[nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [8]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Mon, 17 Jul 2006 10:00:37 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Kembang Gunung Purei:


"TOAST" SEPI,  RINDU, HATI DAN TUBUH

8


Masih ada beberapa  ciri lain yang agak khas dalam cara Xiao Lan bercerita. 
Apakah ciri-ciri lain itu? 

Ciri lain yang paling menonjol dalam tekhnik, terutama bahasa,  yang digunakan 
oleh Xiao Lan adalah penggunaan kalimat-kalimat puitis, seperti berikut 
misalnya:

"Karena bayang-bayang itu bertumbuh besar dan membiak, maka segala ritme dan 
gerakannya menyibukkanku dengan banyak rasa. Aku memeliharanya, memupuknya, 
merawatnya, menyiramnya, menyianginya, seperti aku menanam sepokok kembang, 
sampai ia berputik, kuncup, mekar, merekah menjadi bunga. Aku gempita di dalam 
kesendirianku. Tidak pernah merasa sepi. 

Lalu ketika mendadak senja meleleh penuh tuba, bayang-bayang itu tetap seperti 
bayang-bayang yang tidak pernah mengerti betapa aku cinta dan sangat aku rindu. 
Ia tetap menjadi bayang-bayang yang bergerak liar ke mana dia mau dan melakukan 
apa yang dia suka. Bukan karena ia tak cinta aku. Tetapi mungkin lebih cinta 
dirinya sendiri. Padahal sesak itu berhimpitan dengan cinta dan rindu yang 
tiada berkesudahan. Tiap hela napasku hanya menyemburkan wangi bunga cinta dan 
embusan harum kerinduan. Ia bukan tidak tahu. Tetapi ia sendiri tidak tahu apa 
yang dia mau". 

Atau pada alinea-alinea di bawah ini:

"Lalu rinduku tumpah ruah seperti banjir Nuh yang meruntuhkan langit dan 
menggemuruhkan bumi. Dadaku tidak mampu lagi menahan sesaknya. Cintaku amblas 
kena amplas. Ibarat kupu-kupu, kepaknya tak utuh lagi, warna sayapnya luntur di 
dalam secangkir kebingungan. Hatiku menggelegak seperti burung gagak 
berkoak-koak. Hanya hening sesaat, selebihnya sepi merajai. 

Sepi itu hendak mencabut napasku. Karena ia sudah membekukan nadiku. Sepi itu 
gigil yang ngilu. Membuatku bisa merapatkan geligi gigi menahan gemelutuknya. 
Tetapi ketika mulutku akan membuka, tidak ada satu pun suara. Sepi seperti 
hantu yang bertahta di atas lidahku. Ia membangun istana di seluruh rongga 
mulutku sehingga aku gagu. Bahkan menangis pun sudah tak mampu. 
Siapa yang bisa tahan? 

''Aku memilih rindu,'' bar tender itu menjawab sambil mengangsurkan segelas 
long island untukku. Kuteguk. ''Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada 
keinginan. Sedangkan sepi hanya suatu keadaan. Kesepian itu melukai. Membuat 
hati berdarah dan bernanah. Tetapi kerinduan sekadar meninggalkan lebam memar 
yang membiru,'' jawabannya membuatku tersedak! "

Kalimat-kalimat puitis sederhana dalam bahasa kekininian yang gampang, menjadi 
benang merah menjeluri cerpen "Toast" ini sehingga memberi warna keindahan 
tersendiri.  Sangat mendukung kesepian si "aku" dan patner dialognya : si Cali 
-- bar tender.  Puitisitas yang gampang dimengerti, tidak membuatnya menjadi 
kalimat-kalimat "suram-gelap"   begini, memberikan cerpen "Toast" Xiao Lan  
suatu tambahan nilai artistik tersendiri.  Kalimat-kalimat puitis, sebagaimana 
umumnya mengandung renungan dan usaha menangkap "makna" terdalam dari keadaan 
yang dihadapi tokoh-tokoh cerita.  Aku tidak tahu, apakah gaya begini, 
digunakan secara terus-menerus oleh Xiao Lan dalam novel dan cerpen-cerpennya. 
Aku belum sempat teliti  membaca novelnya "Kembang Gunung Purei" yang mengambil 
setting Kalimantan dan berlatarbelakang konflik etnik di Kalimantan pada 
tahun-tahun 2000-an. Hanya yang jelas, dengan menggarap tema sensitif yang 
memerlukan pengetahuan padan agar tidak terjerumus ke dalam kengawuran lukisan 
dan analisa, memperlihatkan adanya keterikatan dan perhatian Xiao Lan akan 
keadaan lingkungan di sekitarnya. Ini bagiku sudah mempunyai nilai tersendiri.  
Kehadiran "aku" Lan Fang ke café untuk melarikan kesepiannya pada seloki-seloki 
"long-island" pun memperkuat hipotesa ini.  Xiao Lan melalui "Toast" kukira 
ingin melukiskan kehampaan benak dan jiwa kelas menengah negeri kita. Dalam 
melukiskan lapisan masyarakat ini, terkesan padaku bahwa Xiao Lan sangat 
mengenalnya relatif persis.  Pengenalan baik yang tidak mengherankan , apalagi 
jika Xia Lan sendiri memang berasal dari kelas serupa dan menghidupi langsung 
lingkungan tersebut. Berbeda misalnya jika  ia melukiskan keadaan konflik etnik 
di Kalimantan berdasarkan pengenalan tanggung dan bacaan semata tapi tidak 
menghayatinya.  Untuk mengenal masalah secara tepat,  dalam hal ini soal 
imigran Turki di Jerman, seorang penulis Jerman  menyamar selama beberapa waktu 
sebagai orang Turki dengan segala konsekwensinya sebelum menulis bukunya yang 
menggemparkan "La Tête de Turc" [Kepala Turki], buku yang menyebabkan ia 
mendapat ancaman fisik dari berbagai pihak hingga ia harus hidup di perbatasan 
Belanda-Jerman. Untuk menulis dengan kaum gelandangan di Paris, seorang penulis 
Perancis, hidup berbulan-bulan sebagai gelandangan.  Yang ingin kukatakan 
dengan mengajukan dua contoh ini hanyalah keniscayaan bahwa seorang penulis 
layak menguasai rincian subyek tulisannya. Jangan awur-awuran dan berlagak tahu 
tapi sesungguhnya tidak tahu, sesuai dengan tanggungjawab penulis. Entah , 
kalau kita menganggap bahwa  penulis itu tidak mempunyai tanggungjawab,  asal 
dapat nama dan royalties dengan tema-tema eksotik dan unik. Sekali lagi, di 
sinilah kukira perlunya kritik, debat sastra dan debat ide perlu dikembangkan 
tanpa usah menggunakan  gertakan, kemarahan dan maki-maki sebagai jawaban. 
Argumen dijawab dengan argumen. Sampaikah kita ke taraf ini di Indonesia apabil 
terjadi keadaaan, ketika aku meminta agar apa yang tidak pernah kuucapkan dalam 
suatu pertemuan dan jelas terekam di pita rekaman, jangan disiarkan, lalu 
permintaan ini dibalas dengan kemarahan dan kebencian tak menentu?

Setelah membaca serie tulisan ini, seorang teman menegurku: "Mengapa kau 
mengkritik Lan Fang secara demikian? Bukankah pertama-tama karya seseorang 
layak dihargai?" Pandangan ini mengingatkan aku pada pendapat seorang penulis 
yang kudengar di TIM Jakarta beberapa tahun silam, karena karyanya tidak 
diindahkan oleh pers. Kepadanya kutanyakan langsung: Anda menulis untuk apa 
gerangan? Untuk kemasyhuran pribadi atau apa? Khoq jika tidak diindahkan lalu 
sewot? Adalah hak pers seperti halnya hak redaktur untuk memuat atau menolak 
tulisan seseorang. pencuekan pers dan redaktur tidak identik dengan tak 
bernilai. Bukan karena Anda telah menulis, maka tulisan Anda serta-merta 
berbobot. Mutu dan jumlah patut dibedakan.

Teguran bersahabat di atas,  kujawab bahwa persahabatan itu tidak sama-sebangun 
dengan saling sanjung puja, mengucapkan selamat. Pendapat yang mengkritik 
dengan argumen, kukira adalah salah bentuk  menghargai sebuah karya.  Bukankah 
kritik berargumen sebaliknya bisa dipandang sebagai tanda persahabatan yang 
tulus? Berharga tidaknya suatu karya tidak ditentukan oleh kemauan subyektif 
penulis tapi oleh pembaca dalam artian luas. Tidak ditentukan dengan 
pembentukan klik. Klik dan nilai klik akan ditakar oleh waktu dan ruang. 
Tergantung juga pada apa yang ia tawarkan ke publik. 

O,  aku terlalu jauh menyimpang. Tentu. Demikian banyaknya yang ingin 
kuutarakan Xiao Lan. Baik, aku kembali ke cerpen "Toast"mu. 

Hal lain yang menari perhatianku dari "Toast"mu adalah 
perbandingan-perbandingan yang kau gunakan. Apakah itu misalnya? Entah kau 
sadar atau tidak tapi ungkapan-ungkapan dan perbandingan yang kau gunakan dalam 
alinea-alinea ini  bagiku sangat menarik. Xia Lan menulis:

"Aku merasa menjadi perempuan paling tolol yang selalu mengucapkan ''aku cinta 
padamu'', juga ''aku kangen kamu''. Setiap hari, setiap saat. Seperti matahari 
tidak pernah bosan terbit pagi hari. Seperti kelopak daun yang selalu 
berkeringat embun di subuh hari. Seperti aroma tanah kering yang menguap 
sehabis hujan. Tidak pernah berubah. 

Tetapi aku bukan matahari. Bukan pula embun. Juga bukan hujan. 
Aku bisa bosan. 
Aku menjadi kayu lapuk digerogoti rayap. Menjadi arang remuk di dalam bara 
sekam. Juga menjadi serpihan ranting rapuh yang jatuh. 
Aku capek merindu bayang". 

Metafora "Seperti kelopak daun yang selalu berkeringat embun di subuh hari. 
Seperti aroma tanah kering yang menguap sehabis hujan. Tidak pernah berubah",  
atau "Aku menjadi kayu lapuk digerogoti rayap. Menjadi arang remuk di dalam 
bara sekam. Juga menjadi serpihan ranting rapuh yang jatuh" dan banyak contoh 
lain, bagiku memperlihatkan bahwa apa yang dialami oleh Xiao Lan di masa 
kecilnya masih sangat membekas di jiwa penulis.  Ini adalah ungkapan-ungkapan 
lokal yang menunjukkan bahwa Xiao Lan masih punya akar budaya. Bahwa tidak 
percuma ia lahir di Kalimantan. Kalimantan dan kenangannya serta apa yang ia 
alami di Kalimantan membekas dan menguntitnya sampai ia tinggal di Surabaya. 
Tanda lokal tidak bertentangan dengan universalisme. Justru memberi daya 
orisinal bagaimana kita memahami universalisme itu.  Bekal penting dalam 
berdialog dengan kebudayaan dunia. 

Kukira, ungkapan-ungkapan begini adalah salah satu kekuatan Xiao Lan tanpa usah 
terjebak pada macam-macam istilah seperti post-modern dan lain-lain... yang 
sering digunakan untuk menggagahi orang lain,  walau pun memang patut 
dipelajari untuk memperkaya wacana.  Tapi hendaknya kita tak usah tergertak dan 
tidak usah mau digagahi oleh pengucap istilah-istilah begini disertai dengan 
sekian banyak daftar bacaan yang umumnya dari Barat seakan Barat adalah 
kebenaran universal.  Apalagi di Indonesia, sering kita mengucapkan sesuatu 
yang kita sendiri tidak tahu benar apa yang kita ucapkan.  Jika menggantikan 
kata Indonesia "kau" dengan "you" kita merasa prestise diri sudah meningkat, 
hingga lahirlah bahasa "gado-gado". 

Dalam konteks ini Xiao Lan, aku ingin menceritakan sebuah kejadian di Serua 
Indah, Ciputat, kampung yang di Tanggerang yang amat kukenal. Pamanku, dari 
etnik Madura, mantan kapten ALRI, dalam kehidupan sehari-hari dekat benar   
dengan penduduk kampung. Ketika berlangsung suatu upacara pernikahan ia 
diundang.  Sang lurah Serua Indah berpidato mengucapkan pidato selamat 
berbahagia kepada mempelai. "Pokoknya saudara-saudari 'made in Sweden 
[baca:made in Sweden]. Hadirin yang tidak mengerti bahasa Inggris bertanya 
serentak: "Apa itu artinya, Pak". Tanpa ragu Pak Lurah menjawab dengan penuh 
percaya diri dan merasa prestisenya meningkat oleh penggunaan "made in Sweden" 
:"Semoga berbahagia". Hadirin yang orang kampung dalam koor mengucapkan "Oooo, 
Made in Sweden". Merek korekapi yang banyak dijual di Indonesia. Banyak lagi 
cerita kocak lainnya sejenis ini kudapatkan, Xiao Lan, kenyataan-kenyataan  
yang menunjukkan betapa kita sebenarnya kehilangan diri dan suka menggagahi 
sesama secara tidak perlu, di samping memperlihatkan betapa rasa rendah diri 
masih menjangkiti kita dic    dari dengan kepongahan. Pak Lurah Serua Indah 
sudah merasa dirinya hebat ketika bisa mengucapkan "made in Sweden".  Keadaan 
pola pikir dan mentalitas negeri yang kukira menantang para sastrawan dan yang 
menyebut diri sastrawan, budayawan dan esais.  

Ketika berada di Indonesia, sering kudapatkan keadaan seperti yang dikatakan 
oleh Mao Zedong ketika mengkritik cendekiawan Tiongkok sebelum tahun 1949 : 
"Lebih kenal Yunani Kuno daripada Tiongkok".  Apakah dengan American oriented 
dalam bidang pendidikan, kita tidak lebih mengenal Amerika dan Barat daripada 
tanahair sendiri? Suatu pertanyaan besar bagiku, Xiao Lan. Dan tidak terlalu 
sulit bagiku memberikan serangkaian contoh. Apakah orang-orang ini mengira , 
dengan menyitat teori-teori Barat dan Amerika, rakyat negeri kita lebih dungu 
dan tak tahu apa-apa?  Tidak punya wacana tentang masalah yang dibicarakan? Ada 
kesan padaku, bahwa di Indonesia kita tidak menyukai kenyataan.  Suka pada 
syok,nampang, jual koyok, balagu, nggertak untuk menutupi "kekosongan" jika 
menggunakan istilah sosiolog Perancis Alain Touraine. Karena itu aku sungguh 
senang bahwa  Xiao Lan ada usaha kembali ke akar dengan menggunakan 
metafora-metafora lokal yang ia gunakan dalam cerpen "Toast" ini. Apakah ini 
pun suatu tanda dari adanya pemberontakan terhadap keadaan -- entah sadar atau 
tidak -- dari Xiao Lan? Xiao Lan sendirilah yang paling tahu dengan tepat. Tapi 
pemberontakan, barangkali salah satu ciri yang menyertai sastrawan. Apakah 
benar Xiao Lan seorang pemberontak? Pemberontak nilai? Atau seorang kompromis? 
Atau seorang pengkhianat demi uang sang raja?  Sekali lagi, Xiao Lan sendirilah 
yang memastikan jawabannya dan akan tercermin dari karya-karyanya serta tindak 
selanjutnya.  Kita bisa menipu untuk suatu saat, tapi tidak pernah bisa untuk 
selamanya.

Apabila pemahamanku benar bahwa salah satu ciri sastrawan itu adalah 
pemberontakan, pemberontakan nilai,  maka bisa dibayangkan jalan berliku yang 
menunggunya. Jika demikian, salahkah lalu jika kukatakan bahwa negeri dan 
bangsa ini sangat memerlukan sastrawan, kesadaran yang membuat Lu Sin 
meninggalkan Fakultas kedokterannya di Jepang, sebelum 1949, dan memilih jadi 
penulis karena menganggap Tiongkok sebagai negeri sedang sakit jiwa? Berapa 
banyak sastrawan di Indonesia, jika demikian?! Apakah "presiden penyair" 
Indonesia itu seorang sastrawan sesungguhnya sementara ia gemetar untuk turun 
ke jalan  bersama Rendra melawan Orde Baru Soeharto dan membiarkan para warga 
republik sastrawan dibunuh, dibuang, disiksa dan di penjara tanpa berbuat, dan 
berkata apa-apa? Apakah otodeklarasi begini bukannya tanda dari sakit jiwa 
mabuk nama tanpa indahkan konsekwensi dan tanggungjawab dari arti kata 
"presiden"?Kemampuan tekhnis adalah  satu keterampilan seorang tukang dan sama 
sekali bukan pertanda kesastrawanan seutuhnya dan hakiki.  Aku membedakan 
antara  ketenaran  dan kesastrawan dalam pengertian nilai dan misi serta arti 
kata sastrawan itu sendiri.  Mungkin kau tak sepakat, Xiao Lan. Aku menghormati 
ketidaksepakatanmu. Silahkan. Orang bilang: Bagaimana hidup dan untuk apa hidup 
adalah pilihan. "Melayang-layang" seperti daun kuning rontok dari dahan, itu 
pun adalah suatu pilihan.  Sejak lama, aku pun  siap melihat Indonesia 
"melayang-layang" dan seperti daun kuning melayang-layang dari dahan dan 
ranting lalu hilang di lubuk sungai.  Indonesia memang belum menjadi daun 
kuning hilang di lubuk sungai. Tapi bukan tidak mungkin bahwa  ia akan hilang 
di lubuk, sama bukan tidak mungkin pula konsep besar dan mulia ini akan terus 
berkembang menempuh lika-liku tak tertakar duga serta nalar karena aku percaya 
di negeri ini masih ada manusia.


Dan aku percaya benar, pulau-pulau akan menjawab dengan cara mereka sendiri. 
Mereka tidak bisa disalahkan ketika menjawab, walau pun menjawab bersifat 
reaktif dan tidak aktif seperti Kahar Muzakar menjawab Hatta tapi masih 
mencantum dan menjunjung nama Indonesia.  Ketika hal ini terjadi, ketenaran pun 
akan "melayang-layang".  Pengejaran nama dan saling sanjung akan 
melayang-layang. Siapa pula yang mengagumi penulisan puisi di dalam laut 
sebagai suatu keajaiban bermakna manusiawi  selain sebagai sensasi pubertas, 
lambang  dari Indonesia yang sedang menjadi. Indonesia yang puber. Barangkali 
saja, Xiao Lan. Barangkali! Apa sih istimewanya menyelam laut?! Apa sih 
istimewanya menyelami lubuk sungai yang juga kulakukan ketikakanakku dahulu, 
tapi tanpa publikasi?  Menyelami laut dan lubuk sungai, tak sebanding dengan 
kemampuan menyelami kehidupan yang lebih garang, tak seramah laut dan sungai. 
Sungguh suatu sensasi seperti kurang topik saja  --tanda jauhnya kita dari 
kehidupan nyata yang penuh masalah-masalah besar.

Siapa pula yang akan mau terus merunduk di hadapan sentralisme dan dominasi 
nilai Jakarta, serta grup ini dan grup itu yang berjaya karena bantuan 
luarnegeri? Sebelum Jakarta ada sebagai ibukota yang disebut Republik 
Indonesia, daerah-daerah sudah ada.  Pulau-pulau bisa mengatur diri mereka. Di 
sinilah kukira pentingnya Xiao Lan kembali ke akar -- entah sadar atau tidak -- 
dengan menggunakan metafora-metafora lokal.  Jika Jakarta bersikokoh dengan 
arogansi dominasi kekuasaan dan nilainya, cepat atau lambat, kukira ia akan 
ditinggalkan dan jadi kadaluwarsa karena pulau-pulau akan menjadi diri mereka 
kembali.  Jangan tergantung  Jakarta. Bila perlu, biarkan Jakarta jadi 
kadaluwarsa dalam proses waktu. Arogansi tidak pernah punya haridepan.  Stop 
kepongahan!***


Paris, Juli 2006.
----------------------
JJ. Kusni


[Bersambung....]


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Great things are happening at Yahoo! Groups.  See the new email design.
http://us.click.yahoo.com/TISQkA/hOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [8]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh