[nasional_list] [ppiindia] Papua bagi Nonpapua

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Tue, 10 Jan 2006 02:02:50 +0100

** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com 
**http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/09/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 

Papua bagi Nonpapua 
Catatan untuk Agus Sumule
 





Indra J Piliang 

ARTIKEL Agus Sumule, "Dialog Internal Papua" (Pembaruan, (2/1) menarik untuk 
ditanggapi. Uraian itu terasa komprehensif, namun akan terlihat bolongnya 
ketika unsur Nonpapua dijadikan patokan. Seolah, soal ini luput dalam setiap 
dialog menyangkut Papua. Padahal, dibandingkan dengan Nanggroe Aceh Darussalam 
yang komposisi penduduknya juga tidak seluruhnya suku bangsa Aceh, justru 
kehadiran warga Nonpapua di tanah Papua jauh lebih banyak. 

Berdasarkan sensus penduduk 2000, jumlah penduduk Aceh mencapai angka 1.732.627 
jiwa. Jumlah itu tentu naik pada tahun berikutnya, sekalipun angka pastinya 
untuk tahun 2005 perlu dilakukan survei lagi, termasuk kaitannya dengan korban 
tsunami. 

Dari jumlah itu, 50,3persen suku Aceh, 15,9 persen suku Jawa, dan selebihnya 
suku-suku lainnya, termasuk suku Gayo Lut, Gayo Luwes, Alas, Singkil, Minang, 
Batak, dan lain-lain. 

Sementara, jumlah penduduk asli Papua dari 312 suku sebanyak 1.460.846 jiwa 
atau 65,41 persen, sedangkan jumlah penduduk Papua pada tahun 2000 sebanyak 
2.233.530 jiwa. Namun, di sejumlah tempat, jumlah penduduk Nonpapua lebih 
besar, misalnya, Penduduk Timika, dari 89.861 jiwa hanya 35.813 penduduk asli, 
sedangkan 54.048 jiwa adalah warga pendatang. Kota Sorong sebanyak 157.116 
jiwa, penduduk asli hanya 44.611 atau 28,39 persen, pendatang 112.505 jiwa. 
Kota Jayapura sebanyak 134.138 jiwa, penduduk asli 57.825 jiwa atau 33,21 
persen, pendatang 76.313 jiwa (Kompas, 15/06/2002). 

Dari uraian Agus, kita bisa membagi ke dalam tiga kerangka. 

Pertama, dialog Papua bagi masyarakat Papua asli, terutama dari ras Melanesia. 

Kedua, dialog Papua-Jakarta untuk menemukan formulasi khusus bagi penyelesaian 
masalah Papua secara damai dan beradab. 

Ketiga, apabila diperlukan pelibatan unsur masyarakat sipil internasional, 
dalam hal ini Perdana Menteri Hellen Clark dari Selandia Baru, sebagai 
fasilitator atau penengah. 

Kemajuan berarti adalah melibatkan elemen yang selama ini dianggap sebagai 
anti-Jakarta, yakni Presidium Dewan Papua, Dewan Adat Papua, dan Organisasi 
Papua Merdeka. Jakarta memang terlalu memandang ketiga kelompok ini sebagai 
bagian dari kelompok yang memimpikan pelurusan sejarah Papua dan pada akhirnya 
pelepasan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia. Bagi Jakarta, hal itu 
artinya sebuah mimpi buruk. 


Nasib Nonpapua 

Apapun pilihan itu, tetap saja nasib warga Nonpapua menjadi persoalan. Baik 
lewat dialog internal Papua yang ditawarkan oleh Agus, ataupun cita-cita 
kemerdekaan kelompok yang dianggap anti-Jakarta, tetap saja belum terdapat 
rencana komprehensif menyangkut nasib warga Nonpapua itu. 

Pada praktiknya, warga Nonpapua ini ikut dalam proses pemilihan kepala daerah 
secara langsung nantinya, sudah ikut memilih anggota DPR dan DPD asal Papua dan 
Irian Jaya Barat, serta memilih wakil-wakil dalam DPRD provinsi, kabupaten dan 
kota. Selain menjadi transmigran, baik sukarela atau karena program pemerintah, 
sebagian juga menjadi pedagang perantara. 

Begitu juga bagian dari birokrasi lokal, termasuk aparat kepolisian dan 
tentara. Mereka beranak-pinak di tanah Papua, lahir dan makan dari tanah Papua, 
bahkan sudah mulai ada generasi yang tidak pernah lagi datang ke tanah asalnya, 
baik di Maluku, Sulawesi atau Jawa. 

Dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang 
diperuntukkan bagi ras Melanesia, sebetulnya kelompok Nonpapua ini mulai 
mengalami proses pembatasan peran. Ketika proses absorbsi politik dilakukan 
atas warga Papua asli, justru bagi warga Nonpapua harus mencari penghidupannya 
sendiri. Ketika orang Papua asli selama ini merasa diperlakukan sebagai anak 
tiri, sebetulnya orang non Papua kini malah berada dalam posisi yang sama juga. 

Hal inilah yang barangkali menimbulkan kebijakan standar ganda bagi Papua, 
terutama dari kelompok politik nasionalis Jakarta dan kelompok politik agamis, 
terutama Islam. 

Kekhawatiran selalu muncul, apabila orang Nonpapua asli itu mengalami perlakuan 
tidak layak. Bagaimanapun, politik Indonesia masih diwarnai oleh kedua ideologi 
ini yang kini dikemas dengan istilah nasionalis-religius. 

Persoalan ini memang sensitif. Tetapi, seperti ditulis Agus, bahwa mumpung 
angin politik sedang berhembus ke Papua, selayaknya soal-soal elementer ini 
turut dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan terbaik. 

Dalam bahasa yang lebih spekulatif: andaikata Papua merdeka, apakah warga 
Nonpapua asli ini masih berhak menjadi warga negara Papua, atau malah mengalami 
"pengusiran" sebagaimana yang dialami di Timor Lorosae? Untuk itu, masih 
terlalu diri mengatakan bahwa MRP akan mampu menjadi fasilitator dan 
penyelenggaraan dialog internal Papua. Sistem strong bicameralism yang 
diterapkan dalam konteks parlemen lokal di Papua ini masih dalam pro- ses 
pengujian. 

Ibarat ibu yang baru melewati proses persalinan yang disertai pendarahan 
serius, MRP barulah bayi merah yang langsung menghadapi tantangan persoalan 
serius. MRP selayaknya mulai membenahi dirinya, termasuk dalam soal-soal 
manajemen, administrasi sampai pertanggungjawaban keuangan. 

Kalaupun proses dialog hendak dimulai, selayaknya perpaduan elemen perwakilan 
rakyat Papua asli (MRP) dengan perwakilan penduduk Papua (DPRP) dijadikan 
sebagai panitia bersama. 

Gabungan dua elemen perwakilan ini akan secara langsung membawakan aspirasi 
warga Papua asli dan non Papua. Prosesnya tidaklah mudah, karena bagaimanapun 
konsentrasi dalam pilkada yang akan digelar bulan depan menyita waktu. 

Bukan hanya elemen penyelenggara, melainkan juga peserta dari dialog itu. 
Pemerintah Indonesia selayaknya memberikan kemudahan bagi setiap warga Papua, 
baik yang ada di luar Papua, di dalam Papua atau di luar negeri, untuk 
menghadiri dialog itu. Pemerintah Indonesia harus mampu memberikan jaminan 
keamanan, apabila dialog itu dilakukan di tanah Papua. 

Kalaupun hendak dilakukan di luar negeri, persoalannya justru akan lebih rumit. 
Tantangan dari pemerintah pusat di Jakarta pasti datang. Bagaimanapun, bagi 
pemerintah Indonesia, persoalan Papua adalah masalah dalam negeri, sehingga 
tidak ada dasarnya menyelenggarakan pertemuan khusus yang sensitif itu di luar 
negeri. 

Sebelum sampai kepada tahapan dialog itu, tentunya persoalan delegasi daerah 
akan muncul. Bagaimana metode pemilihannya? Apakah akan digelar semacam 
konvensi untuk mendapatkan peserta dialog? Ataukah cukup diwakili oleh 
kepala-kepala suku atau dibagi berdasarkan populasi? 

Organisasi DAP memang sudah cukup berakar di Papua, tetapi mengambil anggota 
delegasi berdasarkan tingkatan kepengurusan DAP sama saja dengan sidang-sidang 
DAP lainnya yang sudah bisa diprediksi hasil-hasilnya, yang antara lain 
pengulangan kembali atas pengembalian status otonomi khusus. 


Politik atau Ekonomi? 

Persoalan politik menjadi hal yang terus muncul di Papua, terutama politik di 
lapisan elite-elite Papua sendiri. Momentumnya sudah tepat. Namun, kelaparan di 
Yahukimo menyingkapkan betapa persoalan Papua tidak semata-mata politik, tetapi 
- terutama - ekonomi. Ketersingkiranlah yang menyebabkan orang asli Papua 
menyampaikan pelbagai tuntutan politik. Kematianlah yang membuat orang-orang 
Papua berjuang demi perubahan nasib. 

Tetapi, bukan berarti soal ekonomi harus ditinggalkan. Jakarta mestinya melihat 
betapa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat akar rumput Papua adalah 
perbaikan kondisi ekonomi, perumusan pola yang tepat dalam perdagangan, 
penyesuaian antara kebutuhan pangan dengan teknologi yang digunakan, pelatihan 
keterampilan hidup menghadapi perubahan yang datang dari luar, serta hal-hal 
lainnya. Papua harus disentuh dengan tangan-tangan terampil. 

Kalau perlu, Jakarta, terutama Departemen Sosial dan Kementerian Negara 
Pembangunan Daerah Tertinggal, membina sekelompok pekerja sosial yang bisa 
langsung melakukan transfer keterampilan khusus di daerah-daerah pedalaman. 

Pendekatan seperti ini sangat jarang dilakukan, padahal Indonesia memiliki 
lapisan usia produktif yang menjadi pengangguran terbuka di provinsi lain. 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Presiden 
No 1/2005 tentang Tunjangan Fungsional Pekerja Sosial. Tragedi tsunami di 
Nanggroe Aceh Darussalam menyebabkan soal ini menjadi prioritas. 

Sentra-sentra kesejahteraan harus dibangun, berikut infrastruktur pemerintahan. 
Jakarta mestinya melepaskan traumanya, betapa para pejuang kemerdekaan Papua 
atau pelurusan sejarah Papua sekarang berasal dari kelas menengah atas dan 
kelompok berpendidikan yang mendapatkan kesempatan selama proses pembangunan 
selama ini. Struktur berpikir kolonial itu sangat dalam tertanam dalam diri 
para politikus dan pengambil kebijakan di Jakarta. 

Lepas dari itu semua, tawaran Agus Sumule layak diapresiasi. Papua tidak akan 
mampu keluar dari persoalan empiris, politis dan ideologisnya, apabila tidak 
tercapai kesamaan persepsi menyangkut masa depan daerah ini. 

Sebuah common platform layak disusun, sebagai hasil akhir dialog internal Papua 
itu, tentu setelah menyelesaikan persoalan teknis dan non teknis pra-dialog. 
Common platform itulah nanti yang akan menjadi panduan semua pihak yang ingin 
menyelesaikan apa yang disebut sebagai masalah Papua ini. * 

Penulis adalah peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, 

Jakarta 


Last modified: 9/1/06 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral 
scholarship, kunjungi 
http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Papua bagi Nonpapua