** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Great mas Bud's. Go on, cool but wise.. Salam Danardono --- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, "BUD'S" <bsugih@...> wrote: > > Bung, Mulyadi > > Sebetulnya arah diskusi anda ini mau kemana sih, ( sebelum kami masuk ke kasus Poso, dan masalah ini sudah pernah kami Posting di sini, kalau anda mau silakan baca dengan suber dari HRW dan Tempointeraktif.com ) > > Pertama-tama, Komentar anda " Kl tidak ada pen-jihad itu, muslim di yg minoritas wilayah timur tentu sdh habis.... sementara kresten di wilayah barat hidup aman, tentram, dan damai di wilayah barat yang mayoritas muslim....." > Terus kami menyajikan data dari Depag dan Tempo, > > Anda menjawab " Oh, ya setidaknya di wilayah barat tidak ada tuh yang berbuat keji seperti tibo CS, trus kemudian dielu-elukan jadi pahlawan..." Terus kami sajikan contoh kasus2 di wilayah Barat, misalnya Tasik, Situbondo ( beserta Kronologis lengkapnya untuk kasus Tasik ) dll > > Anda membalasnya " Bos, wilayah timur itu paling rawan dan sering bergolak, ya Ambon, Poso, NTT. Soal bom-bom bbrp tahun lalu, itu terjadi merata di Indonesia, termasuk di Jakarta. Yang berbeda adalah saya tidak membela pelakunya. Saya sangat sangat setuju pelakunya dihukum mati. Saya tidak peduli kalo dia muslim sekali pun.... > Tidak ada yg se-seram2 seperti yang juga pernah terjadi di Maluku..., dan kami sajikan secara lengkap, kasus Ambon, > > Anda membalas lagi dengan Kasus Poso, Jadi kasus mana yang anda Mau Diskusikan ??? > > Setelah kami baca komplit plit plit plit plit plit ( he he he ) atas Rujukan anda dari Tripod.com, ada hal yang ingin kami tanyakan : > > Anda berkesimpulan : Muslim= 49.25%, Kristen = 0.75%, beragama lainnya = 0.45%, sedangkan dari Tabel 1 dengan sumber yang sama, kalau angka2 tersebut dijumlahkan maka : Islam sekitar 52 %, dengan 8 Kecamatan mayoritas Islam dan 7 Kecamatan Mayoritas Kristen. Jadi data Depag boleh dikatakan benar dong, masak anda tidak percaya sama Depag he he he > > Disamping itu dari Sumber yang anda Kutip ( Tripod ), kami sarikan sbb : > > Silakan lihat tabel 2, didalam Kerusuhan Jilid 1 ini, Tempat Ibadah masing2 agama tidak ada yang rusak, tapi kalau Rumah tinggal kerugian dari kedua Pihak. > > Silakan lihat Tabel 3, didalam Kerusuhan Jilid 2, 4 Gereja dibakar dan dirusak Masa, Lebih dari 130 Rumah Kristen dibakar, dirusak dan dijarah , Lembaga Pendidikan Kristen = 1 SMA, 1 SMP dan 1 SD Kristen dibakar , sedangkan di Pihak Muslim, baik itu rumah, temapt Ibadah dan Pendidikan TIDAK ADA SATUPUN YANG RUSAK. > > Kerusuhan Jilid 3, Lihat Tabel 4. Kedua belah pihak mengalami kerugian. > > Apa yang dapat kita simpulkan dari Kerusakan2 ini ???? > > > Mhoel =Soal janin yg dibelah, barangkali anda mencampuradukan kerusuhan Poso dengan > kerusuhan Sampit... Dayak versus Madura.... > > Bud's = Anda tidak baca balasan e-mail saya sebelum ini ????, siapa yang bilang Poso ??? itu kasus Ambon Bung, makanya lain kali jangan Muter2 akhirnya anda Bingung sendiri, didalam kupasan saya sebelumnya jelas kok. Ini saya Kutip ulang tulisan saya dan JANGAN SALAH BACA LAGI YA " Untuk semua rangkaian kejadian di Ambon, bisa dilihat di : ( http://www.fica.org/hr/Ambon.html ) Termasuk Foto2 dan ada juga Bp. Maakewe Yang Perut Isterinya yang lagi Hamil dibelek ama Mayoritas untuk dikeluarkan Jamin anaknya .) > > Satu catatan : sebagai sambungan dari Kasus Tasik, anda mau tau bagaimana Komentar orang2 Nasrani / > http://www.parokinet.org/bandung/tasik/bara.htm TASIK BERGOLAK, API BERKOBAR Oleh: Team Keuskupan Bandung > ( tidak seperti kelompok Mayoritas ) adakah mereka menyuruh JIHAD??? walaupun jelas yang membuat kerusuhan tersebut adalah kelompok Mayoritas ??? . ini lanjutannya yang sengaja kami tidak lampirkan waktu itu : > > Selain kerusakan materi, kerusuhan Tasikmalaya menelan korban jiwa. Sampai sekarang diketahui sudah lima orang yang meninggal dunia dalam peristiwa tersebut (3 orang dari korban kerusuhan dan 2 orang dari perusuh). > > Kita mungkin bertanya mengapa peristiwa sederhana yang terjadi pada 19 Desember itu dapat menyulut kerusuhan yang menurut berbagai sumber dilukiskan lebih dasyat dari apa yang terjadi di Situbondo. Boleh jadi peristiwa ini merupakan cerminan dari kenyataan bahwa masyarakat kita sedang sakit. Tidaklah mudah untuk menentukan causa primanya. Lebih mudah untuk berharap bahwa kerusuhan berbau SARA seperti ini tidak lagi terulang di masa depan. > > Kompleksitas Permasalahan > Menanggapi kerusuhan Tasikmalaya, Mgr. Anicetus B. Sinaga, menandaskan bahwa apa yang terjadi di Tasik hanyalah salah satu dimensi dari kompleksitas permasalahan kemasyarakatan yang besar. Melihat kemiripan antara peristiwa Tasikmalaya dan peristiwa Situbondo, ia mengajak kita untuk belajar dan menyimaknya dengan arif dan kepala dingin. Menurutnya dari peristiwa-peristiwa ini diberi kesan bahwa terdapat ketidakpuasan pada bidang sosialisasi demokrasi, di mana kelompok yang lebih sadar dari masyarakat, seperti mahasiswa tidak mendapat akses tampungan aspirasi dengan semestinya. Ada sejenis trombosi aspirasi di mana pihak pamong tidak dapat lagi melihat unsur baik dan sumbangsih ikhlas dari generasi muda dalam bahasa mereka sendiri. Dan unsur generasi muda/sadar tidak dapat menghargai secara proporsional jasa dari generasi terdahulu. Karena itu, menurut beliau 'gap' generasi ini perlu disehatkan dengan asas musyawarah, dialog timbal-balik, suatu wawancara hati yang ikhlas dari semua pihak. > > Ketua Komisi Hubungan antar-Agama dan Kepercayaan (HAK) KWI ini lebih lanjut mengatakan bukan pekerjaan mudah membangun ekonomi nasional yang tangguh dan merata. Tetapi kiranya tekanan harus dialihkan dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan rakyat Indonesia yang berkemampuan ekonomi. Justru di sini masalah etnis, animositas terutama terhadap etnis Cina, menjadi sangat rawan. Hal ini diperburuk lagi karena pada waktu yang bersamaan, moralitas kejujuran, suri-panutan dan kesetiakawanan sebangsa dicabik-cabik oleh berbagai jenis keserakahan, seperti korupsi, kolusi, monopoli, nepotisme ditambah praktik-praktik kongkokongan, dalam selubung kata dan jalan pintas. Budaya keramahtamahan dan kelemahlembutan serta merta diganti oleh tindak kekerasan, baik dalam bentuk tawuran pelajar, perampokan, penganiayaan, dan bahkan orang tahanan, yang dititipkan di tangan aparat keamanan bersyaratkan praduga tak- bersalah, tidak terjamin keselamatannya. > > Bidang hukum dan keadilan sangat mengenaskan. Banyak contoh yang mencuat secara gamblang, di mana rakyat sangat dibri kesan bahwa hukum di negeri kita ini tak layak lagi disebut dewi keadilan yang murni. Cukup sering terjadi ialah bahwa hukum diabdikan kepada kekuasaan atau kewibawaan sehingga dalam kenyataan yang kasat mata sekalipun, masih dibutuhkan kambing hitam dan rekayasa. Kebenaran dan nilai-nilai yang telah kita bangun dan sepakati dalam konsensus nasional seperti terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, sering melenceng dari tujuan dasarnya. Kita membutuhkan panutan dan idola kebangsaan dan kenegarawanan, tetapi kebenaran yang murni saja pun telah terlalu sering menjadi komoditi langka yang sukar didapat lewat surat kabar atau media massa. Pahlawan keadilan, seperti Adi Handojo dengan gampang disepelekan dan disingkirkan. Rakyat kebanyakan sangat kecewa dan terpaksa gigit jari. Penduduk kebanyakan sering menjadi peserta penonton atau menjadi penanggung pembangunan. Dalam pembangunan ekonomi, mereka sering digusur, ditipu, dan dipreteli dari hak-haknya sebagai warga negara yang sama hak dan kewajibannya. > > Pekerjaan Rumah > Menyinggung bidang pembangunan keagamaan dan pembangunan kerukunan umat beragama Uskup Sibolga ini mengatakan bidang ini masih menyisakan PR yang sangat besar. Sejarah membuktikan bahwa kegagalan dalam pembinaan kerukunan umat beragama telah menimbulkan konflik dan perang yang berkepanjangan. Bandingkan konflik di Lebanon, Irlandia, dan mantan negara Yugoslavia. Dengan tepat, masalah kerukunan termasuk unsur SARA. Kita menjadi saksi, betapa gampang dan dalam waktu yang singkat, hasil-hasil pembangunan diruntuhkan dan dihanguskan dalam peristiwa pengrusakan di Surabaya, Situbondo, dan Tasikmalaya. > > Beliau melihat tiga musuh besar bagi umat beragama dalam kerangka membina kerukunan yang langgeng dan lestari. Dan ini sangat berkaitan dengan kemanusiaan seluruhnya, tidak murni keagamaan. Musuh pertama adalah semangat euforisme yang terluka. Dari keyakinan bahwa agamaku yang paling benar dan terbaik (ini baik), secara tak sadar hendak dicapai ialah agar agamaku harus memiliki akses terbesar kepada kekuasaan dan peranan penentu dalam masyarakat. Karena itu, segala usaha akan dikerahkan untuk mengkatrol orang- orangnya memasuki posisi dan peranan penentu dalam masyrakat. Tetapi, karena motifnya adalah kekuasaan, maka tersedia baginya kegagalan dan frustrasi. > > Musuh kedua dari kelompok agama ialah semangat membentengi diri dan melindungi kelompoknya dari kemungkinan infiltrasi luar. Sangat kuat diusahakan agar jangan ada penganut agama lain menjadi tetanggaku. Janganlah rumah ibadat orang lain dibangun dekat kediamanku. Semuanya ini hanya menunggu saat untuk digusur oleh waktu dan masa. Komunikasi kita telah membawa globalisasi yang sangat deras sehingga bukan saja manusia sekampung menjadi pergaulan hidup kita, bahkan orang di bulan atau perang di Bosnia dihadirkan secara nyata di hadapan kita lewat TV, radio, surat kabar. Mobilitas penduduk telah dipacu sehingga kita tidak tahu siapa besok yang akan menjadi tetangga kita. > > Musuh ketiga ialah yang mungkin dapat disebut industrialisme dan hedonisme sebagai buah-hasil dari pengembangan pembangunan teknologi dan industrialisasi. Sengaja dipakai kata "isme" untuk memberi distingsi bahwa dalam dirinya sasaran itu baik. Kesalahan dan yang membuatnya "evil" ialah semangat pencapaiannya. Dahulu peranan pemuka agama mendekati peranan "dewa". Sekarang, peranan itu hanyalah salah satu dari sekian banyak pusat minat manusia. Perhatian terbanyak diberikan pada hal-hal materi dan serba menyenangkan. Mengatasi masalah ini dan mengupayakan "renaisans" agama dalam dunia industri modern, diharapkan bahwa kelompok umat beragama tidak lagi bertengkar antar mereka sendiri mengenai hal-hal yang mungkin tidak relevan lagi. Seyogyanya, mereka saling menghampiri dan saling belajar serta saling bekerja sama menemukan cara-cara penghayatan dan pengamalan kaidah agama terbaru. > > Sikap Kita > Anggota tarekat Capusin ini mengajak kita untuk pertama-tama menerima musibah ini dengan jiwa besar, bahkan dengan rasa syukur. Lewat peristiwa-peristiwa seperti ini, bukan hanya terasa tetapi terbukti bahwa iman kita semakin murni dan kuat. Dalam keadaan seperti itu, kita semakin terpanggil untuk mendoakan, bersambung rasa dengan saudara-saudara kita yang kena musibah. Adalah panggilan kita untuk mendoakan mereka, juga yang mungkin secara tak sadar telah berbuat kesalahan, padahal disangkanya berbuat keutamaan. > > Selanjutnya, marilah kita mengamalkan anjuran para pemimpin agama kita lewat Surat Gembala Natal bersama. Kita dihimbau untuk bersikukuh dalam Yesus sebagai Raja Cinta dan Raja Damai. Cinta sejati seperti ditunjukkan oleh Tuhan Yesus tidak berhenti berbuat baik kepada semua orang, kendati Dia telah menjadi objek penyesahan dan penyaliban: "Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya." Dan Kristus adalah Raja Damai, Penasihat Agung dan Emanuel, Allah beserta kita. Kita kuat di dalam Dia yang menguatkan kita. Dalam hal inilah, kita diingatkan oleh para uskup Indonesia dalam Surat Gembala 1992, Persaudaraan Sejati. Kita memandang sesama warganegara bahkan semua umat manusia sebagai saudara sejati, yang membutuhkan cinta kasih dan asuh-asih kita. > > Berbicara dari dalam... > Sementara itu, Uskup Bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja dalam Surat Gembalanya, yang dibacakan di semua Gereja Katolik dalam Keuskupan Bandung menyatakan rasa prihatinnya atas peristiwa yang terjadi di Tasikmalaya dan mengungkap rasa sepenanggungannya dengan umat Katolik di Tasikmalaya. Selanjutnya ia menggarisbawahi kembali apa yang telah dikatakannya dalam buku Panduan Umat Katolik Keuskupan Bandung. "Pertama-tama kita sadar bahwa kita adalaaah warga masyarakat Jawa Barat". Konsekwensi dari kenyataaan ini, demikian uskup, kita tidak hanya bangga atas segala yang baik dan indah. Kita pun perlu sadar akan kekurangan, bahkan penyakit gawat yang menghinggapi bangsa kita. Uskup menyebut dua hal yang merupakan penyakit gawat yang dihadapi bangsa kita dewasa ini, yaitu: makin lebarnya 'gap' antara kaya dan miskin dan soal ketidakpastian hukum "Perlulah sekarang ini kita menerobos suatu yang mungkin sekali kita belum biasa. Karena kebiasaan kita umumnya hanya berbicara dari luar. Perlu bicara dari dalam. Maksudnya perlu terlibat di dalamnya. Kita perlu terlibat didalam bangsa ini secara nyata, termasuk dengan segala kekurangan bahkan dengan penyakitnya pula. Kita bicara dari dalam, kita menyembuhkannya dari dalam: kita ingin memikul dan menanggung penyakit bangsa kita. Ini sebenarnya prinsip inkarnasi, yang intinya kita rayakan baru-baru saja, kelahiran, kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus," tandas Uskup. > > Kini, sembari menatap puing-puing kehancuran, beranikah kita untuk menyatakan terima kasih kita kepada Yesus karena kita boleh ikut memanggul salib bersama Dia? > > > > ----- Original Message ----- > From: Mhoel > To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx > Sent: Wednesday, September 27, 2006 8:12 PM > Subject: Re: [ppiindia] Tibo dkk : Eksekusi Kami Didepan Umum!! > > > > Silahkan anda baca laporan komplit plit di bawah, sebagai jawaban atas > pertanyaan sederhana anda. > Berikut kronologis awalnya. > > Komposisi penduduk KABUPATEN POSO juga ada di bawah, lebih detail dari DATA > DEPAG or Tempo yang anda sodorkan. > > Dari Tabel di bawah diperoleh KOMPOSISI JML PENDUDUK KABUPATEN POSO sebagai > berikut : > Muslim= 49.25%, > Kristen = 50.75%, > beragama lainnya = 0.45% > > Soal janin yg dibelah, barangkali anda mencampuradukan kerusuhan Poso dengan > kerusuhan Sampit... Dayak versus Madura.... > > Selamat membaca.... > > Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso, > Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 2000, h. 92 > > http://ristek.tripod.com/rubrik/dep_2/poso_1.htm#tabel_1 > > SERIAL KONFLIK SOSIAL DI POSO: > LUBANG MENUJU DISINTEGRASI BANGSA? > > I. PENDAHULUAN > > Kabupaten Poso mencakup wilayah dari arah tenggara ke barat daya dan melebar > dari arah barat ke timur dan sebagian besar berada di daratan seluas > 29.923,88 km2 atau 43,98% dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tengah. > Wilayah lainnya mencakup laut dan sebanyak kurang lebih 81 pulau yang sudah > bernama, 40 pulau di antaranya berpenghuni. Tidak heran bila dibadingkan > dengan luas kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah, Poso mempunyai kawasan > paling luas. > > Alam yang menghampar di kota Poso-240 km arah timur dari kota Palu (ibukota > Provinsi Sulawesi Tengah) niscaya merupakan salah satu dari yang terindah di > sepanjang garis katulistiwa di Indonesia. Di kota ini terdapat danau di > Tentena yang memukau, Kepulauan Togean yang fantastik dan Teluk Tomini yang > merupakan kawasan spesifik dalam gugusan garis edar matahari. Kekayaan > sumberdaya alam Poso baik di dalam laut di kawasan Teluk Tomini, Sungai dan > Danau Poso maupun kesuburan lahan serta hasil hutan dan tambangnya sungguh > tidak ternilai. Salah satu dari kekayaan hasil hutan yang sangat dibanggakan > dan penghasil terbesar di Indonesia adalah kayu hitam (ebony), selain kayu > besi, kayu agathis, meranti, damar dan rotan. > > Lambang daerah Kabupaten Poso menggambarkan sebuah rumah yang disinari oleh > bintang (semangat keagamaan yang tinggi) dan dikelilingi oleh padi dan kapas > (lambang kemakmuran) di atas daratan yang bergelombang, lautan yang tenang > dan pegunungan yang damai. Di bawah lambang ini tertulis sintuwu maroso > (artinya: persatuan yang kuat). Di dalam kehidupan sehari-hari, semangat > yang ingin ditampilkan dalam lambang itu dirasakan kurang lebihnya sesuai > dengan realitas kehidupan masyarakat Poso ketika itu dalam waktu yang lama. > Ini berlangsung hingga tibanya era reformasi. Malang tak dapat ditolak, > untung tak dapat diraih. Kerusuhan yang melanda berbagai wilayah bumi > Nusantara tampaknya tak luput pula menghampiri Poso. > > Kerusuhan dan konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Poso diduga lebih > bernuansa suku dan agama. Selain itu, suasana politik setempat saat itu > sangat mempengaruhi polarisasi antar kelompok yang bermuara pada kepentingan > para elit politik setempat selain peranan militer. Lambannya penanganan oleh > aparat memungkinkan konflik yang sebenarnya bisa diredam lebih dini menjadi > berkembang semakin luas. Implikasinya adalah hilangnya jiwa dan harta benda > dalam jumlah besar. > > Kerusuhan sosial di Poso terjadi secara berkesinambungan. Kerusuhan pertama > (pengamat, peneliti, pers dan masyarakat setempat populer menyebutnya dengan > Jilid I) berlangsung 24 Desember 1998, kerusuhan sosial kedua (Jilid II) > berlangsung pada 16 April 2000, dan kerusuhan ketiga (Jilid III) terjadi > hanya selang sebulan kemudian, yaitu pada 16 Mei 2000. > > II. KEANEKARAGAMAN: BERKAH ATAU ANCAMAN? > > Kabupaten Poso mempunyai penduduk yang sangat beragam. Beberapa suku asli > mendiami kawasan ini, antara lain suku Pamona, Lore, Mori, Bungku dan > Tojo/Una-una. Suku-suku pendatang dalam jumlah yang besar berasal dari > Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan Toraja) dan Sulawesi Utara (Gorontalo > dan Minahasa), di samping puluhan ribu pendatang yang secara terencana > didatangkan Pemerintah melalui program transmigrasi dari Jawa, Bali dan Nusa > Tenggara. > > Suku asli Pamona merupakan penduduk mayoritas di Kecamatan Pamona Utara, > Kecamatan Pamona Selatan dan Kecamatan Lage. Suku Lore adalah suku mayoritas > di Kecamatan Lembo dan Kecamatan Mori Atas. Suku Ampana merupakan suku > mayoritas di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Ampana Tete dan Una-una. Suku > Tojo merupakan suku mayoritas di Kecamatan Tojo. Suku Tojo dan Ampana banyak > juga yang tinggal di Kecamatan Ulubongka. Di Kecamatan Poso Kota dan > Kecamatan Poso Pesisir komposisi penduduk atas dasar suku jauh lebih > beragam, baik penduduk asli maupun pendatang dari luar kabupaten dan > provinsi. > > Di kalangan suku-suku asli, orang Pamona, Lore dan Mori dikenal sebagai > penganut agama Kristen (umumnya Protestan). Sementara orang Ampana dan > Tojo/Una-una dikenal sebagai penganut Islam. Kaum pendatang Bugis/Makassar > dan Gorontalo dan transmigran dari Jawa dan sebagian Nusa Tenggara adalah > penganut Islam. Sementara penganut Kristen di kalangan pendatang berasal > dari Toraja dan Minahasa, dan di kalangan transmigran berasal dari sebagian > Nusa Tenggara dan Jawa. Orang-orang Bali di manapun adalah penganut Hindu, > demikian pula di Poso. Komposisi penduduk menurut kecamatan selengkapnya > dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran). > > Perbedaan-perbedaan ini selama kurun waktu yang lama tidak mempunyai masalah > apapun. Dalam suasana seperti ini, persaingan antar etnik atau antar agama > dapat dikatakan hampir tidak ada. Penduduk asli dan pendatang hidup > berdampingan secara damai hingga kurang lebih tahun 1990an. > > III. KRONOLOGI KONFLIK > > 1. Konflik Sosial Jilid I > > Kerusuhan pertama (populer dengan sebutan Jilid I) bermula pada 24 Desember > 1998. Secara harfiah, kerusuhan dipicu oleh pembacokan Ahmad Ridwan oleh Roy > Runtu Bisalembah, seorang pemuda Kristen di kampung Lambogia. > > Namun, jauh sebelum peristiwa ini terjadi, ada beberapa fakta yang perlu > diungkap karena merupakan bibit-bibit permusuhan antara pihak- pihak yang > bertikai. Pada tahun 1992, masyarakat muslim resah karena salah seorang > penginjil, Rusli Labolo (semula beragama Islam, kemudian masuk Kristen dan > menjadi pendeta) menghujat Muhammad s.a.w., nabinya orang Islam. Pada 15 > Februari 1995, sekelompok pemuda Kristen di Madale yang telah dilatih > beladiri selama 4-6 bulan melempari masjid dan madrasah di Tegalrejo. > Sebagai akibatnya, sebanyak lebih kurang 3000an pemuda Islam dari Tegalrejo > dan Lawanga melakukan pembalasan dengan merusak 3 rumah di Madale. > > Pada 24 Desember 1998 sekelompok pemuda Kristen Lambogia yang mabuk > mendatangi kelompok muslim di masjid Pondok Pesantren Darussalam di > Kelurahan Sayo. Seorang jemaah, Ahmad Ridwan (21 tahun) yang sedang tidur di > masjid, dibacok lengannya oleh Roy Runtu Bisalembah. Sebagai akibatnya, > warga Poso menjadi tegang. Masalahnya, suasana keagamaan pada saat itu > justru membutuhkan ketenangan. Di satu pihak, umat muslim sedang puasa di > bulan Ramadhan, di lain pihak umat Kristiani sedang menjelang Natal. > > Pada 25 Desember 1998, seusai sembahyang Jum'at massa Islam yang marah > karena peristiwa pembacokan ini melakukan aksi pelemparan Toko Lima yang > diduga sebagai tempat persembuyian pelaku pembacokan. Massa kemudian > bergerak untuk merampas minuman keras dan menghancurkan tempat- tempat > hiburan seperti bilyar, panti pijat, toko minuman keras dan hotel, yang > dipandang mengganggu suasana ibadah bulan Ramadhan. > > Pada 26 Desember 1998, suasana semakin mencekam dan memanas. Pada hari ini > terjadi tawuran massal yang berlangsung hingga esok harinya. > > Pada 27 Desember 1998 diadakan pertemuan antara para pemuka agama dan tokoh > masyarakat yang bersangkutan untuk mendamaikan kedua kelompok massa yang > bertikai. Namun pada hari yang sama, massa Kristen pimpinan Herman Parimo > memasuki kota Poso yang menyulut pertikaian sehingga berkobar lagi. Sebanyak > 81 buah rumah -sebagian besar milik orang Islam dibakar. > > Pada 28 Desember 1998 pasukan Kelompok Merah pimpinan Herman Parimo kembali > memasuki Poso dan berhasil melewati blokade aparat kepolisian. Masyarakat > Kelompok Putih Poso, terutama warga Bonesompe, Kaimanya dan Lawanga dan dari > Parigi dengan ribuan massa, sebagian di antaranya dengan menumpang 27 mobil > truk, pick-up dan perahu motor, berhasil menghalau pasukan Kelompok Merah > dari Poso. > > Pada 29 Desember 1998 situasi Poso berangsur-angsur aman, meskipun di setiap > kelurahan tetap dilakukan penjagaan oleh aparat keamanan dan masyarakat > setempat. Di beberapa lokasi pembakaran, api masih terlihat menyala. > > Pada 30 Desember 1998 aktivitas perekonomian Poso mulai menggeliat yang > ditandai dengan semakin ramainya Pasar Sentral Poso dengan pedagang dan > angkutan kota. Sebagian warga Poso, meskipun demikian, masih tinggal di > pengungsian, di Tentena, Parigi dan Ampana. Konon, dikemudian hari, Herman > Parimo ditangkap di Makassar ketika berupaya menemui Pangdam untuk > mendapatkan jaminan atas penyerahan dirinya. Setelah melalui proses hukum, > Herman Parimo divonis 14 tahun penjara dan diisukan meninggal. > > Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid I Lihat: Tabel 2 Lampiran. > > 2. Konflik Sosial Jilid II > > Jauh sebelum terjadi konflik, proses penjaringan bakal calon Bupati Poso > dimulai. Hingga Maret 1999, sejumlah nama masuk dalam nominasi seperti Akram > Kamaludin, Abdul Malik Syahadat, Abdul Muin Pusadan, Damsyik Ladjalani, > Ismail Kasim. Sementara proses ini berlangsung, terjadi pertemuan antara > Yahya Patiro-seorang tokoh Kelompok Merah yang diisukan sebagai salah satu > penggerak kerusuhan pertama-dan 50 orang remaja masjid Poso. Usai pertemuan, > segerombolan pemuda dengan menggunakan truk mencari Yahya Patiro dan > memporakporandakan Hotel Wisata Poso-tempat berlangsungnya pertemuan. Tokoh > yang dicari sudah meloloskan diri. > > Pada April 1999, dilakukan penentuan Bupati Poso. Salah seorang figur > terkuat, Abdul Malik Syahadat terlempar dari pencalonan karena tidak ada > fraksi yang mencalonkan. Pada minggu kedua Mei 1999 muncul Abdul Muin > Pusadan (konon didukung Gubernur Sulsel) dan Eddy Bungkundapu (konon > didukung Baramuli) sebagai calon-calon unggulan. Namun salah seorang anggota > DPRD Provinsi Sulteng, Chaelani Umar (FPP) mengatakan, jika aspirasi yang > menghendaki Damsyik Ladjalani menjadi Sekwilda Poso diabaikan, Poso yang > pernah diguncang kerusuhan bernuansa etnis-agama akan rusuh lagi. > > Malamnya, terjadi insiden antara dua pemuda Lambogia dan pihak lain di > terminal Poso. Ini memicu warga asal Lawanga mendatangi warga Lambogia di > depan gereja Pniel menginformasikan akan ada massa dari Kalamanya dan > Lawanga. Massa langsung melempari rumah-rumah penduduk Kristen di sekitar > gereja. Setelah sempat dikendalikan aparat keamanan, pada keesokan harinya > massa datang ke Lambogia lagi meskipun tidak terjadi insiden apapun. > > Juni 1999, Arief Patanga diberhentikan Gubernur Sulsel dari jabatannya > sebagai bupati dan digantikan Haryono, seorang dari kalangan militer, > sebagai caretaker, untuk mempersiapkan pemilihan Bupati Poso yang > dilaksanakan 30 Oktober 1999. Pemilihan yang demokratis menghasilkan Abdul > Muin Pusadan (16 suara) terpilih sebagai Bupati yang baru, sementara Mashud > Kasim memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu 10 suara. > > Pada 16 April 2000 sebanyak 25 massa Islam dengan menggunakan truk menuju > tengah kota dan menumpahkan minuman keras (yang dirampas dari salah satu > rumah di dekat Gereja Sidang Jemaat Allah) ke jalan sambil berteriak-teriak. > Malam harinya, terjadi pemusatan massa Islam dan terjadi pembakaran > rumah-rumah penduduk Kristen (di Kelurahan Pantoan), kios (setelah isinya > dijarah) di Kelurahan Pangajouw Lumenta. Massa Kristen akhirnya terpancing > untuk melakukan pembalasan. Terjadi bentrokan antar kedua massa yang > berlangsung hinggi esok hari. > > Kerusuhan ini berlangsung lagi esok harinya, 17 April 2000. Dalam massa > Kristen terdapat beberapa orang dengan memakai seragam ala Ninja sambil > menantang dengan parang ke arah massa Islam di perempatan terminal Poso. > Massa Islam terpancing dan berusaha menyerang. Kedua kelompok saling serang. > Upaya peredaan situasi kota Poso dan pencegahan keterlibatan massa dari luar > Poso dilakukan. Namun pada siang hari, massa Islam mulai menjarah, membakar > rumah penduduk Kristen dan Gereja Pniel, Gedung Serba Guna Jemaat Pniel, > Pastori Jemaat Pniel Poso, Bengkel Honda dan pertokoan di sekitar perempatan > Tentena. Brimob kewalahan mengendalikan massa. Mereka menembak 2 orang dari > massa Islam hingga tewas. Setelah penguburan, massa Islam menuju ke Lambogia > dan membakar rumah hunian sebanyak 127 rumah, 2 gereja, gedung SD, SMP, SMU > Kristen, Gedung Bayangkari dan sebagian asrama Polres. Pengungsian terjadi > secara besar-besaran penduduk Kristen Poso ke arah Madale, Kampompa, Lage, > Pamona Utara, Bukit Bambu, wilayah Poso Pesisir dan sebagainya. Sore hari > aksi brutal ini berhenti. Terjadi hujan lebat. > > Esok harinya, 18 April 2000 terjadi aksi pembakaran rumah penduduk di > wilayah Kelurahan Lambogia dan Kasintuvu termasuk Gereja Advent Kasintuvu > dan pelemparan dan perusakan gereja di Jl. Gatot Subroto. Gubernur Sulsel > berupaya untuk meredakan pihak-pihak yang betikai dengan mengunjungi para > pengungsi. Ini diikuti dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. > > Pada 19 April 2000 ditemukan mayat seorang muslim di Lambogia di puing-puing > rumah keluarga Kristen. Massa Islam kembali marah dan berlanjut dengan > pembakaran sisa-sisa rumah penduduk warga Kristen di Lambogia dan Kelurahan > Kasintivu dan gereja Pantekosta dan gereja di Jalan Sam Ratulangi. Pada > tengah hari, terjadi pembunuhan 2 orang Kristen, satu di depan bengkel Honda > dan satu lagi di perempatan Tentena. Polisi berhasil memukul mundur massa > Islam yang beringas hingga ke masjid Darussalam. Selesai solat Bupati Abdul > Muin Pusadan berusaha menenangkan massa dan menghimbau dihentikannya > pertikaian. Bahkan seorang ulama kharismatik, H. Amin Lasawedi, ternyata > masih dianggap sebagai tokoh baik oleh ummat Islam maupun Kristen dan > memohon sang ulama untuk mendo'akan agar Poso kembali aman seperti semula. > > Namun, 20 April 2000 sebagian massa Islam masih melakukan pemburuan warga > Lambogia dan perusakan rumah penduduk dan gereja di Bukit Bambu. Esok > harinya, Pangdam Wirabuana tiba di Poso dan melakukan pembersihan > palang-palang dan pos-pos di beberapa desa yang dibuat massa Islam. Situasi > keamanan dapat dikendalikan hingga dilaksanakannya pertemuan- pertemuan antar > berbagai kelompok, tokoh masyarakat maupun pemerintahan, lembaga- lembaga > keagamaan terkait di satu pihak dan aparat keamanan di lain pihak. > > Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid II lihat: Tabel 3 Lampiran. > > 3. Konflik Sosial Jilid III > > Dua minggu setelah aksi damai dilakukan, pada bulan Mei 2000 masyarakat Poso > dikejutkan dengan beredarnya isu akan adanya penyerangan balik dari Tentena > yang merupakan basis Kelompok Merah (Kristen). Arus pengungsi masyarakat > Kristen di Poso menuju Tentena, Lembah Napu, Palu dan Manado dari hari > semakin deras. > > Hasil investigasi seorang wartawan selama 9 hari atas kebenaran isu > menunjukkan bahwa ternyata terdapat tanda-tanda pengerahan massa Kristen di > Bungku Barat, Beteleme, Kolonedale, Tentena, Kelei, Betue, Sanginora dan > Poso Pesisir. Laporan bahkan menyatakan di desa Kelei terdapat pelatihan > bela diri pasukan Merah dan di Sanginora terdapat penggalian lubang-lubang > besar sebanyak tiga buah dengan menggunakan alat-alat berat milik seorang > pengusaha Poso. > > Pada 16 Mei 2000 pecahlah Kerusuhan Sosial Jilid III. Ini dtandai dengan > terbunuhnya seorang warga muslim di Taripa dan rencana pembunuhan terrhadap > seorang petugas penyuluhan Kecamatan Pamona Utara beserta keluarganya dan > terhadap pemilik warung surabaya di Taripa pada 18 Mei 2000. Pada 19 Mei > 2000 massa Kelompok Merah (Kristen) mulai melakukan > penghadangan-penghadangan terhadap kendaraan umum yang lewat gereja di > Taripa. Aparat keamanan berhasil menggagalkan kegiatan ini. Pengungsian > warga Kristen semakin gencar, antara 15 dan 20 truk setiap harinya dari kota > Poso menuju pusat-pusat konsentrasi Kelompok Merah. > > Pada 20 Mei 2000, seorang penyusup yang mengikuti latihan bela diri di desa > Kelei berhasil lolos dan menyebarkan informasi di terminal bus kota Poso > akan adanya penyerangan Kelompok Merah dari arah Tentena. Informasi ini > dengan segera menyebar dan meluas di kalangan masyarakat yang menimbulkan > keresahan dan kecemasan. Masyarakat mulai menghubungkan akan adanya > pengungsian besar-besaran di satu pihak dan adanya rencana penyerangan > Kelompok Merah di lain pihak. Masyarakat Islam di Sintuvulembah, Pondok > Pesantren Walisongo, Tagolu, Sepe, Silanca dan Toyado mulai diintimidasi > oleh oknum-oknum masyarakat Kelompok Merah. > > Pada 23 Mei 2000 malam, Kapolres Poso melakukan pertemuan dengan semua > komponen masyarakat dan pemerintah daerah. Tiba-tiba diketahui informasi > bahwa pemuda Islam di Kalamanya sudah turun ke jalan karena malam itu akan > ada penyerangan Kelompok Merah. Peserta rapat berusaha mengkonfirmasikan > informasi ini kepada Tripika (Camat, Koramil, Kapolsek) di Pamona Utara. > Jawabannya, tidak benar ada pemusatan massa di Tentena dan tidak benar akan > ada penyerangan dari arah Tentena. Berdasarkan informasi ini, Kapolres > meminta Pemda membuat pengumuman kepada masyarakat. Mobil penerangan yang > berkeliling ke seluruh penjuru kota pada malam itu menginformasikan tidak > benarnya rencana penyerangan terhadap kota Poso. Masyarakat kota Poso > percaya informasi itu karena Pemda sendiri yang mengumumkan. Masyarakat > kembali tenang. > > Namun pada 24 Mei 2000 dinihari muncul pasukan penyerang sebanyak 12 orang > dengan seragam ala Ninja dari depan Pasar Sentral menuju Kelurahan > Kalamanya. Pasukan ini kemudian dikenal sebagai Pasukan Kelelawar atau > Pejuang Pemulihan Keamanan Poso di bawah pimpinan Fabianus Tibo (55 tahun) > melewati 7 pos penjagaan siskamling (sistem keamanan lingkungan). Tidak > satupun petugas ronda yang dilukai, karena pasukan ini mencari para > provokator pada kerusuhan Jilid II. Salah seorang polisi yang berusaha > menghentikan laju pasukan Ninja langsung ditebas. Demikian pula dua warga > dewasa muslim lainnya menemui ajalnya karena ditebas secara biadab. Pada > saat itu, massa Islam mulai berkumpul sehingga Pasukan Kelelawar melarikan > diri menuju sekolah Katholik. Pimpinan pasukan diminta menyerahkan diri, > namun aparat kepolisian tidak langsung menangkap Tibo cs, sehingga mereka > kabur. Tiga (3) anggota pasukan -semuanya berasal dari suku Flores, > transmigran asal desa Kamba--berhasil ditangkap. Massa Islam yang marah > langsung mengamuk dan membakar komplek sekolah dan rumah ibadah di sekitar > komplek. > > Pada 25 Mei 2000 bantuan massa Islam dari Ampana Kota berkekuatan 7 truk > menuju Poso. Pada saat memasuki Toyado, Kecamatan Tojo pasukan ini bentrok > dengan massa Kristen dari Silanca, Sepe, Tagolu, Batugencu dan Toyado yang > memang siap melakukan penghadangan-penghadangan. Kelompok Putih dipukul > mundur. Desa Toyado kemudian dibakar oleh Kelompok Merah dengan meninggalkan > sebuah masjid. Dua (2) orang tewas dan 16 orang luka-luka dari Kelompok > Putih. Kelompok Putih dari Parigi berusaha membantu memulihkan keamanan dan > menawarkan kemungkinan pemindahan ibukota ke Parigi untuk sementara. Pemda > Poso menolak tawaran ini dan menyatakan masih sanggup memulihkan keamanan > dan melindungi kaum muslimin Poso. Pada hari yang sama, di desa > Sintivulembah, Tagolu mulai terjadi penculikan dan pembunuhan masyarakat > minoritas muslim. > > Pada 26 Mei 2000, pasukan Kelompok Merah dari arah Sanginora mencoba > memasuki Poso dari arah barat (Poso Pesisir). Pasukan Merah minta agar > pos-pos penjagaan dikosongkan karena mereka akan lewat secara damai. Rapat > Tripika menyetujui permintaan ini. Kediaman Bupati sendiri, karena kondisi > keamanan yang semakin gawat dipindahkan ke Kodim Poso. Sementara itu di > desa-desa Toyado dan Tongko pembakaran rumah-rumah muslim oleh pasukan > Kelompok Merah dari Tagolu masih berlangsung. > > Pada 27 Mei 2000 terjadilah bentrokan besar secara frontal antara pasukan > Merah dari Sanginora yang melintasi Poso Pesisir. Pasukan Merah telah > melanggar perjanjian dengan Tripika setempat karena melakukan penyerangan > lebih dulu di Mapane yang dilanjutkan dengan pembakaran tiga (3) rumah > penduduk muslim. Pasukan Merah gagal memasuki kota Poso karena dipukul > mundur Pasukan Putih. Mereka melampiaskan kemarahannya dengan membakar > rumah-rumah penduduk muslim di sepanjang poros jalan Trans Sulawesi. > > Pada 28 Mei 2000 sejumlah pengungsi Poso Pesisir yang datang ke Pondok > Pesantren Al Chairat sangat marah mendengar penuturan tentang ulah Kelompok > Merah yang membakar seluruh rumah di desa-desa Tabalu, Bega, Tiwaa, > Tambarana, Kasiguncu, Mapane. Siangnya, pengurus Pondok Pesantren (Ponpes) > Walisongo mempertanyakan kepada Pasukan Merah di Tagolu, mengapa mereka > diteror dan tidak diizinkan aparat untuk mengungsi ke Kompi 711 Kawua. Massa > Islam yang akan mengungsi dicegah Camat dan Kapolsek Lage. Pimpinan Pasukan > Merah, Tibo, mengizinkan mereka mengungsi. Namun tak lama kemudian Pasukan > Merah menyerang desa Sintivulembah, menyandera kaum perempuan dan anak-anak, > dan mulai melakukan pembantaian terhadap kaum pria muslim. Demikian pula di > Ponpes Walisongo, sebanyak 70 orang pengurus dan santrinya dibantai di dalam > masjid oleh Kelompok Merah. Wanita dan anak-anak yang belum sempat > menyingkir mengalami perkosaan dan pelecehan seksual. Di beberapa tempat di > poros jalan Poso-Pendolo Mangkutana terjadi penghadangan dan penyanderaan > warga muslim yang menggunakan kendaraan pribadi dan umum. Atas peristiwa > yang mengerikan dan menggegerkan ini, sebanyak 12 organisasi muslim mengutuk > tindakan Pasukan Merah, meminta aparat keamanan untuk menindak para perusuh > dan meminta bantuan Pangdam Wirabuana untuk segera mengirim pasukan ke Poso. > > Pada 29 Mei 2000 terjadi pertempuran yang sengit di Tokorondo antara Pasukan > Merah dan Pasukan Putih dari Parigi dan Ponpes Al Chairat Palu. Sebanyak dua > (2) orang muslim tewas. Pertempuran masih berlangsung hingga 30 Mei 2000 di > Poso Pesisir. Berdasarkan saksi-saksi mata, Pasukan Merah menggunakan > senjata organik M-16 dan Thomson, 2 buah helikopter warna putih yang > menembaki Pasukan Putih dari pesawat. Pada hari ini pula kota Poso dikepung > dari empat penjuru, yaitu Tegalrejo, Sayo, Kayamanya dan kawasan BTN/PDAM. > Kota Poso sangat mencekam. Terjadi eksodus besar-besaran warga Poso ke > Ampana Kota, Kepulauan Togean, Parigi dan Gorontalo lewat laut dengan > menggunakan perahu Katinting, kapal barang dan kapal tradisional. Konon, > bala bantuan Brimob dari Makassar tertahan di Tentena. > > Pada 31 Mei 2000 kota Poso semakin mencemaskan karena diserbu sebanyak > 7.000 - 8.000 orang Pasukan Merah. Massa Kelompok Putih yang masih tersisa > sekitar 100 orang bersama pasukan dari Kodim dan Polres mencoba melawan. > > Pada 1 Juni 2000, ditemukan sebanyak 28 mayat tanpa kepala dan tanpa kaki > yang sudah membusuk di dalam masjid di Tagolu desa Sintuvulembah. > Pertempuran masih terjadi di Kalora. Permukiman penduduk muslim dibakar > hingga penghuninya mengungsi ke Parigi. Kelompok Merah seolah- olah sudah > hampir menaklukkan kota Poso. Aparat mulai menerapkan siaga tertinggi dengan > perintah tembak di tempat terhadap pelaku kerusuhan. > > Pada 2 Juni 2000 Pasukan Merah berkekuatan 9 truk memasuki Poso dipimpin > tokoh Pejuang Pemulihan Kota Poso, Ir. AL Lateka. Pasukan Putih dipimpin > Habib Saleh Al Idrus melawan sekuat tenaga. Ketika kedua pimpinan pasukan > berhadapan, Habib berhasil memukul Lateka dengan rotan pada tengkuknya > sehingga mati. Ini menyebabkan moral Pasukan Merah jatuh dan mundur kembali. > Kota Poso kembali dikuasai Pasukan Putih. Penyerangan Pasukan Merah sejak > peristiwa itu hanya bersifat sporadis, terutama di Kecamatan Lage, Desa > Toini dan Sayo, Meko, Boe, Toinasa di Pendolo. > > Upaya-upaya pemulihan keamanan dilakukan oleh Pasukan Brimob dari Kelapa Dua > Jakarta (menggunakan sandi Operasi Sadar Maleo) dan bantuan Pasukan TNI > Zipur dan Zeni dari Makassar (menggunakan sandi Operasi Cinta Damai). Daerah > operasi mencakup seluruh kota dan sekitarnya, seperti Poso, Parigi dan > Ampana Kota, Tentena, desa Kelei dan Beteleme. Selama 2 bulan operasi, > Pasukan Merah berhasil dilumpuhkan. > > Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid III lihat Tabel 4 Lampiran. > > IV. ANATOMI KONFLIK > > Konflik sosial yang berkesinambungan di kota Poso dapat dianalisis dengan > kerangka teori "anatomi 4 faktor". Keempat faktor tersebut adalah sebagai > berikut: > > Faktor yang memungkinkan terjadinya konflik (facilitating factor), yaitu > sentimen atas keberagaman suku dan agama antara penduduk asli di satu pihak > dan kaum pendatang di lain pihak; > Faktor penyebab utama (core of the problem) yaitu termarginalisasikannya > secara sosial-ekonomi-politik kelompok masyarakat yang merasa pentingnya > keseimbangan antara kelompok Islam dan Kristen; > Faktor yang berfungsi sebagai penyulut konflik sosial (fuse factor) yaitu > pertarungan elit politik setempat; dan > Faktor yang membuat penumpukan kejengkelan (grudges factor), yaitu > keterlibatan militer dalam konflik sosial antar warga. > > 1. Sentimen atas keberagaman suku dan agama antara penduduk asli di satu > pihak dan kaum pendatang di lain pihak > > Sentimen atas dasar suku dan agama antara penduduk asli dan pendatang sangat > mudah tersulut karena beberapa fakta berikut ini sangat dirasakan oleh > pihak-pihak terkait, terutama masyarakat Poso: (a) adanya pembacokan seorang > muslim di dalam masjid oleh seorang Kristen yang menyulut Kerusuhan Jilid I; > (b) pemusnahan dan pengusiran suku-suku pendatang seperti Bugis, Jawa, > Gorontalo dan Kaili yang beragama Islam pada waktu Kerusuhan Jilid III > terjadi; (c) praktek-praktek pemaksaan agama Kristen pada masyarakat muslim > di daerah-daerah pedalaman, terutama di Tentena, Dusun III Lena, Sangira, > Toinasa, Boe dan Meko mengindikasikan bahwa upaya-upaya dari agama tertentu > dilakukan secara sistematis; (d) penyerangan Kelompok Merah dengan > menggunakan sandi simbol-simbol perjuangan agama Kristiani pada Kerusuhan > Jilid III; (e) pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh Kelompok Merah > pada Kerusuhan Jilid III, sementara pada Kerusuhan Jilid I dan Jilid II > terjadi pembakaran rumah penduduk baik oleh Kelompok Putih maupun Kelompok > Merah di kota Poso; (f) terjadinya pembakaran rumah-rumah ibadah (gereja dan > masjid), sarana pendidikan (milik umat kristiani maupun milik pesantren); > (g) pembakaran rumah-rumah penduduk asli Poso di Lambogia, Sayo, Kasintuvu; > (h) pengerahan massa Pasukan Merah yang berasal dari suku Flores, Toraja dan > Manado/Minahasa; (i) terpecahnya warga Poso menjadi Kelompok Putih (ummat > Islam) dan Kelompok Merah (ummat Kristen); (j) adanya pelatihan milisi di > desa Kelei yang telah berlangsung lama sebelum meledaknya Kerusuhan Jilid > III. > > 2. Termarginalisasikannya secara sosial ekonomi politik kelompok masyarakat > yang merasa pentingnya keseimbangan antara kelompok Islam dan Kristen > > Banyak orang Pamona, orang Bungku, orang Mori, orang Tojo/Una- una punya > akses luas terhadap pendidikan modern dan leluasa memasuki berbagai > lembaga -lembaga politik, ekonomi dan pemerintahan. Banyak di antara mereka > menjadi elit birokrasi pemerintahan, elit politik di Poso maupun di Palu. > Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang dari Gorontalo, Minahasa, > Toraja, Bugis, Makassar dan Jawa. > > Namun, tidak demikian halnya dengan penduduk di daerah-daerah perdesaan. > Secara kuantitatif, jumlah orang-orang ini jauh lebih banyak dibandingkan > dengan orang-orang yang diuraikan di atas. Secara ekonomi mereka ini > tersegregasi ke dalam sektor informal yang tertinggal, tersisih dan > terkebelakang, baik secara harizontal karena persaingan yang dipandang > kurang "fair" dengan para pendatang di perkotaan, maupun secara vertikal > dengan dicaploknya lahan-lahan mereka atas dasar konsesi Hak Penguasaan > Hutan (HPH), perkebunan besar (seperti kelapa sawit), usaha- usaha eksplorasi > dan pertambangan, program transmigrasi dan penetapan kawasan konservasi > untuk pelestarian lingkungan. Kelompok masyarakat ini harus tertekan dalam > masa yang panjang tanpa dapat menyuarakan hati nurani mereka karena berbagai > tekanan. Menjadi kenyataan yang menyakitkan bahwa orang-orang Pamona, > Ampana, Bungku, Mori, Lore dan Tojo Una-una sebagai pewaris sah tanah > leluhur mereka justru hidup dalam kesusahan. Mereka ini sebagian besar > berlatar belakang pendidikan rendah, dengan pekerjaan pada sektor agraris > dengan teknologi yang apa adanya, untuk tidak mengatakan tanpa mengenal > teknologi. Migran dari Gorontalo, Bugis/Makassar, Toraja, dan transmigran > dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur juga mengalami > hal yang kurang lebih sama. > > Sejak 1998an rakyat mulai berani memprotes ketika tanah mereka diambil alih > untuk proyek-proyek pembangunan. Di Bungku (sejak tahun 2000 sudah > dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali) ribuan petani mengadakan perlawanan > terhadap perkebunan kelapa sawit PT Tamako Graha Krida karena tanah mereka > dicaplok untuk perkebunan kelapa sawit. PT Inco, juga di Bungku, perusahaan > tambang nickel yang saham mayoritasnya dimiliki Inco Ltd. dari Kanada > menghadapi perlawanan dari penduduk asli di desa Bahumatefe, karena lahan > mereka diaku sebagai bagian dari areal konsesi PT Inco. Perlawanan penduduk > asli Bahumatefe juga diikuti oleh perlawanan transmigran dari Jawa, Bali dan > Lombok, yang menolak rencana pemindahan dari permukiman mereka di Desa One > Pute Jaya, karena permukiman yang didirikan sejak tahun 1991 itu masuk ke > dalam areal konsesi PT Inco. Di Kecamatan Lore Utara, orang Katu berhasil > berjuang memperoleh kembali pengakuan atas wilayah tradisional mereka yang > diambil alih oleh Pemerintah untuk dijadikan Taman Nasional Lore Lindu, di > mana selama lebih dari 20 tahun terakhir Pemerintah memaksa untuk > memindahkan mereka. > > 3. Pertarungan elit politik setempat yang memperebutkan posisi- posisi > strategis > > Sejak 1998, pertarungan elit politik setempat kerap terpolarisasi ke dalam > kutub-kutub berdasarkan sentimen agama. Ini mengindikasikan telah terjadinya > perebutan jabatan-jabatan strategis di dalam birokrasi pemerintahan seperti > Bupati dan Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda), Kepala Dinas, Camat, dan > sebagainya pada Pemerintah Kabupaten Poso. Mobilisasi dukungan rakyat > terhadap pencalonan Bupati dan Sekwilda selalu di dasarkan atas sentimen > agama, baik dari pihak-pihak yang mengatasnamakan ummat Islam (Kelompok > Putih) maupun ummat Nasrani (Kelompok Merah). Mobilisasi dukungan dilakukan > berlangsung sangat intensif dari sejak di kota hingga ke desa- desa dan > kampung-kampung. > > Secara sadar atau tidak, mobilisasi dukungan politik semacam ini ikut andil > dalam mengkristalnya sentimen-sentimen keagamaan secara dangkal. Seolah-olah > pertarungan politik lokal adalah pertentangan antara pemeluk- pemeluk agama > yang berbeda. > > Ancaman salah seorang anggota DPRD Provinsi Sulteng dari Fraksi PP misalnya > menunjukkan hal itu. Waktu itu anggota yang bersangkutan mengancam bila > Damsyik Ladjalani tidak dipromosikan sebagai Sekwilda Kabupaten Poso akan > terjadi kerusuhan. Apakah ada korelasi keduanya, tidak ada yang tahu, namun, > kenyataannya Poso mengalami kerusuhan pada 15 April 2000. Dan Damsyik waktu > itu memang tidak dipromosikan, karena diangkat menjadi Wakil Ketua Bappeda > Provinsi Sulteng di Palu. > > 4. Keterlibatan militer dalam konflik sosial antar warga > > Sejauh ini, telah sebanyak 29 orang anggota TNI/Polri menjalani pemeriksaan > yang intensif oleh Polisi Militer sehubungan dengan Kerusuhan Poso yang > terakhir. Di antara 7 (tujuh) orang yang teridentifikasi kuat > keterlibatannya dalam kerusuhan tersebut, 2 (dua) orang merupakan perwira > berpangkat kapten TNI. Keterlibatan anggota TNI/Polri perlu dicermati karena > sangat berbeda dengan dua kerusuhan sebelumnya. > > Pada kerusuhan ketiga, skala, metode dan korban kerusuhan meningkat sangat > tajam. Ini antara lain tercermin dari adanya kenyataan-kenyataan sebagai > berikut: Pertama, dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya, > kerusuhan ketiga berlangsung dalam skala kekerasan yang jauh lebih sadis dan > biadab, dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, dan dengan cakupan daerah > yang jauh lebih luas. > > Kedua, pada kerusuhan ketiga metode kekerasan ketiga yang digunakan jauh > lebih canggih dengan persiapan-persiapan yang jauh lebih terencana. Pada > kerusuhan pertama dan kedua, kekerasan yang terjadi semata-mata ditandai > dengan penggunaan senjata tajam, rakitan, benda-benda keras dan > pembakaran-pembakaran. Pada kerusuhan ketiga, selain alat-alat untuk > kekerasan seperti tersebut di atas, juga digunakan senjata api, penculikan > disertai pembunuhan, pembuangan mayat di Sungai Poso, penyanderaan dan > penguburan massal. Salah satu sumber menyebutkan bahwa pasukan Kelompok > Merah diperkirakan sebanyak 7.000 orang, sebagian di antaranya menggunakan > senjata organik standar militer, seperti jenis M 16 dan Thomson. Juga > dilaporkan terjadinya perkosaan dan pelecehan seksual terhadap kaum > perempuan. > > Ketiga, korban kerusuhan ketiga sangat, sangat banyak. Korban yang > teridentifikasi menyebut lebih dari 2.000 orang, 400 orang di antaranya > mengapung di sungai tanpa kepala atau anggota tubuh lainnya. Rumah yang > dibakarpun jauh melebihi jumlah korban pada kerusuhan pertama dan kedua. > > Ketidak netralan militer juga tampak dari menjelang Kerusuhan Jilid III di > mana ketika diminta konfirmasi kepada Tripika Kecamatan Pamona Utara tentang > adanya rencana penyerangan Kelompok Merah ke kota Poso dibantah. Informasi > yang disampaikan kepada masyarakat Poso ini baru saja dilakukan, ketika > beberapa jam kemudian ternyata terjadi penyerangan Pasukan Kelelawar > pimpinan Fabianus Tibo. Kalau pihak militer pada tingkat kecamatan jujur dan > netral, kenyataan semacam ini pasti tidak terjadi. > > Indikasi lainnya adalah ditemukannya peluru jenis M 16 bertuliskan Yonif 711 > dari tas anggota masyarakat, diketahuinya anggota Kompi B 711 membiarkan > kelompok Pasukan Merah melakukan penyiksaan warga desa, keterlibatan > Kapolsek Pamona Utara waktu itu dalam penganiayaan H. Dawi dan pimpinan > Muhammadiyah Abdullah Sutari dan pembantaian warga Pondok Pesantren > Walisongo dan masyarakat Sintuvulembah karena tidak adanya upaya- upaya > pencegahan ketika pembunuhan massal diketahui. > > V. PENUTUP > > Keberagaman sebenarnya ibarat pisau yang bermata dua. Di satu sisi merupakan > suatu alat yang dapat memberikan kemudahan dan bahkan menyelesaikan > masalah-masalah nyata. Di lain pihak, pisau dapat dipakai untuk membunuh > siapapun. Keberagaman di negara-negara maju telah menjadi suatu kekuatan > yang luar biasa karena adanya kesamaan visi dan tujuan ke depan mengenai > masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dan adanya kesepakatan mengenai > cara-cara untuk merealisasikan visi dan mencapai tujuan. Terdapat suatu > keengganan untuk mengakui tentang keberagaman atas suku dan agama di > Indonesia di masa lalu. Seolah-olah dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan > sedikit penataran, semua masalah keanekaragaman suku dan agama ini selesai. > > Masyarakat Poso yang menggunakan sintuvu maroso (secara harfiah artinya > persatuan yang kuat) sebagai tali pengikat menyadari keanekaragaman ini. > Secara sosial, mereka selalu mengatakan kita sei sakompo (kami semua > bersaudara). Namun, konflik yang berkesinambungan telah menjelaskan pada > semua pihak bahwa konsep untuk bersatu saja ternyata tidaklah memadai. > > Kerusuhan Poso merupakan malapetaka bagi semua pihak. Sentimen keagamaan > sejak itu bukannya hilang, melainkan justru semakin membara, ketika berbagai > kenyataan selama serial kerusuhan diceritakan dari satu pihak ke pihak lain. > Tokoh-tokoh agama mengeluarkan pernyataan keras mengenai kerusuhan Poso, > terutama Kerusuhan Poso Jilid III. Bahkan seorang dosen Fakultas Hukum > Universitas Tadulako yang juga Koordinator Front Solidaritas Islam > Revolusioner menyatakannya sebagai moslem cleansing (pembasmian orang > Islam). Beberapa pihak menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan, karena > kebiadaban dan kesadisannya yang luar biasa. > > Dikawatirkan, tragedi kemanusiaan ini akan berlanjut. Bila ini terjadi, > kekhawatiran akan terciptanya malapetaka akbar di kemudian hari bukanlah > tanpa alasan. Ini mengingat kurang memadainya perhatian berbagai pihak baik > pada tingkat kabupaten, provinsi dan apalagi nasional terhadap kerusuhan > berantai yang hingga saat ini belum juga berakhir. > > Beberapa pelaku kerusuhan sudah ditangkap dan bahkan sudah divonis hukuman > mulai dari 1-2 tahun hingga hukuman mati, terutama terhadap tiga pelaku > utama Pasukan Kelelawar. Bara dendam pihak-pihak yang tidak rela atas > putusan ini bukan tidak mungkin menjadi api yang sewaktu-waktu berkobar > lagi. Bila ini terjadi, serial kerusuhan Poso akan merupakan bibit-bibit > menuju disintegrasi sosial yang berkepanjangan, yang pada gilirannya akan > menciptakan disintegrasi bangsa. > > Daftar Pustaka: > > Anto Sangaji, Beberapa Catatan Mengenai Kerusuhan di Poso, 26 Juli 2000. > Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Respon Militer Terhadap > Konflik > Sosial di Poso, November 2000. > Kabupaten Poso Dalam Angka 1998, Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, 1998. > Klipping Surat Kabar Mercusuar terbitan Palu dari 1998 - 2001. > Klipping Tabloid MAL terbitan 2000-2001. > > LAMPIRAN > > Tabel 1. Komposisi Penduduk Kabupaten Poso > > No. > > Kecamatan > Jumlah Penduduk > AgamaMayoritas > > Suku > > 1. > Poso Kota > 41.875 > Islam (55%) > > Kristen (42%) > Pamona, Mori, Lore, Bungku, Tojo, Una-una, Ampana, Minahasa, Toraja, Bugis, > Makassar, Gorontalo,dll. > > 2. > Poso Pesisir > 31.505 > Islam (45%) Kristen (42%) > Pamona, Mori, Lore, Bugis, Jawa, Bali > > 3. > Pamona Selatan > 24.608 > Kristen (70%) > Pamona, Bugis, Jawa, Bali > > 4. > Pamona Utara > 30.793 > Kristen (90%) > Pamona, Bugis, Jawa > > 5. > Lembo > 15.479 > Kristen (79,47%) > Mori, Jawa, Bugis > > 6. > Mori Atas > 12.305 > Kristen (87%) > Mori, Pamona, Bugis, Jawa > > 7. > Lage > 15.841 > Kristen (72%) > Pamona, Bada, Ampana > > 8. > Lore Utara > 13.017 > Kristen (79,65%) > Lore, Toraja, Jawa, Bugis > > 9. > Lore Selatan > 7.521 > Kristen (96,45%) > Bada, Bugis > > 10. > Ampane Tete > 15.841 > Islam (95%) > Ampana, Pamona, Gorontalo, Luwuk, Bugis > > 11. > Ampana Kota > 25.704 > Islam (95%) > Ampana, Tojo, Una-una, Pamona, Mori, Minahasa, Bugis, Gorontalo > > 12. > Tojo > 13.017 > Islam (80,63%) > Tojo, Mori, Pamona, Bugis, Jawa, Gorontalo > > 13. > Ulubongka > 11.648 > Islam (71,47%) > Taa, Gorontalo, Ampana, Tojo, Bugis, Pamona, Mori > > 14. > Una-una > 17.730 > Islam (99,5%) > Una-una, Ampana, Gorontalo, Bugis, Bajo > > 15. > Walea Kepulauan > 12.215 > Islam (97,48%) > Ampana, Bugis, Kaili, Gorontalo > > Sumber: Anto Sangaji, Beberapa Catatan Mengenai Kerusuhan di Poso, 2000, h. > 2. > > Tabel 2. Korban Kerusuhan Poso Jilid I > > No. > > Kategori Korban > > Keterangan > > I. > Korban Jiwa > > a. > Luka Berat > > 1. Anngota Polri > Tidak ada > > 2. Anggota TNI AD > Tidak ada > > 3. Anggota Masyarakat > 7 orang > > b. > Luka Ringan > > 1. Anggota Polri > 17 orang > > 2. Anggota TNI AD > Ada (data tidak jelas) > > 3. Anggota Masyarakat > 101 orang > > II. > Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial > > a. > Rumah Ibadah > > 1. Gereja > Tidak ada > > 2. Mesjid > Tidak ada > > b. > Pemukiman Penduduk > 81 Rumah (muslim-kristen) dibakar dan dirusak * > > c. > Kendaraan Bermotor > 10 mobil - 3 motor dibakar > > d. > Toko-Bengkel-Hotel-Wartel-Terminal > 7 Toko dirusak dan dibakar, 5 hotel dibakar dan 3 dirusak, Terminal > dibakar, 2 Diskotek dibakar dan 2 rumah makan > > * Data riel kerusakan kedua belah pihak sulit didapatkan. Sementara kerugian > materiil secara umum diperkirakan Rp 6 milyar. > > Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso, > Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 2000, h. 90. > Tabel 3. Korban Kerusuhan Poso Jilid II > > No. > > Kategori Korban > > Keterangan > > I. > Korban Jiwa > > a. > Luka Berat > > 1. Anngota Polri > Tidak ada > > 2. Anggota TNI AD > Tidak ada > > 3. Anggota Masyarakat > 32 orang > > II. > Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial > > a. > Rumah Ibadah > > 1. Gereja > 4 Gereja dibakar dan dirusak (Pniel, Katolik, Pantekosta dan Advent) > > 2. Mesjid > Tidak ada > > b. > Pemukiman Penduduk > Lebih dari 130 Rumah Kristen dibakar, dirusak dan dijarah > > c. > Kendaraan Bermotor > 1 Mobil dibakar > > d. > Toko-Bengkel-Hotel-Wartel > Tidak ada > > III. > Sarana Pendidikan > > a. Pondok Pesantren/Madrasah > Tidak ada > > b. Lembaga Pendidikan Kristen > 1 SMA, 1 SMP dan 1 SD Kristen dibakar > > c. Sarana Pendidikan Umum > Tidak ada > > Kantor Pemerintah > 1 Fasilitas Pemda > > Sarana Pemukiman dan Fasos Polri > > a. Asrama > Sebagian asrama Polres Poso dibakar > > b. Aula Bhayangkara > 1 buah dibakar > > c. Rumah Tinggal > Tidak ada > > d. Posyandu/Poliklinik > Tidak ada > > Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik Sosial di Poso, > Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 2000, h. 91. > > Tabel 4. Korban Kerusuhan Poso Jilid III > > No. > > Kategori Korban > > Keterangan > > I. > Korban Jiwa > > a. > Meninggal dunia > > 1. Anggota Polri > 1 orang > > 2. Anggota TNI AD > 1 orang > > 3. Anggota Masyarakat > ± 2.000 orang > > b. > Luka Berat > > 1. Anggota Polri > 2 orang > > 2. Anggota TNI AD > Tidak ada > > 3. Anggota Masyarakat > 88 orang > > c. > Luka Ringan > > 1. Anggota Polri > 2 orang > > 2. Anggota TNI AD > Tidak ada > > 3. Anggota Masyarakat > 95 orang > > d. > Pemerkosaan dan Pelecehan seksual > 6 wanita diperkosa dan 14 wanita mengalami pelecehan seksual > > II. > Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial > > a. > Rumah Ibadah > > 1. Gereja > 7 Gereja dibakar dan 3 dirusak > > 2. Mesjid > 6 Masjid dan 1 Mushalla dibakar > > b. > Pemukiman Penduduk > 3.492 rumah dibakar dan 635 rumah dirusak-sebagian besar milik orang Islam > > c. > Kendaraan Bermotor > 10 Mobil dan 10 Motor dibakar > > d. > Toko-Bengkel-Hotel-Wartel > 17 toko, 3 rumah makan dan 14 bengkel dibakar > > e. > Sarana Pendidikan > > a. Pondok Pesantren/Madrasah > 2 Pondok Pesantren dibakar > > b. Lembaga Pendidikan Kristen > Tidak ada > > c. Sarana Pendidikan Umum > 2 bangunan SD dibakar > > f. > Kantor Pemerintah > 3 bangunan Balai Desa dan 3 Polindes dibakar > > g. > Sarana Pemukiman dan Fasos Polri > > a. Asrama > 3 bangunan Asrama dibakar dan 3 Asrama dirusak > > e. Posyandu/Poliklinik > 1 bangunan dirusak > > ----- Original Message ----- > From: "BUD'S" <bsugih@...> > To: <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx> > Sent: Wednesday, September 27, 2006 4:20 PM > Subject: Re: [ppiindia] Tibo dkk : Eksekusi Kami Didepan Umum!! > > >Lho, dari awal anda kan mengatakan bahwa daerah timur itu sering rusuh > karena disana Mayoritasnya non-Muslim, tapi dari >data2 Depag, ternyata > disana Mayoritanya Muslim, satu pertanyaan sederhana yang belum anda jawab : > DATA ANDA >DARI MANA ??? ". > > Disclaimer: Although this message has been checked for all known viruses > using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin > accept no liability for any loss or damage arising > from the use of this E-Mail or attachments. > > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx mailto:ppiindia-fullfeatured@xxxxxxxxxxxxxxx <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **