[nasional_list] [ppiindia] Prestasi dan Kinerja Pemerintahan SBY

  • From: A Nizami <nizaminz@xxxxxxxxx>
  • To: ekonomi-nasional@xxxxxxxxxxxxxxx, ekonomisyariah <ekonomi-syariah@xxxxxxxxxxxxxxx>, ppiindia@xxxxxxxxxxxxxxx, lisi <lisi@xxxxxxxxxxxxxxx>, sabili@xxxxxxxxxxxxxxx, istiqlal@xxxxxxxxxxxxxxx, Indonesia Raya <indonesiaraya@xxxxxxxxxxxxxxx>
  • Date: Tue, 24 Mar 2009 09:57:07 +0800 (SGT)

Jika kita lihat Kinerja Pemerintahan SBY yang merupakan Koalisi PD, Golkar, dan 
beberapa partai lainnya akan kita lihat sisi positif dan negatif.

Sisi positifnya adalah pemerintah SBY berhasil meredam berbagai konflik di 
Ambon, Sampit, dan juga di Aceh. Ini satu nilai positif dibanding Wiranto yang 
ketika jadi Pangab, namun gagal mengatasi konflik tersebut (bisa jadi ini 
karena presidennya kurang mendukung).

Kemudian SBY (PD) bersama Wapresnya, Jusuf Kalla (Golkar), dan Mentan Anton 
Apriyantono (PKS), bekerjasama dan berhasil membuat Indonesia swasembada beras. 
Ini satu prestasi yang luar biasa. Karena Soeharto sekalipun dalam 32 tahun 
pemerintahannya hanya berhasil melakukan swasembada pada tahun-tahun terakhir. 
Itu pun kemudian minus lagi.

Kemudian berbagai pemberantasan korupsi  oleh KPK juga cukup menggembirakan 
meski ada beberapa kekurangan. Contohnya kenapa yang tertangkap kok justru dari 
partai kecil dan pinggiran seperti Al Amin dari PPP (perolehan suara cuma 9%), 
Bulyan Royan dari PBR (2%), dan Abdul Hadi dari PAN (7%), sementara partai 
utama seperti PD (pendukung SBY) dan Golkar (partai JK) justru bersih? Padahal 
secara logika, korupsi itu dilakukan oleh pihak yang berkuasa atau punya 
wewenang. Orang tidak akan menyuap seseorang yang tidak punya kekuasaan untuk 
memenuhi keinginannya. Oleh karena itu, kasus tersebut harusnya diusut tuntas 
karena di DPR, mekanisme pengambilan keputusan itu berdasarkan suara terbanyak. 
Jadi penyuap harus “menguasai” 50% suara + 1 agar uang suapnya tidak “mubazir.”

Tingginya Anggaran Pendidikan yang 20% dari APBN (Rp 400 ribu/siswa/bulan), 
tapi hasilnya tidak terasa karena masuk PTN seperti UI tetap mahal (Standar 
Uang Masuk Rp 25-75 juta dan Iuran Rp 15 juta/tahun) harusnya jadi indikasi 
bahwa ada yang harus diperbaiki.
Namun di samping nilai positif itu, ada pula nilai negatifnya yang mungkin agak 
mengganggu.

Di antaranya Bensin Premium ketika SBY baru berkuasa tahun 2004 hanya Rp 
1.800/liter. Namun oleh SBY dinaikkan jadi RP 2.400, kemudian jadi Rp 4.500, 
dan akhirnya Rp 6.000/liter mengikuti harga pasar NYMEX yang dimainkan para 
Spekulan Pasar Komoditas. Akhirnya harga  barang-barang naik dan membuat rakyat 
menderita. Banyak pabrik dan kantor akhirnya bangkrut sehingga konsumsi BBM 
dunia pun turun dan harga minyak NYMEX juga turun. 
Toh pemerintahan SBY meski 3 kali menurunkan harga BBM jadi 5.500, 5.000 dan 
terakhir 4.500/liter masih di atas harga minyak dunia untuk Premium yang 
harusnya bersubsidi. Sehingga tidak terjadi penurunan harga barang yang 
signifikan.
Bahkan turunnya nilai rupiah dari Rp 7.000/1 US$ zaman Habibie, Rp 8.000 zaman 
Gus Dur dan Mega, turun jauh di zaman SBY jadi Rp 12.000/1 US$. Akibatnya 
berbagai harga barang mengalami kenaikan seperti harga kendaraan, komputer, dsb.
Barang  Harga 2004      Harga 2009      Kenaikan 
Premium         1.810   4.500   149%
Beras   3.000   5.500   83%
Angkutan Umum   1.000   2.000   100%
Minyak Goreng   4.500   10.000  122%
UMR     635.000 1.000.000       57%

