[nasional_list] [ppiindia] Menyoal Pengelola Energi

  • From: "Ambon" <sea@xxxxxxxxxx>
  • To: <"Undisclosed-Recipient:;"@freelists.org>
  • Date: Sun, 16 Oct 2005 13:53:40 +0200

** Mailing List Nasional Indonesia http://www.ppi-india.org ** 
** Situs milis nasional: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia ** 
** Info Beasiswa Indonesia http://informasi-beasiswa.blogspot.com **
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=217193&kat_id=16
Jumat, 14 Oktober 2005


Menyoal Pengelola Energi 
Oleh :
Rohadi Awaludin
Peneliti Institute for Science and Technology Studies (ISTECS)
Edi Sukur
Ketua Departemen Teknologi Industri dan Lingkungan Hidup DPP PKS 



Harga minyak bumi membumbung. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga 
BBM bersubsidi di dalam negeri dengan alasan untuk menjaga kesinambungan 
anggaran. Kenaikan harga BBM memicu kenaikan harga barang dan jasa lainnya, 
termasuk kebutuhan pokok, dan menambah beban masyarakat.

Beratnya beban anggaran negara karena lonjakan harga minyak, sejatinya hanyalah 
''puncak gunung es'' permasalah energi nasional. Ada masalah yang lebih besar 
dan lebih mendasar. Jika masalah-masalah tersebut tidak segera diselesaikan, 
kemelut energi akan terus terjadi di masa datang.

Sampai saat ini, pasokan energi kita masih didominasi minyak dan gas bumi. Dari 
total kebutuhan energi primer Indonesia sekitar 700 juta setara barel minyak 
(sbm), 54,4 persen dipenuhi dari minyak dan 26,5 persen dari gas bumi. Jadi, 
lebih dari 80 persen kebutuhan energi nasional dipasok dari migas. Karenanya, 
kemelut energi nasional tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan keduanya.

Monopoli Pertamina
Selama ini, pengelolaan migas nasional diserahkan kepada (BUMN) Pertamina yang 
dibentuk berdasarkan PP No 27/1968. Selanjutnya, melalui UU No 8/1971, 
pemerintah menyerahkan kuasa pertambangan kepada Pertamina untuk mengelola 
minyak dan gas bumi nasional secara penuh.

Tapi selama lebih dari 30 tahun, Pertamina dapat dikatakan belum berhasil 
mengembangkan kemampuan operasional, termasuk dalam pengembangan kapabilitas 
investasi dan teknologi. Persentase produksi minyak dari ladang yang dikelola 
Pertamina selalu rendah, tidak pernah lebih dari 10 persen dari total produksi 
minyak nasional. Angka itu terus menurun.

Pada 1974, Pertamina menghasilkan rata-rata 110 ribu barel per hari (bph) atau 
8,0 persen dari total produksi rata-rata minyak nasional sebesar 1,375 juta 
bph. Pada 1980 turun menjadi 81,7 ribu bph dan menempati 5,2 persen dari total 
produksi nasional sebesar 1,576 juta bph. Pada 2000 tinggal 46,2 ribu bph atau 
sebesar 3,3 persen dari total produksi 1,414 juta bph. Pada 2002 tercatat 
sebesar 40,1 ribu bph atau 3,2 persen dari 1,252 juta bph.

Kemampuan produksi minyak terbesar berasal dari ladang minyak yang dikelola 
Caltex. Pada 1974, perusahaan ini memproduksi 904 bph atau 66 persen dari total 
produksi nasional. Pada 2002, menghasilkan 577 bph atau 46 persen dari total 
produksi minyak Indonesia. Meskipun mengalami penurunan, perusahaan yang kini 
berubah nama menjadi Chevron Pasific Indonesia ini masih mendominasi produksi 
minyak nasional. (American Embassy, Petroleum Report 2003). 

Kenyataan ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pertamina. Kinerja 
Pertamina selama ini tidak pernah dipermasalahkan oleh Pemerintah selaku 
pemegang saham. Ada pendapat bahwa kriteria keberhasilan Pertamina tidak pernah 
dirumuskan secara jelas. Akhirnya, kecurigaan bahwa Pertamina sekadar memenuhi 
''kepentingan'' penguasa dan oknum-oknum tertentu menjadi sulit dibantah.

Ada yang mengatakan bahwa pokok permasalahan berada pada Inpres No 12/1975 
tentang Pengelolaan Dana Hasil Usaha Migas. Keluarnya Inpres ini bisa jadi 
memberi kontribusi pada ketidakberdayaan Pertamina. Namun terlalu berlebihan 
jika Inpres ini dijadikan sebagai penyebab utama rendahnya kinerja Pertamina.

Liberalisasi migas
Sekitar 1998 muncul gagasan menata ulang migas nasional. Konon, gagasan ini 
didasari kenyataan bahwa Pertamina tidak efisien mengelola migas nasional, 
karena bersifat monopoli. Digulirkanlah liberalisasi yang mengakhiri era 
monopoli Pertamina. Lahirlah UU No 22/2001 tentang Migas pada 23 Oktober 2001, 
menggantikan UU No 8/1971.

UU tersebut sempat di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan 
diputuskan hanya perlu perubahan pada beberapa pasal. Di antaranya Pasal 28 
Ayat (2) yang menyebutkan bahwa harga BBM dan gas bumi diserahkan pada 
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pasal itu dinilai bertentangan 
dengan UUD 1945. Harga BBM dan gas harus ditetapkan melalui kewenangan 
Pemerintah.

Ada yang janggal dari latar belakang kemunculan UU tersebut. Kalau memang 
Pertamina dinilai belum berhasil dan tidak efisien mengelola migas nasional, 
seharusnya langkah pertama yang paling logis adalah membenahi BUMN tersebut. 
Langkah tersebut dapat diawali dengan evaluasi komprehensif perjalanan dan 
capaian-capaian Pertamina selama ini. 

Gagasan liberalisasi sektor migas ini muncul bersamaan dengan kesepakatan 
pemerintah dengan IMF untuk program pemulihan ekonomi Indonesia dari krisis 
ekonomi. Diduga gagasan ini tak lepas dari keinginan asing untuk ikut mengelola 
migas nasional. Apalagi, selain kandungan migas dalam perut bumi Indonesia, 200 
juta jiwa penduduknya juga dinilai sebagai potensi pasar yang besar. 

Sejak munculnya gagasan penataan ulang pengelolaan migas nasional, pelaku usaha 
migas nasional, utamanya kegiatan sektor hulu berupa eksplorasi dan eksploitasi 
--yang didominasi perusahaan asing-- memilih wait and see. Kegiatan eksplorasi 
untuk menemukan cadangan baru dan upaya peningkatan kapasitas produksi 
sumur-sumur yang ada hampir berhenti. Akibatnya, total produksi minyak nasional 
menurun. 

Pada 1999 total produksi minyak nasional 1,5 juta bph. Sedangkan pada 2000, 
2001, dan 2002, anjlok menjadi 1,414 juta, 1,344 juta dan 1,252 juta bph. Pada 
2003, tinggal sekitar 1,1 juta bph, hampir sama dengan jumlah kebutuhan minyak 
mentah nasional. Sejak itu, Indonesia memasuki era baru sebagai pengimpor 
minyak netto, karena jumlah konsumsi melebihi produksi. Kondisi ini sebenarnya 
tidak perlu terjadi jika Pertamina telah berhasil mengembangkan kapasitas 
investasi dan teknologinya. Sebagai BUMN yang mengemban tugas untuk mengelola 
migas nasional, keputusan investasi --baik dalam eksplorasi maupun 
eksploitasi-- tidak akan begitu terpengaruh perubahan regulasi yang sedang 
dilakukan.

Prinsip dasar
Melihat kondisi pengelolaannya yang masih carut marut, kita perlu membangun 
kembali sistem pengelolaan energi nasional. Ada beberapa prinsip dan semangat 
dasar yang harus dijadikan landasan. 

Pertama, prinsip keadilan. Tak dapat dimungkiri, energi merupakan input penting 
bagi proses penumbuhan potensi. Karenanya, seluruh komponen masyarakat harus 
memiliki akses cukup dalam penggunaannya. Ini penting guna menumbuhkan potensi 
potensi yang dimiliki seluruh komponen masyarakat. Potensi pertumbuhan 
sekelompok masyarakat jangan sampai terhambat karena kendala akses di bidang 
energi, sementara di sisi lain, ada sekelompok masyarakat yang leluasa 
menggunakan energi berlebihan. 

Liberalisasi penuh sektor migas tidak dapat menjamin terwujudnya prinsip 
keadilan ini. Ini didasari kenyataan bahwa posisi berbagai pihak secara ekonomi 
tidaklah sama. Liberalisasi penuh dikhawatirkan meningkatkan jurang pemisah 
antara ''si kuat'' dengan ''si lemah'' yang berakibat pada keterbatasan, atau 
bahkan putusnya akses ''si lemah'' dari sumber daya energi.

Untuk menegakkan prinsip keadilan tersebut, pemerintah sudah sewajarnya 
mengambil kebijakan untuk memperkecil kesenjangan dengan intervensi tertentu, 
termasuk penggunaan anggaran negara. Karena salah satu fungsi fiskal adalah 
memperkecil kesenjangan peluang antarkelompok masyarakat dalam memberdayakan 
dirinya.

Kedua, prinsip kemandirian. Energi merupakan salah satu pilar ketahanan 
nasional. Liberalisasi sektor migas dapat mendorong ke arah kemandirian semu. 
Bangsa Indonesia tidak memiliki ''kuasa'' lagi memanfaatkan sumber daya dari 
bumi Indonesia. Sebagian besar sumber daya tersebut dikelola sepenuhnya oleh 
pihak asing. Akhirnya, ketersediaan sumber daya energi di dalam negeri 
diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang terintegrasi dengan pasar 
internasional.

Para pengagum mekanisme pasar mungkin tidak begitu merisaukan kondisi ini. 
Namun perlu diwaspadai pula bahwa hampir tidak pernah ada mekanisme pasar 
sempurna. Selalu ada ''market failure''. Kenyataan ini yang sejak awal harus 
diwaspadai. Dalam menegakkan kemandirian ini, kita perlu becermin dari 
pengalaman negara lain, misalnya Jepang.

Ketiga, prinsip kesinambungan. Sebagai sebuah generasi, kita memiliki tanggung 
jawab mewariskan kebaikan kepada generasi berikutnya. Jangan sampai malah 
sebaliknya. Ada dua warisan berkaitan dengan energi, yaitu ketersediaan sumber 
daya energi dan kelestarian lingkungan. 

Sumber daya energi, khususnya sumber daya fosil, berjumlah terbatas. Karenanya, 
kita perlu berhemat dalam memanfaatkannya. Selain itu, pembakaran bahan bakar 
fosil memberikan dampak pula kepada lingkungan, misalnya pelepasan gas 
karbondioksida atau ''gas rumah kaca''.

Indonesia memiliki potensi yang besar pada energi baru dan terbarukan berupa 
panas bumi, biomassa, mikrohidro, angin, surya, gambut, pasang surut dan 
gelombang. Energi jenis ini mendekati ideal, karena ketersediaannya dapat 
diperbaharui dan tidak banyak memberikan dampak lingkungan. Saat ini, energi 
terbarukan menyumbang sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional.

Departemen ESDM telah merumuskan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 
2005-2025. Salah satunya berisi sasaran untuk meningkatkan peran energi 
terbarukan dari 5,0 persen menjadi 10,6 persen pada 2025. Dalam rumusan 
tersebut juga telah dibuat road map pengembangan beberapa energi terbarukan. 
Hanya saja, belum jelas pihak yang bertanggung jawab mewujudkannya, sesuai 
dengan waktu yang telah ditentukan, karena usia pemerintah saat ini hanya 
sampai dengan 2009.

Indonesia, sejatinya, dikarunia sumber daya energi yang cukup. Kita selayaknya 
mensyukuri karunia tersebut. Krisis energi yang berdampak pada gejolak ekonomi 
dan sosial sebenarnya tidak layak terjadi di negeri ini. Berbagai pihak perlu 
introspeksi, karena gejolak tersebut lebih disebabkan kesalahan-kesalahan kita 
sendiri dalam mengelola anugerah yang telah diberikan-Nya.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: ppiindia-digest@xxxxxxxxxxxxxxx
5. No-email/web only: ppiindia-nomail@xxxxxxxxxxxxxxx
6. kembali menerima email: ppiindia-normal@xxxxxxxxxxxxxxx
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ppiindia-unsubscribe@xxxxxxxxxxxxxxx

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


** Forum Nasional Indonesia PPI India Mailing List **
** Untuk bergabung dg Milis Nasional kunjungi: 
** Situs Milis: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ **
** Website resmi http://www.ppi-india.org **
** Beasiswa Indonesia, http://informasi-beasiswa.blogspot.com **

Other related posts:

  • » [nasional_list] [ppiindia] Menyoal Pengelola Energi