[nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [5]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Sat, 15 Jul 2006 07:01:45 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Kembang Gunung Purei:


"TOAST" SEPI,  RINDU, HATI DAN TUBUH


5.


Dilanda oleh gelora  sepi dan rindu yang bermula dari cinta,  hubungan antara 
dua aktornya sebagai wakil dari suatu kelas atau lapisan menengah masyarakat 
kita,  nampak sangat bebas.. Kebebasan hubungan antar pasangan berlainan jenis 
ini kembali dilukskan oleh Xiao Lan dalam kalimat-kalimat berikut:

''Setiap break menyanyi, ia datang meminta long island padaku. Ia menyanyi di 
sini setiap malam selama seminggu. Setiap menutup stage, ia menyanyikan When 
You Tell Me That You Love Me sambil tidak melepaskan pandangannya kepadaku. 
Hatiku selalu bergetar dibuatnya. Matanya seperti magnet. Menarikku masuk ke 
dalam kumparannya sampai tidak bisa melepaskan diri lagi ketika ia memelukku, 
menciumku, melumatku. Rasa long island yang tersisa di lidahnya terkecap olehku 
di dalam ciuman yang hangat, panjang dan dalam. Aroma whiskey cola berhembus 
ketika kami saling bertukar napas.'' 

''Beuh! Cerita apa itu?! Aku bukan penulis cerita stensilan. Aku penulis cerita 
cinta! Dasar laki-laki! Kamu mabuk! Kamu bisa tidur dengan perempuan mana saja! 
Bedakan dong, antara cinta dan nafsu!'' potongku setengah sewot. 

''Cinta? Seperti apa cinta dalam cerita-ceritamu?'' sergahnya. ''Cinta yang 
membuat kamu merasa merana kesepian sampai mencari mabuk ke sini?'' ia 
menyerangku dengan kata-kata yang meluncur bagai anak panah lepas dari busur. 
''Kamu bercinta dengan sepi? Selama ini bibirmu cuma mengecup mimpi, tubuhmu 
gemetar karena ingin yang tak pernah usai, hatimu terlantar seperti kena 
penyakit sampar, bahkan bicaramu pun sekadar menabrak pagi, lalu berakhir di 
ujung malam yang membingungkan. Lalu bosan menjadi raja dan kamu muntahkan ke 
dalam segelas long island? Itu yang kamu bilang cinta di dalam 
cerita-ceritamu?!'' ia memberikan sebuah senyum penuh ejekan. 
Oh! Ia mendadak menjadi pujangga besar yang mengulitiku. 

''Kenapa kamu tidak melindas sepi dengan memanggilnya, mencarinya, 
mendatanginya, meneleponnya, menciuminya, memeluknya, melumatnya, me...dan 
me...dan me...dan me... me yang lain... Kenapa tidak kamu lakukan? Bukankah 
bias hangatnya bisa membuat sepimu lumer meleleh?'' ia mengejarku. 

Kemudian di penghujung cerita, Xiao Lan menulis klimak cerpen:

"Gelas kami lagi-lagi beradu. 
''Pertanyaan terakhir. Maukah kamu menciumku seperti dia? Menyesap long island 
di lidahku dan menghirup whiskey cola di napasku?'' tanyaku sambil memajukan 
tubuhku mendekati wajahnya. Kutatap dalam-dalam matanya. Kusentuh bibirnya 
dengan jariku. Dan kuembuskan sepi ke dalam napasnya". 

Dan si "aku" Lan Fang, menyentuh bibir Cali si " bar tender" di bar café yang 
berarti berlangsung di depan publik sebagaimana yang dilakukan oleh penyanyi 
kekasih Cali  " setiap break".  Dari lukisan Xiao Lan ini, aku melihat bahwa 
hubungan bebas dan intim antara lelaki-perempuan, asal mau sama mau, terutama  
di kalangan  kelas menengah ke atas sudah bukan merupakan hal asing lagi. 
Lebih-lebih di kota-kota besar.  Tentu saja keadaan begini berbeda lagi  
patokan susila begini, berbeda lagi patokan susila di lapisan bawah yang 
mayoritas. Tapi  celakanya, ketika aku bekerja di Palangka Raya, di koran-koran 
lokal, terdapatnya kondom di stadion atau di depan rumah seseorang, sudah cukup 
jadi bahan berita untuk memperlihatkan bahwa sang wartawan sedang menggugat 
terjadinya suatu keaiban.   Kiranya, jika kita cermat membaca angket-angket 
tentang masalah ini, kita dapatkan bahwa siswa-siswa SMU pun sudah umum 
melakukan hubungan bebas dan intim. Entah apa pun alasan dan penyebabnya , dari 
sini aku melihat bahwa di kalangan masyarakat perkotaan kita, sedang dan terus 
berlangsung pergeseran nilai.   Dan aku tidak memandangnya sebagai sesuatu yang 
negatif, apalagi jika didasarkan pada kesepakatan dan tanggungjawab bersama 
dalam menghadapi segala akibatnya secara dewasa.  Aku tidak melihat bahwa 
perbuatan mereka sebagai mengganggu tatanan masyarakat. Secara umum, aku 
melihat kebebasan begini sebagai hak pribadi seseorang yang patut dihormati dan 
sama sekali tak ada alasan untuk dijadikan bahan gunjingan, apalagi kutukan 
atas nama apa pun.  Kecuali jika kita mau menjadi Dracula atau "hatuen" ujar 
orang Dayak Katingan. Tapi benar juga bahwa planet kecil kita memang penuh 
Dracula dan "hatuen". yang menyamar diri dalam berbagai bentuk dan rupa.  

Agaknya, ketika "aku" si Lan Fang,  memajukan tubuh untuk menyentuh bibir Cali 
dengan jarinya, sealur dengan pandangan di atas. Dan si "aku" tidak melakukan 
keaiban apa pun. Bahkan ia sangat jujur pada diri sendiri. Jujur pada 
prinsipnya:

"Aku tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. 
Menertawakan kesepianku yang konyol dan tolol. 
Aku tidak mabuk, bukan murahan, juga bukan kacangan, kalau aku memintanya 
menciumku. 
Aku cuma ingin membunuh sepi itu sebelum sepi itu yang lebih dulu membunuhku".  
   

Dengan kalimat-kalimat ini, terbaca padaku bahwa bagi  Xiao Lan, nyawa dan jiwa 
manusia jauh lebih utama dari apa pun.  Apalagi dibandingkan dengan kemunafikan 
yang tidak jarang mencelakakan seseorang dan orang banyak. Apakah dengan 
prinsip ini, Xiao Lan ingin mengatakan bahwa baginya yang menjadi poros adalah 
manusia, kemanusiaan dan kejujuran? Apakah juga dengan cerita ini,  yang 
terselip di benak Xiao Lan adalah hasrat menggugat kemunafikan yang dominan 
dalam masyarakat kita sekarang? Jika dugaan dan tafsiran ini benar, maka ingin 
kukatakan bahwa barangkali  beginilah cara uniknya cerpenis, katakanlah 
sastrawan,  dalam mengungkapkan diri, pikiran dan perasaan. Bertarung 
memanusiawikan diri, manusia, kehidupan dan masyarakat. Berlaga dengan sarana 
artistik dan kata, sebagaimana ditunjukkan oleh Charlie Chaplin, Mary B.Shelly, 
penulis cerita Dracula, Sade, dan lain-lain lagi..... Pesan dan makna tidak 
harus diucapkan secara dangkal dan kasar. [Ah, si awam ini berlagak melulu! 
Maaf !]. 

Barangkali pula dengan mengangkat tema yang laris di pasar sekarang sebagai 
bahan cerpennya,  serta gampang dicerna, [sebagaimana sering ditekankan oleh 
penulis Singapura May Swan. Pemaduan untuk memecahkan keperluan hidup penulis 
sebagai penulis dan tanpa mencampakkan prinsip atau idealisme menurut istilah 
di Indonesia!], Xiao Lan sesungguhnya menggugat eskapisme, "long island"isme, 
kehidupan "melayang-layang", "berputar-putar seperti gasing"   kelas menengah 
dan menggugat kemunafikan sebagai nilai  dominan dalam masyarakat. Dengan 
metode begini, maka Xiao Lan memadukan kepentingan pasar dan nilai-nilai 
junjungannya tanpa melemparkan prinsip-prinsipnya kecomberan bau apak. Hal ini 
ditegaskan oleh Xiao Lan dalam kalimat-kalimat pengunci cerpen:

"Aku tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. 
Menertawakan kesepianku yang konyol dan tolol. 
Aku tidak mabuk, bukan murahan, juga bukan kacangan, kalau aku memintanya 
menciumku. 
Aku cuma ingin membunuh sepi itu sebelum sepi itu yang lebih dulu membunuhku". 

Sambil menertawakan diri secara berani,  hal yang tak gampang, apalagi berada  
di tengah-tengah  kesenangan orang berpongah-pongah,seakan kudengar Xiao Lan 
berpesan: "Jangan biarkan kesepian membunuhmu. Jangan jadi manusia murahan dan 
kacangan! " O, seakan kudengar juga di antara candanya, Xiao Lan berkata 
kepadaku: "kesepian itu konyol dan tolol" setolol dan sekonyol pelarian pada 
"long island". 

Ini adalah pemahamanku dari segi isi setelah membaca "Toast".  Tapi hendaknya 
kata kunci lain  dari Xiao Lan yang niscaya diperhatikan adalah: "Aku bukan 
penulis cerita stensilan"!

Pentingnya atau digarisbawahinya prinsip ini oleh Xiao Lan, ditunjukkan juga 
ketika Cali -- duplikat Xiao Lan  | mungkin] menolak  niat Lan Fang untuk 
mengulum bibirnya. Cali menolak karena kuluman yang ingin diberikan oleh Lan 
Fang adalah kuluman orang mabuk, tanpa prinsip. [Lihat: Lampiran di serie 1]. 
Ini pun kukira kritik Xiao Lan pada berkuasanya kemabukan atas negeri dan 
negara bernama Republik Indonesia. Kritik yang disampaikan dengan perangai Xiao 
Lan yang suka bercanda. Jika ada yang mengatakan bahwa Xiao Lan sebagai seorang 
"gila pol" , kukira justru seperti yang dikatakan oleh seorang Pastur dari 
Amerika Latin, dunia memerlukan "orang-orang gila". "Gila pol!" di tengah 
"zaman edan" seperti sekarang, jika menggunakan istilah Ranggawarsita, 
sastrawan keraton Solo. "Jangan jadi sastrawan jika takut edan", pesan Lu Sin, 
pengarang Tiongkok, kepada anak lelaki tunggalnya. 

Betapa pun, aku sangat sadar juga,  bahwa tentu akan dengan gampang saja 
penafsiranku sebagai pembaca yang berdaulat  [sama berdaulatnya dengan penulis] 
 bertolakbelakang dengan apa sesungguhnya yang ada di pikiran dan perasaan Xiao 
Lan. Tak bisa kubayangkan adanya sastrawan dan yang menyebut diri sebagai 
sastrawan tapi tanpa pembaca. Tapi  tanpa publik. Sama halnya tak ada jendral 
tanpa prajurit. Pemimpin tanpa rakyat. Barangkali, jika ada, inilah keunikan 
Indonesia?! 

Ketika demikian, aku hanya memperdengarkan suara gelakku pada Xiao Lan, entah 
di café mewah, atau di meja stasiun di mana aku sejenak singgah,  entah di 
pelabuhan sambil menunggu kapal,  dan  entah di mana pun.  

Mengapa takut berbeda, jika penulis dan pembaca sama-sama punya kedaulatan 
setara?! Di republik sastra-seni Bringharjo, Yogya dahulu, kami bisa serasi 
dengan segala perbedaan sehingga Bringharjo menjadi suatu lambang bhinneka 
tunggal ika, kedaulatan republik sastra dan seni secara nyata . Silamkah sudah 
prinsip ini di tengah globalisasi kapitalis, antipode globalisasi Porto 
Allegre, di mana uang menjadi raja dan menyuburkan egoisme serta kepongahan? 

Berbeda dengan Françis Fukuyama, aku tidak mengatakan "sejarah  berakhir" [the 
end of history, untuk menteoritisir yang disebutnya sebagai kemenangan 
kapitalisme] setelah runtuhnya Tembok Berlin. Sejarah masih terus ditulis. Kau 
pun Xiao Lan, turut menulis sejarah ini, khususnya,  di bidang sastra yang kau 
kecimpungi sekarang, bukan sebagai penulis murahan dan kacangan atau 
"berputar-putar seperti gasing".  Isinya? Kau dan angkatanmu jugalah yang 
menentukannya. Aku sudah terlalu kakek, ompong, pincang, botak dan picak, 
sekali pun masih sangat mencintai kehidupan dan negeri serta Katingan, Katingan 
sungai pengasuhku dari mana aku terhalau. Kurasakan lalu bahwa "mencintai" tak 
obah sebagai "cacat yang tak bisa hilang, luka yang tak bisa sembuh", seperti 
ujar penyair alm. HR. Bandaharo tanda bahwa hidup "bukanlah jalan bertabur 
bunga". Karenanya aku "ternyata hanyalah seorang pengembara", jika  boleh 
menyitat Ramadhan KH alm. Esok ada di tangan angkatanmu Xiao Lan. Tulislah apa 
yang kau mau, dengan cara apa saja, tapi jangan lupakan manusia dan kemanusiaan 
dengan semangat bahwa dari jalan begini "tak seorang beniat pulang walau mati 
menanti". Sanggupkah? Aku tak menuntut, hanya sekedar menceritakan semangat dan 
kadar angkatan terdahulu di negeri ini dari segi sastra.  Kadar sastra dan 
angkatan diri kalian hari ini, kalian jugalah yang menentukan sebagai 
penanggungjawab timbultenggelamnnya negeri. "Kerja belum selesai, belum 
apa-apa", jika menggunakan kata-kata Chairil Anwar. 

Dalam konteks "kerja belum selesai, belum apa-apa" belum bisa menghitung arti 
empat-ribu  nyawa ini, aku ingin kutip ucapan seorang penulis Perancis, Jean 
Echenoz, mengenai karya sastra: "Bukan karena kita telah menerbitkan sepuluh 
roman atau lebih maka kita bisa dikatakan telah belajar  menulis [Catat 
kata-kata "belajar menulis"]  menerbitkan sebuah karya baru, pada galibnya sama 
dengan kita telah menciptakan dan melahirkan sesuatu yang sama sekali baru tak 
pernah dikerjakan sebelumnya"[Lihat: Le Monde 2,  No. 126, Paris, 15 Juli 
2006]. Ini yang disebut kreativitas, menurut Echenoz yang keras menuntut 
dirinya. Kata-kata Jean Echenoz ini mudah-mudahan ada gunanya untukmu Xiao Lan. 
Seratus bahkan seribu buku pun telah kau terbitkan, jika tak mengandung prinsip 
yang dibilang oleh Echenoz ini, akankah ada artinya? Atau sebatas barang 
dagangan obralan seharga sebenggol yang lebih rendah dari barang "sale","solde" 
atau loakan guna sekedar menyelamatkan selembar nyawa secara ekonomi? Suatu 
pertanyaan dari segi makna atau nilai sesuai dengan apa arti sastrawan dan 
karya sastra,  menurut pengetahuan seorang awam seperti diriku, di hadapan  
kepongahan dan kemunafikan  dominan di negeri ini yang menggunakan ukuran ala 
kadarnya padahal kita mempunyai kemampuan dan potensi sangat besar tidak kalah 
dari bangsa mana pun.    Kritik pun dipandang sebagai ludah di muka dan sering 
dijawab dengan caci maki,  ujud dari kekerdilan jiwa dan ketidakmampuan. 
Terus-terang, aku tidak ingin kau menempuh jalan begini Xiao Lan ketika membaca 
komentarku yang awam sastra.  Atau kuhentikan berkomentar dan tak usah lagi 
meminta komentarku  apabila membuat mukamu merah dan membuatmu batuk-batuk, 
kehilangan nalar dan kontrol diri. Ini pun suatu canda, metode dan ciri dirimu. 

Paris, Juli 2006.
---------------------
JJ. Kusni


[Bersambung .....]

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Something is new at Yahoo! Groups.  Check out the enhanced email design.
http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [5]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh