** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **http://www.suarapembaruan.com/News/2006/01/09/index.html SUARA PEMBARUAN DAILY Papua bagi Nonpapua Catatan untuk Agus Sumule Indra J Piliang ARTIKEL Agus Sumule, "Dialog Internal Papua" (Pembaruan, (2/1) menarik untuk ditanggapi. Uraian itu terasa komprehensif, namun akan terlihat bolongnya ketika unsur Nonpapua dijadikan patokan. Seolah, soal ini luput dalam setiap dialog menyangkut Papua. Padahal, dibandingkan dengan Nanggroe Aceh Darussalam yang komposisi penduduknya juga tidak seluruhnya suku bangsa Aceh, justru kehadiran warga Nonpapua di tanah Papua jauh lebih banyak. Berdasarkan sensus penduduk 2000, jumlah penduduk Aceh mencapai angka 1.732.627 jiwa. Jumlah itu tentu naik pada tahun berikutnya, sekalipun angka pastinya untuk tahun 2005 perlu dilakukan survei lagi, termasuk kaitannya dengan korban tsunami. Dari jumlah itu, 50,3persen suku Aceh, 15,9 persen suku Jawa, dan selebihnya suku-suku lainnya, termasuk suku Gayo Lut, Gayo Luwes, Alas, Singkil, Minang, Batak, dan lain-lain. Sementara, jumlah penduduk asli Papua dari 312 suku sebanyak 1.460.846 jiwa atau 65,41 persen, sedangkan jumlah penduduk Papua pada tahun 2000 sebanyak 2.233.530 jiwa. Namun, di sejumlah tempat, jumlah penduduk Nonpapua lebih besar, misalnya, Penduduk Timika, dari 89.861 jiwa hanya 35.813 penduduk asli, sedangkan 54.048 jiwa adalah warga pendatang. Kota Sorong sebanyak 157.116 jiwa, penduduk asli hanya 44.611 atau 28,39 persen, pendatang 112.505 jiwa. Kota Jayapura sebanyak 134.138 jiwa, penduduk asli 57.825 jiwa atau 33,21 persen, pendatang 76.313 jiwa (Kompas, 15/06/2002). Dari uraian Agus, kita bisa membagi ke dalam tiga kerangka. Pertama, dialog Papua bagi masyarakat Papua asli, terutama dari ras Melanesia. Kedua, dialog Papua-Jakarta untuk menemukan formulasi khusus bagi penyelesaian masalah Papua secara damai dan beradab. Ketiga, apabila diperlukan pelibatan unsur masyarakat sipil internasional, dalam hal ini Perdana Menteri Hellen Clark dari Selandia Baru, sebagai fasilitator atau penengah. Kemajuan berarti adalah melibatkan elemen yang selama ini dianggap sebagai anti-Jakarta, yakni Presidium Dewan Papua, Dewan Adat Papua, dan Organisasi Papua Merdeka. Jakarta memang terlalu memandang ketiga kelompok ini sebagai bagian dari kelompok yang memimpikan pelurusan sejarah Papua dan pada akhirnya pelepasan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia. Bagi Jakarta, hal itu artinya sebuah mimpi buruk. Nasib Nonpapua Apapun pilihan itu, tetap saja nasib warga Nonpapua menjadi persoalan. Baik lewat dialog internal Papua yang ditawarkan oleh Agus, ataupun cita-cita kemerdekaan kelompok yang dianggap anti-Jakarta, tetap saja belum terdapat rencana komprehensif menyangkut nasib warga Nonpapua itu. Pada praktiknya, warga Nonpapua ini ikut dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung nantinya, sudah ikut memilih anggota DPR dan DPD asal Papua dan Irian Jaya Barat, serta memilih wakil-wakil dalam DPRD provinsi, kabupaten dan kota. Selain menjadi transmigran, baik sukarela atau karena program pemerintah, sebagian juga menjadi pedagang perantara. Begitu juga bagian dari birokrasi lokal, termasuk aparat kepolisian dan tentara. Mereka beranak-pinak di tanah Papua, lahir dan makan dari tanah Papua, bahkan sudah mulai ada generasi yang tidak pernah lagi datang ke tanah asalnya, baik di Maluku, Sulawesi atau Jawa. Dengan adanya UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang diperuntukkan bagi ras Melanesia, sebetulnya kelompok Nonpapua ini mulai mengalami proses pembatasan peran. Ketika proses absorbsi politik dilakukan atas warga Papua asli, justru bagi warga Nonpapua harus mencari penghidupannya sendiri. Ketika orang Papua asli selama ini merasa diperlakukan sebagai anak tiri, sebetulnya orang non Papua kini malah berada dalam posisi yang sama juga. Hal inilah yang barangkali menimbulkan kebijakan standar ganda bagi Papua, terutama dari kelompok politik nasionalis Jakarta dan kelompok politik agamis, terutama Islam. Kekhawatiran selalu muncul, apabila orang Nonpapua asli itu mengalami perlakuan tidak layak. Bagaimanapun, politik Indonesia masih diwarnai oleh kedua ideologi ini yang kini dikemas dengan istilah nasionalis-religius. Persoalan ini memang sensitif. Tetapi, seperti ditulis Agus, bahwa mumpung angin politik sedang berhembus ke Papua, selayaknya soal-soal elementer ini turut dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan terbaik. Dalam bahasa yang lebih spekulatif: andaikata Papua merdeka, apakah warga Nonpapua asli ini masih berhak menjadi warga negara Papua, atau malah mengalami "pengusiran" sebagaimana yang dialami di Timor Lorosae? Untuk itu, masih terlalu diri mengatakan bahwa MRP akan mampu menjadi fasilitator dan penyelenggaraan dialog internal Papua. Sistem strong bicameralism yang diterapkan dalam konteks parlemen lokal di Papua ini masih dalam pro- ses pengujian. Ibarat ibu yang baru melewati proses persalinan yang disertai pendarahan serius, MRP barulah bayi merah yang langsung menghadapi tantangan persoalan serius. MRP selayaknya mulai membenahi dirinya, termasuk dalam soal-soal manajemen, administrasi sampai pertanggungjawaban keuangan. Kalaupun proses dialog hendak dimulai, selayaknya perpaduan elemen perwakilan rakyat Papua asli (MRP) dengan perwakilan penduduk Papua (DPRP) dijadikan sebagai panitia bersama. Gabungan dua elemen perwakilan ini akan secara langsung membawakan aspirasi warga Papua asli dan non Papua. Prosesnya tidaklah mudah, karena bagaimanapun konsentrasi dalam pilkada yang akan digelar bulan depan menyita waktu. Bukan hanya elemen penyelenggara, melainkan juga peserta dari dialog itu. Pemerintah Indonesia selayaknya memberikan kemudahan bagi setiap warga Papua, baik yang ada di luar Papua, di dalam Papua atau di luar negeri, untuk menghadiri dialog itu. Pemerintah Indonesia harus mampu memberikan jaminan keamanan, apabila dialog itu dilakukan di tanah Papua. Kalaupun hendak dilakukan di luar negeri, persoalannya justru akan lebih rumit. Tantangan dari pemerintah pusat di Jakarta pasti datang. Bagaimanapun, bagi pemerintah Indonesia, persoalan Papua adalah masalah dalam negeri, sehingga tidak ada dasarnya menyelenggarakan pertemuan khusus yang sensitif itu di luar negeri. Sebelum sampai kepada tahapan dialog itu, tentunya persoalan delegasi daerah akan muncul. Bagaimana metode pemilihannya? Apakah akan digelar semacam konvensi untuk mendapatkan peserta dialog? Ataukah cukup diwakili oleh kepala-kepala suku atau dibagi berdasarkan populasi? Organisasi DAP memang sudah cukup berakar di Papua, tetapi mengambil anggota delegasi berdasarkan tingkatan kepengurusan DAP sama saja dengan sidang-sidang DAP lainnya yang sudah bisa diprediksi hasil-hasilnya, yang antara lain pengulangan kembali atas pengembalian status otonomi khusus. Politik atau Ekonomi? Persoalan politik menjadi hal yang terus muncul di Papua, terutama politik di lapisan elite-elite Papua sendiri. Momentumnya sudah tepat. Namun, kelaparan di Yahukimo menyingkapkan betapa persoalan Papua tidak semata-mata politik, tetapi - terutama - ekonomi. Ketersingkiranlah yang menyebabkan orang asli Papua menyampaikan pelbagai tuntutan politik. Kematianlah yang membuat orang-orang Papua berjuang demi perubahan nasib. Tetapi, bukan berarti soal ekonomi harus ditinggalkan. Jakarta mestinya melihat betapa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat akar rumput Papua adalah perbaikan kondisi ekonomi, perumusan pola yang tepat dalam perdagangan, penyesuaian antara kebutuhan pangan dengan teknologi yang digunakan, pelatihan keterampilan hidup menghadapi perubahan yang datang dari luar, serta hal-hal lainnya. Papua harus disentuh dengan tangan-tangan terampil. Kalau perlu, Jakarta, terutama Departemen Sosial dan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, membina sekelompok pekerja sosial yang bisa langsung melakukan transfer keterampilan khusus di daerah-daerah pedalaman. Pendekatan seperti ini sangat jarang dilakukan, padahal Indonesia memiliki lapisan usia produktif yang menjadi pengangguran terbuka di provinsi lain. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Presiden No 1/2005 tentang Tunjangan Fungsional Pekerja Sosial. Tragedi tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam menyebabkan soal ini menjadi prioritas. Sentra-sentra kesejahteraan harus dibangun, berikut infrastruktur pemerintahan. Jakarta mestinya melepaskan traumanya, betapa para pejuang kemerdekaan Papua atau pelurusan sejarah Papua sekarang berasal dari kelas menengah atas dan kelompok berpendidikan yang mendapatkan kesempatan selama proses pembangunan selama ini. Struktur berpikir kolonial itu sangat dalam tertanam dalam diri para politikus dan pengambil kebijakan di Jakarta. Lepas dari itu semua, tawaran Agus Sumule layak diapresiasi. Papua tidak akan mampu keluar dari persoalan empiris, politis dan ideologisnya, apabila tidak tercapai kesamaan persepsi menyangkut masa depan daerah ini. Sebuah common platform layak disusun, sebagai hasil akhir dialog internal Papua itu, tentu setelah menyelesaikan persoalan teknis dan non teknis pra-dialog. Common platform itulah nanti yang akan menjadi panduan semua pihak yang ingin menyelesaikan apa yang disebut sebagai masalah Papua ini. * Penulis adalah peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta Last modified: 9/1/06 [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx 5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx 6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/ ** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List ** ** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: ** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ ** ** Beasiswa dalam negeri dan luar negeri S1 S2 S3 dan post-doctoral scholarship, kunjungi http://informasi-beasiswa.blogspot.com **