** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.indomedia.com/bpost/012006/30/opini/opini1.htm Sindrom Formalin Mentalitas Proyek Oleh : Sainul Hermawan Formalin dan proyek, pada dasarnya adalah dua hal yang bermanfaat jika difungsikan pada tempatnya. Ahli kimia yang menemukan formalin, tentu tidak akan merekomendasikan penggunaannya untuk mengancam kesehatan atau keselamatan manusia. Tetapi sebaliknya, membantu manusia mengatasi persoalan tertentu yang memerlukan fungsi formalin. Demikian juga dengan proyek. Di negeri asal kata ini, ia berarti kerja kolektif untuk melakukan konstruksi sosial melalui kegiatan yang logis, terukur, dan transparan. Tetapi keduanya menjadi penyakit, ketika makna, peran dan fungsinya diselewengkan di negeri ini. Proyek di sini berkonotasi: bagi-bagi duit dulu, kerja urusan belakangan dan kerjakan asal-asalan. Formalin dalam konteks proyek pembangunan nasional, regional atau upaya pengembangan apa pun dalam sektor birokrasi Indonesia, tentu beda maksudnya dengan formalin dalam konteks pengawetan bahan makanan dan/atau minuman. Formalin dalam konteks proyek dalam tulisan ini berasal dari kata formal yang berakhiran in sebagaimana kaprahnya orang melafalkan akhiran kan dengan logat Jakarta. Seperti kata lupakan menjadi lupain, diapakan menjadi diapain, dan semacamnya. Formal dalam pengertian yang kaprah bisa berarti resmi. Tetapi dalam pengertian birokrasi yang korup, formal bisa bukan sekadar resmi yang jujur, tetapi bisa resmi yang penuh pura-pura. Misalnya, sekarang lagi marak penjaringan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Pelamar pasti akan diminta menyerahkan persyaratan formal seperti pasfoto, fotokopi surat ini dan itu dan sebagainya. Setelah sebagian diterima, mereka akan diminta lagi mengumpulkan berkas ini dan itu, dan sebagainya. Setelah itu mereka tak lantas seratus persen menjadi PNS. Mereka harus mengikuti prajabatan dan mengumpulkan berkas ini dan itu lagi, dan sebagainya. Selesai prajabatan, mereka harus melakukan uji kesehatan dan mengumpulkan berkas baru lagi. Perlu dicatat, uji kesehatan dalam hal ini tentu beda dengan uji kesehatan untuk kepentingan seleksi yang lain. Uji kesehatan dalam hal ini juga berlangsung dalam rangka mentalitas proyek. Asal CPNS itu tak terlalu sakit fisik dan psikis, uji sehat pasti lulus. Meski sebenarnya mungkin ada dari mereka yang kesehatan mental dan jiwanya sengaja tak diverifikasi lewat mekanisme uji kesehatan ini. Persoalannya adalah, mengapa proses birokrasi semacam ini begitu rumit dan belum disederhakan, dan tentu penuh sandiwara? Mengapa birokrasi selalu meminta data yang sama dan berulang-ulang? Jawabnya gampang. Ini sekadar formalitas (baca: formalin dalam mentalitas birokrasi). Data itu mungkin masih diarsipkan secara manual dan berbasis kertas di era digital. Perilaku birokrasi yang lamban dan mengada-ada semacam ini, tentu sangat naif dan membuat pikiran gatal bagi cara berpikir generasi baru yang digital minded. Tapi mereka merasa tabu untuk protes dan terpaksa menerima teror itu dengan tabah. Pasrah menghayati permainan nasib yang terlanjur terperosok. Dalam proyek pembangunan yang melibatkan dana besar, mentalitas formalin hadir dalam bentuk aktivitas mark up dana. Biaya pembangunan yang hanya satu miliar direkayasa uraian formalnya sampai mencapai lima miliar. Prinsip dasarnya, uraiannya diformalin, diuraikan seakan-akan seratus persen benar. Padahal, penerima laporan proyek itu tahu bahwa laporan itu dusta belaka. Tapi mereka sudah tahu sama tahu sebagai bagian dari sistem besar yang sama, yaitu birokrasi formalin yang pada era 'Eyang' yang masih panjang umur disebut birokrasi ABS atau Asal Bapak Senang. Meski demikian, kalau kita telisik lebih jauh, mentalitas formalin tak hanya berlangsung dalam birokrasi ataupun proyek tertentu. Tetapi juga terjadi dalam ritus keagamaan dan pendidikan. Logika formalin beranak pinak, menurun dan menular, serta sambung menyambung menjadi satu: inilah Indonesia. Ada sekelompok umat beragama yang dalam beribadah cenderung mengejar aspek formalinnya, daripada menyelami lebih jauh dimensi batin dari yang formal itu. Mungkin karena sebagian besar umat masih beragama secara formal saja. Agama yang luhur pun tak mampu memberikan kontribusi terlalu luar biasa bagi perubahan sejarah dan peradaban. Konsekuensinya, ruang yang dominan tetap mentalitas formalin yang cenderung mengejar formalitas ritus. Salah satu bentuk beragama secara formal dapat kita baca dari adanya ungkapan yang sudah kaprah dalam masyarakat yaitu Islam KTP, atau Islamnya di KTP saja. Demikian pula dengan kondisi pendidikan kita. Mentalitas formalin mencuat di mana-mana. Salah satunya yang menonjol adalah jual beli gelar. Pelakunya mungkin sudah terjangkit sindrom formalin yang sangat akut. Sekolah baginya tak penting. Yang penting ada bukti formal, yaitu ijasah yang menerangkan bahwa dia telah lulus sekolah tertentu. Meski pada akhirnya ketahuan sekolahnya cuma dikelola oleh sekelompok pedagang kaki lima. Sikap formalin juga menjangkiti mahasiswa, dosen, guru, atau pun siswa. Dosen atau guru yang terkena sindrom hanya akan memerankan diri sebagai seorang yang wajib hadir di kelas, tanpa perlu terlalu memikirkan bagaimana cara mendidik muridnya dengan baik. Mengajar jadi asal-asalan. Yang penting, bahan telah selesai disampaikan. Berhasil mencerahkan peserta didik atau tidak, emang gue pikirin! Begitu juga sebaliknya, mahasiswa atau siswa yang terkena sindrom formalin hanya merasa wajib hadir untuk mengisi daftar hadir atau setor muka, diam, dan pulang. Kelas bagi mereka ruang kosong dan hampa. Pikiran mereka ada nun jauh di luar kelas. Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi akar maraknya mental formalin. Pertama, rendahnya integritas moral penyandang 'cacat' mental ini dalam mempertahankan keyakinan moral mereka baik yang bersifat religius, politis maupun kultural. Kedua, rendahnya apresiasi dan penghargaan seorang manusia terhadap manusia lain. Ketiga, permisivitas atau kemafhuman masyarakat terhadap perilaku menyimpang (baca: dusta) sebagai sesuatu yang manusiawi dan dapat disikapi dengan kreatif (baca: munafik). Jadi, siapa bilang Orde Baru telah benar-benar mati? Bahkan yang telah menghujatnya dengan cara terlalu, terbukti sebejat, bahkan mungkin lebih bejat dari yang dihujatnya itu. Oleh karena itu, diperlukan kearifan baru menghadapi wabah formalin dalam mentalitas kita. Di kecenderungan nafsu untuk bersikat formalin, kita perlu introspeksi dan mawas diri. Juga, tak perlu terlalu terburu-buru berpuas diri bahwa diri kita telah menjadi manusia paling benar dan yang lain hanya sampah formalin. Logika formalin dalam segala sektor kehidupan bangsa ini, nyaris serupa efeknya dengan pemakaian formalin dalam makanan. Dalam jangka panjang, sebenarnya keduanya hanya menanamkan benih penyakit yang mematikan generasi akan datang. Betapa tak eloknya jika generasi pejabat tinggi, guru besar, tokoh masyarakat terkenal, dan siapa pun di negeri ini pada akhirnya diberitakan media massa sebagai generasi yang mengidap penyakit akut, baik dalam pengertian sosial maupun biologis akibat konsumsi perilaku formalin yang berlebihan. * Dosen FKIP Unlam, tinggal di Banjarmasin e-mail: sainulh@xxxxxxxxx [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **