[nasional_list] [ppiindia] Sistem Kredit di Perguruan Tinggi Kita

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Fri, 6 Jan 2006 23:40:06 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/07/humaniora/2343471.htm

 
Sistem Kredit di Perguruan Tinggi Kita 




Sudah tiga dekade pendidikan tinggi kita, khususnya dalam disiplin ilmu-ilmu 
sosial dan humaniora, menerapkan sistem kredit semester sebagai ganti sistem 
kenaikan tingkat yang berlaku semenjak zaman kolonial Belanda.

Sebelum sistem kredit diberlakukan, mahasiswa harus menempuh tingkat demi 
tingkat, mulai dari tingkat persiapan (propadeuse), sarjana muda 
(baccalaureat), hingga doktoral (suatu tingkat sebelum mencapai gelar 
doktorandus atau sarjana), dan harus menempuh ujian serta lulus untuk setiap 
tingkat. Tingkat persiapan ditempuh dalam satu tahun, sarjana muda ditempuh 
dalam dua tahun, dan tingkat doktoral dua tahun sehingga total waktu yang untuk 
mencapai sarjana adalah lima tahun atau lebih.

Dalam sistem kredit semester (SKS) mahasiswa dapat menyelesaikan pendidikan 
sarjana hanya dalam empat tahun. Mahasiswa yang pandai dan tekun diperkenankan 
mengambil lebih banyak mata kuliah sehingga dapat menyelesaikan pendidikan 
lebih cepat.

Tulisan ini menyoroti sistem kredit di perguruan tinggi bukan pada sisi teknis 
penyelenggaraan dan aturan sistem kredit, melainkan pada sisi yang mungkin 
jarang (atau belum pernah) dibicarakan orang, yakni sistem kredit sebagai 
pembentukan budaya mandiri, kreatif, inovatif, dan kemampuan bersaing kelak di 
lapangan. Dokumen-dokumen resmi pendidikan tinggi kita mengenai sistem kredit 
hanya mencantumkan hal-hal teknis sistem kredit, seperti mempersingkat dan 
meningkatkan efisiensi pendidikan tinggi, serta sama sekali belum pernah 
mencantumkan tujuan budaya tersebut.

Sistem kredit mulai diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 
atau PDK (kemudian disebut Depdikbud, dan kini Depdiknas) pada tahun 1974 dan 
barulah diterapkan sebagai contoh di fakultas sastra dan fakultas ilmu-ilmu 
sosial pada tahun 1975. Profesor Harsya W Bachtiar (almarhum), yang waktu itu 
Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) dan kemudian menjadi Kepala 
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, adalah 
salah seorang penggagas terpenting sistem kredit dan menjadikan FSUI sebagai 
salah satu yang menjadi perintis bagi diterapkannya sistem kredit semester 
tersebut.

Pada masa selanjutnya, sistem kredit diterapkan oleh semua perguruan 
tinggiâ?"negeri maupun swastaâ?"di Indonesia. Tidak hanya oleh 
disiplin-disiplin ilmu sosial dan humaniora, tetapi kemudian juga oleh 
ilmu-ilmu alamiah, seperti biologi, matematika, fisika, teknologi, dan 
kedokteran.

Proses kebudayaan

Tiga puluh tahun sudah berlalu. Saya mengamati ada kekurangan yang serius dalam 
penerapan sistem kredit tersebut dalam konteks tujuan kebudayaannya, yang 
semenjak semula saya kira kurang (tidak?) memperoleh perhatian.

Secara kultural, filosofi dasar sistem kredit mengandung makna pengembangan 
budaya mandiri, kreatif, dan inovatif. Dengan sistem kredit, mahasiswa jenjang 
sarjana hingga pascasarjana dapat mengembangkan minat, motivasi, dan merintis 
karier ke masa depan. Seorang mahasiswa didorong dan diberi peluang untuk 
meramu sendiri sejumlah mata kuliah pilihan yang kelak menjadi dasar 
keahliannya dalam jangka panjang.

Tujuan kultural ini (nyaris) tak pernah disinggung dalam penerapan sistem 
kredit di perguruan tinggi kita selama tiga puluh tahun. Marilah kita 
perhatikan indikasi-indikasi sebagai berikut.

Pertama, konsep sistem kredit diperlakukan melulu teknis. Yang dibicarakan 
semata-mata jumlah kredit yang harus diambil mahasiswa setiap semester. 
Mahasiswa jenjang sarjana, misalnya, harus mengambil sejumlah mata kuliah yang 
terdiri atas mata kuliah wajib universitas, mata kuliah wajib fakultas, mata 
kuliah wajib jurusan, mata kuliah pilihan jurusan, dan mata kuliah pilihan 
antarjurusan. Pembimbingan mahasiswa pada tingkat terendah dilakukan Penasihat 
Akademik (PA) yang berposisi lebih sebagai penentu daripada fasilitator. Dalam 
posisi ini, mahasiswa dibentuk menjadi penurut dan pasif. Potensi 
kreativitasnya tidak diberi peluang untuk berkembang.

Kedua, jumlah mata kuliah wajib berbagai kategori jauh lebih banyak daripada 
mata kuliah pilihan. Nama kategori mata kuliah-mata kuliah wajib ini sering 
berubah-ubah, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi: (a) mata kuliah wajib 
dasar umum (universitas), (b) mata kuliah wajib fakultas, (c) mata kuliah wajib 
jurusan, (d) mata kuliah pilihan jurusan, (e) mata kuliah pilihan di luar 
jurusan, dan (f) skripsi.

Pengamatan saya, mata kuliah wajib untuk jenjang sarjana (S1) mencapai 
kira-kira 70-80 persen dari total 144 SKS yang disyaratkan. Artinya, mahasiswa 
hanya memperoleh kesempatan paling banyak 20-30 persen dari total mata kuliah 
untuk mengambil mata kuliah pilihan. Kalau setiap mata kuliah memiliki nilai 3 
SKS, dan skripsi bernilai 6 SKS, setiap mahasiswa harus menempuh kira-kira 44 
mata kuliah, yang terdiri atas 34-36 mata kuliah wajib dan 8-10 mata kuliah 
pilihan. Skripsi dapat dimasukkan ke dalam kategori wajib meskipun tidak dalam 
bentuk mata kuliah.

Ketiga, banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta kita yang akhir-akhir ini 
terang- terangan menawarkan program sarjana, magister, hingga doktor secara 
paket. Suatu program magister, misalnya, menawarkan suatu paket empat semester 
yang mata kuliah-mata kuliahnya sudah dirancang secara pasti dalam bentuk 
modul. Setiap mata kuliah dibubuhi nilai SKS tertentu.

Dalam empat semester seseorang dapat menyelesaikan studi apabila mengikuti 
paket tersebut dengan baik. Tak hanya itu, ada perguruan tinggi yang 
menyelenggarakan program pascasarjana dengan membuka cabang di daerah-daerah 
dan pengajarnya datang secara bergantian. Alasannya karena mahasiswa sebagian 
besar bekerja penuh di daerah sehingga tidak sempat pergi ke universitas untuk 
belajar.

Uraian di atas jelas menggambarkan bahwa hakikat sistem kredit sebagai proses 
kebudayaan tidak diperhatikan di Indonesia. Yang terjadi adalah adopsi total 
teknis penyelenggaraan sistem kredit saja.

Sistem kredit di perguruan tinggi di Amerika Serikat lahir dan berkembang 
sejalan dengan proses demokratisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini dapat 
kita baca antara lain dari tulisan Talcott Parsons & David Plaat (1962), The 
American University (Harvard University Press).

Saya yakin bahwa Profesor Harsya W Bachtiar (almarhum) sangat menyadari hakikat 
penerapan sistem kredit di perguruan tinggi kita ini. Dalam kelas- kelas beliau 
yang saya ikuti pada akhir 1970-an jelas bahwa beliau sangat menyadari tujuan 
budaya sistem kredit tersebut.

Dampak sistem kredit di Amerika Serikat nyata sekali. Manifestasi budaya 
mandiri itu dapat kita saksikan dalam kegiatan perkuliahan sehari-hari. 
Kemandirian mahasiswa tampak ketika mereka hadir di kelas dengan membawa 
tumpukan buku yang berbeda-beda satu sama lain. Bagaimana mungkin mereka saling 
menyontek kalau setiap orang memiliki minat dan konsentrasi yang berbeda-beda?

Karena para mahasiswa memiliki minat, perhatian, dan konsentrasi yang 
berbeda-beda, sarjana yg dihasilkan bervariasi tetapi kompeten dan siap 
bersaing di pasar kerja. Yang perlu dicatat adalah bahwa porsi mata kuliah 
pilihan justru terbanyak, hingga mencapai 70-80 persen dari total kredit yang 
disyaratkan untuk suatu jenjang pendidikan.

Kembali ke asas

Agaknya inilah waktunya kita memerhatikan asas sistem kredit dalam pendidikan 
tinggi. Pertama, kalau selama ini kita kurang memahami sistem kredit sehingga 
cenderung hanya membubuhi nilai SKS pada setiap mata kuliah, kini kita 
seyogianya semakin memahami hakikat dasar dari sistem kredit tersebut, yang 
tidak lain adalah kultural sifatnya.

Kedua, kalau kita bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana yang mandiri, kreatif, 
dan inovatif, kita harus memberikan porsi mata kuliah pilihan yang dipersiapkan 
semaksimal mungkin jauh lebih banyak (sekurang- kurangnya 50 persen dari total 
mata kuliah) daripada mata kuliah wajib. Mengapa? Karena terlalu banyak mata 
kuliah wajib cenderung menghasilkan sarjana yang seragam, kurang kreatif, 
kurang inovatif, dan kelak mengalami kesukaran dalam bersaing dalam lapangan 
kerja.

Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa kita kini hidup dalam masyarakat dunia 
yang mengalami perubahan besar dan cepat. Isu global sudah menjadi bagian dari 
keseharian kita. Salah satu kunci keberhasilan agar kita mampu bertahanâ?"atau 
kalau bisa unggulâ?"dalam percaturan kehidupan masyarakat global tersebut 
adalah pendidikan. Ketika reformasi dan demokratisasi sudah dicanangkan 
semenjak beberapa tahun yang lalu, kita semestinya mulai memikirkan secara 
intens pendidikan kita dari berbagai aspek. Aspek kultural adalah salah satu 
yang terpenting.

Perlu pemikiran dan pemahaman yang mendalam untuk memperbaiki pendidikan tinggi 
kita. Untuk itu, pemerintahâ?" melalui Departemen Pendidikan Nasionalâ?"adalah 
tumpuan harapan.

Terus terang, saya kaget mendengar pernyataan Menteri Koordinator Kesejahteraan 
Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie (yang membawahkan Menteri Pendidikan 
Nasional, Menteri Sosial, dan Menteri Kesehatan) beberapa hari setelah ia 
dilantik menjadi Menko Kesra. Bahwa, pihaknya akan membuka kesempatan 
seluas-luasnya bagi perguruan tinggi asing terkemuka untuk beroperasi di 
Indonesia. Alasannya, agar pihak pendidikan tinggi kita terpacu untuk bersaing 
secara sehat sehingga mencapai kemajuan besar dalam kehidupan global.

Sebagai rakyat biasa, saya ingin agar beliau lebih arif membuat pernyataan 
seperti itu. Sebab, dalam kondisi pendidikan kita yang sangat lemah saat ini, 
pemerintah seharusnya memberikan perlindungan seraya membenahi lebih dahulu 
pendidikan kita, sebelum mengundang perguruan tinggi asing.

Memang modal yang mengalir dari perguruan tinggi asing (luar negeri) tentulah 
menggiurkan. Akan tetapi, hasrat untuk meraih modal itu hendaklah ditunda dulu 
dan sebaiknya lebih mengutamakan untuk menghindarkan dunia pendidikan tinggi 
kita dari bencana baru.

ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN Pengajar Departemen Antropologi FISIP-UI dan Anggota 
Forum Kajian Antropologi Indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Clean water saves lives.  Help make water safe for our children.
http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Sistem Kredit di Perguruan Tinggi Kita