Jika kita lihat, rata-rata kenaikan harga barang adalah 114% sementara kenaikan 
UMR hanya 57%. Itu pun jika disurvey (misalnya di Mal-mal atau pertokoan) belum 
tentu semua pegawai menikmati upah UMR. Belum lagi jutaan orang yang diPHK di 
tahun 2008-2009 akibat Krisis Ekonomi. Jatuhnya nilai rupiah sebesar 50% dari 
Rp 8.000/1 US$ jadi Rp 12.000/1 US$ menandakan Indonesia yang merupakan “sapi 
perahan” AS lebih parah kondisinya ketimbang sang “pemerah”, AS.
Dari angka di atas yang menunjukkan kenaikan harga barang melebihi kenaikan 
pendapatan, meski secara “Statistik” PDB naik atau terjadi “Pertumbuhan 
Ekonomi” karena naiknya pendapatan dan pengeluaran, tapi kenyataannya angka 
kemiskinan bertambah karena besar Kenaikan Pendapatan < Kenaikan Harga Barang.
Kalau secara “Statistik” angka Kemiskinan berkurang, itu karena “Garis 
Kemiskinan” yang dipakai untuk menentukan orang itu miskin tidak standar. Garis 
Kemiskinan yang dipakai BPS hanya orang yang berpenghasilan Rp 180.000 ke 
bawah. Padahal Garis Kemiskinan Internasional yang ditetapkan oleh World Bank 
adalah US$ 1 per orang/hari untuk kemiskinan absolut (hidup laksana binatang 
sekedar makan dan minum) dan US$ 2 per orang/hari untuk kemiskinan moderat. 
Jadi kalau BPS memakai Garis Kemiskinan yang baku yaitu Rp 720.000/orang, maka 
jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat 4 x lipat. Kalau misalnya menurut 
BPS jumlah penduduk miskin ada 34,9 juta, maka menurut standar baku, jumlah 
sebenarnya adalah 140 juta jiwa atau lebih dari separuh rakyat Indonesia.
Kebijakan Pajak yang dianut SBY pun mirip kebijakan rezim George W Bush yang 
menganut sistem Neoliberalisme. Orang-orang menengah bawah dipaksa membayar 
pajak lebih besar, sementara pajak bagi orang kaya justru dikurangi.
Saat ini orang yang penghasilannya Rp 1,32 juta/bulan wajib bayar pajak. Jika 
tidak, bisa dipenjara. Padahal di Jakarta, untuk orang yang berkeluarga 
jangankan Rp 1,32 juta/bulan, Rp 3 juta/bulan saja tidak cukup karena biaya 
hidup terus mengalami kenaikan. Ironisnya uji materi terhadap pajak agar wajib 
pajak adalah yang penghasilannya minimal Rp 5 juta/bulan ditolak oleh MK.
Sebaliknya, pajak bagi orang-orang superkaya justru dikurangi. Batas 
penghasilan orang kaya yang sebelumnya Rp 200 juta/bulan dinaikkan jadi Rp 500 
juta/bulan. Pajak yang semula 35% bagi orang super kaya tersebut diturunkan 
jadi hanya 25%. Sementara PBB untuk orang miskin dinaikkan hingga bisa mencapai 
Rp 200 ribu lebih/tahun.
Selain itu di zaman SBY Indonesia tetap belum bisa mandiri. Lebih dari 90% 
migas kita masih dikelola oleh asing (mayoritas AS) di mana mereka menikmati 
hingga lebih 40% dari hasil yang didapat. Untuk pertambangan emas, perak, 
tembaga, dsb lebih parah lagi. Perusahaan asing mendapat 85%, sementara 240 
juta rakyat Indonesia harus puas dengan hanya 15% saja. Menurut PENA, Rp 2.000 
Trilyun/Tahun masuk ke kantong perusahaan-perusahaan asing. Meski para kaki 
tangan perusahaan asing (segelintir ekonom Neoliberalis dan dosen PTN) tersebut 
Indonesia untung dapat pajak, tapi BUMN dan rakyat Indonesia juga bayar pajak!
Padahal jika uang tersebut dinikmati oleh warga Indonesia, bisa-bisa APBN 
Indonesia mencapai RP 3.000 trilyun/tahun! Atau Rp 50 juta/tahun per keluarga 
Indonesia! Rakyat Indonesia bisa makmur jika pemimpin Indonesia punya kemauan 
untuk mandiri.
BUMN seperti INKA sudah bisa membuat mobil Kancil dan sekarang tengah membuat 
mobil Gea yang konsumsi BBM hanya 1:30 dan bisa memakai AC dengan harga jual 
hanya Rp 40 juta/mobil. Pasar kendaraan di Indonesia saat ini terdiri dari 6,2 
juta motor dan 1 juta mobil dengan nilai Rp 220 trilyun/tahun. Jika presiden 
Indonesia mendukungnya dengan menyisihkan 1% dari APBN (RP 10 trilyun), maka 
paling tidak bangsa Indonesia bisa menguasai Rp 100 trilyun/tahun dari pasar 
kendaraan yang ada. Indonesia bisa menghemat devisa dan membuka lapangan 
pekerjaan bagi rakyatnya.
Harusnya APBN digunakan untuk hal produktif ketimbang hanya konsumtif seperti 
gaji besar, rumah dan mobil mewah pejabat, studi banding ke LN beramai-ramai 
yang tidak ada hasilnya, dan sebagainya.
Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme yang didiktekan IMF dan Bank Dunia yang 
membuat Indonesia sangat bergantung pada Luar Negeri dan tidak mandiri harus 
dihentikan. Sebagai contoh saat ini Indonesia sangat bergantung pada Hutang 
Luar Negeri. Tahun 2006 hutang LN Indonesia US$ 125 Milyar (Rp 1.500 Trilyun). 
Jauh melebihi APBN 2009 yang hanya 1.037 Trilyun. Cicilan hutang tahun 2008 pun 
mencapai Rp 250 Trilyun/tahun. Jauh di atas anggaran untuk pendidikan. Belum 
lagi persyaratan Hutang LN seperti Privatisasi, Penyerahan Kekayaan Alam 
Indonesia kepada perusahaan-perusahaan asing (nilainya menurut PENA Rp 2.000 
Trilyun/tahun), Liberalisasi Perdagangan, dan juga Deregulasi yang 
mengakibatkan Krisis Ekonomi tahun 1998 berulang kembali di 2008.
Kebijakan “Pengemis” seperti bergantung pada Investor Asing yang umumnya tak 
lebih dari spekulan Saham/Uang yang sewaktu-waktu dapat menarik modalnya 
kembali seperti saat krisis sekarang ini juga berbahaya. 
Sudah saatnya para pemimpin Indonesia menghentikan Kebijakan Ekonomi seperti 
itu. Hendaknya para pemimpin Indonesia meminta nasehat dari para Ekonom yang 
mengajarkan Sistem Ekonomi Rakyat dan Kemandirian Nasional.
Semoga kita bisa mengetahui fakta dan kenyataan yang sebenarnya sehingga bisa 
memperbaikinya lebih baik lagi.




      Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Prestasi dan Kinerja Pemerintahan SBY - A Nizami