** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Kembang Gunung Purei: "TOAST" SEPI, RINDU, HATI DAN TUBUH 8 Masih ada beberapa ciri lain yang agak khas dalam cara Xiao Lan bercerita. Apakah ciri-ciri lain itu? Ciri lain yang paling menonjol dalam tekhnik, terutama bahasa, yang digunakan oleh Xiao Lan adalah penggunaan kalimat-kalimat puitis, seperti berikut misalnya: "Karena bayang-bayang itu bertumbuh besar dan membiak, maka segala ritme dan gerakannya menyibukkanku dengan banyak rasa. Aku memeliharanya, memupuknya, merawatnya, menyiramnya, menyianginya, seperti aku menanam sepokok kembang, sampai ia berputik, kuncup, mekar, merekah menjadi bunga. Aku gempita di dalam kesendirianku. Tidak pernah merasa sepi. Lalu ketika mendadak senja meleleh penuh tuba, bayang-bayang itu tetap seperti bayang-bayang yang tidak pernah mengerti betapa aku cinta dan sangat aku rindu. Ia tetap menjadi bayang-bayang yang bergerak liar ke mana dia mau dan melakukan apa yang dia suka. Bukan karena ia tak cinta aku. Tetapi mungkin lebih cinta dirinya sendiri. Padahal sesak itu berhimpitan dengan cinta dan rindu yang tiada berkesudahan. Tiap hela napasku hanya menyemburkan wangi bunga cinta dan embusan harum kerinduan. Ia bukan tidak tahu. Tetapi ia sendiri tidak tahu apa yang dia mau". Atau pada alinea-alinea di bawah ini: "Lalu rinduku tumpah ruah seperti banjir Nuh yang meruntuhkan langit dan menggemuruhkan bumi. Dadaku tidak mampu lagi menahan sesaknya. Cintaku amblas kena amplas. Ibarat kupu-kupu, kepaknya tak utuh lagi, warna sayapnya luntur di dalam secangkir kebingungan. Hatiku menggelegak seperti burung gagak berkoak-koak. Hanya hening sesaat, selebihnya sepi merajai. Sepi itu hendak mencabut napasku. Karena ia sudah membekukan nadiku. Sepi itu gigil yang ngilu. Membuatku bisa merapatkan geligi gigi menahan gemelutuknya. Tetapi ketika mulutku akan membuka, tidak ada satu pun suara. Sepi seperti hantu yang bertahta di atas lidahku. Ia membangun istana di seluruh rongga mulutku sehingga aku gagu. Bahkan menangis pun sudah tak mampu. Siapa yang bisa tahan? ''Aku memilih rindu,'' bar tender itu menjawab sambil mengangsurkan segelas long island untukku. Kuteguk. ''Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada keinginan. Sedangkan sepi hanya suatu keadaan. Kesepian itu melukai. Membuat hati berdarah dan bernanah. Tetapi kerinduan sekadar meninggalkan lebam memar yang membiru,'' jawabannya membuatku tersedak! " Kalimat-kalimat puitis sederhana dalam bahasa kekininian yang gampang, menjadi benang merah menjeluri cerpen "Toast" ini sehingga memberi warna keindahan tersendiri. Sangat mendukung kesepian si "aku" dan patner dialognya : si Cali -- bar tender. Puitisitas yang gampang dimengerti, tidak membuatnya menjadi kalimat-kalimat "suram-gelap" begini, memberikan cerpen "Toast" Xiao Lan suatu tambahan nilai artistik tersendiri. Kalimat-kalimat puitis, sebagaimana umumnya mengandung renungan dan usaha menangkap "makna" terdalam dari keadaan yang dihadapi tokoh-tokoh cerita. Aku tidak tahu, apakah gaya begini, digunakan secara terus-menerus oleh Xiao Lan dalam novel dan cerpen-cerpennya. Aku belum sempat teliti membaca novelnya "Kembang Gunung Purei" yang mengambil setting Kalimantan dan berlatarbelakang konflik etnik di Kalimantan pada tahun-tahun 2000-an. Hanya yang jelas, dengan menggarap tema sensitif yang memerlukan pengetahuan padan agar tidak terjerumus ke dalam kengawuran lukisan dan analisa, memperlihatkan adanya keterikatan dan perhatian Xiao Lan akan keadaan lingkungan di sekitarnya. Ini bagiku sudah mempunyai nilai tersendiri. Kehadiran "aku" Lan Fang ke café untuk melarikan kesepiannya pada seloki-seloki "long-island" pun memperkuat hipotesa ini. Xiao Lan melalui "Toast" kukira ingin melukiskan kehampaan benak dan jiwa kelas menengah negeri kita. Dalam melukiskan lapisan masyarakat ini, terkesan padaku bahwa Xiao Lan sangat mengenalnya relatif persis. Pengenalan baik yang tidak mengherankan , apalagi jika Xia Lan sendiri memang berasal dari kelas serupa dan menghidupi langsung lingkungan tersebut. Berbeda misalnya jika ia melukiskan keadaan konflik etnik di Kalimantan berdasarkan pengenalan tanggung dan bacaan semata tapi tidak menghayatinya. Untuk mengenal masalah secara tepat, dalam hal ini soal imigran Turki di Jerman, seorang penulis Jerman menyamar selama beberapa waktu sebagai orang Turki dengan segala konsekwensinya sebelum menulis bukunya yang menggemparkan "La Tête de Turc" [Kepala Turki], buku yang menyebabkan ia mendapat ancaman fisik dari berbagai pihak hingga ia harus hidup di perbatasan Belanda-Jerman. Untuk menulis dengan kaum gelandangan di Paris, seorang penulis Perancis, hidup berbulan-bulan sebagai gelandangan. Yang ingin kukatakan dengan mengajukan dua contoh ini hanyalah keniscayaan bahwa seorang penulis layak menguasai rincian subyek tulisannya. Jangan awur-awuran dan berlagak tahu tapi sesungguhnya tidak tahu, sesuai dengan tanggungjawab penulis. Entah , kalau kita menganggap bahwa penulis itu tidak mempunyai tanggungjawab, asal dapat nama dan royalties dengan tema-tema eksotik dan unik. Sekali lagi, di sinilah kukira perlunya kritik, debat sastra dan debat ide perlu dikembangkan tanpa usah menggunakan gertakan, kemarahan dan maki-maki sebagai jawaban. Argumen dijawab dengan argumen. Sampaikah kita ke taraf ini di Indonesia apabil terjadi keadaaan, ketika aku meminta agar apa yang tidak pernah kuucapkan dalam suatu pertemuan dan jelas terekam di pita rekaman, jangan disiarkan, lalu permintaan ini dibalas dengan kemarahan dan kebencian tak menentu? Setelah membaca serie tulisan ini, seorang teman menegurku: "Mengapa kau mengkritik Lan Fang secara demikian? Bukankah pertama-tama karya seseorang layak dihargai?" Pandangan ini mengingatkan aku pada pendapat seorang penulis yang kudengar di TIM Jakarta beberapa tahun silam, karena karyanya tidak diindahkan oleh pers. Kepadanya kutanyakan langsung: Anda menulis untuk apa gerangan? Untuk kemasyhuran pribadi atau apa? Khoq jika tidak diindahkan lalu sewot? Adalah hak pers seperti halnya hak redaktur untuk memuat atau menolak tulisan seseorang. pencuekan pers dan redaktur tidak identik dengan tak bernilai. Bukan karena Anda telah menulis, maka tulisan Anda serta-merta berbobot. Mutu dan jumlah patut dibedakan. Teguran bersahabat di atas, kujawab bahwa persahabatan itu tidak sama-sebangun dengan saling sanjung puja, mengucapkan selamat. Pendapat yang mengkritik dengan argumen, kukira adalah salah bentuk menghargai sebuah karya. Bukankah kritik berargumen sebaliknya bisa dipandang sebagai tanda persahabatan yang tulus? Berharga tidaknya suatu karya tidak ditentukan oleh kemauan subyektif penulis tapi oleh pembaca dalam artian luas. Tidak ditentukan dengan pembentukan klik. Klik dan nilai klik akan ditakar oleh waktu dan ruang. Tergantung juga pada apa yang ia tawarkan ke publik. O, aku terlalu jauh menyimpang. Tentu. Demikian banyaknya yang ingin kuutarakan Xiao Lan. Baik, aku kembali ke cerpen "Toast"mu. Hal lain yang menari perhatianku dari "Toast"mu adalah perbandingan-perbandingan yang kau gunakan. Apakah itu misalnya? Entah kau sadar atau tidak tapi ungkapan-ungkapan dan perbandingan yang kau gunakan dalam alinea-alinea ini bagiku sangat menarik. Xia Lan menulis: "Aku merasa menjadi perempuan paling tolol yang selalu mengucapkan ''aku cinta padamu'', juga ''aku kangen kamu''. Setiap hari, setiap saat. Seperti matahari tidak pernah bosan terbit pagi hari. Seperti kelopak daun yang selalu berkeringat embun di subuh hari. Seperti aroma tanah kering yang menguap sehabis hujan. Tidak pernah berubah. Tetapi aku bukan matahari. Bukan pula embun. Juga bukan hujan. Aku bisa bosan. Aku menjadi kayu lapuk digerogoti rayap. Menjadi arang remuk di dalam bara sekam. Juga menjadi serpihan ranting rapuh yang jatuh. Aku capek merindu bayang". Metafora "Seperti kelopak daun yang selalu berkeringat embun di subuh hari. Seperti aroma tanah kering yang menguap sehabis hujan. Tidak pernah berubah", atau "Aku menjadi kayu lapuk digerogoti rayap. Menjadi arang remuk di dalam bara sekam. Juga menjadi serpihan ranting rapuh yang jatuh" dan banyak contoh lain, bagiku memperlihatkan bahwa apa yang dialami oleh Xiao Lan di masa kecilnya masih sangat membekas di jiwa penulis. Ini adalah ungkapan-ungkapan lokal yang menunjukkan bahwa Xiao Lan masih punya akar budaya. Bahwa tidak percuma ia lahir di Kalimantan. Kalimantan dan kenangannya serta apa yang ia alami di Kalimantan membekas dan menguntitnya sampai ia tinggal di Surabaya. Tanda lokal tidak bertentangan dengan universalisme. Justru memberi daya orisinal bagaimana kita memahami universalisme itu. Bekal penting dalam berdialog dengan kebudayaan dunia. Kukira, ungkapan-ungkapan begini adalah salah satu kekuatan Xiao Lan tanpa usah terjebak pada macam-macam istilah seperti post-modern dan lain-lain... yang sering digunakan untuk menggagahi orang lain, walau pun memang patut dipelajari untuk memperkaya wacana. Tapi hendaknya kita tak usah tergertak dan tidak usah mau digagahi oleh pengucap istilah-istilah begini disertai dengan sekian banyak daftar bacaan yang umumnya dari Barat seakan Barat adalah kebenaran universal. Apalagi di Indonesia, sering kita mengucapkan sesuatu yang kita sendiri tidak tahu benar apa yang kita ucapkan. Jika menggantikan kata Indonesia "kau" dengan "you" kita merasa prestise diri sudah meningkat, hingga lahirlah bahasa "gado-gado". Dalam konteks ini Xiao Lan, aku ingin menceritakan sebuah kejadian di Serua Indah, Ciputat, kampung yang di Tanggerang yang amat kukenal. Pamanku, dari etnik Madura, mantan kapten ALRI, dalam kehidupan sehari-hari dekat benar dengan penduduk kampung. Ketika berlangsung suatu upacara pernikahan ia diundang. Sang lurah Serua Indah berpidato mengucapkan pidato selamat berbahagia kepada mempelai. "Pokoknya saudara-saudari 'made in Sweden [baca:made in Sweden]. Hadirin yang tidak mengerti bahasa Inggris bertanya serentak: "Apa itu artinya, Pak". Tanpa ragu Pak Lurah menjawab dengan penuh percaya diri dan merasa prestisenya meningkat oleh penggunaan "made in Sweden" :"Semoga berbahagia". Hadirin yang orang kampung dalam koor mengucapkan "Oooo, Made in Sweden". Merek korekapi yang banyak dijual di Indonesia. Banyak lagi cerita kocak lainnya sejenis ini kudapatkan, Xiao Lan, kenyataan-kenyataan yang menunjukkan betapa kita sebenarnya kehilangan diri dan suka menggagahi sesama secara tidak perlu, di samping memperlihatkan betapa rasa rendah diri masih menjangkiti kita dic dari dengan kepongahan. Pak Lurah Serua Indah sudah merasa dirinya hebat ketika bisa mengucapkan "made in Sweden". Keadaan pola pikir dan mentalitas negeri yang kukira menantang para sastrawan dan yang menyebut diri sastrawan, budayawan dan esais. Ketika berada di Indonesia, sering kudapatkan keadaan seperti yang dikatakan oleh Mao Zedong ketika mengkritik cendekiawan Tiongkok sebelum tahun 1949 : "Lebih kenal Yunani Kuno daripada Tiongkok". Apakah dengan American oriented dalam bidang pendidikan, kita tidak lebih mengenal Amerika dan Barat daripada tanahair sendiri? Suatu pertanyaan besar bagiku, Xiao Lan. Dan tidak terlalu sulit bagiku memberikan serangkaian contoh. Apakah orang-orang ini mengira , dengan menyitat teori-teori Barat dan Amerika, rakyat negeri kita lebih dungu dan tak tahu apa-apa? Tidak punya wacana tentang masalah yang dibicarakan? Ada kesan padaku, bahwa di Indonesia kita tidak menyukai kenyataan. Suka pada syok,nampang, jual koyok, balagu, nggertak untuk menutupi "kekosongan" jika menggunakan istilah sosiolog Perancis Alain Touraine. Karena itu aku sungguh senang bahwa Xiao Lan ada usaha kembali ke akar dengan menggunakan metafora-metafora lokal yang ia gunakan dalam cerpen "Toast" ini. Apakah ini pun suatu tanda dari adanya pemberontakan terhadap keadaan -- entah sadar atau tidak -- dari Xiao Lan? Xiao Lan sendirilah yang paling tahu dengan tepat. Tapi pemberontakan, barangkali salah satu ciri yang menyertai sastrawan. Apakah benar Xiao Lan seorang pemberontak? Pemberontak nilai? Atau seorang kompromis? Atau seorang pengkhianat demi uang sang raja? Sekali lagi, Xiao Lan sendirilah yang memastikan jawabannya dan akan tercermin dari karya-karyanya serta tindak selanjutnya. Kita bisa menipu untuk suatu saat, tapi tidak pernah bisa untuk selamanya. Apabila pemahamanku benar bahwa salah satu ciri sastrawan itu adalah pemberontakan, pemberontakan nilai, maka bisa dibayangkan jalan berliku yang menunggunya. Jika demikian, salahkah lalu jika kukatakan bahwa negeri dan bangsa ini sangat memerlukan sastrawan, kesadaran yang membuat Lu Sin meninggalkan Fakultas kedokterannya di Jepang, sebelum 1949, dan memilih jadi penulis karena menganggap Tiongkok sebagai negeri sedang sakit jiwa? Berapa banyak sastrawan di Indonesia, jika demikian?! Apakah "presiden penyair" Indonesia itu seorang sastrawan sesungguhnya sementara ia gemetar untuk turun ke jalan bersama Rendra melawan Orde Baru Soeharto dan membiarkan para warga republik sastrawan dibunuh, dibuang, disiksa dan di penjara tanpa berbuat, dan berkata apa-apa? Apakah otodeklarasi begini bukannya tanda dari sakit jiwa mabuk nama tanpa indahkan konsekwensi dan tanggungjawab dari arti kata "presiden"?Kemampuan tekhnis adalah satu keterampilan seorang tukang dan sama sekali bukan pertanda kesastrawanan seutuhnya dan hakiki. Aku membedakan antara ketenaran dan kesastrawan dalam pengertian nilai dan misi serta arti kata sastrawan itu sendiri. Mungkin kau tak sepakat, Xiao Lan. Aku menghormati ketidaksepakatanmu. Silahkan. Orang bilang: Bagaimana hidup dan untuk apa hidup adalah pilihan. "Melayang-layang" seperti daun kuning rontok dari dahan, itu pun adalah suatu pilihan. Sejak lama, aku pun siap melihat Indonesia "melayang-layang" dan seperti daun kuning melayang-layang dari dahan dan ranting lalu hilang di lubuk sungai. Indonesia memang belum menjadi daun kuning hilang di lubuk sungai. Tapi bukan tidak mungkin bahwa ia akan hilang di lubuk, sama bukan tidak mungkin pula konsep besar dan mulia ini akan terus berkembang menempuh lika-liku tak tertakar duga serta nalar karena aku percaya di negeri ini masih ada manusia. Dan aku percaya benar, pulau-pulau akan menjawab dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak bisa disalahkan ketika menjawab, walau pun menjawab bersifat reaktif dan tidak aktif seperti Kahar Muzakar menjawab Hatta tapi masih mencantum dan menjunjung nama Indonesia. Ketika hal ini terjadi, ketenaran pun akan "melayang-layang". Pengejaran nama dan saling sanjung akan melayang-layang. Siapa pula yang mengagumi penulisan puisi di dalam laut sebagai suatu keajaiban bermakna manusiawi selain sebagai sensasi pubertas, lambang dari Indonesia yang sedang menjadi. Indonesia yang puber. Barangkali saja, Xiao Lan. Barangkali! Apa sih istimewanya menyelam laut?! Apa sih istimewanya menyelami lubuk sungai yang juga kulakukan ketikakanakku dahulu, tapi tanpa publikasi? Menyelami laut dan lubuk sungai, tak sebanding dengan kemampuan menyelami kehidupan yang lebih garang, tak seramah laut dan sungai. Sungguh suatu sensasi seperti kurang topik saja --tanda jauhnya kita dari kehidupan nyata yang penuh masalah-masalah besar. Siapa pula yang akan mau terus merunduk di hadapan sentralisme dan dominasi nilai Jakarta, serta grup ini dan grup itu yang berjaya karena bantuan luarnegeri? Sebelum Jakarta ada sebagai ibukota yang disebut Republik Indonesia, daerah-daerah sudah ada. Pulau-pulau bisa mengatur diri mereka. Di sinilah kukira pentingnya Xiao Lan kembali ke akar -- entah sadar atau tidak -- dengan menggunakan metafora-metafora lokal. Jika Jakarta bersikokoh dengan arogansi dominasi kekuasaan dan nilainya, cepat atau lambat, kukira ia akan ditinggalkan dan jadi kadaluwarsa karena pulau-pulau akan menjadi diri mereka kembali. Jangan tergantung Jakarta. Bila perlu, biarkan Jakarta jadi kadaluwarsa dalam proses waktu. Arogansi tidak pernah punya haridepan. Stop kepongahan!*** Paris, Juli 2006. ---------------------- JJ. Kusni [Bersambung....] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Great things are happening at Yahoo! Groups. See the new email design. http://us.click.yahoo.com/TISQkA/hOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **