** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/07/humaniora/2343471.htm Sistem Kredit di Perguruan Tinggi Kita Sudah tiga dekade pendidikan tinggi kita, khususnya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, menerapkan sistem kredit semester sebagai ganti sistem kenaikan tingkat yang berlaku semenjak zaman kolonial Belanda. Sebelum sistem kredit diberlakukan, mahasiswa harus menempuh tingkat demi tingkat, mulai dari tingkat persiapan (propadeuse), sarjana muda (baccalaureat), hingga doktoral (suatu tingkat sebelum mencapai gelar doktorandus atau sarjana), dan harus menempuh ujian serta lulus untuk setiap tingkat. Tingkat persiapan ditempuh dalam satu tahun, sarjana muda ditempuh dalam dua tahun, dan tingkat doktoral dua tahun sehingga total waktu yang untuk mencapai sarjana adalah lima tahun atau lebih. Dalam sistem kredit semester (SKS) mahasiswa dapat menyelesaikan pendidikan sarjana hanya dalam empat tahun. Mahasiswa yang pandai dan tekun diperkenankan mengambil lebih banyak mata kuliah sehingga dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat. Tulisan ini menyoroti sistem kredit di perguruan tinggi bukan pada sisi teknis penyelenggaraan dan aturan sistem kredit, melainkan pada sisi yang mungkin jarang (atau belum pernah) dibicarakan orang, yakni sistem kredit sebagai pembentukan budaya mandiri, kreatif, inovatif, dan kemampuan bersaing kelak di lapangan. Dokumen-dokumen resmi pendidikan tinggi kita mengenai sistem kredit hanya mencantumkan hal-hal teknis sistem kredit, seperti mempersingkat dan meningkatkan efisiensi pendidikan tinggi, serta sama sekali belum pernah mencantumkan tujuan budaya tersebut. Sistem kredit mulai diperkenalkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau PDK (kemudian disebut Depdikbud, dan kini Depdiknas) pada tahun 1974 dan barulah diterapkan sebagai contoh di fakultas sastra dan fakultas ilmu-ilmu sosial pada tahun 1975. Profesor Harsya W Bachtiar (almarhum), yang waktu itu Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) dan kemudian menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, adalah salah seorang penggagas terpenting sistem kredit dan menjadikan FSUI sebagai salah satu yang menjadi perintis bagi diterapkannya sistem kredit semester tersebut. Pada masa selanjutnya, sistem kredit diterapkan oleh semua perguruan tinggiâ?"negeri maupun swastaâ?"di Indonesia. Tidak hanya oleh disiplin-disiplin ilmu sosial dan humaniora, tetapi kemudian juga oleh ilmu-ilmu alamiah, seperti biologi, matematika, fisika, teknologi, dan kedokteran. Proses kebudayaan Tiga puluh tahun sudah berlalu. Saya mengamati ada kekurangan yang serius dalam penerapan sistem kredit tersebut dalam konteks tujuan kebudayaannya, yang semenjak semula saya kira kurang (tidak?) memperoleh perhatian. Secara kultural, filosofi dasar sistem kredit mengandung makna pengembangan budaya mandiri, kreatif, dan inovatif. Dengan sistem kredit, mahasiswa jenjang sarjana hingga pascasarjana dapat mengembangkan minat, motivasi, dan merintis karier ke masa depan. Seorang mahasiswa didorong dan diberi peluang untuk meramu sendiri sejumlah mata kuliah pilihan yang kelak menjadi dasar keahliannya dalam jangka panjang. Tujuan kultural ini (nyaris) tak pernah disinggung dalam penerapan sistem kredit di perguruan tinggi kita selama tiga puluh tahun. Marilah kita perhatikan indikasi-indikasi sebagai berikut. Pertama, konsep sistem kredit diperlakukan melulu teknis. Yang dibicarakan semata-mata jumlah kredit yang harus diambil mahasiswa setiap semester. Mahasiswa jenjang sarjana, misalnya, harus mengambil sejumlah mata kuliah yang terdiri atas mata kuliah wajib universitas, mata kuliah wajib fakultas, mata kuliah wajib jurusan, mata kuliah pilihan jurusan, dan mata kuliah pilihan antarjurusan. Pembimbingan mahasiswa pada tingkat terendah dilakukan Penasihat Akademik (PA) yang berposisi lebih sebagai penentu daripada fasilitator. Dalam posisi ini, mahasiswa dibentuk menjadi penurut dan pasif. Potensi kreativitasnya tidak diberi peluang untuk berkembang. Kedua, jumlah mata kuliah wajib berbagai kategori jauh lebih banyak daripada mata kuliah pilihan. Nama kategori mata kuliah-mata kuliah wajib ini sering berubah-ubah, tetapi secara umum dapat dibagi menjadi: (a) mata kuliah wajib dasar umum (universitas), (b) mata kuliah wajib fakultas, (c) mata kuliah wajib jurusan, (d) mata kuliah pilihan jurusan, (e) mata kuliah pilihan di luar jurusan, dan (f) skripsi. Pengamatan saya, mata kuliah wajib untuk jenjang sarjana (S1) mencapai kira-kira 70-80 persen dari total 144 SKS yang disyaratkan. Artinya, mahasiswa hanya memperoleh kesempatan paling banyak 20-30 persen dari total mata kuliah untuk mengambil mata kuliah pilihan. Kalau setiap mata kuliah memiliki nilai 3 SKS, dan skripsi bernilai 6 SKS, setiap mahasiswa harus menempuh kira-kira 44 mata kuliah, yang terdiri atas 34-36 mata kuliah wajib dan 8-10 mata kuliah pilihan. Skripsi dapat dimasukkan ke dalam kategori wajib meskipun tidak dalam bentuk mata kuliah. Ketiga, banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta kita yang akhir-akhir ini terang- terangan menawarkan program sarjana, magister, hingga doktor secara paket. Suatu program magister, misalnya, menawarkan suatu paket empat semester yang mata kuliah-mata kuliahnya sudah dirancang secara pasti dalam bentuk modul. Setiap mata kuliah dibubuhi nilai SKS tertentu. Dalam empat semester seseorang dapat menyelesaikan studi apabila mengikuti paket tersebut dengan baik. Tak hanya itu, ada perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pascasarjana dengan membuka cabang di daerah-daerah dan pengajarnya datang secara bergantian. Alasannya karena mahasiswa sebagian besar bekerja penuh di daerah sehingga tidak sempat pergi ke universitas untuk belajar. Uraian di atas jelas menggambarkan bahwa hakikat sistem kredit sebagai proses kebudayaan tidak diperhatikan di Indonesia. Yang terjadi adalah adopsi total teknis penyelenggaraan sistem kredit saja. Sistem kredit di perguruan tinggi di Amerika Serikat lahir dan berkembang sejalan dengan proses demokratisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini dapat kita baca antara lain dari tulisan Talcott Parsons & David Plaat (1962), The American University (Harvard University Press). Saya yakin bahwa Profesor Harsya W Bachtiar (almarhum) sangat menyadari hakikat penerapan sistem kredit di perguruan tinggi kita ini. Dalam kelas- kelas beliau yang saya ikuti pada akhir 1970-an jelas bahwa beliau sangat menyadari tujuan budaya sistem kredit tersebut. Dampak sistem kredit di Amerika Serikat nyata sekali. Manifestasi budaya mandiri itu dapat kita saksikan dalam kegiatan perkuliahan sehari-hari. Kemandirian mahasiswa tampak ketika mereka hadir di kelas dengan membawa tumpukan buku yang berbeda-beda satu sama lain. Bagaimana mungkin mereka saling menyontek kalau setiap orang memiliki minat dan konsentrasi yang berbeda-beda? Karena para mahasiswa memiliki minat, perhatian, dan konsentrasi yang berbeda-beda, sarjana yg dihasilkan bervariasi tetapi kompeten dan siap bersaing di pasar kerja. Yang perlu dicatat adalah bahwa porsi mata kuliah pilihan justru terbanyak, hingga mencapai 70-80 persen dari total kredit yang disyaratkan untuk suatu jenjang pendidikan. Kembali ke asas Agaknya inilah waktunya kita memerhatikan asas sistem kredit dalam pendidikan tinggi. Pertama, kalau selama ini kita kurang memahami sistem kredit sehingga cenderung hanya membubuhi nilai SKS pada setiap mata kuliah, kini kita seyogianya semakin memahami hakikat dasar dari sistem kredit tersebut, yang tidak lain adalah kultural sifatnya. Kedua, kalau kita bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana yang mandiri, kreatif, dan inovatif, kita harus memberikan porsi mata kuliah pilihan yang dipersiapkan semaksimal mungkin jauh lebih banyak (sekurang- kurangnya 50 persen dari total mata kuliah) daripada mata kuliah wajib. Mengapa? Karena terlalu banyak mata kuliah wajib cenderung menghasilkan sarjana yang seragam, kurang kreatif, kurang inovatif, dan kelak mengalami kesukaran dalam bersaing dalam lapangan kerja. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa kita kini hidup dalam masyarakat dunia yang mengalami perubahan besar dan cepat. Isu global sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Salah satu kunci keberhasilan agar kita mampu bertahanâ?"atau kalau bisa unggulâ?"dalam percaturan kehidupan masyarakat global tersebut adalah pendidikan. Ketika reformasi dan demokratisasi sudah dicanangkan semenjak beberapa tahun yang lalu, kita semestinya mulai memikirkan secara intens pendidikan kita dari berbagai aspek. Aspek kultural adalah salah satu yang terpenting. Perlu pemikiran dan pemahaman yang mendalam untuk memperbaiki pendidikan tinggi kita. Untuk itu, pemerintahâ?" melalui Departemen Pendidikan Nasionalâ?"adalah tumpuan harapan. Terus terang, saya kaget mendengar pernyataan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie (yang membawahkan Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Sosial, dan Menteri Kesehatan) beberapa hari setelah ia dilantik menjadi Menko Kesra. Bahwa, pihaknya akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perguruan tinggi asing terkemuka untuk beroperasi di Indonesia. Alasannya, agar pihak pendidikan tinggi kita terpacu untuk bersaing secara sehat sehingga mencapai kemajuan besar dalam kehidupan global. Sebagai rakyat biasa, saya ingin agar beliau lebih arif membuat pernyataan seperti itu. Sebab, dalam kondisi pendidikan kita yang sangat lemah saat ini, pemerintah seharusnya memberikan perlindungan seraya membenahi lebih dahulu pendidikan kita, sebelum mengundang perguruan tinggi asing. Memang modal yang mengalir dari perguruan tinggi asing (luar negeri) tentulah menggiurkan. Akan tetapi, hasrat untuk meraih modal itu hendaklah ditunda dulu dan sebaiknya lebih mengutamakan untuk menghindarkan dunia pendidikan tinggi kita dari bencana baru. ACHMAD FEDYANI SAIFUDDIN Pengajar Departemen Antropologi FISIP-UI dan Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Clean water saves lives. Help make water safe for our children. http://us.click.yahoo.com/CHhStB/VREMAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **