[nasional_list] [ppiindia] Re: Tibo dkk : Eksekusi Kami Didepan Umum!!

  • From: "RM Danardono HADINOTO" <rm_danardono@xxxxxxxx>
  • To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx
  • Date: Wed, 27 Sep 2006 20:20:27 -0000

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **Great mas Bud's. Go on, cool but wise..

Salam

Danardono



--- In ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, "BUD'S" <bsugih@...> wrote:
>
>  Bung, Mulyadi
> 
> Sebetulnya arah diskusi anda ini mau kemana sih, ( sebelum kami 
masuk ke kasus Poso, dan masalah ini sudah pernah kami Posting di 
sini, kalau anda mau silakan baca dengan suber dari HRW dan 
Tempointeraktif.com ) 
> 
> Pertama-tama, Komentar anda "  Kl tidak ada pen-jihad itu, muslim 
di yg minoritas wilayah timur tentu sdh habis.... sementara kresten 
di wilayah barat hidup aman, tentram, dan damai  di wilayah barat 
yang mayoritas muslim....." 
> Terus kami menyajikan data dari Depag dan Tempo,
> 
> Anda menjawab " Oh, ya setidaknya di wilayah barat tidak ada tuh 
yang berbuat keji seperti tibo CS, trus kemudian dielu-elukan jadi 
pahlawan..." Terus kami sajikan contoh kasus2 di wilayah Barat, 
misalnya Tasik, Situbondo ( beserta Kronologis lengkapnya untuk 
kasus Tasik ) dll
> 
> Anda membalasnya " Bos, wilayah timur itu paling rawan dan sering 
bergolak, ya Ambon, Poso, NTT. Soal bom-bom bbrp tahun lalu, itu 
terjadi merata di Indonesia, termasuk di Jakarta. Yang berbeda 
adalah saya tidak membela pelakunya. Saya sangat sangat setuju 
pelakunya dihukum mati. Saya tidak peduli kalo dia muslim sekali 
pun....
> Tidak ada yg se-seram2 seperti yang juga pernah terjadi di 
Maluku..., dan kami sajikan secara lengkap, kasus Ambon,
> 
> Anda membalas lagi dengan Kasus Poso, Jadi kasus mana yang anda 
Mau Diskusikan ???
> 
> Setelah kami baca komplit plit plit plit plit plit ( he he he ) 
atas Rujukan anda dari Tripod.com, ada hal yang ingin kami 
tanyakan : 
> 
> Anda berkesimpulan : Muslim= 49.25%, Kristen = 0.75%, beragama 
lainnya = 0.45%, sedangkan dari Tabel 1 dengan sumber yang sama, 
kalau angka2 tersebut dijumlahkan maka : Islam sekitar 52 %, dengan 
8 Kecamatan mayoritas Islam dan 7 Kecamatan Mayoritas Kristen. Jadi 
data Depag boleh dikatakan benar dong, masak anda tidak percaya sama 
Depag he he he
> 
> Disamping itu dari Sumber yang anda Kutip ( Tripod ), kami sarikan 
sbb :
> 
> Silakan lihat tabel 2, didalam Kerusuhan Jilid 1 ini, Tempat 
Ibadah masing2 agama tidak ada yang rusak, tapi kalau Rumah tinggal 
kerugian dari kedua Pihak.
> 
> Silakan lihat Tabel 3, didalam Kerusuhan Jilid 2, 4 Gereja dibakar 
dan dirusak Masa, Lebih dari 130 Rumah Kristen dibakar, dirusak dan 
dijarah , Lembaga Pendidikan Kristen = 1 SMA, 1 SMP dan 1 SD Kristen 
dibakar , sedangkan di Pihak Muslim, baik itu rumah, temapt Ibadah 
dan Pendidikan TIDAK ADA SATUPUN YANG RUSAK.
> 
> Kerusuhan Jilid 3, Lihat Tabel 4. Kedua belah pihak mengalami 
kerugian.
> 
> Apa yang dapat kita simpulkan dari Kerusakan2 ini ????
> 
> 
>  Mhoel =Soal janin yg dibelah, barangkali anda mencampuradukan 
kerusuhan Poso dengan
> kerusuhan Sampit... Dayak versus Madura....
> 
> Bud's = Anda tidak baca balasan e-mail saya sebelum ini ????, 
siapa yang bilang Poso ??? itu kasus Ambon Bung, makanya lain kali 
jangan Muter2 akhirnya anda Bingung sendiri, didalam kupasan saya 
sebelumnya jelas kok. Ini saya Kutip ulang tulisan saya dan JANGAN 
SALAH BACA LAGI YA " Untuk semua rangkaian kejadian di Ambon, bisa 
dilihat di : ( http://www.fica.org/hr/Ambon.html  ) Termasuk Foto2 
dan ada juga Bp. Maakewe Yang Perut Isterinya yang lagi Hamil 
dibelek ama Mayoritas untuk dikeluarkan Jamin anaknya .)
> 
> Satu catatan : sebagai sambungan dari Kasus Tasik, anda mau tau 
bagaimana Komentar orang2 Nasrani / 
> http://www.parokinet.org/bandung/tasik/bara.htm TASIK BERGOLAK, 
API BERKOBAR Oleh: Team Keuskupan Bandung 
> ( tidak seperti kelompok Mayoritas ) adakah mereka menyuruh 
JIHAD??? walaupun jelas yang membuat kerusuhan tersebut adalah 
kelompok Mayoritas ??? . ini lanjutannya yang sengaja kami tidak 
lampirkan waktu itu : 
> 
> Selain kerusakan materi, kerusuhan Tasikmalaya menelan korban 
jiwa. Sampai sekarang diketahui sudah lima orang yang meninggal 
dunia dalam peristiwa tersebut (3 orang dari korban kerusuhan dan 2 
orang dari perusuh). 
> 
> Kita mungkin bertanya mengapa peristiwa sederhana yang terjadi 
pada 19 Desember itu dapat menyulut kerusuhan yang menurut berbagai 
sumber dilukiskan lebih dasyat dari apa yang terjadi di Situbondo. 
Boleh jadi peristiwa ini merupakan cerminan dari kenyataan bahwa 
masyarakat kita sedang sakit. Tidaklah mudah untuk menentukan causa 
primanya. Lebih mudah untuk berharap bahwa kerusuhan berbau SARA 
seperti ini tidak lagi terulang di masa depan. 
> 
> Kompleksitas Permasalahan
> Menanggapi kerusuhan Tasikmalaya, Mgr. Anicetus B. Sinaga, 
menandaskan bahwa apa yang terjadi di Tasik hanyalah salah satu 
dimensi dari kompleksitas permasalahan kemasyarakatan yang besar. 
Melihat kemiripan antara peristiwa Tasikmalaya dan peristiwa 
Situbondo, ia mengajak kita untuk belajar dan menyimaknya dengan 
arif dan kepala dingin. Menurutnya dari peristiwa-peristiwa ini 
diberi kesan bahwa terdapat ketidakpuasan pada bidang sosialisasi 
demokrasi, di mana kelompok yang lebih sadar dari masyarakat, 
seperti mahasiswa tidak mendapat akses tampungan aspirasi dengan 
semestinya. Ada sejenis trombosi aspirasi di mana pihak pamong tidak 
dapat lagi melihat unsur baik dan sumbangsih ikhlas dari generasi 
muda dalam bahasa mereka sendiri. Dan unsur generasi muda/sadar 
tidak dapat menghargai secara proporsional jasa dari generasi 
terdahulu. Karena itu, menurut beliau 'gap' generasi ini perlu 
disehatkan dengan asas musyawarah, dialog timbal-balik, suatu 
wawancara hati yang ikhlas dari semua pihak.
> 
> Ketua Komisi Hubungan antar-Agama dan Kepercayaan (HAK) KWI ini 
lebih lanjut mengatakan bukan pekerjaan mudah membangun ekonomi 
nasional yang tangguh dan merata. Tetapi kiranya tekanan harus 
dialihkan dari pembangunan ekonomi menjadi pembangunan rakyat 
Indonesia yang berkemampuan ekonomi. Justru di sini masalah etnis, 
animositas terutama terhadap etnis Cina, menjadi sangat rawan. Hal 
ini diperburuk lagi karena pada waktu yang bersamaan, moralitas 
kejujuran, suri-panutan dan kesetiakawanan sebangsa dicabik-cabik 
oleh berbagai jenis keserakahan, seperti korupsi, kolusi, monopoli, 
nepotisme ditambah praktik-praktik kongkokongan, dalam selubung kata 
dan jalan pintas. Budaya keramahtamahan dan kelemahlembutan serta 
merta diganti oleh tindak kekerasan, baik dalam bentuk tawuran 
pelajar, perampokan, penganiayaan, dan bahkan orang tahanan, yang 
dititipkan di tangan aparat keamanan bersyaratkan praduga tak-
bersalah, tidak terjamin keselamatannya. 
> 
> Bidang hukum dan keadilan sangat mengenaskan. Banyak contoh yang 
mencuat secara gamblang, di mana rakyat sangat dibri kesan bahwa 
hukum di negeri kita ini tak layak lagi disebut dewi keadilan yang 
murni. Cukup sering terjadi ialah bahwa hukum diabdikan kepada 
kekuasaan atau kewibawaan sehingga dalam kenyataan yang kasat mata 
sekalipun, masih dibutuhkan kambing hitam dan rekayasa. Kebenaran 
dan nilai-nilai yang telah kita bangun dan sepakati dalam konsensus 
nasional seperti terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, sering 
melenceng dari tujuan dasarnya. Kita membutuhkan panutan dan idola 
kebangsaan dan kenegarawanan, tetapi kebenaran yang murni saja pun 
telah terlalu sering menjadi komoditi langka yang sukar didapat 
lewat surat kabar atau media massa. Pahlawan keadilan, seperti Adi 
Handojo dengan gampang disepelekan dan disingkirkan. Rakyat 
kebanyakan sangat kecewa dan terpaksa gigit jari. Penduduk 
kebanyakan sering menjadi peserta penonton atau menjadi penanggung 
pembangunan. Dalam pembangunan ekonomi, mereka sering digusur, 
ditipu, dan dipreteli dari hak-haknya sebagai warga negara yang sama 
hak dan kewajibannya. 
> 
> Pekerjaan Rumah
> Menyinggung bidang pembangunan keagamaan dan pembangunan kerukunan 
umat beragama Uskup Sibolga ini mengatakan bidang ini masih 
menyisakan PR yang sangat besar. Sejarah membuktikan bahwa kegagalan 
dalam pembinaan kerukunan umat beragama telah menimbulkan konflik 
dan perang yang berkepanjangan. Bandingkan konflik di Lebanon, 
Irlandia, dan mantan negara Yugoslavia. Dengan tepat, masalah 
kerukunan termasuk unsur SARA. Kita menjadi saksi, betapa gampang 
dan dalam waktu yang singkat, hasil-hasil pembangunan diruntuhkan 
dan dihanguskan dalam peristiwa pengrusakan di Surabaya, Situbondo, 
dan Tasikmalaya. 
> 
> Beliau melihat tiga musuh besar bagi umat beragama dalam kerangka 
membina kerukunan yang langgeng dan lestari. Dan ini sangat 
berkaitan dengan kemanusiaan seluruhnya, tidak murni keagamaan. 
Musuh pertama adalah semangat euforisme yang terluka. Dari keyakinan 
bahwa agamaku yang paling benar dan terbaik (ini baik), secara tak 
sadar hendak dicapai ialah agar agamaku harus memiliki akses 
terbesar kepada kekuasaan dan peranan penentu dalam masyarakat. 
Karena itu, segala usaha akan dikerahkan untuk mengkatrol orang-
orangnya memasuki posisi dan peranan penentu dalam masyrakat. 
Tetapi, karena motifnya adalah kekuasaan, maka tersedia baginya 
kegagalan dan frustrasi. 
> 
> Musuh kedua dari kelompok agama ialah semangat membentengi diri 
dan melindungi kelompoknya dari kemungkinan infiltrasi luar. Sangat 
kuat diusahakan agar jangan ada penganut agama lain menjadi 
tetanggaku. Janganlah rumah ibadat orang lain dibangun dekat 
kediamanku. Semuanya ini hanya menunggu saat untuk digusur oleh 
waktu dan masa. Komunikasi kita telah membawa globalisasi yang 
sangat deras sehingga bukan saja manusia sekampung menjadi pergaulan 
hidup kita, bahkan orang di bulan atau perang di Bosnia dihadirkan 
secara nyata di hadapan kita lewat TV, radio, surat kabar. Mobilitas 
penduduk telah dipacu sehingga kita tidak tahu siapa besok yang akan 
menjadi tetangga kita. 
> 
> Musuh ketiga ialah yang mungkin dapat disebut industrialisme dan 
hedonisme sebagai buah-hasil dari pengembangan pembangunan teknologi 
dan industrialisasi. Sengaja dipakai kata "isme" untuk memberi 
distingsi bahwa dalam dirinya sasaran itu baik. Kesalahan dan yang 
membuatnya "evil" ialah semangat pencapaiannya. Dahulu peranan 
pemuka agama mendekati peranan "dewa". Sekarang, peranan itu 
hanyalah salah satu dari sekian banyak pusat minat manusia. 
Perhatian terbanyak diberikan pada hal-hal materi dan serba 
menyenangkan. Mengatasi masalah ini dan mengupayakan "renaisans" 
agama dalam dunia industri modern, diharapkan bahwa kelompok umat 
beragama tidak lagi bertengkar antar mereka sendiri mengenai hal-hal 
yang mungkin tidak relevan lagi. Seyogyanya, mereka saling 
menghampiri dan saling belajar serta saling bekerja sama menemukan 
cara-cara penghayatan dan pengamalan kaidah agama terbaru. 
> 
> Sikap Kita
> Anggota tarekat Capusin ini mengajak kita untuk pertama-tama 
menerima musibah ini dengan jiwa besar, bahkan dengan rasa syukur. 
Lewat peristiwa-peristiwa seperti ini, bukan hanya terasa tetapi 
terbukti bahwa iman kita semakin murni dan kuat. Dalam keadaan 
seperti itu, kita semakin terpanggil untuk mendoakan, bersambung 
rasa dengan saudara-saudara kita yang kena musibah. Adalah panggilan 
kita untuk mendoakan mereka, juga yang mungkin secara tak sadar 
telah berbuat kesalahan, padahal disangkanya berbuat keutamaan. 
> 
> Selanjutnya, marilah kita mengamalkan anjuran para pemimpin agama 
kita lewat Surat Gembala Natal bersama. Kita dihimbau untuk 
bersikukuh dalam Yesus sebagai Raja Cinta dan Raja Damai. Cinta 
sejati seperti ditunjukkan oleh Tuhan Yesus tidak berhenti berbuat 
baik kepada semua orang, kendati Dia telah menjadi objek penyesahan 
dan penyaliban: "Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang 
diperbuatnya." Dan Kristus adalah Raja Damai, Penasihat Agung dan 
Emanuel, Allah beserta kita. Kita kuat di dalam Dia yang menguatkan 
kita. Dalam hal inilah, kita diingatkan oleh para uskup Indonesia 
dalam Surat Gembala 1992, Persaudaraan Sejati. Kita memandang sesama 
warganegara bahkan semua umat manusia sebagai saudara sejati, yang 
membutuhkan cinta kasih dan asuh-asih kita. 
> 
> Berbicara dari dalam...
> Sementara itu, Uskup Bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja dalam 
Surat Gembalanya, yang dibacakan di semua Gereja Katolik dalam 
Keuskupan Bandung menyatakan rasa prihatinnya atas peristiwa yang 
terjadi di Tasikmalaya dan mengungkap rasa sepenanggungannya dengan 
umat Katolik di Tasikmalaya. Selanjutnya ia menggarisbawahi kembali 
apa yang telah dikatakannya dalam buku Panduan Umat Katolik 
Keuskupan Bandung. "Pertama-tama kita sadar bahwa kita adalaaah 
warga masyarakat Jawa Barat". Konsekwensi dari kenyataaan ini, 
demikian uskup, kita tidak hanya bangga atas segala yang baik dan 
indah. Kita pun perlu sadar akan kekurangan, bahkan penyakit gawat 
yang menghinggapi bangsa kita. Uskup menyebut dua hal yang merupakan 
penyakit gawat yang dihadapi bangsa kita dewasa ini, yaitu: makin 
lebarnya 'gap' antara kaya dan miskin dan soal ketidakpastian 
hukum "Perlulah sekarang ini kita menerobos suatu yang mungkin 
sekali kita belum biasa. Karena kebiasaan kita umumnya hanya 
berbicara dari luar. Perlu bicara dari dalam. Maksudnya perlu 
terlibat di dalamnya. Kita perlu terlibat didalam bangsa ini secara 
nyata, termasuk dengan segala kekurangan bahkan dengan penyakitnya 
pula. Kita bicara dari dalam, kita menyembuhkannya dari dalam: kita 
ingin memikul dan menanggung penyakit bangsa kita. Ini sebenarnya 
prinsip inkarnasi, yang intinya kita rayakan baru-baru saja, 
kelahiran, kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus," tandas Uskup. 
> 
> Kini, sembari menatap puing-puing kehancuran, beranikah kita untuk 
menyatakan terima kasih kita kepada Yesus karena kita boleh ikut 
memanggul salib bersama Dia? 
> 
> 
> 
>   ----- Original Message ----- 
>   From: Mhoel 
>   To: ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx 
>   Sent: Wednesday, September 27, 2006 8:12 PM
>   Subject: Re: [ppiindia] Tibo dkk : Eksekusi Kami Didepan Umum!!
> 
> 
> 
>   Silahkan anda baca laporan komplit plit di bawah, sebagai 
jawaban atas
>   pertanyaan sederhana anda.
>   Berikut kronologis awalnya.
> 
>   Komposisi penduduk KABUPATEN POSO juga ada di bawah, lebih 
detail dari DATA
>   DEPAG or Tempo yang anda sodorkan.
> 
>   Dari Tabel di bawah diperoleh KOMPOSISI JML PENDUDUK KABUPATEN 
POSO sebagai
>   berikut :
>   Muslim= 49.25%,
>   Kristen = 50.75%,
>   beragama lainnya = 0.45%
> 
>   Soal janin yg dibelah, barangkali anda mencampuradukan kerusuhan 
Poso dengan
>   kerusuhan Sampit... Dayak versus Madura....
> 
>   Selamat membaca....
> 
>   Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik 
Sosial di Poso,
>   Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 
2000, h. 92
> 
>   http://ristek.tripod.com/rubrik/dep_2/poso_1.htm#tabel_1
> 
>   SERIAL KONFLIK SOSIAL DI POSO:
>   LUBANG MENUJU DISINTEGRASI BANGSA?
> 
>   I. PENDAHULUAN
> 
>   Kabupaten Poso mencakup wilayah dari arah tenggara ke barat daya 
dan melebar
>   dari arah barat ke timur dan sebagian besar berada di daratan 
seluas
>   29.923,88 km2 atau 43,98% dari luas daratan Provinsi Sulawesi 
Tengah.
>   Wilayah lainnya mencakup laut dan sebanyak kurang lebih 81 pulau 
yang sudah
>   bernama, 40 pulau di antaranya berpenghuni. Tidak heran bila 
dibadingkan
>   dengan luas kabupaten lainnya di Sulawesi Tengah, Poso mempunyai 
kawasan
>   paling luas.
> 
>   Alam yang menghampar di kota Poso-240 km arah timur dari kota 
Palu (ibukota
>   Provinsi Sulawesi Tengah) niscaya merupakan salah satu dari yang 
terindah di
>   sepanjang garis katulistiwa di Indonesia. Di kota ini terdapat 
danau di
>   Tentena yang memukau, Kepulauan Togean yang fantastik dan Teluk 
Tomini yang
>   merupakan kawasan spesifik dalam gugusan garis edar matahari. 
Kekayaan
>   sumberdaya alam Poso baik di dalam laut di kawasan Teluk Tomini, 
Sungai dan
>   Danau Poso maupun kesuburan lahan serta hasil hutan dan 
tambangnya sungguh
>   tidak ternilai. Salah satu dari kekayaan hasil hutan yang sangat 
dibanggakan
>   dan penghasil terbesar di Indonesia adalah kayu hitam (ebony), 
selain kayu
>   besi, kayu agathis, meranti, damar dan rotan.
> 
>   Lambang daerah Kabupaten Poso menggambarkan sebuah rumah yang 
disinari oleh
>   bintang (semangat keagamaan yang tinggi) dan dikelilingi oleh 
padi dan kapas
>   (lambang kemakmuran) di atas daratan yang bergelombang, lautan 
yang tenang
>   dan pegunungan yang damai. Di bawah lambang ini tertulis sintuwu 
maroso
>   (artinya: persatuan yang kuat). Di dalam kehidupan sehari-hari, 
semangat
>   yang ingin ditampilkan dalam lambang itu dirasakan kurang 
lebihnya sesuai
>   dengan realitas kehidupan masyarakat Poso ketika itu dalam waktu 
yang lama.
>   Ini berlangsung hingga tibanya era reformasi. Malang tak dapat 
ditolak,
>   untung tak dapat diraih. Kerusuhan yang melanda berbagai wilayah 
bumi
>   Nusantara tampaknya tak luput pula menghampiri Poso.
> 
>   Kerusuhan dan konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Poso 
diduga lebih
>   bernuansa suku dan agama. Selain itu, suasana politik setempat 
saat itu
>   sangat mempengaruhi polarisasi antar kelompok yang bermuara pada 
kepentingan
>   para elit politik setempat selain peranan militer. Lambannya 
penanganan oleh
>   aparat memungkinkan konflik yang sebenarnya bisa diredam lebih 
dini menjadi
>   berkembang semakin luas. Implikasinya adalah hilangnya jiwa dan 
harta benda
>   dalam jumlah besar.
> 
>   Kerusuhan sosial di Poso terjadi secara berkesinambungan. 
Kerusuhan pertama
>   (pengamat, peneliti, pers dan masyarakat setempat populer 
menyebutnya dengan
>   Jilid I) berlangsung 24 Desember 1998, kerusuhan sosial kedua 
(Jilid II)
>   berlangsung pada 16 April 2000, dan kerusuhan ketiga (Jilid III) 
terjadi
>   hanya selang sebulan kemudian, yaitu pada 16 Mei 2000.
> 
>   II. KEANEKARAGAMAN: BERKAH ATAU ANCAMAN?
> 
>   Kabupaten Poso mempunyai penduduk yang sangat beragam. Beberapa 
suku asli
>   mendiami kawasan ini, antara lain suku Pamona, Lore, Mori, 
Bungku dan
>   Tojo/Una-una. Suku-suku pendatang dalam jumlah yang besar 
berasal dari
>   Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar dan Toraja) dan Sulawesi Utara 
(Gorontalo
>   dan Minahasa), di samping puluhan ribu pendatang yang secara 
terencana
>   didatangkan Pemerintah melalui program transmigrasi dari Jawa, 
Bali dan Nusa
>   Tenggara.
> 
>   Suku asli Pamona merupakan penduduk mayoritas di Kecamatan 
Pamona Utara,
>   Kecamatan Pamona Selatan dan Kecamatan Lage. Suku Lore adalah 
suku mayoritas
>   di Kecamatan Lembo dan Kecamatan Mori Atas. Suku Ampana 
merupakan suku
>   mayoritas di Kecamatan Ampana Kota, Kecamatan Ampana Tete dan 
Una-una. Suku
>   Tojo merupakan suku mayoritas di Kecamatan Tojo. Suku Tojo dan 
Ampana banyak
>   juga yang tinggal di Kecamatan Ulubongka. Di Kecamatan Poso Kota 
dan
>   Kecamatan Poso Pesisir komposisi penduduk atas dasar suku jauh 
lebih
>   beragam, baik penduduk asli maupun pendatang dari luar kabupaten 
dan
>   provinsi.
> 
>   Di kalangan suku-suku asli, orang Pamona, Lore dan Mori dikenal 
sebagai
>   penganut agama Kristen (umumnya Protestan). Sementara orang 
Ampana dan
>   Tojo/Una-una dikenal sebagai penganut Islam. Kaum pendatang 
Bugis/Makassar
>   dan Gorontalo dan transmigran dari Jawa dan sebagian Nusa 
Tenggara adalah
>   penganut Islam. Sementara penganut Kristen di kalangan pendatang 
berasal
>   dari Toraja dan Minahasa, dan di kalangan transmigran berasal 
dari sebagian
>   Nusa Tenggara dan Jawa. Orang-orang Bali di manapun adalah 
penganut Hindu,
>   demikian pula di Poso. Komposisi penduduk menurut kecamatan 
selengkapnya
>   dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran).
> 
>   Perbedaan-perbedaan ini selama kurun waktu yang lama tidak 
mempunyai masalah
>   apapun. Dalam suasana seperti ini, persaingan antar etnik atau 
antar agama
>   dapat dikatakan hampir tidak ada. Penduduk asli dan pendatang 
hidup
>   berdampingan secara damai hingga kurang lebih tahun 1990an.
> 
>   III. KRONOLOGI KONFLIK
> 
>   1. Konflik Sosial Jilid I
> 
>   Kerusuhan pertama (populer dengan sebutan Jilid I) bermula pada 
24 Desember
>   1998. Secara harfiah, kerusuhan dipicu oleh pembacokan Ahmad 
Ridwan oleh Roy
>   Runtu Bisalembah, seorang pemuda Kristen di kampung Lambogia.
> 
>   Namun, jauh sebelum peristiwa ini terjadi, ada beberapa fakta 
yang perlu
>   diungkap karena merupakan bibit-bibit permusuhan antara pihak-
pihak yang
>   bertikai. Pada tahun 1992, masyarakat muslim resah karena salah 
seorang
>   penginjil, Rusli Labolo (semula beragama Islam, kemudian masuk 
Kristen dan
>   menjadi pendeta) menghujat Muhammad s.a.w., nabinya orang Islam. 
Pada 15
>   Februari 1995, sekelompok pemuda Kristen di Madale yang telah 
dilatih
>   beladiri selama 4-6 bulan melempari masjid dan madrasah di 
Tegalrejo.
>   Sebagai akibatnya, sebanyak lebih kurang 3000an pemuda Islam 
dari Tegalrejo
>   dan Lawanga melakukan pembalasan dengan merusak 3 rumah di 
Madale.
> 
>   Pada 24 Desember 1998 sekelompok pemuda Kristen Lambogia yang 
mabuk
>   mendatangi kelompok muslim di masjid Pondok Pesantren Darussalam 
di
>   Kelurahan Sayo. Seorang jemaah, Ahmad Ridwan (21 tahun) yang 
sedang tidur di
>   masjid, dibacok lengannya oleh Roy Runtu Bisalembah. Sebagai 
akibatnya,
>   warga Poso menjadi tegang. Masalahnya, suasana keagamaan pada 
saat itu
>   justru membutuhkan ketenangan. Di satu pihak, umat muslim sedang 
puasa di
>   bulan Ramadhan, di lain pihak umat Kristiani sedang menjelang 
Natal.
> 
>   Pada 25 Desember 1998, seusai sembahyang Jum'at massa Islam yang 
marah
>   karena peristiwa pembacokan ini melakukan aksi pelemparan Toko 
Lima yang
>   diduga sebagai tempat persembuyian pelaku pembacokan. Massa 
kemudian
>   bergerak untuk merampas minuman keras dan menghancurkan tempat-
tempat
>   hiburan seperti bilyar, panti pijat, toko minuman keras dan 
hotel, yang
>   dipandang mengganggu suasana ibadah bulan Ramadhan.
> 
>   Pada 26 Desember 1998, suasana semakin mencekam dan memanas. 
Pada hari ini
>   terjadi tawuran massal yang berlangsung hingga esok harinya.
> 
>   Pada 27 Desember 1998 diadakan pertemuan antara para pemuka 
agama dan tokoh
>   masyarakat yang bersangkutan untuk mendamaikan kedua kelompok 
massa yang
>   bertikai. Namun pada hari yang sama, massa Kristen pimpinan 
Herman Parimo
>   memasuki kota Poso yang menyulut pertikaian sehingga berkobar 
lagi. Sebanyak
>   81 buah rumah -sebagian besar milik orang Islam dibakar.
> 
>   Pada 28 Desember 1998 pasukan Kelompok Merah pimpinan Herman 
Parimo kembali
>   memasuki Poso dan berhasil melewati blokade aparat kepolisian. 
Masyarakat
>   Kelompok Putih Poso, terutama warga Bonesompe, Kaimanya dan 
Lawanga dan dari
>   Parigi dengan ribuan massa, sebagian di antaranya dengan 
menumpang 27 mobil
>   truk, pick-up dan perahu motor, berhasil menghalau pasukan 
Kelompok Merah
>   dari Poso.
> 
>   Pada 29 Desember 1998 situasi Poso berangsur-angsur aman, 
meskipun di setiap
>   kelurahan tetap dilakukan penjagaan oleh aparat keamanan dan 
masyarakat
>   setempat. Di beberapa lokasi pembakaran, api masih terlihat 
menyala.
> 
>   Pada 30 Desember 1998 aktivitas perekonomian Poso mulai 
menggeliat yang
>   ditandai dengan semakin ramainya Pasar Sentral Poso dengan 
pedagang dan
>   angkutan kota. Sebagian warga Poso, meskipun demikian, masih 
tinggal di
>   pengungsian, di Tentena, Parigi dan Ampana. Konon, dikemudian 
hari, Herman
>   Parimo ditangkap di Makassar ketika berupaya menemui Pangdam 
untuk
>   mendapatkan jaminan atas penyerahan dirinya. Setelah melalui 
proses hukum,
>   Herman Parimo divonis 14 tahun penjara dan diisukan meninggal.
> 
>   Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid I Lihat: Tabel 2 Lampiran.
> 
>   2. Konflik Sosial Jilid II
> 
>   Jauh sebelum terjadi konflik, proses penjaringan bakal calon 
Bupati Poso
>   dimulai. Hingga Maret 1999, sejumlah nama masuk dalam nominasi 
seperti Akram
>   Kamaludin, Abdul Malik Syahadat, Abdul Muin Pusadan, Damsyik 
Ladjalani,
>   Ismail Kasim. Sementara proses ini berlangsung, terjadi 
pertemuan antara
>   Yahya Patiro-seorang tokoh Kelompok Merah yang diisukan sebagai 
salah satu
>   penggerak kerusuhan pertama-dan 50 orang remaja masjid Poso. 
Usai pertemuan,
>   segerombolan pemuda dengan menggunakan truk mencari Yahya Patiro 
dan
>   memporakporandakan Hotel Wisata Poso-tempat berlangsungnya 
pertemuan. Tokoh
>   yang dicari sudah meloloskan diri.
> 
>   Pada April 1999, dilakukan penentuan Bupati Poso. Salah seorang 
figur
>   terkuat, Abdul Malik Syahadat terlempar dari pencalonan karena 
tidak ada
>   fraksi yang mencalonkan. Pada minggu kedua Mei 1999 muncul Abdul 
Muin
>   Pusadan (konon didukung Gubernur Sulsel) dan Eddy Bungkundapu 
(konon
>   didukung Baramuli) sebagai calon-calon unggulan. Namun salah 
seorang anggota
>   DPRD Provinsi Sulteng, Chaelani Umar (FPP) mengatakan, jika 
aspirasi yang
>   menghendaki Damsyik Ladjalani menjadi Sekwilda Poso diabaikan, 
Poso yang
>   pernah diguncang kerusuhan bernuansa etnis-agama akan rusuh lagi.
> 
>   Malamnya, terjadi insiden antara dua pemuda Lambogia dan pihak 
lain di
>   terminal Poso. Ini memicu warga asal Lawanga mendatangi warga 
Lambogia di
>   depan gereja Pniel menginformasikan akan ada massa dari 
Kalamanya dan
>   Lawanga. Massa langsung melempari rumah-rumah penduduk Kristen 
di sekitar
>   gereja. Setelah sempat dikendalikan aparat keamanan, pada 
keesokan harinya
>   massa datang ke Lambogia lagi meskipun tidak terjadi insiden 
apapun.
> 
>   Juni 1999, Arief Patanga diberhentikan Gubernur Sulsel dari 
jabatannya
>   sebagai bupati dan digantikan Haryono, seorang dari kalangan 
militer,
>   sebagai caretaker, untuk mempersiapkan pemilihan Bupati Poso yang
>   dilaksanakan 30 Oktober 1999. Pemilihan yang demokratis 
menghasilkan Abdul
>   Muin Pusadan (16 suara) terpilih sebagai Bupati yang baru, 
sementara Mashud
>   Kasim memperoleh 13 suara dan Eddy Bungkundapu 10 suara.
> 
>   Pada 16 April 2000 sebanyak 25 massa Islam dengan menggunakan 
truk menuju
>   tengah kota dan menumpahkan minuman keras (yang dirampas dari 
salah satu
>   rumah di dekat Gereja Sidang Jemaat Allah) ke jalan sambil 
berteriak-teriak.
>   Malam harinya, terjadi pemusatan massa Islam dan terjadi 
pembakaran
>   rumah-rumah penduduk Kristen (di Kelurahan Pantoan), kios 
(setelah isinya
>   dijarah) di Kelurahan Pangajouw Lumenta. Massa Kristen akhirnya 
terpancing
>   untuk melakukan pembalasan. Terjadi bentrokan antar kedua massa 
yang
>   berlangsung hinggi esok hari.
> 
>   Kerusuhan ini berlangsung lagi esok harinya, 17 April 2000. 
Dalam massa
>   Kristen terdapat beberapa orang dengan memakai seragam ala Ninja 
sambil
>   menantang dengan parang ke arah massa Islam di perempatan 
terminal Poso.
>   Massa Islam terpancing dan berusaha menyerang. Kedua kelompok 
saling serang.
>   Upaya peredaan situasi kota Poso dan pencegahan keterlibatan 
massa dari luar
>   Poso dilakukan. Namun pada siang hari, massa Islam mulai 
menjarah, membakar
>   rumah penduduk Kristen dan Gereja Pniel, Gedung Serba Guna 
Jemaat Pniel,
>   Pastori Jemaat Pniel Poso, Bengkel Honda dan pertokoan di 
sekitar perempatan
>   Tentena. Brimob kewalahan mengendalikan massa. Mereka menembak 2 
orang dari
>   massa Islam hingga tewas. Setelah penguburan, massa Islam menuju 
ke Lambogia
>   dan membakar rumah hunian sebanyak 127 rumah, 2 gereja, gedung 
SD, SMP, SMU
>   Kristen, Gedung Bayangkari dan sebagian asrama Polres. 
Pengungsian terjadi
>   secara besar-besaran penduduk Kristen Poso ke arah Madale, 
Kampompa, Lage,
>   Pamona Utara, Bukit Bambu, wilayah Poso Pesisir dan sebagainya. 
Sore hari
>   aksi brutal ini berhenti. Terjadi hujan lebat.
> 
>   Esok harinya, 18 April 2000 terjadi aksi pembakaran rumah 
penduduk di
>   wilayah Kelurahan Lambogia dan Kasintuvu termasuk Gereja Advent 
Kasintuvu
>   dan pelemparan dan perusakan gereja di Jl. Gatot Subroto. 
Gubernur Sulsel
>   berupaya untuk meredakan pihak-pihak yang betikai dengan 
mengunjungi para
>   pengungsi. Ini diikuti dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat 
setempat.
> 
>   Pada 19 April 2000 ditemukan mayat seorang muslim di Lambogia di 
puing-puing
>   rumah keluarga Kristen. Massa Islam kembali marah dan berlanjut 
dengan
>   pembakaran sisa-sisa rumah penduduk warga Kristen di Lambogia 
dan Kelurahan
>   Kasintivu dan gereja Pantekosta dan gereja di Jalan Sam 
Ratulangi. Pada
>   tengah hari, terjadi pembunuhan 2 orang Kristen, satu di depan 
bengkel Honda
>   dan satu lagi di perempatan Tentena. Polisi berhasil memukul 
mundur massa
>   Islam yang beringas hingga ke masjid Darussalam. Selesai solat 
Bupati Abdul
>   Muin Pusadan berusaha menenangkan massa dan menghimbau 
dihentikannya
>   pertikaian. Bahkan seorang ulama kharismatik, H. Amin Lasawedi, 
ternyata
>   masih dianggap sebagai tokoh baik oleh ummat Islam maupun 
Kristen dan
>   memohon sang ulama untuk mendo'akan agar Poso kembali aman 
seperti semula.
> 
>   Namun, 20 April 2000 sebagian massa Islam masih melakukan 
pemburuan warga
>   Lambogia dan perusakan rumah penduduk dan gereja di Bukit Bambu. 
Esok
>   harinya, Pangdam Wirabuana tiba di Poso dan melakukan pembersihan
>   palang-palang dan pos-pos di beberapa desa yang dibuat massa 
Islam. Situasi
>   keamanan dapat dikendalikan hingga dilaksanakannya pertemuan-
pertemuan antar
>   berbagai kelompok, tokoh masyarakat maupun pemerintahan, lembaga-
lembaga
>   keagamaan terkait di satu pihak dan aparat keamanan di lain 
pihak.
> 
>   Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid II lihat: Tabel 3 Lampiran.
> 
>   3. Konflik Sosial Jilid III
> 
>   Dua minggu setelah aksi damai dilakukan, pada bulan Mei 2000 
masyarakat Poso
>   dikejutkan dengan beredarnya isu akan adanya penyerangan balik 
dari Tentena
>   yang merupakan basis Kelompok Merah (Kristen). Arus pengungsi 
masyarakat
>   Kristen di Poso menuju Tentena, Lembah Napu, Palu dan Manado 
dari hari
>   semakin deras.
> 
>   Hasil investigasi seorang wartawan selama 9 hari atas kebenaran 
isu
>   menunjukkan bahwa ternyata terdapat tanda-tanda pengerahan massa 
Kristen di
>   Bungku Barat, Beteleme, Kolonedale, Tentena, Kelei, Betue, 
Sanginora dan
>   Poso Pesisir. Laporan bahkan menyatakan di desa Kelei terdapat 
pelatihan
>   bela diri pasukan Merah dan di Sanginora terdapat penggalian 
lubang-lubang
>   besar sebanyak tiga buah dengan menggunakan alat-alat berat 
milik seorang
>   pengusaha Poso.
> 
>   Pada 16 Mei 2000 pecahlah Kerusuhan Sosial Jilid III. Ini 
dtandai dengan
>   terbunuhnya seorang warga muslim di Taripa dan rencana 
pembunuhan terrhadap
>   seorang petugas penyuluhan Kecamatan Pamona Utara beserta 
keluarganya dan
>   terhadap pemilik warung surabaya di Taripa pada 18 Mei 2000. 
Pada 19 Mei
>   2000 massa Kelompok Merah (Kristen) mulai melakukan
>   penghadangan-penghadangan terhadap kendaraan umum yang lewat 
gereja di
>   Taripa. Aparat keamanan berhasil menggagalkan kegiatan ini. 
Pengungsian
>   warga Kristen semakin gencar, antara 15 dan 20 truk setiap 
harinya dari kota
>   Poso menuju pusat-pusat konsentrasi Kelompok Merah.
> 
>   Pada 20 Mei 2000, seorang penyusup yang mengikuti latihan bela 
diri di desa
>   Kelei berhasil lolos dan menyebarkan informasi di terminal bus 
kota Poso
>   akan adanya penyerangan Kelompok Merah dari arah Tentena. 
Informasi ini
>   dengan segera menyebar dan meluas di kalangan masyarakat yang 
menimbulkan
>   keresahan dan kecemasan. Masyarakat mulai menghubungkan akan 
adanya
>   pengungsian besar-besaran di satu pihak dan adanya rencana 
penyerangan
>   Kelompok Merah di lain pihak. Masyarakat Islam di Sintuvulembah, 
Pondok
>   Pesantren Walisongo, Tagolu, Sepe, Silanca dan Toyado mulai 
diintimidasi
>   oleh oknum-oknum masyarakat Kelompok Merah.
> 
>   Pada 23 Mei 2000 malam, Kapolres Poso melakukan pertemuan dengan 
semua
>   komponen masyarakat dan pemerintah daerah. Tiba-tiba diketahui 
informasi
>   bahwa pemuda Islam di Kalamanya sudah turun ke jalan karena 
malam itu akan
>   ada penyerangan Kelompok Merah. Peserta rapat berusaha 
mengkonfirmasikan
>   informasi ini kepada Tripika (Camat, Koramil, Kapolsek) di 
Pamona Utara.
>   Jawabannya, tidak benar ada pemusatan massa di Tentena dan tidak 
benar akan
>   ada penyerangan dari arah Tentena. Berdasarkan informasi ini, 
Kapolres
>   meminta Pemda membuat pengumuman kepada masyarakat. Mobil 
penerangan yang
>   berkeliling ke seluruh penjuru kota pada malam itu 
menginformasikan tidak
>   benarnya rencana penyerangan terhadap kota Poso. Masyarakat kota 
Poso
>   percaya informasi itu karena Pemda sendiri yang mengumumkan. 
Masyarakat
>   kembali tenang.
> 
>   Namun pada 24 Mei 2000 dinihari muncul pasukan penyerang 
sebanyak 12 orang
>   dengan seragam ala Ninja dari depan Pasar Sentral menuju 
Kelurahan
>   Kalamanya. Pasukan ini kemudian dikenal sebagai Pasukan 
Kelelawar atau
>   Pejuang Pemulihan Keamanan Poso di bawah pimpinan Fabianus Tibo 
(55 tahun)
>   melewati 7 pos penjagaan siskamling (sistem keamanan 
lingkungan). Tidak
>   satupun petugas ronda yang dilukai, karena pasukan ini mencari 
para
>   provokator pada kerusuhan Jilid II. Salah seorang polisi yang 
berusaha
>   menghentikan laju pasukan Ninja langsung ditebas. Demikian pula 
dua warga
>   dewasa muslim lainnya menemui ajalnya karena ditebas secara 
biadab. Pada
>   saat itu, massa Islam mulai berkumpul sehingga Pasukan Kelelawar 
melarikan
>   diri menuju sekolah Katholik. Pimpinan pasukan diminta 
menyerahkan diri,
>   namun aparat kepolisian tidak langsung menangkap Tibo cs, 
sehingga mereka
>   kabur. Tiga (3) anggota pasukan -semuanya berasal dari suku 
Flores,
>   transmigran asal desa Kamba--berhasil ditangkap. Massa Islam 
yang marah
>   langsung mengamuk dan membakar komplek sekolah dan rumah ibadah 
di sekitar
>   komplek.
> 
>   Pada 25 Mei 2000 bantuan massa Islam dari Ampana Kota 
berkekuatan 7 truk
>   menuju Poso. Pada saat memasuki Toyado, Kecamatan Tojo pasukan 
ini bentrok
>   dengan massa Kristen dari Silanca, Sepe, Tagolu, Batugencu dan 
Toyado yang
>   memang siap melakukan penghadangan-penghadangan. Kelompok Putih 
dipukul
>   mundur. Desa Toyado kemudian dibakar oleh Kelompok Merah dengan 
meninggalkan
>   sebuah masjid. Dua (2) orang tewas dan 16 orang luka-luka dari 
Kelompok
>   Putih. Kelompok Putih dari Parigi berusaha membantu memulihkan 
keamanan dan
>   menawarkan kemungkinan pemindahan ibukota ke Parigi untuk 
sementara. Pemda
>   Poso menolak tawaran ini dan menyatakan masih sanggup memulihkan 
keamanan
>   dan melindungi kaum muslimin Poso. Pada hari yang sama, di desa
>   Sintivulembah, Tagolu mulai terjadi penculikan dan pembunuhan 
masyarakat
>   minoritas muslim.
> 
>   Pada 26 Mei 2000, pasukan Kelompok Merah dari arah Sanginora 
mencoba
>   memasuki Poso dari arah barat (Poso Pesisir). Pasukan Merah 
minta agar
>   pos-pos penjagaan dikosongkan karena mereka akan lewat secara 
damai. Rapat
>   Tripika menyetujui permintaan ini. Kediaman Bupati sendiri, 
karena kondisi
>   keamanan yang semakin gawat dipindahkan ke Kodim Poso. Sementara 
itu di
>   desa-desa Toyado dan Tongko pembakaran rumah-rumah muslim oleh 
pasukan
>   Kelompok Merah dari Tagolu masih berlangsung.
> 
>   Pada 27 Mei 2000 terjadilah bentrokan besar secara frontal 
antara pasukan
>   Merah dari Sanginora yang melintasi Poso Pesisir. Pasukan Merah 
telah
>   melanggar perjanjian dengan Tripika setempat karena melakukan 
penyerangan
>   lebih dulu di Mapane yang dilanjutkan dengan pembakaran tiga (3) 
rumah
>   penduduk muslim. Pasukan Merah gagal memasuki kota Poso karena 
dipukul
>   mundur Pasukan Putih. Mereka melampiaskan kemarahannya dengan 
membakar
>   rumah-rumah penduduk muslim di sepanjang poros jalan Trans 
Sulawesi.
> 
>   Pada 28 Mei 2000 sejumlah pengungsi Poso Pesisir yang datang ke 
Pondok
>   Pesantren Al Chairat sangat marah mendengar penuturan tentang 
ulah Kelompok
>   Merah yang membakar seluruh rumah di desa-desa Tabalu, Bega, 
Tiwaa,
>   Tambarana, Kasiguncu, Mapane. Siangnya, pengurus Pondok 
Pesantren (Ponpes)
>   Walisongo mempertanyakan kepada Pasukan Merah di Tagolu, mengapa 
mereka
>   diteror dan tidak diizinkan aparat untuk mengungsi ke Kompi 711 
Kawua. Massa
>   Islam yang akan mengungsi dicegah Camat dan Kapolsek Lage. 
Pimpinan Pasukan
>   Merah, Tibo, mengizinkan mereka mengungsi. Namun tak lama 
kemudian Pasukan
>   Merah menyerang desa Sintivulembah, menyandera kaum perempuan 
dan anak-anak,
>   dan mulai melakukan pembantaian terhadap kaum pria muslim. 
Demikian pula di
>   Ponpes Walisongo, sebanyak 70 orang pengurus dan santrinya 
dibantai di dalam
>   masjid oleh Kelompok Merah. Wanita dan anak-anak yang belum 
sempat
>   menyingkir mengalami perkosaan dan pelecehan seksual. Di 
beberapa tempat di
>   poros jalan Poso-Pendolo Mangkutana terjadi penghadangan dan 
penyanderaan
>   warga muslim yang menggunakan kendaraan pribadi dan umum. Atas 
peristiwa
>   yang mengerikan dan menggegerkan ini, sebanyak 12 organisasi 
muslim mengutuk
>   tindakan Pasukan Merah, meminta aparat keamanan untuk menindak 
para perusuh
>   dan meminta bantuan Pangdam Wirabuana untuk segera mengirim 
pasukan ke Poso.
> 
>   Pada 29 Mei 2000 terjadi pertempuran yang sengit di Tokorondo 
antara Pasukan
>   Merah dan Pasukan Putih dari Parigi dan Ponpes Al Chairat Palu. 
Sebanyak dua
>   (2) orang muslim tewas. Pertempuran masih berlangsung hingga 30 
Mei 2000 di
>   Poso Pesisir. Berdasarkan saksi-saksi mata, Pasukan Merah 
menggunakan
>   senjata organik M-16 dan Thomson, 2 buah helikopter warna putih 
yang
>   menembaki Pasukan Putih dari pesawat. Pada hari ini pula kota 
Poso dikepung
>   dari empat penjuru, yaitu Tegalrejo, Sayo, Kayamanya dan kawasan 
BTN/PDAM.
>   Kota Poso sangat mencekam. Terjadi eksodus besar-besaran warga 
Poso ke
>   Ampana Kota, Kepulauan Togean, Parigi dan Gorontalo lewat laut 
dengan
>   menggunakan perahu Katinting, kapal barang dan kapal 
tradisional. Konon,
>   bala bantuan Brimob dari Makassar tertahan di Tentena.
> 
>   Pada 31 Mei 2000 kota Poso semakin mencemaskan karena diserbu 
sebanyak
>   7.000 - 8.000 orang Pasukan Merah. Massa Kelompok Putih yang 
masih tersisa
>   sekitar 100 orang bersama pasukan dari Kodim dan Polres mencoba 
melawan.
> 
>   Pada 1 Juni 2000, ditemukan sebanyak 28 mayat tanpa kepala dan 
tanpa kaki
>   yang sudah membusuk di dalam masjid di Tagolu desa Sintuvulembah.
>   Pertempuran masih terjadi di Kalora. Permukiman penduduk muslim 
dibakar
>   hingga penghuninya mengungsi ke Parigi. Kelompok Merah seolah-
olah sudah
>   hampir menaklukkan kota Poso. Aparat mulai menerapkan siaga 
tertinggi dengan
>   perintah tembak di tempat terhadap pelaku kerusuhan.
> 
>   Pada 2 Juni 2000 Pasukan Merah berkekuatan 9 truk memasuki Poso 
dipimpin
>   tokoh Pejuang Pemulihan Kota Poso, Ir. AL Lateka. Pasukan Putih 
dipimpin
>   Habib Saleh Al Idrus melawan sekuat tenaga. Ketika kedua 
pimpinan pasukan
>   berhadapan, Habib berhasil memukul Lateka dengan rotan pada 
tengkuknya
>   sehingga mati. Ini menyebabkan moral Pasukan Merah jatuh dan 
mundur kembali.
>   Kota Poso kembali dikuasai Pasukan Putih. Penyerangan Pasukan 
Merah sejak
>   peristiwa itu hanya bersifat sporadis, terutama di Kecamatan 
Lage, Desa
>   Toini dan Sayo, Meko, Boe, Toinasa di Pendolo.
> 
>   Upaya-upaya pemulihan keamanan dilakukan oleh Pasukan Brimob 
dari Kelapa Dua
>   Jakarta (menggunakan sandi Operasi Sadar Maleo) dan bantuan 
Pasukan TNI
>   Zipur dan Zeni dari Makassar (menggunakan sandi Operasi Cinta 
Damai). Daerah
>   operasi mencakup seluruh kota dan sekitarnya, seperti Poso, 
Parigi dan
>   Ampana Kota, Tentena, desa Kelei dan Beteleme. Selama 2 bulan 
operasi,
>   Pasukan Merah berhasil dilumpuhkan.
> 
>   Mengenai korban Kerusuhan Poso Jilid III lihat Tabel 4 Lampiran.
> 
>   IV. ANATOMI KONFLIK
> 
>   Konflik sosial yang berkesinambungan di kota Poso dapat 
dianalisis dengan
>   kerangka teori "anatomi 4 faktor". Keempat faktor tersebut 
adalah sebagai
>   berikut:
> 
>   Faktor yang memungkinkan terjadinya konflik (facilitating 
factor), yaitu
>   sentimen atas keberagaman suku dan agama antara penduduk asli di 
satu pihak
>   dan kaum pendatang di lain pihak;
>   Faktor penyebab utama (core of the problem) yaitu 
termarginalisasikannya
>   secara sosial-ekonomi-politik kelompok masyarakat yang merasa 
pentingnya
>   keseimbangan antara kelompok Islam dan Kristen;
>   Faktor yang berfungsi sebagai penyulut konflik sosial (fuse 
factor) yaitu
>   pertarungan elit politik setempat; dan
>   Faktor yang membuat penumpukan kejengkelan (grudges factor), 
yaitu
>   keterlibatan militer dalam konflik sosial antar warga.
> 
>   1. Sentimen atas keberagaman suku dan agama antara penduduk asli 
di satu
>   pihak dan kaum pendatang di lain pihak
> 
>   Sentimen atas dasar suku dan agama antara penduduk asli dan 
pendatang sangat
>   mudah tersulut karena beberapa fakta berikut ini sangat 
dirasakan oleh
>   pihak-pihak terkait, terutama masyarakat Poso: (a) adanya 
pembacokan seorang
>   muslim di dalam masjid oleh seorang Kristen yang menyulut 
Kerusuhan Jilid I;
>   (b) pemusnahan dan pengusiran suku-suku pendatang seperti Bugis, 
Jawa,
>   Gorontalo dan Kaili yang beragama Islam pada waktu Kerusuhan 
Jilid III
>   terjadi; (c) praktek-praktek pemaksaan agama Kristen pada 
masyarakat muslim
>   di daerah-daerah pedalaman, terutama di Tentena, Dusun III Lena, 
Sangira,
>   Toinasa, Boe dan Meko mengindikasikan bahwa upaya-upaya dari 
agama tertentu
>   dilakukan secara sistematis; (d) penyerangan Kelompok Merah 
dengan
>   menggunakan sandi simbol-simbol perjuangan agama Kristiani pada 
Kerusuhan
>   Jilid III; (e) pembakaran rumah-rumah penduduk muslim oleh 
Kelompok Merah
>   pada Kerusuhan Jilid III, sementara pada Kerusuhan Jilid I dan 
Jilid II
>   terjadi pembakaran rumah penduduk baik oleh Kelompok Putih 
maupun Kelompok
>   Merah di kota Poso; (f) terjadinya pembakaran rumah-rumah ibadah 
(gereja dan
>   masjid), sarana pendidikan (milik umat kristiani maupun milik 
pesantren);
>   (g) pembakaran rumah-rumah penduduk asli Poso di Lambogia, Sayo, 
Kasintuvu;
>   (h) pengerahan massa Pasukan Merah yang berasal dari suku 
Flores, Toraja dan
>   Manado/Minahasa; (i) terpecahnya warga Poso menjadi Kelompok 
Putih (ummat
>   Islam) dan Kelompok Merah (ummat Kristen); (j) adanya pelatihan 
milisi di
>   desa Kelei yang telah berlangsung lama sebelum meledaknya 
Kerusuhan Jilid
>   III.
> 
>   2. Termarginalisasikannya secara sosial ekonomi politik kelompok 
masyarakat
>   yang merasa pentingnya keseimbangan antara kelompok Islam dan 
Kristen
> 
>   Banyak orang Pamona, orang Bungku, orang Mori, orang Tojo/Una-
una punya
>   akses luas terhadap pendidikan modern dan leluasa memasuki 
berbagai
>   lembaga -lembaga politik, ekonomi dan pemerintahan. Banyak di 
antara mereka
>   menjadi elit birokrasi pemerintahan, elit politik di Poso maupun 
di Palu.
>   Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang dari Gorontalo, 
Minahasa,
>   Toraja, Bugis, Makassar dan Jawa.
> 
>   Namun, tidak demikian halnya dengan penduduk di daerah-daerah 
perdesaan.
>   Secara kuantitatif, jumlah orang-orang ini jauh lebih banyak 
dibandingkan
>   dengan orang-orang yang diuraikan di atas. Secara ekonomi mereka 
ini
>   tersegregasi ke dalam sektor informal yang tertinggal, tersisih 
dan
>   terkebelakang, baik secara harizontal karena persaingan yang 
dipandang
>   kurang "fair" dengan para pendatang di perkotaan, maupun secara 
vertikal
>   dengan dicaploknya lahan-lahan mereka atas dasar konsesi Hak 
Penguasaan
>   Hutan (HPH), perkebunan besar (seperti kelapa sawit), usaha-
usaha eksplorasi
>   dan pertambangan, program transmigrasi dan penetapan kawasan 
konservasi
>   untuk pelestarian lingkungan. Kelompok masyarakat ini harus 
tertekan dalam
>   masa yang panjang tanpa dapat menyuarakan hati nurani mereka 
karena berbagai
>   tekanan. Menjadi kenyataan yang menyakitkan bahwa orang-orang 
Pamona,
>   Ampana, Bungku, Mori, Lore dan Tojo Una-una sebagai pewaris sah 
tanah
>   leluhur mereka justru hidup dalam kesusahan. Mereka ini sebagian 
besar
>   berlatar belakang pendidikan rendah, dengan pekerjaan pada 
sektor agraris
>   dengan teknologi yang apa adanya, untuk tidak mengatakan tanpa 
mengenal
>   teknologi. Migran dari Gorontalo, Bugis/Makassar, Toraja, dan 
transmigran
>   dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur 
juga mengalami
>   hal yang kurang lebih sama.
> 
>   Sejak 1998an rakyat mulai berani memprotes ketika tanah mereka 
diambil alih
>   untuk proyek-proyek pembangunan. Di Bungku (sejak tahun 2000 
sudah
>   dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali) ribuan petani mengadakan 
perlawanan
>   terhadap perkebunan kelapa sawit PT Tamako Graha Krida karena 
tanah mereka
>   dicaplok untuk perkebunan kelapa sawit. PT Inco, juga di Bungku, 
perusahaan
>   tambang nickel yang saham mayoritasnya dimiliki Inco Ltd. dari 
Kanada
>   menghadapi perlawanan dari penduduk asli di desa Bahumatefe, 
karena lahan
>   mereka diaku sebagai bagian dari areal konsesi PT Inco. 
Perlawanan penduduk
>   asli Bahumatefe juga diikuti oleh perlawanan transmigran dari 
Jawa, Bali dan
>   Lombok, yang menolak rencana pemindahan dari permukiman mereka 
di Desa One
>   Pute Jaya, karena permukiman yang didirikan sejak tahun 1991 itu 
masuk ke
>   dalam areal konsesi PT Inco. Di Kecamatan Lore Utara, orang Katu 
berhasil
>   berjuang memperoleh kembali pengakuan atas wilayah tradisional 
mereka yang
>   diambil alih oleh Pemerintah untuk dijadikan Taman Nasional Lore 
Lindu, di
>   mana selama lebih dari 20 tahun terakhir Pemerintah memaksa untuk
>   memindahkan mereka.
> 
>   3. Pertarungan elit politik setempat yang memperebutkan posisi-
posisi
>   strategis
> 
>   Sejak 1998, pertarungan elit politik setempat kerap 
terpolarisasi ke dalam
>   kutub-kutub berdasarkan sentimen agama. Ini mengindikasikan 
telah terjadinya
>   perebutan jabatan-jabatan strategis di dalam birokrasi 
pemerintahan seperti
>   Bupati dan Sekretaris Wilayah Daerah (Sekwilda), Kepala Dinas, 
Camat, dan
>   sebagainya pada Pemerintah Kabupaten Poso. Mobilisasi dukungan 
rakyat
>   terhadap pencalonan Bupati dan Sekwilda selalu di dasarkan atas 
sentimen
>   agama, baik dari pihak-pihak yang mengatasnamakan ummat Islam 
(Kelompok
>   Putih) maupun ummat Nasrani (Kelompok Merah). Mobilisasi 
dukungan dilakukan
>   berlangsung sangat intensif dari sejak di kota hingga ke desa-
desa dan
>   kampung-kampung.
> 
>   Secara sadar atau tidak, mobilisasi dukungan politik semacam ini 
ikut andil
>   dalam mengkristalnya sentimen-sentimen keagamaan secara dangkal. 
Seolah-olah
>   pertarungan politik lokal adalah pertentangan antara pemeluk-
pemeluk agama
>   yang berbeda.
> 
>   Ancaman salah seorang anggota DPRD Provinsi Sulteng dari Fraksi 
PP misalnya
>   menunjukkan hal itu. Waktu itu anggota yang bersangkutan 
mengancam bila
>   Damsyik Ladjalani tidak dipromosikan sebagai Sekwilda Kabupaten 
Poso akan
>   terjadi kerusuhan. Apakah ada korelasi keduanya, tidak ada yang 
tahu, namun,
>   kenyataannya Poso mengalami kerusuhan pada 15 April 2000. Dan 
Damsyik waktu
>   itu memang tidak dipromosikan, karena diangkat menjadi Wakil 
Ketua Bappeda
>   Provinsi Sulteng di Palu.
> 
>   4. Keterlibatan militer dalam konflik sosial antar warga
> 
>   Sejauh ini, telah sebanyak 29 orang anggota TNI/Polri menjalani 
pemeriksaan
>   yang intensif oleh Polisi Militer sehubungan dengan Kerusuhan 
Poso yang
>   terakhir. Di antara 7 (tujuh) orang yang teridentifikasi kuat
>   keterlibatannya dalam kerusuhan tersebut, 2 (dua) orang 
merupakan perwira
>   berpangkat kapten TNI. Keterlibatan anggota TNI/Polri perlu 
dicermati karena
>   sangat berbeda dengan dua kerusuhan sebelumnya.
> 
>   Pada kerusuhan ketiga, skala, metode dan korban kerusuhan 
meningkat sangat
>   tajam. Ini antara lain tercermin dari adanya kenyataan-kenyataan 
sebagai
>   berikut: Pertama, dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan 
sebelumnya,
>   kerusuhan ketiga berlangsung dalam skala kekerasan yang jauh 
lebih sadis dan
>   biadab, dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, dan dengan 
cakupan daerah
>   yang jauh lebih luas.
> 
>   Kedua, pada kerusuhan ketiga metode kekerasan ketiga yang 
digunakan jauh
>   lebih canggih dengan persiapan-persiapan yang jauh lebih 
terencana. Pada
>   kerusuhan pertama dan kedua, kekerasan yang terjadi semata-mata 
ditandai
>   dengan penggunaan senjata tajam, rakitan, benda-benda keras dan
>   pembakaran-pembakaran. Pada kerusuhan ketiga, selain alat-alat 
untuk
>   kekerasan seperti tersebut di atas, juga digunakan senjata api, 
penculikan
>   disertai pembunuhan, pembuangan mayat di Sungai Poso, 
penyanderaan dan
>   penguburan massal. Salah satu sumber menyebutkan bahwa pasukan 
Kelompok
>   Merah diperkirakan sebanyak 7.000 orang, sebagian di antaranya 
menggunakan
>   senjata organik standar militer, seperti jenis M 16 dan Thomson. 
Juga
>   dilaporkan terjadinya perkosaan dan pelecehan seksual terhadap 
kaum
>   perempuan.
> 
>   Ketiga, korban kerusuhan ketiga sangat, sangat banyak. Korban 
yang
>   teridentifikasi menyebut lebih dari 2.000 orang, 400 orang di 
antaranya
>   mengapung di sungai tanpa kepala atau anggota tubuh lainnya. 
Rumah yang
>   dibakarpun jauh melebihi jumlah korban pada kerusuhan pertama 
dan kedua.
> 
>   Ketidak netralan militer juga tampak dari menjelang Kerusuhan 
Jilid III di
>   mana ketika diminta konfirmasi kepada Tripika Kecamatan Pamona 
Utara tentang
>   adanya rencana penyerangan Kelompok Merah ke kota Poso dibantah. 
Informasi
>   yang disampaikan kepada masyarakat Poso ini baru saja dilakukan, 
ketika
>   beberapa jam kemudian ternyata terjadi penyerangan Pasukan 
Kelelawar
>   pimpinan Fabianus Tibo. Kalau pihak militer pada tingkat 
kecamatan jujur dan
>   netral, kenyataan semacam ini pasti tidak terjadi.
> 
>   Indikasi lainnya adalah ditemukannya peluru jenis M 16 
bertuliskan Yonif 711
>   dari tas anggota masyarakat, diketahuinya anggota Kompi B 711 
membiarkan
>   kelompok Pasukan Merah melakukan penyiksaan warga desa, 
keterlibatan
>   Kapolsek Pamona Utara waktu itu dalam penganiayaan H. Dawi dan 
pimpinan
>   Muhammadiyah Abdullah Sutari dan pembantaian warga Pondok 
Pesantren
>   Walisongo dan masyarakat Sintuvulembah karena tidak adanya upaya-
upaya
>   pencegahan ketika pembunuhan massal diketahui.
> 
>   V. PENUTUP
> 
>   Keberagaman sebenarnya ibarat pisau yang bermata dua. Di satu 
sisi merupakan
>   suatu alat yang dapat memberikan kemudahan dan bahkan 
menyelesaikan
>   masalah-masalah nyata. Di lain pihak, pisau dapat dipakai untuk 
membunuh
>   siapapun. Keberagaman di negara-negara maju telah menjadi suatu 
kekuatan
>   yang luar biasa karena adanya kesamaan visi dan tujuan ke depan 
mengenai
>   masyarakat seperti apa yang ingin dicapai dan adanya kesepakatan 
mengenai
>   cara-cara untuk merealisasikan visi dan mencapai tujuan. 
Terdapat suatu
>   keengganan untuk mengakui tentang keberagaman atas suku dan 
agama di
>   Indonesia di masa lalu. Seolah-olah dengan semboyan Bhineka 
Tunggal Ika dan
>   sedikit penataran, semua masalah keanekaragaman suku dan agama 
ini selesai.
> 
>   Masyarakat Poso yang menggunakan sintuvu maroso (secara harfiah 
artinya
>   persatuan yang kuat) sebagai tali pengikat menyadari 
keanekaragaman ini.
>   Secara sosial, mereka selalu mengatakan kita sei sakompo (kami 
semua
>   bersaudara). Namun, konflik yang berkesinambungan telah 
menjelaskan pada
>   semua pihak bahwa konsep untuk bersatu saja ternyata tidaklah 
memadai.
> 
>   Kerusuhan Poso merupakan malapetaka bagi semua pihak. Sentimen 
keagamaan
>   sejak itu bukannya hilang, melainkan justru semakin membara, 
ketika berbagai
>   kenyataan selama serial kerusuhan diceritakan dari satu pihak ke 
pihak lain.
>   Tokoh-tokoh agama mengeluarkan pernyataan keras mengenai 
kerusuhan Poso,
>   terutama Kerusuhan Poso Jilid III. Bahkan seorang dosen Fakultas 
Hukum
>   Universitas Tadulako yang juga Koordinator Front Solidaritas 
Islam
>   Revolusioner menyatakannya sebagai moslem cleansing (pembasmian 
orang
>   Islam). Beberapa pihak menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan, 
karena
>   kebiadaban dan kesadisannya yang luar biasa.
> 
>   Dikawatirkan, tragedi kemanusiaan ini akan berlanjut. Bila ini 
terjadi,
>   kekhawatiran akan terciptanya malapetaka akbar di kemudian hari 
bukanlah
>   tanpa alasan. Ini mengingat kurang memadainya perhatian berbagai 
pihak baik
>   pada tingkat kabupaten, provinsi dan apalagi nasional terhadap 
kerusuhan
>   berantai yang hingga saat ini belum juga berakhir.
> 
>   Beberapa pelaku kerusuhan sudah ditangkap dan bahkan sudah 
divonis hukuman
>   mulai dari 1-2 tahun hingga hukuman mati, terutama terhadap tiga 
pelaku
>   utama Pasukan Kelelawar. Bara dendam pihak-pihak yang tidak rela 
atas
>   putusan ini bukan tidak mungkin menjadi api yang sewaktu-waktu 
berkobar
>   lagi. Bila ini terjadi, serial kerusuhan Poso akan merupakan 
bibit-bibit
>   menuju disintegrasi sosial yang berkepanjangan, yang pada 
gilirannya akan
>   menciptakan disintegrasi bangsa.
> 
>   Daftar Pustaka:
> 
>   Anto Sangaji, Beberapa Catatan Mengenai Kerusuhan di Poso, 26 
Juli 2000.
>   Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Respon Militer 
Terhadap
>   Konflik
>   Sosial di Poso, November 2000.
>   Kabupaten Poso Dalam Angka 1998, Pemerintah Daerah Kabupaten 
Poso, 1998.
>   Klipping Surat Kabar Mercusuar terbitan Palu dari 1998 - 2001.
>   Klipping Tabloid MAL terbitan 2000-2001.
> 
>   LAMPIRAN
> 
>   Tabel 1. Komposisi Penduduk Kabupaten Poso
> 
>   No.
> 
>   Kecamatan
>   Jumlah Penduduk
>   AgamaMayoritas
> 
>   Suku
> 
>   1.
>   Poso Kota
>   41.875
>   Islam (55%)
> 
>   Kristen (42%)
>   Pamona, Mori, Lore, Bungku, Tojo, Una-una, Ampana, Minahasa, 
Toraja, Bugis,
>   Makassar, Gorontalo,dll.
> 
>   2.
>   Poso Pesisir
>   31.505
>   Islam (45%) Kristen (42%)
>   Pamona, Mori, Lore, Bugis, Jawa, Bali
> 
>   3.
>   Pamona Selatan
>   24.608
>   Kristen (70%)
>   Pamona, Bugis, Jawa, Bali
> 
>   4.
>   Pamona Utara
>   30.793
>   Kristen (90%)
>   Pamona, Bugis, Jawa
> 
>   5.
>   Lembo
>   15.479
>   Kristen (79,47%)
>   Mori, Jawa, Bugis
> 
>   6.
>   Mori Atas
>   12.305
>   Kristen (87%)
>   Mori, Pamona, Bugis, Jawa
> 
>   7.
>   Lage
>   15.841
>   Kristen (72%)
>   Pamona, Bada, Ampana
> 
>   8.
>   Lore Utara
>   13.017
>   Kristen (79,65%)
>   Lore, Toraja, Jawa, Bugis
> 
>   9.
>   Lore Selatan
>   7.521
>   Kristen (96,45%)
>   Bada, Bugis
> 
>   10.
>   Ampane Tete
>   15.841
>   Islam (95%)
>   Ampana, Pamona, Gorontalo, Luwuk, Bugis
> 
>   11.
>   Ampana Kota
>   25.704
>   Islam (95%)
>   Ampana, Tojo, Una-una, Pamona, Mori, Minahasa, Bugis, Gorontalo
> 
>   12.
>   Tojo
>   13.017
>   Islam (80,63%)
>   Tojo, Mori, Pamona, Bugis, Jawa, Gorontalo
> 
>   13.
>   Ulubongka
>   11.648
>   Islam (71,47%)
>   Taa, Gorontalo, Ampana, Tojo, Bugis, Pamona, Mori
> 
>   14.
>   Una-una
>   17.730
>   Islam (99,5%)
>   Una-una, Ampana, Gorontalo, Bugis, Bajo
> 
>   15.
>   Walea Kepulauan
>   12.215
>   Islam (97,48%)
>   Ampana, Bugis, Kaili, Gorontalo
> 
>   Sumber: Anto Sangaji, Beberapa Catatan Mengenai Kerusuhan di 
Poso, 2000, h.
>   2.
> 
>   Tabel 2. Korban Kerusuhan Poso Jilid I
> 
>   No.
> 
>   Kategori Korban
> 
>   Keterangan
> 
>   I.
>   Korban Jiwa
> 
>   a.
>   Luka Berat
> 
>   1. Anngota Polri
>   Tidak ada
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   Tidak ada
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   7 orang
> 
>   b.
>   Luka Ringan
> 
>   1. Anggota Polri
>   17 orang
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   Ada (data tidak jelas)
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   101 orang
> 
>   II.
>   Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial
> 
>   a.
>   Rumah Ibadah
> 
>   1. Gereja
>   Tidak ada
> 
>   2. Mesjid
>   Tidak ada
> 
>   b.
>   Pemukiman Penduduk
>   81 Rumah (muslim-kristen) dibakar dan dirusak *
> 
>   c.
>   Kendaraan Bermotor
>   10 mobil - 3 motor dibakar
> 
>   d.
>   Toko-Bengkel-Hotel-Wartel-Terminal
>   7 Toko dirusak dan dibakar, 5 hotel dibakar dan 3 dirusak, 
Terminal
>   dibakar, 2 Diskotek dibakar dan 2 rumah makan
> 
>   * Data riel kerusakan kedua belah pihak sulit didapatkan. 
Sementara kerugian
>   materiil secara umum diperkirakan Rp 6 milyar.
> 
>   Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik 
Sosial di Poso,
>   Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 
2000, h. 90.
>   Tabel 3. Korban Kerusuhan Poso Jilid II
> 
>   No.
> 
>   Kategori Korban
> 
>   Keterangan
> 
>   I.
>   Korban Jiwa
> 
>   a.
>   Luka Berat
> 
>   1. Anngota Polri
>   Tidak ada
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   Tidak ada
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   32 orang
> 
>   II.
>   Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial
> 
>   a.
>   Rumah Ibadah
> 
>   1. Gereja
>   4 Gereja dibakar dan dirusak (Pniel, Katolik, Pantekosta dan 
Advent)
> 
>   2. Mesjid
>   Tidak ada
> 
>   b.
>   Pemukiman Penduduk
>   Lebih dari 130 Rumah Kristen dibakar, dirusak dan dijarah
> 
>   c.
>   Kendaraan Bermotor
>   1 Mobil dibakar
> 
>   d.
>   Toko-Bengkel-Hotel-Wartel
>   Tidak ada
> 
>   III.
>   Sarana Pendidikan
> 
>   a. Pondok Pesantren/Madrasah
>   Tidak ada
> 
>   b. Lembaga Pendidikan Kristen
>   1 SMA, 1 SMP dan 1 SD Kristen dibakar
> 
>   c. Sarana Pendidikan Umum
>   Tidak ada
> 
>   Kantor Pemerintah
>   1 Fasilitas Pemda
> 
>   Sarana Pemukiman dan Fasos Polri
> 
>   a. Asrama
>   Sebagian asrama Polres Poso dibakar
> 
>   b. Aula Bhayangkara
>   1 buah dibakar
> 
>   c. Rumah Tinggal
>   Tidak ada
> 
>   d. Posyandu/Poliklinik
>   Tidak ada
> 
>   Sumber: Laporan Penelitian Respon Militer Terhadap Konflik 
Sosial di Poso,
>   Tim Peneliti Yayasan Bina Warga Sulawesi Tengah, Palu, November 
2000, h. 91.
> 
>   Tabel 4. Korban Kerusuhan Poso Jilid III
> 
>   No.
> 
>   Kategori Korban
> 
>   Keterangan
> 
>   I.
>   Korban Jiwa
> 
>   a.
>   Meninggal dunia
> 
>   1. Anggota Polri
>   1 orang
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   1 orang
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   ± 2.000 orang
> 
>   b.
>   Luka Berat
> 
>   1. Anggota Polri
>   2 orang
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   Tidak ada
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   88 orang
> 
>   c.
>   Luka Ringan
> 
>   1. Anggota Polri
>   2 orang
> 
>   2. Anggota TNI AD
>   Tidak ada
> 
>   3. Anggota Masyarakat
>   95 orang
> 
>   d.
>   Pemerkosaan dan Pelecehan seksual
>   6 wanita diperkosa dan 14 wanita mengalami pelecehan seksual
> 
>   II.
>   Sarana Pemukiman, Umum dan Sosial
> 
>   a.
>   Rumah Ibadah
> 
>   1. Gereja
>   7 Gereja dibakar dan 3 dirusak
> 
>   2. Mesjid
>   6 Masjid dan 1 Mushalla dibakar
> 
>   b.
>   Pemukiman Penduduk
>   3.492 rumah dibakar dan 635 rumah dirusak-sebagian besar milik 
orang Islam
> 
>   c.
>   Kendaraan Bermotor
>   10 Mobil dan 10 Motor dibakar
> 
>   d.
>   Toko-Bengkel-Hotel-Wartel
>   17 toko, 3 rumah makan dan 14 bengkel dibakar
> 
>   e.
>   Sarana Pendidikan
> 
>   a. Pondok Pesantren/Madrasah
>   2 Pondok Pesantren dibakar
> 
>   b. Lembaga Pendidikan Kristen
>   Tidak ada
> 
>   c. Sarana Pendidikan Umum
>   2 bangunan SD dibakar
> 
>   f.
>   Kantor Pemerintah
>   3 bangunan Balai Desa dan 3 Polindes dibakar
> 
>   g.
>   Sarana Pemukiman dan Fasos Polri
> 
>   a. Asrama
>   3 bangunan Asrama dibakar dan 3 Asrama dirusak
> 
>   e. Posyandu/Poliklinik
>   1 bangunan dirusak
> 
>   ----- Original Message -----
>   From: "BUD'S" <bsugih@...>
>   To: <ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx>
>   Sent: Wednesday, September 27, 2006 4:20 PM
>   Subject: Re: [ppiindia] Tibo dkk : Eksekusi Kami Didepan Umum!!
> 
>   >Lho, dari awal anda kan mengatakan bahwa daerah timur itu 
sering rusuh
>   karena disana Mayoritasnya non-Muslim, tapi dari >data2 Depag, 
ternyata
>   disana Mayoritanya Muslim, satu pertanyaan sederhana yang belum 
anda jawab :
>   DATA ANDA >DARI MANA ??? ".
> 
>   Disclaimer: Although this message has been checked for all known 
viruses
>   using Trend Micro InterScan Messaging Security Suite, Bukopin 
>   accept no liability for any loss or damage arising
>   from the use of this E-Mail or attachments.
> 
> 
>    
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>







***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 
    mailto:ppiindia-fullfeatured@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts: