** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **REPUBLIKA Selasa, 17 Januari 2006 Utang dan Sok Gengsi Khudori Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian Di penghujung tahun 2005, Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui penghapusan 3,3 miliar dolar AS utang 19 negara miskin. Negara miskin yang utangnya dihapuskan adalah Benin, Bolivia, Burkina Paso, Kambodia, Ethiopia, Ghana, Guyana, Honduras, Madagaskar, Mali, Mozambik, Nikaragua, Niger, Rwanda, Sinegal, Tajikistan, Tanzania, Uganda dan Zambia. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Penghapusan utang diusulkan sebagai bagian dari komitmen negara-negara industri maju untuk mememerangi kemiskinan dan kelaparan. Selama ini, negara-negara maju itulah yang memberi utang negara-negara miskin lewat IMF. Sejumlah negara dinilai punya beban utang terlalu berat sehingga kemungkinan kecil bisa bangkit. Bahkan, untuk memberi makan atau menyediakan layanan dasar --seperti kesehatan dan sanitasi, serta pendidikan yang memadai-- bagi rakyatnya sulit diwujudkan. Jika dipaksakan pun, mereka tak bisa membayar utang. IMF mengelompokkan negeri yang dihapuskan utangnya ke dalam kategori HIPC (heavily indebted poor countries) atau negara miskin yang terjerat utang. Mereka adalah negeri yang rasio utang terhadap ekspornya lebih besar dari 150 persen, dan rasio pembayaran bunga dan cicilan utangnya terhadap ekspor lebih besar dari 15 persen. Dari sinilah gugatan terhadap diskriminasi IMF bisa dimulai. Pertanyaannya, seperti apa posisi Indonesia? Rasio Indonesia untuk dua indikator itu setelah krisis lebih buruk dari rata-rata negeri yang masuk kategori HIPC. Pada 1998, rasio utang Indonesia terhadap ekspornya mencapai 252 persen dan rasio bunga utang terhadap ekspor mencapai 33 persen (Gaban, 2005). Dalam laporan Bank Dunia berjudul ''Keuangan Pembangunan Global'' (2001), rasio dua indikator itu turun sedikit: masing-masing 246 persen dan 29 persen. Dari data ini pun Indonesia sebetulnya masuk kategori negara HIPC, dan amat layak mendapat penghapusan utang. Sayangnya, sampai hari ini tak terdengar gugatan, paling tidak mempertanyakan, dari pemerintah Indonesia atas diskriminasi IMF itu. Sebaliknya, para pejabat Indonesia lebih bersikap sebagai a good and nice boy. Jangankan menuntut penghapusan utang, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dan Menko Perekonomian, Boediono, malah menyatakan tak hendak meminta penjadwalan utang atau keringanan pembayaran utang (Republika, 24/12/2005). Bahkan, Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, Mulia Nasution, punya strategi yang lebih jelas dalam soal utang ini: mempercepat pembayaran utang. Artinya, membebani rakyat untuk membayar utang yang bukan kewajibannya. Sok gengsi Sikap semacam ini bukan barang baru. Tak lama setelah tsunami menerjang Aceh dan Nias, Jerman mengajak 19 kreditor negara anggota Paris Club memberikan moratorium utang. Pemerintah Inggris juga ''mendesak'' para mitranya di G-8 menghapus (sebagian) utang Indonesia dan negara-negara korban tsunami. Sayangnya, kesempatan emas untuk meraih keringanan utang (debt relief) lewat Paris Club, termasuk peluang moratorium minimal senilai Rp 20-25 triliun pada tahun 2005, berakhir sia-sia. Pasalnya, otoritas pejabat Indonesia saat itu terkesan 'sok gengsi'. Mereka bersikukuh tidak meminta moratorium karena dikhawatirkan akan menurunkan peringkat utang kita. Kini, akibat sikap sok gengsi itu Indonesia kena getahnya: didiskriminasi IMF. Dan untuk kesekian kalinya, pemerintah hanya diam, tidak proaktif menyoalnya. Perlu disadari, krisis keuangan 1997 membuat Indonesia menanggung utang publik (swasta dan pemerintah) yang sangat besar, sekitar 150 miliar dolar AS (terdiri atas 80 miliar dolar AS utang luar negeri dan 60 miliar miliar dolar AS utang domestik) atau sekitar 100 persen dari PDB. Saat ini, posisinya masih 134,85 miliar dolar AS atau lebih dari 40 persen PDB. Akibat beban itu, Indonesia memasuki liga negara-negara yang terlilit utang bersama-sama Brasil, Argentina dan Ekuador. Diukur lewat indikator standar lilitan utang (utang terhadap PDB, rasio pembayaran cicilan utang dan bunga (DSR)), Indonesia menduduki urutan terberat. Utang ini membutuhkan biaya kemanusiaan yang besar dan menyerap dana yang dapat digunakan untuk memperkuat pertumbuhan dan meringankan kemiskinan massal. Beban utang terlihat nyata dampaknya pada anggaran pembangunan dan pengeluaran pembangunan sosial. Sebelum krisis, anggaran pembangunan Indonesia terbilang tinggi, sebesar 40 persen dari total pengeluaran dan lebih dari 5 persen PDB. Setelah krisis, pengeluaran pembangunan terpotong menjadi hampir sepertiganya sejak krisis pada tahun 1997. Pada 2001-2005, pembayaran bunga utang domestik dan luar negeri Indonesia diperkirakan sekitar 35 persen dari pengeluaran pemerintah pusat. Sebagai perbandingan, pengeluaran pembangunan yang sangat dibutuhkan terhitung hanya sekitar 17,5 persen dari pengeluaran dalam negeri pemerintah, dan lebih dari separuh dari jumlah ini berasal dari proyek pembangunan yang didanai donor. Pengeluaran sosial juga mengalami penurunan yang sangat tajam, sekitar 40 persen secara riil di bawah pengeluaran tahun 1995/1996. Pada 2006, besarnya pembayaran utang negara, cicilan pokok plus bunga, masih sekitar 42 persen dari APBN. Pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2006 mencapai Rp 91,71 triliun. Pemerintah juga harus membayar utang dalam negeri yang besarnya mencapai Rp 74,93 triliun. Total pembayaran utang luar dan dalam negeri tahun 2006 mencapai Rp 166,64 triliun. Ini adalah angka-angka yang sangat fantastik dan sulit diterima akal untuk sebuah negeri yang masih bergulat dengan krisis. Tidak ada negeri yang proporsi pembayaran utangnya terhadap anggaran tahunan seberat Indonesia. Kemiskinan dan kerentanan (sosial-ekonomi) di Indonesia tetap tinggi, sekalipun sudah ada tanda-tanda pemulihan ekonomi terbatas. Bank Dunia (2001) memperkirakan, antara 30-60 persen (66 juta dari 120 juta orang) dari 210 juta penduduk Indonesia adalah miskin dan berada di ambang garis kemiskinan. Laporan UNICEF mengenai Indonesia, menyebut setiap bayi yang lahir menanggung utang Rp 7,3 juta sebagai akibat dari utang itu. Lebih jauh UNICEF memperingatkan bahwa Indonesia akan ''kehilangan beberapa generasi'' (lost generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai akibat memburuknya situasi ekonomi dan penurunan 40 persen pada pengeluaran pemerintah. Makin berat Laporan Bank Dunia tahun 2000 berjudul ''Keuangan Pembangunan Global'' menempatkan Indonesia sebagai kelompok severely indebted low income countries (SILIC) atau negara berpendapatan rendah yang terlilit utang, setara dengan Mali, Nigeria, Afghanistan, Malawi dan Ethiopia. Sebelum krisis 1997, Indonesia berpredikat sebagai negara berpendapatan dan berutang menengah, satu tingkat dengan Muangthai dan Filipina. Kini, dengan sikap sok gengsi itu terbukti beban utang kita makin berat. Sudah saatnya Indonesia membuang jauh-jauh sikap sok gengsi dan sok kaya, seraya proaktif untuk melepaskan diri dari kecanduan utang. Sebagaimana halnya dengan kecanduan apa pun, kita dapat mencoba penyembuhan dari kecanduan secara perlahan. Itulah yang sedang dikerjakan oleh para menteri bidang ekonomi saat ini, yang tak lain para komprador neoliberalisme. Tapi tanda-tanda keberhasilan masih belum kunjung tiba. Harus disadari, masa depan ekonomi Indonesia pada dasarnya terletak di tangan mereka yang berkuasa. Sepanjang negeri ini dikuasai para penganut neolib, mustahil mereka akan menempuh cara radikal dalam utang, mengemplang utang seperti Argentina misalnya. Makanya, pergantian kekuasaan tidak cukup hanya dengan mengganti orang atau asal partai, tetapi harus diikuti pergantian ideologi ekonomi yang tidak bercorak neoliberal. [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **