[nasional_list] [ppiindia] Utang dan Sok Gengsi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Wed, 18 Jan 2006 01:16:11 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **REPUBLIKA

Selasa, 17 Januari 2006


Utang dan Sok Gengsi 
Khudori
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian


Di penghujung tahun 2005, Dana Moneter Internasional (IMF) menyetujui 
penghapusan 3,3 miliar dolar AS utang 19 negara miskin. Negara miskin yang 
utangnya dihapuskan adalah Benin, Bolivia, Burkina Paso, Kambodia, Ethiopia, 
Ghana, Guyana, Honduras, Madagaskar, Mali, Mozambik, Nikaragua, Niger, Rwanda, 
Sinegal, Tajikistan, Tanzania, Uganda dan Zambia. Sayangnya, Indonesia tidak 
termasuk di dalamnya. Penghapusan utang diusulkan sebagai bagian dari komitmen 
negara-negara industri maju untuk mememerangi kemiskinan dan kelaparan. Selama 
ini, negara-negara maju itulah yang memberi utang negara-negara miskin lewat 
IMF.

Sejumlah negara dinilai punya beban utang terlalu berat sehingga kemungkinan 
kecil bisa bangkit. Bahkan, untuk memberi makan atau menyediakan layanan dasar 
--seperti kesehatan dan sanitasi, serta pendidikan yang memadai-- bagi 
rakyatnya sulit diwujudkan. Jika dipaksakan pun, mereka tak bisa membayar utang.

IMF mengelompokkan negeri yang dihapuskan utangnya ke dalam kategori HIPC 
(heavily indebted poor countries) atau negara miskin yang terjerat utang. 
Mereka adalah negeri yang rasio utang terhadap ekspornya lebih besar dari 150 
persen, dan rasio pembayaran bunga dan cicilan utangnya terhadap ekspor lebih 
besar dari 15 persen. Dari sinilah gugatan terhadap diskriminasi IMF bisa 
dimulai. Pertanyaannya, seperti apa posisi Indonesia?

Rasio Indonesia untuk dua indikator itu setelah krisis lebih buruk dari 
rata-rata negeri yang masuk kategori HIPC. Pada 1998, rasio utang Indonesia 
terhadap ekspornya mencapai 252 persen dan rasio bunga utang terhadap ekspor 
mencapai 33 persen (Gaban, 2005). Dalam laporan Bank Dunia berjudul ''Keuangan 
Pembangunan Global'' (2001), rasio dua indikator itu turun sedikit: 
masing-masing 246 persen dan 29 persen. Dari data ini pun Indonesia sebetulnya 
masuk kategori negara HIPC, dan amat layak mendapat penghapusan utang.

Sayangnya, sampai hari ini tak terdengar gugatan, paling tidak mempertanyakan, 
dari pemerintah Indonesia atas diskriminasi IMF itu. Sebaliknya, para pejabat 
Indonesia lebih bersikap sebagai a good and nice boy. Jangankan menuntut 
penghapusan utang, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dan Menko 
Perekonomian, Boediono, malah menyatakan tak hendak meminta penjadwalan utang 
atau keringanan pembayaran utang (Republika, 24/12/2005). 

Bahkan, Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan, Mulia Nasution, punya 
strategi yang lebih jelas dalam soal utang ini: mempercepat pembayaran utang. 
Artinya, membebani rakyat untuk membayar utang yang bukan kewajibannya.

Sok gengsi
Sikap semacam ini bukan barang baru. Tak lama setelah tsunami menerjang Aceh 
dan Nias, Jerman mengajak 19 kreditor negara anggota Paris Club memberikan 
moratorium utang. Pemerintah Inggris juga ''mendesak'' para mitranya di G-8 
menghapus (sebagian) utang Indonesia dan negara-negara korban tsunami. 

Sayangnya, kesempatan emas untuk meraih keringanan utang (debt relief) lewat 
Paris Club, termasuk peluang moratorium minimal senilai Rp 20-25 triliun pada 
tahun 2005, berakhir sia-sia. Pasalnya, otoritas pejabat Indonesia saat itu 
terkesan 'sok gengsi'. Mereka bersikukuh tidak meminta moratorium karena 
dikhawatirkan akan menurunkan peringkat utang kita. 

Kini, akibat sikap sok gengsi itu Indonesia kena getahnya: didiskriminasi IMF. 
Dan untuk kesekian kalinya, pemerintah hanya diam, tidak proaktif menyoalnya. 
Perlu disadari, krisis keuangan 1997 membuat Indonesia menanggung utang publik 
(swasta dan pemerintah) yang sangat besar, sekitar 150 miliar dolar AS (terdiri 
atas 80 miliar dolar AS utang luar negeri dan 60 miliar miliar dolar AS utang 
domestik) atau sekitar 100 persen dari PDB. Saat ini, posisinya masih 134,85 
miliar dolar AS atau lebih dari 40 persen PDB. Akibat beban itu, Indonesia 
memasuki liga negara-negara yang terlilit utang bersama-sama Brasil, Argentina 
dan Ekuador. Diukur lewat indikator standar lilitan utang (utang terhadap PDB, 
rasio pembayaran cicilan utang dan bunga (DSR)), Indonesia menduduki urutan 
terberat. 

Utang ini membutuhkan biaya kemanusiaan yang besar dan menyerap dana yang dapat 
digunakan untuk memperkuat pertumbuhan dan meringankan kemiskinan massal. Beban 
utang terlihat nyata dampaknya pada anggaran pembangunan dan pengeluaran 
pembangunan sosial. Sebelum krisis, anggaran pembangunan Indonesia terbilang 
tinggi, sebesar 40 persen dari total pengeluaran dan lebih dari 5 persen PDB. 
Setelah krisis, pengeluaran pembangunan terpotong menjadi hampir sepertiganya 
sejak krisis pada tahun 1997. 

Pada 2001-2005, pembayaran bunga utang domestik dan luar negeri Indonesia 
diperkirakan sekitar 35 persen dari pengeluaran pemerintah pusat. Sebagai 
perbandingan, pengeluaran pembangunan yang sangat dibutuhkan terhitung hanya 
sekitar 17,5 persen dari pengeluaran dalam negeri pemerintah, dan lebih dari 
separuh dari jumlah ini berasal dari proyek pembangunan yang didanai donor. 
Pengeluaran sosial juga mengalami penurunan yang sangat tajam, sekitar 40 
persen secara riil di bawah pengeluaran tahun 1995/1996.

Pada 2006, besarnya pembayaran utang negara, cicilan pokok plus bunga, masih 
sekitar 42 persen dari APBN. Pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada 
2006 mencapai Rp 91,71 triliun. Pemerintah juga harus membayar utang dalam 
negeri yang besarnya mencapai Rp 74,93 triliun. Total pembayaran utang luar dan 
dalam negeri tahun 2006 mencapai Rp 166,64 triliun. Ini adalah angka-angka yang 
sangat fantastik dan sulit diterima akal untuk sebuah negeri yang masih 
bergulat dengan krisis. Tidak ada negeri yang proporsi pembayaran utangnya 
terhadap anggaran tahunan seberat Indonesia. Kemiskinan dan kerentanan 
(sosial-ekonomi) di Indonesia tetap tinggi, sekalipun sudah ada tanda-tanda 
pemulihan ekonomi terbatas. Bank Dunia (2001) memperkirakan, antara 30-60 
persen (66 juta dari 120 juta orang) dari 210 juta penduduk Indonesia adalah 
miskin dan berada di ambang garis kemiskinan. 

Laporan UNICEF mengenai Indonesia, menyebut setiap bayi yang lahir menanggung 
utang Rp 7,3 juta sebagai akibat dari utang itu. Lebih jauh UNICEF 
memperingatkan bahwa Indonesia akan ''kehilangan beberapa generasi'' (lost 
generation) karena kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status 
kesehatan dari berjuta anak Indonesia sebagai akibat memburuknya situasi 
ekonomi dan penurunan 40 persen pada pengeluaran pemerintah. 

Makin berat
Laporan Bank Dunia tahun 2000 berjudul ''Keuangan Pembangunan Global'' 
menempatkan Indonesia sebagai kelompok severely indebted low income countries 
(SILIC) atau negara berpendapatan rendah yang terlilit utang, setara dengan 
Mali, Nigeria, Afghanistan, Malawi dan Ethiopia. Sebelum krisis 1997, Indonesia 
berpredikat sebagai negara berpendapatan dan berutang menengah, satu tingkat 
dengan Muangthai dan Filipina. Kini, dengan sikap sok gengsi itu terbukti beban 
utang kita makin berat.

Sudah saatnya Indonesia membuang jauh-jauh sikap sok gengsi dan sok kaya, 
seraya proaktif untuk melepaskan diri dari kecanduan utang. Sebagaimana halnya 
dengan kecanduan apa pun, kita dapat mencoba penyembuhan dari kecanduan secara 
perlahan. Itulah yang sedang dikerjakan oleh para menteri bidang ekonomi saat 
ini, yang tak lain para komprador neoliberalisme.

Tapi tanda-tanda keberhasilan masih belum kunjung tiba. Harus disadari, masa 
depan ekonomi Indonesia pada dasarnya terletak di tangan mereka yang berkuasa. 
Sepanjang negeri ini dikuasai para penganut neolib, mustahil mereka akan 
menempuh cara radikal dalam utang, mengemplang utang seperti Argentina 
misalnya. Makanya, pergantian kekuasaan tidak cukup hanya dengan mengganti 
orang atau asal partai, tetapi harus diikuti pergantian ideologi ekonomi yang 
tidak bercorak neoliberal.


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Utang dan Sok Gengsi