[nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [3]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh

  • From: "Kusni jean" <katingan@xxxxxxxxxxxxxxxx>
  • To: "kmnu2000" <kmnu2000@xxxxxxxxxxxxxxx>, <wanita-muslimah@xxxxxxxxxxxxxxx>, "ppiindia" <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Thu, 13 Jul 2006 00:10:15 +0200

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Surat Kembang Gunung Purei:


"TOAST" SEPI,  RINDU, HATI DAN TUBUH


3.


Pertanyaan tentang apa-bagaimana  jalan keluar dalam menghadapi dua 
permasalahan yang diajukan Xiao Lan  sejak kalimat pertama cerpen, untuk 
sementara saya tangguhkan untuk melihat lebih dahulu bagaimana Xiao Lan 
memahami apa itu  sepi, rindu, hati dan tubuh. Guna keperluan ini maka,  
kukutip bagian-bagian dari cerpen "Toast" [Lihat: Lampiran di bagian 1 "surat" 
ini].


Apakah "sepi" dan apa pula "rindu", menurut Xiao Lan. Entah itu diucapkan oleh 
tokoh "aku" atau pun tokoh figuran "aku" yaitu Cali? Jawaban pertanyaan ini 
bisa dilihat dari dialog tokoh "aku" dan Cali di bawah ini:


"Lalu rinduku tumpah ruah seperti banjir Nuh yang meruntuhkan langit dan 
menggemuruhkan bumi. Dadaku tidak mampu lagi menahan sesaknya. Cintaku amblas 
kena amplas. Ibarat kupu-kupu, kepaknya tak utuh lagi, warna sayapnya luntur di 
dalam secangkir kebingungan. Hatiku menggelegak seperti burung gagak 
berkoak-koak. Hanya hening sesaat, selebihnya sepi merajai. 


Sepi itu hendak mencabut napasku. Karena ia sudah membekukan nadiku. Sepi itu 
gigil yang ngilu. Membuatku bisa merapatkan geligi gigi menahan gemelutuknya. 
Tetapi ketika mulutku akan membuka, tidak ada satu pun suara. Sepi seperti 
hantu yang bertahta di atas lidahku. Ia membangun istana di seluruh rongga 
mulutku sehingga aku gagu. Bahkan menangis pun sudah tak mampu. 
Siapa yang bisa tahan? 

''Aku memilih rindu,'' bar tender itu menjawab sambil mengangsurkan segelas 
long island untukku. Kuteguk. ''Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada 
keinginan. Sedangkan sepi hanya suatu keadaan. Kesepian itu melukai. Membuat 
hati berdarah dan bernanah. Tetapi kerinduan sekadar meninggalkan lebam memar 
yang membiru,'' jawabannya membuatku tersedak!" 

Apabila kita perhatikan pendapat Cali, yang sesungguhnya merupakan alat dari 
Xiao Lan untuk  menyampaikan idenya -- sedangkan secara watak dasar tidak juga 
terlalu jauh dari tokoh "aku", hingga bisa dikatakan Cali adalah bayangan si 
"aku" juga, bonekanya si "aku" maka nampak bagiku  bahwa "sepi" bagi Xiao Lan 
"suatu keadaan" yang "melukai", "membuat hati berdarah dan bernanah".  
"Keadaan" yang bermula dari permasalahan cinta individual atau pribadi.


Bandingkan dengan bagaimana Chairil Anwar memahami "sepi"  dalam  puisinya " 
Malam Di Pegunungan" [ lihat: Chairil Anwar, "Deru Campur Debu", Dian Rakyat, 
Cetakan ke-3,Jakarta, 1993, hlm. 27]:

"Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pepopohan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!"


Ketika melukiskan keadaan dan berada di tengah kesunyian di pegunungan, Chairil 
menanyai diri : Apa gerangan yang membuatnya sepi. Apakah sepi itu? Menjawab 
pertanyaannya sendiri, akhirnya Chairil menemukan bahwa dirinya memang seorang 
kesepian bagaikan seorang "bocah cilik main kejaran dengan bayangan".  Dan 
kukira,  "bayangan"  di sini bisa bermakna "mimpi" penyair tentang esok 
berdasarkan keadaan hari ini yang sedang dihidupinya. "Bayangan" beginilah yang 
membuatnya sepi, selalu tidak puas, senantiasa bertanya dan memburu makna 
sampai ia pada usia 27an tahun berkata: "sekali berarti sudah itu mati" dan 
berkesimpulan :


"Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
hancurkan lagi apa yang sudah kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!"

[Ibid: "Kepada Kawan"]


Semangat  serupa kukira terdapat pada baris-baris alm. Ramadhan KH dalam 
kumpulan puisinya  "Tanah Kelahiran 7" in: "Priangan Si Jelita" [PT 
DuniaPustaka Jaya, Cetakan ketiga, Jakarta, 1975):


Setengah bulatan bumi
kusilang arah membusur
Nyatanya 
aku hanya seorang pengembara"



Pengembara yang kesepian. Gelisah memburu makna. Apakah kesepian Xiao Lan sama 
dengan kesepian Chairil dan Ramadhan? Agaknya tidak.  Sama sekali tidak. Tokoh 
aku dan pembantunya Cali, dua tokoh yang asyik dengan kesepian diri sendiri, 
lari pada "long island".  Apakah ini perbedaan keadaan angkatan? Tentu saja. 
Dan dari sini, barangkali bisa membedakan wajah pola pikir dan mentalitas 
angkatan sekarang dan yang terdahulu. Wajah pola pikir dan mentalitas Indonesia 
hari ini tercermin pada tokoh "aku" dan Cali yang hidup di bawah langit 
globalisasi sebagai tingkat baru kapitalisme yang sedang menyerbu Indonesia.  
"Uang sebagai raja" [l'argent roi] memojokkan orang-orang ke pinggir yang sepi 
di mana mimpi tak punya arti dibandingkan dengan jalan pintas untuk hidup 
sekedar hidup padahal seperti yang kurasakan sendiri "life is not for bread 
alone" seperti yang pernah dikatakan oleh seorang pengarang Soviet dulu . 
Keadaan yang juga kusaksikan waktu bekerja di Indonesia melalui ungkapan 
"rapat-rapat melulu, padahal rapat tidak bisa menjadi  nasi" ["rapat dia tau 
jari bari", jika menggunakan istilah Dayak Katingan].  Ketika dari hasil rapat 
itu tersedia nasi di piring, menyuap nasi itu saja tidak bisa. Keadaan ini 
menumbuhkan kekerdilan manusia. Globalisasi kapitalis agaknya selainkan 
mengerdilkan jiwa manusia, juga telah membuat manusia kehilangan akal, suka 
pada jalan pintas dan juga pada kekerasan serta pelarian [eskapisme]. "Long 
island", bukankah suatu pelarian dari kesepian? KKN,  fanatisme, sabetanisme, 
jenderal  tentara menjual senjata, bisnis janda, termasuk ekspolatasi seks dan 
erotisme dalam sastra, bertaburannya motel-motel, tempat-tempat karaoke [tempat 
pelacuran terselubung],  dan lain-lain... apakah bukan ujud dari jalan pintas 
ini juga? 

Membandingkan kosep Chairil dan Ramadhan dengan wacana Xiao, nampak di sini  La 
wawasan Xiao Lan kiranya mungkin berbeda. Tokoh "aku" dan Cali dalam cerpen 
"Toast" bertemu di seloki  "long island" eskapisme. Jasa Xiao Lan di sini, 
terletak pada kejujurannya mengungkapkan tokoh tipikal atau khas  perkotaan 
kelas menengah Indonesia kekinian.  Hal yang juga tercemin melalui berbagai 
nama samaran penulis di berbagai milis yang amat "neko-neko", "aeng-aeng",  
seperti "aku gila", "mayat perempuan", dan sejenisnya...  Sebagaimana aku 
memperhatikan milis-milis yang menyebut diri sebagai milis sastra tapi lebih 
banyak berhahahihi, berhikhik, saling sanjung dan ucapan selamat tentang ini 
dan itu.  Aku membaca pilihan nama samaran begini  dan keadaan-keadaan begini 
sebagai suatu gejala berarti dilihat dari segi pola pikir dan mentalitas, 
sebagai suatu kadar perkembangan di negeri kita, dan sama sekali bukan suatu 
kebetulan tanpa arti.  Dalam hal ini aku berterimakasih kepada seorang teman 
yang merumuskan keadaan begini sebagai konsep "melayang-layang" dalam mencari 
serta menemukan diri pada usia sudah tidak lagi remaja bahkan sudah beranak 
berbini.  


Patutkah keadaan begini dipahami dari segi perbedaan angkatan? Mengapa harus 
mencari permaafan diri sementara perkembangan dunia di luar kita dan negeri ini 
sendiri terus melaju. Pemaafan diri, kupandang tidak lain dari cara 
menyelamatkan muka dari ketidakberdayaan. Masalah hakiki tidak terselesaikan 
permintaan permaafan diri serta pemahaman. Seorang penjulis tidak meminta 
pemahaman dan permaafan. Penulis punya misi tanggungjawab. Karena itu Lu Sin 
berpesan pada anak tunggalnya: "Jangan jadi penulis jika kau tak sanggup jadi 
gila".   Niscayakah kita berasyik-asyik dengan "pipit-isme" atau "tempe-isme" 
[jika menggunakan istilah bung Karno] pikiran dan mentalitas. Memburu nama 
hampa tanpa makna, kukira tidak lain dari ujud nyata "pipit-isme" dan 
"tempe-isme" kekinian.  Bangsa kita bukanlah bangsa "pipit" dan "tempe". Ini 
kuyakini benar dan bisa kubuktikan. Etnik-etnik kita pun juga tidak demikian 
kalau kelak akhirnya Indonesia menjadi masa silam. Indonesia dan republik, 
tidak memerlukan "pipit-isme"  dan  "tempe-isme". "Pipit-isme" dan "tempe-isme" 
hanyalah busa dan gelembung sabun. 


Hal menarik lain dari cerpen Xiao Lan adalah tokoh Cali,  "bar tender", si 
bonekanya, yang memilih "rindu":


''Aku memilih rindu,'' bar tender itu menjawab sambil mengangsurkan segelas 
long island untukku. Kuteguk. ''Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada 
keinginan. Sedangkan sepi hanya suatu keadaan. Kesepian itu melukai. Membuat 
hati berdarah dan bernanah. Tetapi kerinduan sekadar meninggalkan lebam memar 
yang membiru,'' jawabannya membuatku tersedak!" 


Yang menarik di sini adalah kata-kata Cali yang juga merupakan kata-kata Xiao 
Lan bahwa "Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada keinginan". Artinya Cali 
masih seorang pemimpi, seseorang yang masih membela harapan dan keinginan, 
bukan hidup sekedar hidup sekali pun ia bekerja untuk memenuhi keperluan 
raganya sebagai "bar tender" yang oleh sementara orang di Indonesia dipandang 
sebagai pekerjaan rendah. Sikap, yang ketika sementara orang Indonesia datang 
ke Koperasi Restoran Indonesia Paris, langsung dicela terbuka sebagai tidak 
menghargai manusia dan kerja badan sebagaimana juga teguran langsung kepada 
tamu-tamu dari Arab Saudi yang mengajak tidur perempuan anggota koperasi yang 
sedang servis. 


"Tuan-tuan cari saja perempuan untuk tuan-tuan tiduri malam ini dan besok 
selama di Paris di tempat lain. Di restoran ini jelas bukan alamat tepat untuk 
mendapatkannya. Restoran ini bukan alamat germo", tegur tetua bagian layanan. 


Membaca keadaan Cali,  sang pemimpi sebagai "bar tender" , aku melihat 
kenyataan bahwa sering sang pemimpi adalah penempuh "jalan sunyi" jika 
menggunakan istilah Arief Budiman sebagaimana para pendiri Republik Indonesia, 
Repbulik dan Indonesia, oleh kolonialis Belanda dituding sebagai "pemberontak", 
"bandit" dan macam-macam lagi predikat negatif.  Bedanya Cali, sang pemimpi, 
perindu dan penyinta dengan para pembangun Republik Indonesia, ia tidak 
mempunyai jalan keluar bagaimana mendapatkan penyanyi kekasih. Keadaan pikir 
dan mental Cali mengingatkan aku pada suatu pertemuan pada di Kuningan Jakarta 
pada masa jayanya Soeharto. Pertemuan itu disebutkan sebagai "Pertemuan 
Angkatan Bingung" oleh salah seorang wartawan Harian Media Indonesia Jakarta. 

Agaknya Cali tidak beda dari  Angkatan Bingung. Dan benarkah kesanku setelah 
membaca cerpen Xiao Lan bahwa Angkatan Bingung  masih ada di negeri kita sampai 
hari ini.  Pola pikir dan mentalitas tokoh "aku" dan Cali juga kudapatkan dari 
korespondensi pribadi dengan seorang teman di Jawa Tengah yang menganjurkan aku 
agar tidak pulang ke Indonesia. "Mas hanya akan tersiksa di Indonesia", ujar 
sobatku itu. "Mosok sih hidup untuk cari susah" , lanjutnya. Dengan pola pikir 
dan mentalitas begini, setia, cinta dan mimpi akan esok sama sekali tidak punya 
arti seperti dikatakan oleh Chairil Anwar: 


"Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil 
Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?"

dan


"Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar"


Aku sangat berharap, dan sekali sangat sekali, mudah-mudahan aku salah besar 
dan total dalam memahami tokoh "aku" dan Cali yang "kosong" hati dan kepala 
hingga lari kepada ,"long island".  Yang satu, tokoh eskapisme , sedangkan yang 
lain tokoh pemimpi yang masih merindu dan bermimpi tapi tidak tahu bagaimana 
mewujudkan mimpinya. Sehingga penyanyi kekasih yang sangat dicintainya tapi 
menghilang, hanya berada di bayangan, tanpa tahu bagaimana mendapatkan buah 
hati itu. Jika demikian, apakah gerangan  beda tokoh "aku" dan Cali yang tak 
berdaya? Setali tiga uang, bukan? Jika dilihat dari segi kenyataan dan hakekat? 
Inikah manusia yang ideal bagi republik dan Indonesia?  Kukira, tokoh begini 
bukan hanya "melukai" Indonesia, republik dan kemanusiaan tapi juga akan 
menghancurkan Indonesia, republik dan tidak memanusiawikan manusia serta diri 
sendiri.  Benarkah sastra berfungsi begini? Sekedar pertanyaan acuan di tengah 
kegarangan hidup di republik dan negeri ini. Terbayangkah kita sebagai manusia 
, anak negeri dan bangsa akan sampai jika menyanjung tokoh yang lari pada 
seloki "long island"? "Melayang-layang" oleh "long island" eskapisme. Terbayang 
padaku Indonesia dan republik  serta warganya berada dalam keadaan 
"melayang-layang" sebelum hilang entah di mana dan ke mana.  Dari segi ini, aku 
memahami ucapan kejengkelan seorang teman yang teman dari Kairo : "Mari kita 
hancurkan Indonesia dan Republik!".  Kutambahkan:  "Mari kita hancurkan harkat 
manusiawi diri kita sendiri dan jadi barang dagangan! Kali ini tak lagi n ada 
mimpi dan cinta". Cocok  bukan dengan globalisasi kapitalis.


Dalam keadaan begini , gerbang besar terbuka bagi masuknya takhayulisme dan 
eskapisme. Di negeri kita, banyak sekali bentuk eskapisme dan kebingungan. Ujud 
dari yang disebut oleh Alain Touraine,  sosiolog Perancis dari l'Ecole des 
Hautes Etudes en Sciences Sociales [l'EHESS] , Paris, sebagai bentuk dari 
"kekosongan" [la vide, the emptiness]. Aku mengkhawatirkan benar kalau-kalau 
"the emptiness" ini menandai Indonesia sampai sekarang, sebagaimana yang 
tersirat dari cerpen "Toast" Xiao Lan. "The empitness" gampang  membuat anak 
negeri dan bangsa tak enggan mencampakkan martabat diri dan terjaring oleh jala 
"for bread only" dan lain-lain jalan pintas. Apakah Indonesia sekarang adalah 
negeri dan bangsa "of the emptiness"? Apakah cerpen Xiao Lan "Toast" bisa 
dipandang cerminan dari keadaan?  Aku sekedar bertanya karena  dirasuki oleh 
setujuku pada konsep Republik dan Indonesia sebagai wacana yang masih jauh dari 
sudah diejawantahkan, sekaligus sebagai orang awam pencinta sastra.  Aku 
bertanya, termasuk menanyaimu Xiao Lan yang berkali-kali menanyaiku apakah 
sudah membaca "Toast" atau belum. Republik dan Indonesia, jika kita 
menyepakatinya sebagai konsep besar dan mulia, masih merupakan esok yang patut 
dirajut dan direnda bagai kita merajut dan merenda "bénang dinding" ,jika 
menggunakan ungkapan Dayak Katingan.  Indonesia dan republik adalah suatu 
"bénang dinding" juga adanya. Kukira!****


Paris, Juli 2006 
---------------------
JJ. Kusni


[Bersambung.....]

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] surat kembang gunung purei [3]: "toast" sepi, rindu, hati dan tubuh