** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=148042 Perda Syariat Islam dan Elite Politik Oleh T.Yulianto Jumat, 30 Juni 2006 Akhir-akhir ini muncul polemik tentang pemberlakuan peraturan daerah (perda) syariat Islam di berbagai daerah. Tak kurang dari 56 anggota DPR dari berbagai fraksi yang mengemukakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan perda tersebut di berbagai daerah karena dinilai melanggar amanat konstitusi dan ideologi negara: Pancasila. Menyikapi pemberlakuan perda syariat Islam diberbagai daerah muncul pendapat yang setuju dan tidak setuju. Kalangan yang setuju, terutama dari kelompok Islam politik (elite politik), menganggap adanya perda tersebut bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat seperti kemaksiatan, perjudian, yang umumnya dilakukan oleh masyarakat kecil. Mereka memiliki argumentasi bahwa keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Selain itu juga sebagai jalan menuju negara Islam melalui gerakan arus bawah, karena untuk mengubah UUD 45 dengan Piagam Djakarta membutuhkan perjuangan yang lama. Sedangkan kalangan yang menolak pemberlakukan perda syariat Islam beranggapan bahwa Perda tersebut bertentangan dengan Pancasila dan substansi perundang-undangan di atasnya. Selain itu juga berpotensi melahirkan perpecahan bangsa, karena wilayah tertentu yang tidak dihuni penduduk mayoritas Islam suatu saat juga akan memberlakukan syariat agama yang mereka anut. Ada realitas sosial di balik pemberlakukan perda syariat Islam diberbagai daerah. Ternyata perda syariat Islam tidak bisa menjawab persoalan substansial bangsa tentang kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi yang merajalela. Mengapa demikian, karena perda tersebut cenderung "menghukum" para pelaku kejahatan kelas teri (orang-orang kecil) seperti perjudian, pencurian, dan perzinahan. Ia tidak punya "taring" menghadapi pelaku korupsi kelas kakap, pembalak hutan, penjahat HAM yang justru memiliki kedekatan politik dengan para tokoh organisasi pendukung perda syariat Islam. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, misalnya, hanya mampu menghukum maling-penjudi-penzinah kelas teri. Perda syariat Islam juga memiliki dimensi "pembalikan" terhadap nilai moralitas yang hakiki, karena menyerahkan kebenaran moral kepada para pemegang tafsir kebenaran agama yang dimiliki oleh para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Dalam realitas politik, tokoh-tokoh Islam pendukung perda syariat Islam seperti Dien Syamsyudin, Syukri Fadholi, misalnya, di masa Orde Baru mereka menjadi bagian dari relasi politik "mutualistik" Soeharto dengan ulama. Sementara berbagai organisasi radikal keagamaan semacam FPI, FBR, MMI selama ini hanya diam seribu bahasa terhadap perjuangan melawan ketidakadilan dan kezaliman kekuasaan. Baru, setelah rezim Soeharto bangkrut, mereka berani bergerak memperjuangkan prinsip ideologi mereka. Demikian juga MUI yang selama kekuasaan Orba tidak konsisten dalam memperjuangkan kepentingan mayoritas ummah Muslim yang berprofesi sebagai buruh dan petani dalam menghadapi himpitan sistem kapitalisme kroni Orba. Perda syariat Islam sendiri sesungguhnya bukan merupakan solusi krisis ekonomi dan multidimensional bangsa ini. Kasus korupsi kelas kakap -yang ditengarai juga menjangkiti institusi keagamaan semacam Depag- tidak mungkin bisa diberantas dengan perda syariat Islam, karena banyak pelaku korupsi yang justru memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan di pusat dan daerah. Krisis ekonomi nasional yang diakibatkan oleh implementasi sistem kapitalisme kroni Orba dan berlanjut sistem neoliberalisme pemerintahan transisi semenjak Habibie hingga SBY-JK tidak akan bisa diselesaikan dengan syariat Islam. Itu karena banyak kelompok pendukung syariat Islam yang mendukung hadirnya kekuatan borjuasi ekonomi dengan label borjuasi Muslim atau pribumi. Perda syariat Islam secara realitas, seperti tampak dan dirasakan masyarakat Aceh, hanya melahirkan ketertekanan politik kepada masyarakat bawah yang seolah-olah diatur dengan moralitas abstrak. Sementara para pejabat dan ulama menjadi pemegang kebenaran moral syariat agama. Perda syariat Islam tidak menjawab realitas korupsi di era otonomi daerah (otda). Perda syariat Islam boleh jadi bisa menurunkan angka kejahatan dan penyakit masyarakat, namun tidak menurunkan kejahatan politik para elite politik dan birokrasi. Justru dari pengalaman negara-negara yang mempraktikkan syariat Islam secara ortodoks, tingkat ekonomi, kesetaraan hak rakyat, dan prestasi ipteknya sangat rendah. Afghanistan, Somalia, dan Sudan barangkali bisa menjadi bukti keterpurukan negara yang menjalankan syariat Islam. Bisa dibandingkan dengan China, Vietnam, Bolivia, dan Libia yang menjalankan sistem sosialis dan sosialis-Islam ternyata lebih maju dan berkembang. Demikian juga Malaysia yang menjalankan asas Islam yang moderat pertumbuhan ekonominya jauh lebih maju. Jika memang logika berpikir kelompok politik Islam ingin mengembangkan pelaksanaan perda Syariat Islam lebih banyak diberbagai daerah, seharusnya mereka mampu merumuskan derivasi perda syariat Islam yang mampu menjawab krisis multidimensional bangsa. Misalnya, dengan tegas berani menghukum mati koruptor kelas kakap, pelaku illegal logging dan penjahat HAM. Perda yang diperlukan di daerah bukanlah perda yang memunculkan ketakutan-represi bagi masyarakat kecil, namun mampu menekan para elite pemimpin yang perilakunya merusak keadaban publik. Jangan sampai perda syariat Islam justru dijadikan tameng bagi para pejabat "berjenggot" dan "berjubah" untuk berbuat korupsi dan sekaligus menyisihkan hasil korupsi untuk mendanai kegiatan kelompok-kelompok pendukung perda syariat Islam. Namun apabila seluruh masyarakat setia pada konsensus nasional, sebenarnyalah perda syariat Islam tidak diperlukan di Indonesia. Ideologi kita jelas: Pancasila. Tapi, menurut hemat penulis, perda syariat Islam hanyalah romantisme politik pasca-jatuhnya rezim kekuasaan Orba saja. Penulis adalah Direktur Eksekutif LSPMB [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Something is new at Yahoo! Groups. Check out the enhanced email design. http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **