[nasional_list] [ppiindia] Sindrom Formalin Mentalitas Proyek

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Mon, 30 Jan 2006 01:14:57 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.indomedia.com/bpost/012006/30/opini/opini1.htm

Sindrom Formalin Mentalitas Proyek

Oleh : Sainul Hermawan

Formalin dan proyek, pada dasarnya adalah dua hal yang bermanfaat jika 
difungsikan pada tempatnya. Ahli kimia yang menemukan formalin, tentu tidak 
akan merekomendasikan penggunaannya untuk mengancam kesehatan atau keselamatan 
manusia. Tetapi sebaliknya, membantu manusia mengatasi persoalan tertentu yang 
memerlukan fungsi formalin.

Demikian juga dengan proyek. Di negeri asal kata ini, ia berarti kerja kolektif 
untuk melakukan konstruksi sosial melalui kegiatan yang logis, terukur, dan 
transparan. Tetapi keduanya menjadi penyakit, ketika makna, peran dan fungsinya 
diselewengkan di negeri ini. Proyek di sini berkonotasi: bagi-bagi duit dulu, 
kerja urusan belakangan dan kerjakan asal-asalan.

Formalin dalam konteks proyek pembangunan nasional, regional atau upaya 
pengembangan apa pun dalam sektor birokrasi Indonesia, tentu beda maksudnya 
dengan formalin dalam konteks pengawetan bahan makanan dan/atau minuman. 
Formalin dalam konteks proyek dalam tulisan ini berasal dari kata formal yang 
berakhiran in sebagaimana kaprahnya orang melafalkan akhiran kan dengan logat 
Jakarta. Seperti kata lupakan menjadi lupain, diapakan menjadi diapain, dan 
semacamnya.

Formal dalam pengertian yang kaprah bisa berarti resmi. Tetapi dalam pengertian 
birokrasi yang korup, formal bisa bukan sekadar resmi yang jujur, tetapi bisa 
resmi yang penuh pura-pura. Misalnya, sekarang lagi marak penjaringan Calon 
Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Pelamar pasti akan diminta menyerahkan persyaratan 
formal seperti pasfoto, fotokopi surat ini dan itu dan sebagainya. Setelah 
sebagian diterima, mereka akan diminta lagi mengumpulkan berkas ini dan itu, 
dan sebagainya.

Setelah itu mereka tak lantas seratus persen menjadi PNS. Mereka harus 
mengikuti prajabatan dan mengumpulkan berkas ini dan itu lagi, dan sebagainya. 
Selesai prajabatan, mereka harus melakukan uji kesehatan dan mengumpulkan 
berkas baru lagi.

Perlu dicatat, uji kesehatan dalam hal ini tentu beda dengan uji kesehatan 
untuk kepentingan seleksi yang lain. Uji kesehatan dalam hal ini juga 
berlangsung dalam rangka mentalitas proyek. Asal CPNS itu tak terlalu sakit 
fisik dan psikis, uji sehat pasti lulus. Meski sebenarnya mungkin ada dari 
mereka yang kesehatan mental dan jiwanya sengaja tak diverifikasi lewat 
mekanisme uji kesehatan ini.

Persoalannya adalah, mengapa proses birokrasi semacam ini begitu rumit dan 
belum disederhakan, dan tentu penuh sandiwara? Mengapa birokrasi selalu meminta 
data yang sama dan berulang-ulang?

Jawabnya gampang. Ini sekadar formalitas (baca: formalin dalam mentalitas 
birokrasi). Data itu mungkin masih diarsipkan secara manual dan berbasis kertas 
di era digital. Perilaku birokrasi yang lamban dan mengada-ada semacam ini, 
tentu sangat naif dan membuat pikiran gatal bagi cara berpikir generasi baru 
yang digital minded. Tapi mereka merasa tabu untuk protes dan terpaksa menerima 
teror itu dengan tabah. Pasrah menghayati permainan nasib yang terlanjur 
terperosok.

Dalam proyek pembangunan yang melibatkan dana besar, mentalitas formalin hadir 
dalam bentuk aktivitas mark up dana. Biaya pembangunan yang hanya satu miliar 
direkayasa uraian formalnya sampai mencapai lima miliar. Prinsip dasarnya, 
uraiannya diformalin, diuraikan seakan-akan seratus persen benar. Padahal, 
penerima laporan proyek itu tahu bahwa laporan itu dusta belaka. Tapi mereka 
sudah tahu sama tahu sebagai bagian dari sistem besar yang sama, yaitu 
birokrasi formalin yang pada era 'Eyang' yang masih panjang umur disebut 
birokrasi ABS atau Asal Bapak Senang.

Meski demikian, kalau kita telisik lebih jauh, mentalitas formalin tak hanya 
berlangsung dalam birokrasi ataupun proyek tertentu. Tetapi juga terjadi dalam 
ritus keagamaan dan pendidikan. Logika formalin beranak pinak, menurun dan 
menular, serta sambung menyambung menjadi satu: inilah Indonesia.

Ada sekelompok umat beragama yang dalam beribadah cenderung mengejar aspek 
formalinnya, daripada menyelami lebih jauh dimensi batin dari yang formal itu. 
Mungkin karena sebagian besar umat masih beragama secara formal saja. Agama 
yang luhur pun tak mampu memberikan kontribusi terlalu luar biasa bagi 
perubahan sejarah dan peradaban. Konsekuensinya, ruang yang dominan tetap 
mentalitas formalin yang cenderung mengejar formalitas ritus. Salah satu bentuk 
beragama secara formal dapat kita baca dari adanya ungkapan yang sudah kaprah 
dalam masyarakat yaitu Islam KTP, atau Islamnya di KTP saja.

Demikian pula dengan kondisi pendidikan kita. Mentalitas formalin mencuat di 
mana-mana. Salah satunya yang menonjol adalah jual beli gelar. Pelakunya 
mungkin sudah terjangkit sindrom formalin yang sangat akut. Sekolah baginya tak 
penting. Yang penting ada bukti formal, yaitu ijasah yang menerangkan bahwa dia 
telah lulus sekolah tertentu. Meski pada akhirnya ketahuan sekolahnya cuma 
dikelola oleh sekelompok pedagang kaki lima.

Sikap formalin juga menjangkiti mahasiswa, dosen, guru, atau pun siswa. Dosen 
atau guru yang terkena sindrom hanya akan memerankan diri sebagai seorang yang 
wajib hadir di kelas, tanpa perlu terlalu memikirkan bagaimana cara mendidik 
muridnya dengan baik. Mengajar jadi asal-asalan. Yang penting, bahan telah 
selesai disampaikan. Berhasil mencerahkan peserta didik atau tidak, emang gue 
pikirin! Begitu juga sebaliknya, mahasiswa atau siswa yang terkena sindrom 
formalin hanya merasa wajib hadir untuk mengisi daftar hadir atau setor muka, 
diam, dan pulang. Kelas bagi mereka ruang kosong dan hampa. Pikiran mereka ada 
nun jauh di luar kelas.

Ada beberapa kemungkinan yang dapat menjadi akar maraknya mental formalin. 
Pertama, rendahnya integritas moral penyandang 'cacat' mental ini dalam 
mempertahankan keyakinan moral mereka baik yang bersifat religius, politis 
maupun kultural. Kedua, rendahnya apresiasi dan penghargaan seorang manusia 
terhadap manusia lain. Ketiga, permisivitas atau kemafhuman masyarakat terhadap 
perilaku menyimpang (baca: dusta) sebagai sesuatu yang manusiawi dan dapat 
disikapi dengan kreatif (baca: munafik).

Jadi, siapa bilang Orde Baru telah benar-benar mati? Bahkan yang telah 
menghujatnya dengan cara terlalu, terbukti sebejat, bahkan mungkin lebih bejat 
dari yang dihujatnya itu. Oleh karena itu, diperlukan kearifan baru menghadapi 
wabah formalin dalam mentalitas kita. Di kecenderungan nafsu untuk bersikat 
formalin, kita perlu introspeksi dan mawas diri. Juga, tak perlu terlalu 
terburu-buru berpuas diri bahwa diri kita telah menjadi manusia paling benar 
dan yang lain hanya sampah formalin.

Logika formalin dalam segala sektor kehidupan bangsa ini, nyaris serupa efeknya 
dengan pemakaian formalin dalam makanan. Dalam jangka panjang, sebenarnya 
keduanya hanya menanamkan benih penyakit yang mematikan generasi akan datang. 
Betapa tak eloknya jika generasi pejabat tinggi, guru besar, tokoh masyarakat 
terkenal, dan siapa pun di negeri ini pada akhirnya diberitakan media massa 
sebagai generasi yang mengidap penyakit akut, baik dalam pengertian sosial 
maupun biologis akibat konsumsi perilaku formalin yang berlebihan.

* Dosen FKIP Unlam, tinggal di Banjarmasin
e-mail: sainulh@xxxxxxxxx




[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Sindrom Formalin Mentalitas Proyek