karena Allah.
Kecintaanmu kepada seorang mukmin, tidak bertambah karena budi baik kepadamu
dan tidak berkurang akibat hubungan renggang. Jika tidak demikian, maka
cinta itu hanya untuk kepentingan pribadi, meskipun dibungkus dengan cinta
karena Allah. Terbukti bertambah dan berkurangnya cinta sangat terpengarus
oleh budi baik orang yang dicintai.
Pernyataan Yahya bin Muadz
sejalan dengan hadits dari Anas bin Malik Radiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, (artinya) “Ada tiga
perkara yang jika seseorang memilikinya akan merasakan manisnya iman, yaitu
bila Allah dan RasulNya lebih ia cintai daripada selain keduanya dan tidak
mencintai seseorang kecuali karena Allah, serta benci kembali kepada
kekufuran setelah Allah menyelamatkannya daripadanya sebagaimana ia benci
untuk dilemparkan ke neraka. (Muttafaq ‘alaihi).
Cinta karena
Allah harus tulus tidak boleh tercampur oleh tujuan-tujuan yang tidak
syar’i, dan harus sesuai dengan ketentuan syariat, agar diterima Allah
tanpa ada unsur berlebihan (ifrath) dan meremehkan (tafrith).
Syaikh
Islam Ibnu Taimiyyah memberi bantahan kepada Syi’ah Rafidhah,
“Cinta yang benar adalah mencintai seseorang sesuai dengan ketentuan
syar’i. Bila sekarang ada seorang shalih dianggap Nabi dan
pendahulu-pendahulunya, lalu dia dicintai karena hal itu, jelas ini
merupakan kecintaan yang tidak benar. Sebab orang tersebut dicintai secara
batil dan mencintai suatu yang tidak berwujud, seperti lelaki yang mau
menikah lalu menghayal bahwa calon instrinya seorang yang kaya, cantik, taat
beragama dan bernasab mulia. Dengan dasar itu, ia mencintainya. Namun
ternyata, keadaaan wanita tersebut jauh di luar dugaan. Maka kecintaannya
akan berkurang sejalan dengan berkurangnya keyakinannya. Hukum yang tetap
karena suatu ‘illat (alasan), maka status hukum akan hilang bersama
hilangnya ‘illat itu. Begitu juga orang yang mencintai sahabat secara
batil, maka kecintaan itu tidak benar. Kecintaan Rafidhah kepada sahabat Ali
seperti itu, sama saja mereka mencintai sesuatu yang tidak ada. Sebab
anggapan dia bahwa Ali adalah imam yang maksum (tidak pernah salah, red).
Sebab anggapandia bahwa Ali adalah imam maksum dan tidak ada imam setelah
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kecuali Ali, dan mereka menganggap
bahwa Abu Bakar dan Umar dzalim, perampas hak atau keduanya kafir. Bila
ditampakkan di depan mereka nanti di hari Kiamat, ternyata Ali tidak lebih
utama dari keduanya dan keutamaan Ali hanya sekadar mendekati keduanya.
Beliau (Ali) mengakui imamah (kepemimpinan) dan keutamaan mereka berdua (Abu
Bakar dan Umar) dan semua tidak ada yang maksum, serta tidak ada nash yang
melegalisasi imamahnya. Jelas cinta mereka cinta palsu, bahkan mereka orang
yang paling membenci Ali karena mereka membenci sifat kesempurnaan yang
diakui oleh Ali tentang ketiga khalifah sebelumnya. Bahkan beliau mengakui
kepemimpinan mereka. (Minhajus Sunnah 4/293-296).
Pernyataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan Muadz bin Anas diatas, mengindikasikan bahwa
kecintaan harus memenuhi dua syarat, yakni ikhlas dan mutaba’ah
(mengikuti syariat Rasulullah). Keduanya merupakan syarat yang berlaku untuk
segala jenis amalan sholih. Maka kecintaan tidak diterima kecuali harus
memenuhi dua syarat tersebut. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
I/333).
Tulus tidaknya kebencian karena Allah bisa diukur dengan
kaidah, bahwa kebencian tidak bertambah karena disaikit dan tidak berkurang
karena diperlakukan dengan baik. Kebencian demikian yang benar-benar tulus
karena Allah dan sesuai dengan ajaran Allah. Bila tidak, maka hanya
kepentingan pribadi saja. Benci yang sesuai dengan ajaran Allah adalah yang
disebutkan yakni atas penyelewengan orang yang dibenci agama Allah dalam
tiga perkara, yaitu kufur (kekafiran/penolakan atas syariat, red),
bid’ah (perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, red) dan
maksiat. Selain itu, tidak memberi pengaruh bertambah atau berkurangnya
kebencian.
Syaikhul Islam berkata, “Setiap orang mukmin wajib
kita berikan wala’ (kecintaan), walaupun dia berlaku aniaya dan dholim
kepadamu. Dan setiap orang kafir wajib dimusuhi, walaupun memberi manfaat
dan berbuat baik kepadamu. Allah mengutus utusan dan menurunkan Al Quran
agar agama (yang dipeluk, red) hanya agama milik Allah saja. Seharusnya
hanya mencintai para kekasihNya dan menghinakan para musuhNya serta pahala
hanya untuk para kekasihNya dan siksaan untuk para musuhNya. (Majmu Fatawa
28/209).
Dalam masalah membenci orang juga harus semata-mata karena
keburukan yang ada. Kebencian bertambah karena bertambahnya keburukan dan
berkurang karena berkurangnya keburukan dan tidak berlebihan. Allah
berfirman :
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آمَنُواْ
كُونُواْ
قَوَّامِينَ
لِلّهِ
شُهَدَاء
بِالْقِسْطِ
وَلاَ
يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ
قَوْمٍ
عَلَى
أَلاَّ
تَعْدِلُواْ
اعْدِلُواْ
هُوَ
أَقْرَبُ
لِلتَّقْوَى
وَاتَّقُواْ
اللّهَ
إِنَّ
اللّهَ
خَبِيرٌ
بِمَا
تَعْمَلُونَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (Al Quran Surat Al Maidah
8).
Termasuk bersikap adil dalam membenci, tidak boleh membenci orang
yang melakukan bid’ah kecil sama seperti orang yang melakukan
bid’ah besar (yang mengeluarkan dari Islam, red) dan tidak boleh
membenci pelaku dosa besar setimpal dengan membenci orang kafir.
Allah telah mengabarkan perbedaan kebencian orang-orang kafir kepada
orang-orang beriman sebagaimana firman Allah
:
لَتَجِدَنَّ
أَشَدَّ
النَّاسِ
عَدَاوَةً
لِّلَّذِينَ
آمَنُواْ
الْيَهُودَ
وَالَّذِينَ
أَشْرَكُواْ
Artinya
: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang musyrik.” (Al Quran Surat Al Maidah 82).
Jika sikap
mereka seperti itu, seharusnya kebencian kita kepada mereka juga tidak boleh
sama antara orang yang sangat memusuhi orang mukmin dengan orang yang tidak
begitu memusuhi. Apalagi dengan orang yang dinyatakan oleh Allah paling
dekat persahabatan mereka dengan orang beriman.
Manhaj/metode ini
berlaku pada setiap orang yang harus dibenci selain orang kafir, baik ahli
bid’ah atau maksiat. Namun kebencian itu harus sesuai dengan kadar
kebid’ahan dan kemaksiatan masing-masing.
Jadi, kedudukan cinta
dan benci hendaknya tulus karena Allah dan sesuai dengan kehendak syariat.
Hendaknya cinta kepada seseorang semata-mata karena perangai baik dan benci
karena sifat buruk yang menyelisihi syariat yang ada pada diri seseorang.
Maka kebencian terhadap ahli bid’ah semata-mata karena keluarnya
mereka dari sunnah dan perbuatan bid’ahnya, sesuai dengan dalil-dalil
syar’i, pernyataan Ulama Salaf dan ulama Ahli sunnah tentang kebencian
dan bara’(berlepas diri) mereka dari ahli bid’ah.
Allah
Ta’ala berfirman,
لَا
تَجِدُ
قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ
يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ
اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
وَلَوْ
كَانُوا
آبَاءهُمْ
أَوْ
أَبْنَاءهُمْ
أَوْ
إِخْوَانَهُمْ
أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ
أُوْلَئِكَ
كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ
الْإِيمَانَ
وَأَيَّدَهُم
بِرُوحٍ
مِّنْهُ
وَيُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ
تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ
فِيهَا
رَضِيَ
اللَّهُ
عَنْهُمْ
وَرَضُوا
عَنْهُ
أُوْلَئِكَ
حِزْبُ
اللَّهِ
أَلَا إِنَّ
حِزْبَ
اللَّهِ
هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
Artinya
: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.Mereka itulah orang-orang yang
Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka denga pertolongan yang
datang daripada-Nya.Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya.Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya.Mereka
itulah golongan Allah.Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah
golongan yang beruntung.” (Al Quran Surat Al Mujadilah
22).
Ayat diatas melarang untuk berkasih sayang dengan orang yang
memusuhi Allah dan RasulNya, sementara ahli bid’ah secara nyata
memusuhi Allah dan RasulNya dengan kebid’ahan. Permusuhan berarti
perlawanan, dan bid’ah bertentangan dan bertabrakan dengan syariat.
Oleh karena itu, mereka mendefinisikan bid’ah dengan sikap penentangan
terhadap syari’at dalam bentuk menyalahi atau merusak dengan menambah
atau menguranginya.
Imam Al Qurthubi mengomentari ayat
diatas,”Imam Malik menggunakan ayat ini sebagai dasar untuk memusuhi
Qadariyah dan tidak mau duduk-duduk bersama mereka.” Dari Asyhab
berkata bahwa Imam Malik berkata,’Janganlah kamu duduk-duduk bersama
Qadariyah dan musuhilah karena Allah berfirman :
لَا
تَجِدُ
قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ
يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ
اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
وَلَوْ
كَانُوا
آبَاءهُمْ
أَوْ
أَبْنَاءهُمْ
أَوْ
إِخْوَانَهُمْ
أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ
Artinya
: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah
22). (Tafsir Al Qurthubi 17/308).
Keimanan jelas menolak cinta kepada
musuh Allah dan RasulNya. Namun Allah ingin memberi peringatan keras bagi
orang yang mencintai musuh-musuh Allah dan RasulNya. Para ulama Salaf sangat
membenci ahli bid’ah. Realisasinya, seorang ahli sunnah harus membenci
ahli bid’ah dan kesesatannya, serta memusuhi mereka, tidak tinggal
bersama mereka, tidak bersanding dan menyatakan permusuhan secara nyata
dengan mereka.
Berikut sikap tegas Salafus Sholih, baik dari kalangan
ulama Salaf dan khalaf. Sikap tegas ditunjukkan Ibnu Umar Rasiyalallahu
‘anhu ketika ditanya tentang orang yang mengingkari takdir, jawab
beliau “Jika kamu bertemu dengan mereka, maka sampaikan kepadanya
bahwa Ibnu Umar bersikap bara’ darinya dan mereka juga bara’
darinya, (sebanyak tiga kali).” (As Sunnah, Abdullah bin Ahmad, 2/420,
Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/588).
Juga sikap Ibnu Abbas
Radiyallahu ‘anhu,”Tidak ada orang yang paling aku benci di muka
bumi ini, selain orang yang datang kepadaku mengajak berdebat dalam masalah
takdir. Karena mereka tidak tahu secara persis takdir Allah. Sesungguhnya
Allah tidak pantas ditanya tentang apa yang Dia lakukan dan merekalah
(makhluk) yang justru ditanya.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal
213).
Ibnu ‘Aun berkata, “Tidak ada orang yang paling
dibenci oleh Muhammad bin Sirrin daripada orang yang berbuat bid’ah
dalam masalah takdir.” (Asy Syariah, Al Ajurri hal
219).
Syu’bah berkata,”Sufyan Ats Tsauri sangat membenci
ahli bid’ah dan melarang duduk-duduk bersama mereka.”
(Mukhtashar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 460).
Imam Al Baghawi
menukil ijma Ulama salaf dalam memusuhi dan menghindar dari ahli
bid’ah, beliau berkata,”Para sahabat, tabi’in dan pengikut
mereka serta para ulama ahli sunnah sepakat dan ijma’ dalam memusuhi
dan menghindari ahli bid’ah (Aqidah Salaf Ashabul Hadits
1/131).
Hasan Al Bashri berkata,”Janganlah kalian
beramah-tamah, mengajak berdebat dan mendengar kebid’ahan ahli ahwa /
pengikut hawa nafsu”.
Abu Jauza’ berkata,”Lebih
baik saya bertetangga dengan kera dan babi daripada bertetangga dengan
manusia dari ahli bid’ah”.
Fudhail bin Iyadh
berkata,”Saya sangat berharap diantara aku dengan ahli bid’ah
ada tembok penghalang dari besi. Saya makan bersama orang Yahudi dan
Nashrani, lebih baik daripada makan bersama ahli bid’ah”. (Al
Ibanah al Kubra, 2/467 dan Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah
1/131).
Imam al Baghowi menukil riwayat bahwa para sahabat dan
tab’in serta ulama sunnah telah berijma’ (bersepakat, red) dan
sepakat untuk memusuhi ahli bid’ah dan memutuskan hubungan dengan
mereka. (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, 2/638).
Demikian pula
para ulama khalaf yang berijma’ untuk membenci dan memutuskan hubungan
dengan ahli bid’ah. Sikap tersebut menjadi ketetapan baku ahli sunnah
dan kesepakatan ulama salaf. (Syarh as Sunnah, Al Baghawi
1/227).
Syaikh Ismail Ash Shobuni ketika mensifati akidah salaf dan
ahli hadits berkata,”Mereka sangat memebnci ahli bid’ah karen
mereka mengada-ada perkara baru dalam agama, tidak mencintai mereka, tidak
mau menjadi sahabat mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk-duduk
bersama mereka dan tidak nberdebat dengan mereka dalam masalah agama, serta
sangat menjaga telinga dari kebatilan mereka. Sebab bila masuk ke telinga
dapat merusak hati dan menimbulkan was-was.” (Aqidah Salaf wa Ashabul
Hadits 1/131).
Imam Al Qurthubi menukil dari Ibnu Khuwaiz bin Mindad
dalam Tafsirnya,”Barang siapa yang berbicara tentang ayat-ayat Allahg
tanpa ilmu, saya tidak mau duduk-duduk bersamanya dan memutuskan hubungan
dengannya baik orang mukmin atau kafir. Begitu juga para rekan kami melarang
masuk ke daerah musuh, gereja/tempat peribadatan orang kafir, duduk-duduk
bersama orang kafir dan ahli bid’ah, tidak boleh mencintai mereka,
tidak boleh mendengar ucapan mereka dan berdebat dengan mereka.”
(Tafsir Al Qurtubi 7/13).
Asy Syatibi berkata, “Firqah Najiyah
adalah ahli sunnah yang diperintah untuk memusuhi ahli bid’ah,
mengusir dan memberi sanksi orang yang terpengaruhi, baik dengan hukuman
mati atau selainnya. Dan para ulama melarang untuk berbicara dan duduk-duduk
bersama mereka, sebagai bentuk permusuhan dan kebencian/” (Al
I’thisam 1/120).
Syaikh Abullatif bin Abdurahman Asy Syaikh
membuat tahdzir (peringatan) kepada sebagian ahlu bid’ah dari Oman
yang telah menulis selebaran yang dapat mengaburkan pemahaman orang awam.
“Sudah menjadi ijma’ Ulama Salaf termasuk Imam Ahmad bin Hambal
bahwa mereka bersikap keras kepada ahli bid’ah, memutuskan hubungan,
membiarkan, tidak berdebat dan menjauhinya sebisa mungkin, lebih mendekat
kepada Allah meskipun dibenci dan dimusuhi oleh ahli bid’ah.”
(Majmu ar Rasail wa Al Masail Najdiya, 3/111).
Syaikh Muhammad bin
Shalih al Utsaimin berkata, “Yang dimaksud dengan memutuskan hubungan
dengan ahli bid’ah adalah menjauhi mereka, tidak mencintai mereka dan
tidak berwala’ loyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam, tidak
berkunjung dan tidak menjenguk ketika mereka sakit. Memutuskan hubungan
dengan ahli bid’ah adalah wajib, karena Allah berfirman,
لَا تَجِدُ
قَوْمًا
يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ
يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ
اللَّهَ
وَرَسُولَهُ
وَلَوْ
كَانُوا
آبَاءهُمْ
أَوْ
أَبْنَاءهُمْ
أَوْ
إِخْوَانَهُمْ
أَوْ
عَشِيرَتَهُمْ
Artinya
: “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. (Al Quran Surat Al Mujadilah
22). Karena Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah memutuskan hubungan
dan tidak mengajak bicara Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’ Al
Amri dan Hilal bin Umaiyah al Waqifi ketika absen dari perang Tabuk (tanpa
alasan syar’i, red).” (Syarh Lum’atul I’tiqad hal
110).
Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid memberi batasan cinta dan
benci karena Allah dalam kitab Hajr al Mubtadi’,”Kaidah ini
termasuk logika aqidah Islam berdasarkan nash-nash dari Al Quran dan
Assunnah yang banyak. Karena merupakan bagian dari ibadah yang berpahala.
Bara’ dari ahli bid’ah dan menyatakan permusuhan serta memberi
pelajaran dengan memutuskan hubungan hingga mereka bertaubat, merupakan
ketetapan hampir dalam semua kitab-kita aqidah ahli sunnah wal
jama’ah.” (Hajr al Mubtadi’ hal 19).
Bersambung ke
Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah
(II)
Daftar Istilah Penting:
As Sunnah = Meniti jalan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam dan meniru tingkah laku beliau dalam tiga
hal, ucapan, perbuatan dan akidah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyyah vol 4/180). Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Sunnah adalah
jalan yang ditempuh mencakup seluruh ajaran Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam, para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu ‘anhum,
baik berupa keyakinan, tindakan dan ucapan. Oleh karena itu, ruang lingkup
sunnah menurut generasi salaf mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan dari
Hasan al Bashri, AL Auza’I dan Fudhail bin ‘Iyadh (Jami’
Al Ulum wal Hikam 262).
Ahli Sunnah = Pengikut kebenaran, selain
mereka berarti termasuk ahli bid’ah. Mereka adalah para Sahabat dan
setiap orang yang meniti manhaj mereka dari kalangan Tabi’in, kemudian
ahli Hadits dan para pengikut mereka dari kalangan ulama ahli Fikih, serta
para pengikut mereka yang baik dari belahan bumi timur dan barat hingga saat
ini.” (Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa’ wa an Nihal 2/271). Ahli
Sunnah adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, serta ijma’ para
generasi pertama dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengiktui mereka dengan baik.” Barangsiapa berbicara sesuai dengan Al
Quran dan As Sunnah serta ijm’a maka dia termasuk ahli sunnah.”
(Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah hal 375,346). Nama lain Ahli Sunnah
adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah, Firqah Najiyah (Golongan yang
selamat), Thaifah Al Manshurah (Kelompok yang tertolong), Salafy (peniti
jejak para pendahulu/salaf sholih yang setia) (Ma’alim Al Intilaq
Kubra, Muh. Abdul Hadi Al Mishri 43-56, Hukm Al Intima’, Abu Zaid hal
28-40)
Bid’ah = Suatu ajaran yang tidak disyariatkan oleh Allah
dan RasulNya, tidak ada perintah baik berbentuk kandungan wajib/sunnah.
Adapun bila ada anjurannya, baik berbentuk wajib/dianjurkan dengan didukung
dalil-dalil syar’I terhadap anjuran tersbeut, maka hal itu termasuk
bagian dari Dien, meskipun terdapat perselisihan antara alim ulama dalam
sebagian masalah. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah
4/107-108).
Ahli Bid’ah = Kebid’ahan yang membuat
seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid;ahan tersebut
telah dikenal luas oleh para ulama ahlussunnah telah menyelisihi Al Quran
dan As Sunnah speerti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Aqadariyah dan
Murji’ah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 35/414). Ahli
Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang
yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa
nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu
yang syah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakan sesat, sedang
yang suka menyatakan sebagai sunnah. Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan
saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya
(ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak
bisa disebut ahli bid’ah (disebut sebagai pelaku bid’ah saja,
red), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya
perkara bid’ah tadi.” (Al I’tisham 1/162-164). Adapun
ciri-cirinya mereka Ahli Bid’ah berpecah-belah dari jalan Allah, lebih
mengikuti hawa nafsu pemimpinnya/dirinya, mengambil nash-nash Al
Quran/Assunnah yang bisa dipelencengkan/mutasyabih, Mengkontradiksikan
antara Al Quran dan As Sunnah, membenci Ahli Atsar/Ahli Hadits,
menjelek-jelekkan Ahlu Sunnah, Tidak mau merujuk kepada Salaful Ummah,
Mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya. (Dinukil dari Kitab
Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’,
Dr Ibrahim Ruhaili, Bab Definisi Ahli Bid’ah dan Ahli
Ahwa’)
(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah
min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah
1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan
Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat
Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli
Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah tentang membenci dan menampakkan
permusuhan kepada Ahli Bid’ah)
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=414
________________________________________________
Message sent using Webmail 1.0
============================================================================
Web Based Mailing List Salafy di http://webmail.salafy.or.id/
Alamat Email kirim ke Mailing List : "salafy @ freelists.org"
Free Webmail @ assalafi.ath.cx , @ assalafi.cjb.net , @ assalafi.mine.nu , @ assalafi.za.net , @ salafy.ath.cx, @ salafy.cjb.net , @ salafy.mine.nu , @ salafy.za.net , @ salafy.zzn.com , @ s.salafy.or.id , @ user.salafy.or.id
----------------------------------------------------------------------------
Other related posts:
- » [milis-salafy] Sikap muslim dalam membenci dan memusuhi ahli bid’ah (I)